DATA BUKU
Judul Buku : Pulang
Jenis : Fiksi (Novel)
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia),Cetakan pertama Desember 2012
Tebal : vii + 464; 13,5 x 20 cm ISBN 13: 978-979-91-0515-8
Jenis : Fiksi (Novel)
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia),Cetakan pertama Desember 2012
Tebal : vii + 464; 13,5 x 20 cm ISBN 13: 978-979-91-0515-8
Oleh
: Saddam Cahyo*
Dua
minggu yang lalu, saat sedang iseng mengisi waktu luang dengan mengunjungi toko
buku terbesar namun bukan yang terlengkap di provinsi Lampung ini, ada setumpukan
buku di baris terdepan etalase new book
yang menggodaku untuk berhenti melangkah, buku berwarna sampul kuning dominan
dan sedikit paduan warna merah dengan ilustrasi kepalan tinju dari lukisan cukil
kayu itulah yang menarik perhatianku, dan tanpa berfikir lama segera kuamankan
satu jilid untuk dibaca dirumah seolah puluhan pengunjung lain di toko itu pun
sedang melirik tajam dan bergegas menyusul karena takut kehabisan.
Judulnya
“Pulang”, merupakan sebuah novel setebal 464 halaman karangan Leila S. Chudori,
wartawan senior majalah Tempo yang
mengangkat tema tentang kisah hidup seorang eksil politik Indonesia di negeri
Perancis, atau dalam bahasa khas Gus Dur kerap disebut sebagai “Orang-orang klayaban yang terhalang
pulang”. Kata exile sendiri
dalam bahasa Inggris berarti pembuangan atau pengasingan, sedangkan dalam
konteks Indonesia, istilah ini merujuk pada sebuah tragedi politik yang dimulai
sejak periode tahun 1965 dan masih menyisakan banyak persoalan hingga saat ini,
sebuah peristiwa yang mendapat banyak sebutan serta tafsiran, sedangkan saya
sendiri lebih suka menyebutnya dengan Tragedi 30 September 1965.
Tentang Eksil
Eksil politik
dalam novel ini adalah julukan bagi warga Negara Indonesia yang sedang berada
di luar negeri saat tragedi politik itu terjadi, mereka tidak diperbolehkan
menginjak kembali tanah airnya sampai batas waktu yang tak jelas, hanya karena
tuduhan sepihak terlibat baik langsung sebagai anggota dan simpatisan maupun
sekedar keluarga dari organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI), yang difitnah sebagai
dalang keji dibalik tragedi penggantian rezim pada 30 September 1965. Kebanyakan
mereka ini sekarang menetap di beberapa Negara Eropa yang cukup ramah merangkul
dan memberi ruang hidup dengan pemberlakuan kebijakan suaka politik seperti
Belanda, Jerman, Prancis, dsb.
Secara
terpaksa dan mendadak mereka yang jumlahnya ribuan dengan beragam latar
belakang dan profesi ini menjadi orang yang “dibuang” oleh negerinya sendiri,
dan harus bertahan hidup dengan cara berkelana tanpa perlindungan dan kepastian
di berbagai Negara yang rela memberi suaka politik. Hak dan kewajiban mereka
sebagai warga Negara Indonesia sudah dicabut paksa, dan hak azasi mereka
sebagai manusia pun telah diinjak-injak oleh pemerintahnya sendiri yang berubah
total secara mendadak, dari pemerintahan sipil yang berprinsip mandiri dan
berdaulat menjadi pemerintahan militer yang menggadaikan nasib jutaan rakyatnya
kepada kuasa imperialisme modal asing.
Adapula
istilah eksil domestic, bagi
orang-orang yang sama-sama “dibuang” karena dianggap terlibat baik langsung
maupun tidak sama sekali dengan organisasi
PKI yang dikambing hitamkan oleh pihak militer dalam tragedi 30 S/1965,
namun mereka yang berjumlah jutaan orang ini berada di dalam negeri, di tanah
air yang melahirkannya, tapi di sini
pula mereka dicabut paksa dari akar kehidupan normalnya, dikangkangi hak azasinya
sebagai manusia merdeka, dibunuh mendadak, ditangkap paksa, dipenjara jauh dari
layak tanpa pengadilan, disiksa secara fisik dan mental, dianggap hina, dicap
pengkhianat, diteror seumur hidupnya dan dinistakan sampai anak cucu dengan identitas
KTP berkode ET (Eks Tapol). Dalam suatu kesempatan, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo,
komandan RPKAD atau pasukan khusus yang ditugasi membasmi gerakan komunisme beberapa
hari pasca tragedi 30 S/1965 itu, dengan angkuh pernah mengklaim membunuh
sekitar tiga juta jiwa manusia sebangsanya sendiri. Terlepas dari benar atau
tidaknya jumlah yang disebutkannya, peristiwa ini memang tragedi pertumpahan
darah “tanpa pertempuran” terbesar yang pernah terjadi di Negara ini.
Dikemudian
hari, PKI menjadi organisasi paling terlarang di Indonesia dengan
diterbitkannya dokumen pembubaran dan pelarangan berupa TAP MPRS No.XXV/1966
oleh Pemerintah Orde Baru, isinya menuduh tanpa menjelaskan bahwa ideologi
marxisme maupun komunisme yang diusungnya sangat bertentangan dengan Pancasila
sebagai dasar Negara. Bahkan hingga di era politik demokrasi sekarang ini pun,
masih ada berbagai upaya pengebirian hak demokratis serupa dengan ancaman
pidana kurungan 7-15 tahun penjara bagi siapa saja yang membangkang, seperti
ditemui dalam upaya DPR RI yang sebagian
besar anggotanya merupakan produk generasi penghafal sejarah distorsif Orba dalam pembahasan RUU KUHP
Pasal 212 awal tahun 2013 ini.
Potret Suram Hidup Eksil
Kembali
ke novel Pulang, secara eksplisit
Leila memang sudah menerangkan bahwa ia begitu terinspirasi oleh para eksil
yang pernah dijumpainya, seperti Ibrahim Isa, Sobron Aidit, Umar Said dan sosok
lainnya, juga dipengaruhi oleh kebijakan redaksi tempatnya bekerja yang secara
rutin tahunan menerbitkan edisi khusus Tempo 30 September sejak 2005 lalu,
serta kepada berbagai upaya pelurusan sejarah nasional seperti yang dilakukan
oleh Asvi Warman Adam maupun Bonnie Triyana, guna melawan dominasi penulisan
sejarah distorsif yang selama ini dilakukan oleh para sejarawan mainstream “peliharaan”
Orba yang dipelopori oleh sosok Prof. Nugroho Notosusanto itu.
Saya
hampir lupa kalau buku ini bukan memoar, tapi sebuah karya fiksi, namun sama
sekali tidak membuat novel ini menjadi bisa diremehkan, mengingat proses penulisannya
selama 6 tahun sejak 2006 dan selesai tahun 2012, didorong oleh rasa
keprihatinan yang dalam dan melalui penelitian serius serta penelusuran sejarah
yang panjang demi diperolehnya konteks sosio-historis yang begitu berusaha mendekati
realitas. Restoran Indonesia yang ia
samarkan menjadi Restoran Tanah Air di
Rue de Vaugirard, Paris, Prancis yang diambil sebagai latar tempat utama memang
begitu menggugah saya, seakan nyata novel ini menggiring saya memasuki imajinasi tentang
kisah hidup beberapa orang eksil politik yang sejak sekitar 40 tahun lalu memperjuangkan
hidupnya di negeri jauh dengan membangun badan usaha berbentuk koperasi
produksi, sebagaimana pernah dikisahkan dalam buku memoarnya sastrawan Sobron
Aidit di tahun 2007 berjudul “Melawan Dengan Restoran”.
Keunggulan
novel ini adalah penggunaan bahasa prosais,
yakni bahasa keseharian yang cukup mudah dimengerti pembaca awam tanpa
mengurangi bobot kompleksitas nilai yang hendak disampaikan penulisnya, cukilan
kisah tokoh-tokoh pewayangan Jawa dan sisipan kisah saling silang percintaan
pun menjadi pemikat tersendiri bagi pembaca. Alur dan plot cerita yang maju
mundur pun tak membuat kebingungan dan dapat dinikmati, seperti kisah kehidupan
politik-ideologis di masa sebelum meletusnya tragedi politik 30 S/1965, lalu di
masa awal pelarian Dimas, dkk sebagai eksil dengan kehidupan yang pasang surut
penuh ancaman di luar negeri sejak 1965 sampai menjelang tahun 1998. Hingga
masa 1998 dimana situasi ekonomi dan politik Indonesia kian memuncak pada titik
krisis yang memicu gelombang ledakan protes masyarakat setelah tiga dekade
lebih dibungkam todongan senjata rezim Orba.
Novel
ini mengangkat tokoh utama bernama Dimas Suryo, seorang alumnus faculteit sastra dan filsafat Universiteit Indonesia yang menjadi
wartawan di Kantor Berita Nusantara (KBN),
dimana sebagian besar redakturnya punya kecenderungan simpatik kepada
program perjuangan politik PKI yang sedang melejit kala itu. Sebagian besar
wartawannya pun cukup intens bergelut dalam organisasi kebudayaan LEKRA, namun
ada pula yang sekedar bekerja secara profesional maupun segelintir kecil yang
anti terhadap segala hal berbau kiri.
Dimas adalah seorang petualang yang tidak suka berlabuh, dia tidak pernah
meyakini konsep ketunggalan mutlak, meragukan setiap teori yang kerap dianggap
memiliki nilai virtuous atau
keluhuran bagi penganutnya,seperti marxisme. Di sisi lain, Dimas Suryo adalah seorang
lelaki asal Solo yang begitu mencintai kuliner Nusantara, ia meyakini bahwa
memasak itu ibarat sebuah ritus suci dengan memperlakukan berbagai paduan bumbu
dan bahan makanan layaknya kata-kata yang harus terangkai apik dalam suatu
karya sastra.
Dalam
Novel ini, Dimas memiliki beberapa orang sahabat karib yang mengisi kehidupannya
sejak masih berstatus mahasiswa maupun saat mereka menjadi wartawan KBN, hingga
kemudian menjadi eksil politik yang bertahan hidup secara kolektif dengan
membangun restoran di negeri jauh. Mereka adalah Nugroho Dewantoro, asal Jogja
yang lebih senior namun berprinsip egaliter dalam kelompok, dia adalah sosok
paling ceria, optimis dan kerap menjadi motor penyemangat saat mereka dirundung
keputusasaan dalam masa pelarian, lalu ada tokoh Risjaf, berasal dari Sumatera
dengan perawakan tubuh jantan ideal dan berwajah tampan, namun ia justru sosok
paling lugu dan penurut, lalu ada Tjai Sin Soe, seorang tokoh Tiong Hoa yang
paling apolitis dari semuanya, namun harus turut terjebak dalam situasi chaos itu, sebagai seorang sarjana
ekonomi, dialah manajer keuangan bagi kelompok kecil eksil politik ini.
Tokoh
penting lainnya adalah Hananto Prawiro, kawan seangkatan Nugroho yang kerap
menjadi leader baik semasa mereka
masih sama-sama berkuliah maupun setelah bekerja di KBN, tokoh ini yang paling
memiliki ikatan emosional dengan Dimas, ia kerap berperan sebagai sahabat,
pimpinan, sekaligus lawan diskusi yang cukup
tengil. Han, adalah redaktur berita luar negeri yang aktif membangun
komunikasi dengan berbagai elemen gerakan revolusioner kiri di dunia terutama
Amerika Latin, selain itu ia juga aktif di ormas LEKRA dan menjadi tangan kanan
pemimpin redaksi yang bertendensi
mendukung PKI. Sayangnya, dia harus tertangkap intel melayu di negerinya
sendiri pada 1968 setelah melakukan pelarian panjang seperti bayangan, dan di
eksekusi mati oleh militer pada tahun 1970.
Selain
itu ada pula tokoh kunci lainnya, yakni Surti
Sundari, perempuan cantik yang tangguh berdiri tegak menjadi tiang kehidupan
keluarga meski terus diterpa badai siksaan rezim yang hanya mengenal kekerasan
itu. Surti adalah mantan kekasih Dimas saat muda dan paling berkesan dihatinya,
namun dikemudian hari, Surti justru menjadi istri Hananto hingga melahirkan Kenanga,
Bulan dan Alam. Ada pula Aji Suryo, adik Dimas yang berbudi dan tulus, seorang
lulusan ITB yang memilih hidup merunduk dan bekerja sebagai kepala laboraturium
penelitian sebuah pabrik ban terkemuka, sejak dulu ia memang tidak tertarik
terlibat dalam politik. Lalu ada Vivienne
Deveraux, wanita Prancis yang menjadi istri Dimas karena mengalami kejutan le coup de foudre alias cinta pada
pandangan pertama pada lelaki Asia yang ditemuinya di tengah ribuan massa aksi
mahasiswa dan buruh dalam revolusi Paris, Mei 1968. Ada pula Lintang Utara, putri
tunggal Dimas dan Vivienne yang sangat cerdas ditempa oleh kehidupan sastrawi
ayahnya dan nuansa intelektual ibunya. Terpenting terakhir adalah Segara Alam, putra Hananto yang 10 tahun lebih
tua dari Lintang, sebagai anak eks tapol yang tumbuh dalam stigma, ia menjelma menjadi
sosok pemuda yang begitu cerdas, kritis dan keras pendirian.
Tiga
buah peristiwa sejarah yang dijadikan latar utama adalah peristiwa seputar
tragedi 30 S/1965, revolusi sosial Paris 1968, dan Reformasi 1998. Secara umum,
kisah dimulai pada latar 12 September 1965, saat Hananto selaku redaktur luar
negeri harus tertahan di dalam negeri karena pertimbangan pimred KBN yang
membutuhkan dirinya untuk membantu mencermati dinamika politik nasional di
pertengahan tahun 1965 yang sudah terasa begitu panas bergejolak di Ibu Kota
Jakarta, jadwal semula ia harus menghadiri beberapa forum konferensi pers kiri internasional bersama Nugroho
dan beberapa rekan lain dari media cetak Harian Rakyat. Akhirnya ia mengalihkan
tugas ini kepada Dimas Suryo, junior sekaligus sahabatnya yang bandel dan
dianggap terkontaminasi gagasan, lalu ditentukanlah Dimas akan mendampingi
Nugroho ke forum pertama di Santiago, Chile. Sedangkan Risjaf, juga diminta
mewakilinya ke forum di Havana, Kuba. Setelah dua pertemuan itu tuntas, Dimas
dan Nugroho dijadwalkan akan menyusul Risjaf ke Kuba lebih dulu sebelum
melanjutkan perjalanan bertiga ke forum wartawan Asia – Afrika di Peking, RRT.
Namun,
saat tengah berlangsungnya Konferensi di Santiago, mereka memperoleh kabar dari
ketua panitia bahwa di Indonesia telah meletus tragedi politik 30 S/1965 yang
ditandai oleh penculikan dan pembunuhan beberapa orang jenderal TNI, memanasnya issue dewan jenderal yang hendak merebut
kekuasaan disaat presiden Soekarno melemah, serta beredarnya pengumuman resmi
Negara bahwa PKI sebagai biang keladi, dan bersama kekuatan politik
revolusioner berazaskan marxisme maupun nasionalis pro-Soekarno lainnya harus
ditumpas habis tanpa pandang bulu melalui serangkaian operasi militer karena
dianggap sudah mengkhianati Pancasila.
Bagi
mereka, kabar ini tentu dirasakan seperti langit runtuh dan bumi porak poranda
dalam satu kedipan mata. Peristiwa yang tak terduga ini sempat membuat mereka
harus didera gelisah, ketegangan yang tak berkesudahan, bahkan selama beberapa
minggu mereka tidak nafsu makan dan hanya mengisi perut dengan berbotol-botol
anggur yang disediakan tuan rumah. Setelah Nug dan Dimas menemui Risjaf di
Havana, barulah mereka mampu menata ulang mental yang masygul itu dengan
menggantung sedikit harapan hidup. Informasi singkat yang terkumpul dari
laporan berita luar negeri maupun telegram Aji yang ia terima, menggambarkan
betapa kacaunya suasana kehidupan masyarakat di tanah air, orang-orang dari
orang sipil hingga militer dan pejabat negara yang digolongkan masuk spektrum
kiri termasuk keluarga pun segera ditangkap, bahkan tak sedikit pula yang
langsung dibunuh, kantor dan rumah tak luput dari sasaran amuk militer,
termasuk harian KBN yang terkena stigma kiri pun turut disterilkan.
Babak
baru kehidupan para jurnalis ini pun dimulai, mereka resmi menyandang status
sebagai manusia stateless alias eksil
politik. Dari Kuba, mereka terbang ke Peking untuk menghadiri agendakonferensi
yang semula telah dijadwalkan, namun karena sudah “ditolak” pulang, mereka
harus bertahan tinggal sementara di negeri Paman Mao itu. Setelah tidak tahan
beberapa bulan hidup dalam tekanan program Revolusi
Kebudayaan Tiongkok, mereka bertiga memutuskan untuk mencari kesempatan
pindah ke beberapa pilihan Negara di Eropa, hingga pada awal tahun 1967 mereka
sudah mendarat terpisah, Nug di Swiss, Risjaf di Belanda, dan Dimas di Perancis
bersama Tjai yang sudah lebih dulu datang dari Singapura. Pertengahan tahun
1967 adalah moment pertama mereka memutuskan untuk tinggal bersama di Perancis.
Selanjutnya adalah sajian rentetan potret suram perjuangan kelompok kecil eksil
ini maupun sanak keluarganya di tanah air yang terus berjuang mempertahankan
hidupnya sebagai manusia merdeka di bawah ancaman program “Bersih Diri dan
Bersih Lingkungan”.
Gagasan Penulis
Upaya
penulisnya untuk mengambil sudut cerita dari setiap tokoh-tokoh kunci yang di
munculkannya sebagai sub-sub bab tersendiri
patut diapresiasi sebagai maksud untuk menyajikan rangkaian perspektif cerita
yang utuh. Namun, menurut saya Plot
yang harus diafirmasi dengan tegas dalam novel ini adalah adanya upaya sistematis
yang dilakukan oleh penulisnya untuk menggiring pembaca pada pemahaman politik
moderat-pragmatis dengan embel-embel profesionalisme sebagai sebuah common sense, satu-satunya kebenaran umum yang harus
diterima secara universal. Saya sangat menyayangkan hal ini, sebab dalam
konteks awal sebagai salah satu bentuk menyokong terwujudnya upaya rekonsiliasi
dan pelurusan sejarah Bangsa, apa yang dilakukan oleh Leila S Chudori justru
mengangkanginya dengan tidak secara persuasif memberi unsur zeit geist, atau semangat zaman untuk
mengawali perubahan bagi kaum muda pembaca novelnya.
Ini
nampak dari penuturan tokoh utama Dimas Suryo yang dalam banyak setting cerita di
banyak bab, dikesankan mengalami kegamangan prinsip, digambarkan bahwa ia tidak
pernah mau menetapkan pilihan dalam konteks apapun, baginya memilih adalah
sebuah kesalahan yang tidak perlu, sebab pada akhirnya kehidupanlah yang
memilih dan menentukan bagaimana kita manusia harus hidup. Seperti dirinya yang
tak pernah menjatuhkan minat pada suatu ideologi politik tertentu namun tetap
saja harus menerima menjadi salah satu tumbal tragedi politik yang mengerikan.
Mungkin
penulisnya mencoba menangkap emosi traumatik yang memang banyak dialami oleh
para eksil politik maupun korban tragedi politik 30 S/1965 lainnya. Tak bisa
dipungkiri bahwa tragedi berdarah ini memang sangat memilukan dan menyisakan
luka dalam, bahkan kobaran api dendam bagi para korban yang secara langsung
mengalami pemberangusan rezim, tak
sedikit pula dari mereka yang menghabiskan sisa hidup dengan mengutuki diri
sendiri dan menyesali kehidupan sebelumnya, terutama bagi mereka yang memang
saat itu bukanlah orang yang memiliki sandaran ideologi politik tertentu yang
akan dengan tegar memahaminya sebagai konsekuensi perjuangan.
Sang Ekalaya
Paling
menarik adalah diangkatnya Sang Ekalaya sebagai tokoh yang dikagumi Dimas dalam
cerita novel ini. Singkat cerita,Ekalaya merupakan salah satu tokoh dalam kisah
pewayangan Jawa yang juga tertulis dalam kitab Mahabarata. Sesungguhnya ia adalah
satu-satunya orang yang pernah mampu menandingi kemampuan memanah Arjuna, tokoh
Pandawa Lima yang dikenang sebagai pemanah terbaik dalam epos legendaris itu.
Namun, permohonannya untuk dijadikan murid oleh Resi Drona yang termashur itu
ditolak, karena sang begawan ilmu panah
itu telah berjanji hanya akan menjadikan Arjuna sebagai satu-satunya murid
terbaik, akhirnya Ekalaya hanya meminta restu untuk menempa dirinya secara
otodidak. Meski tak pernah diterima sebagai murid, Ekalaya tetap menganggap
Resi Drona sebagai gurunya dan setiap hari memuja patung sang Begawan. Hingga
akhirnya dalam satu perburuan di hutan, pandawa lima terkejut bertemu dengan
seorang pemuda yang sanggup memanah sejago Arjuna terlebih ia mengaku sebagai
murid Drona, sontak Arjuna menggugat Sang Guru. Dengan ide picik, Resi Drona
menemui Ekalaya yang begitu mengaguminya, ia menuntut dakshina, imbalan seorang
murid yang berbakti, yakni dengan memotong dan mempersembahkan ibu jari
tangannya. Meski sadar dampaknya akan mengurangi keahlian memanah, Ekalaya
tetap mengabulkan permohonan sang guru dengan tulus, hingga akhir hayat ia
tetap menempa diri dalam ilmu panah meski tak lagi mampu menandingi Arjuna.
Kembali
ke tokoh Dimas, digambarkan betapa teguh dan tulus cintanya kepada tanah air
dan sebangsanya Indonesia. Dimas hanyalah seorang jurnalis profesional yang tak
menganut ideologi politik tertentu, juga tak terlibat gerakan organisasi
politik tertentu. Ia harus menelan pil pahit yang terkadang disesalkannya
sendiri, sebab harus hidup tersiksa tanpa alasan. Meski selalu ditolak, selama
menjadi eksil setiap tahunnya Dimas selalu mendatangi KBRI mengajukan visa
masuk ke Indonesia. Ia juga pernah harus bercerai dengan Vivienne dan
bertengkar dengan anaknya Lintang karena cemburu Dimas selalu berkorespondensi
dengan Surti dan anak-anaknya padahal itulah akses yang ia miliki untuk
mengetahui gambaran situasi di tanah airnya, dia juga selalu menyimpan stoples
kunyit dan cengkih segar yang diletakkan di ruang tamu apartemennya supaya
setiap hari bisa menghirup aroma khas tanah airnya, pun dengan menghiasi
ruangan dengan wayang kulit dan sesekali memainkannya sendirian. Yang paling
mengagumkan adalah Restoran Tanah Air yang dirintis bersama kelompok eksilnya
dan sempat dilabeli sarang komunis dengan
larangan kunjungan oleh Orba itu, kelak menjadi salah satu duta budaya
Indonesia yang memperkenalkan tradisi kuliner khas Nusantara di Eropa.
Dalam
novel ini, tak lain Dimas Suryo adalah Sang Ekalaya itu sendiri. Seperti
Ekalaya, Dimas adalah manusia yang memandang lurus kehidupan, dia tak sadari
bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang suka bertarung dan saling memakan
sesamanya demi memenuhi kepentingan masing-masing. Meski tak diakui lagi status
kewarganegaraannya, selalu ditolak pulang oleh pemerintah di negaranya, Dimas
tetap bertahan dengan langkah penuh jejak darah luka, sebab ia tahu persis
tanah air Indonesia tak pernah menolak dirinya. Pada akhirnya setelah Orde Baru
Soeharti ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa dan rakyat pada 21 Mei 1998, dan
sebagai upaya terakhirn untuk menegaskan bahwa dirinya adalah putra Indonesia
yang punya hak mewarisi tanah airnya, Dimas Suryo pun berhasil pulang
untuk selamanya ke TPU Karet Bivak Jakarta Pusat, tanah yang aromanya ia kenal
dan mengenali dirinya.
Sebagaimana
yang sering ia kutip dalam berbagai kesempatan obrolan, sajak Yang Terampas dan yang Terputus miliknya
Chairil Anwar,
“di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai
juga deru dingin..”
Sebagai
penutup, semua inilah yang membuat mengapa novel Pulang layak dijadikan bacaan wajib, bagi generasi muda Indonesia
yang hendak membuka diri memahami sejarah Bangsanya secara utuh. Namun, penting
pula diingatkan agar generasi buta sejarah ini tidak malas melakukan konfirmasi
pengetahuan dengan melengkapi informasi dari karya-karya penulis lain, baik
berupa fiksi, biografi, memoir, apalagi hasil penelitian serius dan berimbang,
demi pemahaman sejarah nasional yang utuh dan seadil mungkin. Salam Indonesia !
____________
Bandar
Lampung, 1 Mei 2013.
Dimuat di media massa alternatif Berdikari Online (BO) pada 2 Mei 2013, http://www.berdikarionline.com/suluh/20130502/pulang-kisah-tentang-nasionalisme-sang-ekalaya.html
Dimuat di media massa alternatif Berdikari Online (BO) pada 2 Mei 2013, http://www.berdikarionline.com/suluh/20130502/pulang-kisah-tentang-nasionalisme-sang-ekalaya.html
*) Aktivis
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Ekswil Lampung
Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar