
'Our Word Is Our Weapon'-Subcomandante Marcos
Digagas dan ditulis pertama oleh : Devin Prastyia*
Diedit dan ditulis ulang oleh : Saddam Cahyo (28
April 2013)
Seperti yang kita ketahui bersama
bahwa media massa mempunyai peran yang sangat signifikan dalam kehidupan
manusia. Tak bisa dipungkiri bahwa hampir pada setiap aspek kegiatan manusia
baik secara pribadi maupun umum, selalu berhubungan dengan aktifitas komunikasi
massa. Hasrat interaksi antar individu atau masyarakat yang tinggi tersebut
menemukan salurannya yang paling efektif dan terandalkan dalam berbagai bentuk
media massa, untuk saling berkomunikasi dan bertukar informasi.
Dalam perkembangannya, media massa memang
sangat berpengaruh di wilayah kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hingga
politik. Dari aspek sosaia-budaya, media adalah institusi sosial yang membentuk
definisi dan citra realitas serta dianggap sebagai ekspresi sosial yang berlaku
umum, secara ekonomis, media adalah institusi bisnis yang membantu masyarakat
untuk memperoleh keuntungan dari berbagai usaha yang dilakoni, sedang dari
aspek politik, media memberi ruang atau arena pertarungan diskursuf bagi
kepentingan berbagai kelompok sosial-politik yang ada dalam masyarakat
demokratis.
Oleh karena begitu vitalnya peran
media massa dalam berbagai aspek kehidupan publik, maka memicu banyak pihak
dari golongan politik tertentu yang mencoba memanfaatkan media massa sebagai alat
untuk mencapai tujuannya, dan secara hegemonik kerap memaksakannya kepada
publik. Diantaranya bahkan mampu menguasai media secara keseluruhan yakni
dengan menjadi pemilik perusahaan media massa ataupun dengan menguasai
kebijakan redaksi media massa.
Alat
Politik
Hal seperti ini juga terungkap dalam
teori ekonomi-politik media yang dikemukakan oleh Golding dan Murdock, dengan memakai
pendekatan strukturasi Giddens mereka menguraikan bahwa media massa memang
telah menjelma sebagai industri yang menjual produk berupa informasi untuk
dikonsumsi masyarakat demi memperoleh profit bagi pemiliknya, pola ini telah
menggurita secara global dalam suatu sistem kapitalisme media, dalam hal ini
media massa berperan penting sebagai agen ideologis yang membentuk pola fikir
dan memandu perilaku konsumennya. Nilai umum yang biasanya ditanamkan adalah
perihal memacu hasrat konsumsi, pandangan hidup liberal, melegitimasi wacana
investasi dan pasar bebas, hingga memassifkan budaya trend-popular dan
sebagainya.
Namun, pendekatan strukturasi ini
juga melirik bahwa determinasi kapitalisme global sebagai satu-satunya penentu
nilai-nilai apa yang akan disebar melalui media massa tidaklah patut diterima
begitu saja, sebab dalam rantai strukturnya, terdapat agen-agen lokal yang penting
karena memiliki peranan aktif dan kreatif dalam proses pengendalian pengaruh
media massa terhadap pembentukan opini publik sesuai dengan kepentingan politis
yang hendak dicapai golongannya (Sunarto, 2009).
Sebagai contoh yang paling kasat
mata misalnya, media massa ANTV dan TV One adalah kepunyaan dari Aburizal Bakrie
ketua umum partai Golkar, sedangkan Surya Paloh sebagai ketua umum partai
Nasdem merupakan pemilik dari Metro TV dan harian cetak Media Indonesia Group,
kemudian MNC Media Group yang meliputi MNC TV, RCTI, Global TV, dan harian cetak
Sindo adalah kepemilikan dari Hary Tanoesoedibjo yang juga menjadi ketua dewan
pertimbangan partai Hanura sekaligus ketua umum ormas Perindo. Ketiga sosok pemilik
media massa ini bukanlah pengusaha biasa, namun juga praktisi politik, maka disadari
ataupun tidak, ini berdampak pada kecenderungan media tersebut mengarahkan gagasan
politik dan pencitraan tokoh masing-masing dalam setiap pemberitaannya.
Pada dasarnya secara
ideal, pemberitaan media massa haruslah sesuai dengan azas dan prinsip
jurnalistik yang berlaku secara universal, yakni menjunjung tinggi azas
objektifitas, akurat,
adil, berimbang, dan menegaskan posisi netralitasnya, selain itu wajib hukumnya
setiap pelaku jurnalistik dalam pemberitaannya untuk menaati kode etik.
Privatisasi atau kepemilikan pribadi maupun kelompok atas perusahaan media
massa sebenarnya bukanlah masalah, jika
semua pemberitaan yang disebarkan kepada masyarakat luas senantiasa tunduk pada
azas serta prinsip ideal tersebut.
Menjadi masalah
kemudian, apabila terjadi penyimpangan terhadap fungsi media sebagai sarana
komunikasi massa yang mengutamakan kepentingan publik, terutama jika hal ini dilakukan
oleh sang pemilik modal itu sendiri. Sebagai pemilik dari suatu perusahaan
media, tentunya mereka memiliki kuasa lebih untuk mengintervensi kebijakan
redaksi, sayangnya beberapa pihak yang disebut di atas maupun pihak lain yang
mengindikasikan fenomena serupa, justru beralih memanfaatkan situasi ini untuk
memuluskan proyek politik pribadi maupun golongannya saja, sehingga
objektifitas pemberitaan sebagai syarat bagi informasi yang dibutuhkan oleh
masyarakat demokratis telah dikesampingkan.
Nalar
Kritis Publik
Sekarang ini, fenomena
pemanfaatan media massa sebagai alat politik bagi pertarungan kepentingan elit
tertentu telah menjadi gejala umum yang terus menjalar tidak hanya di ranah
nasional, bahkan sampai di tingkatan daerah pun sudah mulai vulgar. Berbagai ajang
pencitraan yang berlebihan, tendensi sikap yang diskriminatif terhadap golongan
atau tokoh tertentu, serta berbagai upaya pemelintiran substansi pemberitaan
pun kerap dengan mudah kita jumpai.
Kondisi seperti ini
merupakan paradoks dilematis yang telah menciderai kehidupan masyarakat
demokratis, dimana setiap orang memiliki hak untuk memperoleh informasi publik
yang objektif, sementara media massa sebagai sarana pemenuhan informasi paling mainstream justru mulai ditunggangi
oleh elit politik tertentu yang berkepentingan mengarahkan pilihan politik
masyarakat kepada apa yang dia munculkan sebagai pilihan tunggal.
Sebagai konsumen
informasi, masyarakat tidak boleh terus menerus pasrah melihat keadaan ini,
nalar kritis haruslah dijadikan pedoman setiap menerima informasi publik dari
media manapun. Jangan pula kondisi ini membuat kita menjadi apatis dan
cenderung tak pro aktif mengikuti perkembangan informasi publik, karena justru
hanya akan merugikan kita, upaya konfirmasi dan komparasi dengan media massa
lain tentang suatu tema pemberitaan yang sama haruslah dijadikan pertimbangan
sebelum kita menentukan kesimpulan sendiri.
Sebagai insan media,
tentu hal ini patut kembali direnungkan, baik oleh mereka kuli tinta di lapangan maupun dibalik meja redaksi, mengingat
kembali pentingnya berkeras menegakkan idealisme jurnalis yang menitipkan
tanggung jawab objektifitas pemberitaan informasi publik dengan pedoman
tunggal, yakni mengutamakan kepentingan masyarakat umum, bukan golongan apalagi
elit tertentu saja. Berpolitik praktis secara aktif tentu menjadi hak bagi
setiap orang, namun akan lebih bijaksana jika pengusaha pemilik industry media
massa lebih mengedepankan profesionalisme dalam menjalankan bisnisnya,
sementara perjuangan politiknya haruslah meraih legitimasi publik secara
demokratis, bukan dengan pemaksaan terselubung seperti yang nampak selama ini.
Semoga..
________
*) Mahasiswa Jurusan Teknik Informatika
STMIK Darmajaya.
Anggota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Lampung.
Catatan: tulisan pernah diikutsertakan dalam Lomba Menulis Opini bertema
“Mengkritisi Pelaku Media” yang diselenggarakan oleh UKPM Teknokra
Unila dalam rangkaian acara HUT ke-36 tahun 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar