Selamat membaca !
"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."
Selasa, 03 Desember 2013
Opini : Melawan Bahaya Laten WTO
Tampaknya tahun 2013 ini adalah tahun yang spesial bagi negeri kita Indonesia. Tidak tanggung-tangung, dua forum internasional yang begitu penting didaulat untuk dilangsungkan di Bali. Mulai dari Konferensi Tingkat Tinggi APEC pada 5 sampai 7 Oktober lalu, lalu Konferensi Tingkat Menteri WTO pada 3 sampai 6 Desember ini.
Keduanya merupakan organisasi kerja sama perekonomian berskala global yang sangat berperan strategis sejak awal terbentuk di era 90-an. Namun prestasi sebagai tuan rumah perhelatan akbar ini penting pula untuk dikritisi, terutama dari sudut pandang yang lebih pokok, yakni dalam bingkai cita-cita kedaulatan ekonomi nasional.
Alat Neoliberalisme
Berbeda dengan APEC yang hanya melingkupi kawasan Asia – Pasifik dan kebijakannya kurang mengikat, dalam WTO atau World Trade Organization setiap kebijakan yang disepakati selalu bersifat mengikat untuk dilaksanakan oleh sekitar 155 negara yang menjadi anggotanya. Sebagai satu-satunya organisasi yang mengatur perdagangan sedunia, ia memiliki mekanisme penyelesaian sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) dan sanksi embargo ekonomi yang menjadi penjamin bagi kepatuhan setiap negara anggota untuk menjalankan seluruh point yang tertuang di WTO Agreement.
Sesungguhnya WTO merupakan satu perwujudan dari tiga skema ekonomi Bretton Woods, sebuah gerakan pelopor bangkitnya sistem ekonomi neo-liberal di dunia barat pada pertengahan abad 20 lalu. Skema ini muncul dalam rangka memulihkan kembali denyut nadi perekonomian sektor swasta di Eropa Barat dan Amerika Serikat pasca Perang Dunia II. Bretton Woods Institutions / BWIs terdiri dari tiga lembaga, yakni IMF, Bank Dunia, dan WTO. Ketiganya secara sistemik berkelindan dengan motif utama pelipat-gandaan keuntungan bagi beberapa negara adidaya dan korporasi raksasa global, hingga mewujud sebagai financial oligarchy yang menguasai roda perekonomian dunia (Coen H Pontoh, 2003).
Dalam kampanyenya, WTO selalu menerangkan bahwa tujuan keberadaannya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan negara anggotanya dan keadilan transaksi perdagangan multilateral melalui pembukaan pasar global seluas mungkin. Namun, dalam prakteknya, desakan WTO untuk membentuk free trade area disegala penjuru justru tidak pernah mampu mewujudkan keadilan ekonomi, sebab perlakuan yang sama bagi negara dan perusahaan yang struktur kekuatannya timpang hanya akan semakin memperlebar ketimpangan kemakmuran dunia.
Anjuran menyerahkan diri pada pasar bebas bagi negara berkembang dan tertinggal justru akan menjadi aksi bunuh diri atau setidaknya penjajahan yang sukarela. Sementara negara maju memang telah mempersiapkan diri sebelumnya melalui fase pembangunan ekonomi nasionalnya lewat berbagai program proteksionisme dan dumping, bahkan hingga sekarang negara maju masih cukup ketat melindungi industri domestiknya termasuk lewat kucuran dana subsidi bahan baku maupun penerapan standarisasi produk impor yang sulit ditembus oleh eksportir negara lain.
Merdeka Tanpa WTO
Begitulah peran strategis yang dimiliki BWIs termasuk WTO sebagai instrumen utama ekspansi neoliberalisme, begitu pula realita yang kita rasakan terjadi di negara Indonesia tercinta. Keterikatan kita padanya justru semakin memperlemah kemampuan negara dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan, terutama untuk memenuhi kewajiban mengayomi rakyat dan menjamin kedaulatan nasional. Dalam relasi internasional, Indonesia tidak lagi berwatak bebas dan aktif, melainkan hanya menjadi tim sukses memuluskan kepentingan negara maju yang kita gantungi, sebut saja AS, Inggris, Uni Eropa, Jepang, China, Australia, dan seterusnya.
KTM ke-9 WTO, misalnya, target pemerintah Indonesia dalam untuk memenangkan kepentingan negara berkembang dan tertinggal atau Least Development Countries / LDCs seperti subsidi pertanian 15 %, sistem buffer stock pangan, dan penerapan tarif ekspor, pun tampaknya akan sulit tercapai. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kesepakatan yang diambil sebenarnya hanyalah persetujuan ratusan negara atas resolusi ekonomi yang telah disusun oleh beberapa negara adidaya yang masuk dalam lingkaran G-8.
Selama ini WTO memang tidak ramah pada kepentingan nasional negara LDCs, bahkan anjuran amandemen UUD pun kerap dilakukan untuk penyesuaian. Termasuk Indonesia tercatat telah merubah substansi amanat Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar demokrasi ekonomi dengan memberi celah bagi terbitnya regulasi turunan yang semakin menjerat negara dalam kekangan penjajahan gaya baru. Sudah saatnya kita keluar dan bangkit, mitos yang menyebut “There is no alternative” harus segera dibantah. Setidaknya harapan seperti ini yang juga harus kita titipkan pada momentum tahun politik 2014 mendatang.
_____________
Saddam Cahyo, Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung. Juga Mahasiswa FISIP Sosiologi Universitas Lampung (Unila).
Catatan : Artikel ini sudah diterbitkan di harian cetak LAMPUNG POST pada 3 Desember 2013.
Sabtu, 09 November 2013
Dokumentasi : Lagu Hymne Guru, Sartono Sang Pencipta, dan Perubahan Lirik Oleh Negara Lalim
Kisah Tragis Dibalik Lagu "Hymne Guru"
Siapa yang tak kenal lagu ini lirik hymne guru berjudul “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa“? Masih terngiang betapa di era 1980-an, lagu ini sangat sering dinyanyikan di sekolah-sekolah. Sebab setiap upacara bendera pada hari Senin, lagu ini selalu dinyanyikan.http://forum.kompas.com/nasional/48001-kisah-tragis-dibalik-lagu-hymne-guru.html
Istilah “pahlawan tanpa tanda jasa” bahkan kemudian menjadi ikon yang disematkan kepada para guru. Siapa sangka bila “sang pahlawan” yang tanpa tanda jasa itu sejatinya dialami si pencipta lagu tersebut. Ya, Sartono, pencipta lagu yang juga guru itu di masa senjanya hidup dalam kesederhanaan. Laki- laki asal Madiun yang genap berusia 72 tahun, 29 Mei ini, tinggal rumah sederhana di Jalan Halmahera 98, Madiun. Sejak ia mengajar musik di SMP Purna Karya Bhakti Madiun pada 1978, hingga “pensiun” pada 2002 lalu, Sartono tetap menyandang guru honorer. Ia tak punya gaji pensiunan, karena statusnya bukan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kawan-kawan sesama guru sempat membantu mengajukan dia menjadi PNS. “Katanya sih sering diajukan nama saya, tetapi sampai saya pensiun dari tugas sebagai guru, PNS untuk saya kok tidak datang juga,” kata Sartono.
Sartono memang minder dengan latar belakang pendidikannya yang tak tamat SMA. Ia mengajar di SMP Purna Karya Bhakti, yang belakangan lebih dikenal sebagai SMP Kristen Santo Bernadus, berbekal bakatnya di bidang musik. Sartono yang beragama Islam itu melamar di Santo Bernadus berbekal sertifikat pengalaman kerja di Lokananta, perusahan pembuat piringan hitam di Solo, Jawa Tengah.
Hidup serba dalam kesempitan, tak membuat Sartono meratapi nasib. Ia merasa terhibur, dengan kebersamaan dengan Damiyati, BA, 59 tahun, isterinya yang guru PNS. Damiyati dinikahi Sartono pada 1971. Dari pernikahan mereka belum jua dikaruniai anak. Sehingga mereka mengasuh dua orang keponakan. Damiyati yang juga guru, juga seniman biasa manggung bersama Ketoprak Siswo Budoyo Tulungagung, di masa mudanya.
Kehidupan sehari-harinya kini hanya dari pensiun istrinya yang tak lebih dari dari Rp 1 juta. Sartono sendiri kala masih aktif mengajar, gajinya pada akhir pengabdiannya sebagai guru seni musik cuma Rp 60.000 per bulan. “Gaji saya sangat rendah, bahkan mungkin paling rendah diantara guru-guru lainnya,” katanya mengenang masa lalunya.
Kala masih kuat, Sartono menambal periuk dapurnya dengan mengajar musik. Sepekan sekali, Sartono yang pandai bermain piano, gitar, dan saksofon, ini rutin mengajar kulintang di Perhutani Nganjuk, sekira 60 kilometer dari rumahnya di Madiun.
BERMULA DARI LOKANANTA
Jalan menjadi guru berawal dari kegemarannya bermain musik. Putra sulung dari lima bersaudara ini sebenarnya lahir dari keluarga cukup berada. Maklum, ayahnya R. Soepadi adalah Camat Lorog, Pacitan. Sartono kecil memang suka bermain musik secara otodidak. Namun, hidup nyaman tak bisa dirasakan berlama-lama. Ketika ia berusia 7 tahun, Jepang menduduki Indonesia. Ayahnya pun tak lagi menjabat camat.
Sartono, bersama empat adiknya, Sartini, Sartinah, Sarwono dan Sarsanti, tak bisa mengenyam pendidikan tinggi. Ia sendiri putus sekolah kala kelas dua di SMA Negeri 3 Surabaya. Ia kemudian bekerja di Lokananta, perusahaan rekaman dan produsen piringan hitam. “Saya Lupa tahun berapa itu, tapi saya hanya bekerja selama dua tahun saja,” kata Sartono, yang mengaku sudah susah mengingat tahun.
Selepas kerja di Lokananta, Sartono bergabung dengan grup musik keroncong milik TNI AU di Madiun. Ia bersama kelompok musik tentara itu pernah penghibur tentara di Irian. “Di sana selama tiga bulan,” jelasnya.
DARI SECARIK KORAN
Ihwal penciptaan lagu himne guru itu boleh dibilang tak sengaja. Ketika itu, tahun 1980, Sartono tengah naik bis menuju Perhutani Nganjuk, untuk mengajar kulintang. Di perjalanan, secara tidak sengaja ia membaca di secarik koran, mengenai sayembara penciptaan lagu himne guru yang diselenggarakan Depdiknas. Hadiahnya besar untuk saat itu, Rp 750.000. Waktu yang tersisa dua pekan, untuk merampungkan lagu.
Sartono yang tak bisa membaca not balok ini, mulai tenggelam dalam kerja keras mengarang lagu saban harinya. “Saya mencermati betul seperti apa sebenarnya guru itu,” jelas Sartono sambil memulai membuat lagu itu.
Waktu sudah mepet, lagu belum juga jadi. Sartono pusing bukan kepalang. Syairnya masih amburadul. Pada hari pertama Hari Raya Idul Fitri, Sartono tidak keluar rumah. Ia bahkan tak turut beranjang sana mengantar istri dan dua keponakannya silaturrahmi ke orangtua dan sanak famili. “Saat itu kesempatan bagi saya untuk membuat lagu dan syair secara serius,” katanya. “Waktu itu saya merasa begitu lancar membuat lagu dan menulis syairnya.”
Awalnya, lirik yang ia ciptakan kepanjangan. Padahal, durasi lagu tak lebih dari empat menit. Sartono pun berkali- kali mengkajinya untuk mengetahui mana yang harus dibuang. “Karena panjang sekali, maka saya harus membuang beberapa syairnya,” jelas Sartono. Hingga muncullah istilah “pahlawan tanpa tanda jasa.”
“Guru itu juga pahlawan. Tetapi selepas mereka berbakti tak satu pun ada tanda jasa menempel pada mereka, seperti yang ada pada polisi atau tentara,” katanya.
Persoalan tak begitu saja beres. Lagu ada, Sartono kebingungan mengirimnya ke panitia lomba di Jakarta. Sebab ia tidak punya uang untuk biaya pengiriman via pos. “Akhirnya saya menjual jas untuk biaya pos,” katanya. Sartono menang. “Hadiahnya berupa cek. Sesampainya di Madiun saya tukarkan dengan sepeda motor di salah satu dealer,” kata Sartono.
PENGHARGAAN MINIM
Lagunya melambung, Sartono tidak. Sang pencipta tetap saja menggeluti dunia mengajar sebagai guru honorer hingga “pensiun.” Kalaulah ada penghargaan selain hadiah mencipta lagu, “cuma” beberapa lembar piagam ucapan terimakasih. Nampak piagam berpigura dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo yang diberikan pada 2005. Pak Gubernur juga memberikan bantuan Rp 600.000, plus sebuah keyboard.
Piagam lainnya diberikan Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin pada 2000. Kemudian piagam dari Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo pada 2005, plus bantuan uang. “Isinya enam ratus ribu rupiah,” kata Sartono.
Tahun 2006 lalu, giliran Walikota Madiun yang dalam sepanjang sejarah baru kali ini memberikan perhatian kepadanya. “Pak Walikota menghadiahi saya sepeda motor Garuda,” kata Sartono seraya menunjuk sepeda motor pemberian Walikota Madiun.
Meski minim perhatian, Sartono tetaplah bangga, lagunya menjadi himne para guru. Pekerjaan yang dilakoninya selama 24 tahun. Pengabdian yang tak pendek bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa.
http://indonews.org/kisah-tragis-dib...gu-hymne-guru/
Hymne Guru, Kontradiksi Teks dan Konteks
(Tulisan ini Telah dimuat di Harian Umum Solopos Edisi 30 April 2012)
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa…Pembangun insan cendekia…
Banyak orang mahfum bahwa epigraf (kutipan) di atas adalah bagian akhir lagu Hymne Guru karya
Pak Sartono. Namun sepertinya tidak banyak yang paham bahwa kini,
bagian paling akhir teks lagu itu sudah berubah. Institusi yang berperan
dalam perubahan teks lagu tersebut adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) UNS Surakarta. Bahkan, untuk mendapatkan keabsahan
perubahan teks lagu, dekan FKIP UNS, Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah,
secara khusus meminta ijin kepada Pak Sartono. Akhirnya, Pak Sartono-pun
mengijinkan perubahan. Dan, dalam acara penganugerahaan FKIP Awards
pada 9 September 2011, Pak Sartono untuk pertama kalinya menyanyikan
teks lagu versi perubahan tersebut, bersama civitas akademika FKIP UNS.Pertanyaan mendasar atas perubahan teks lagu Hymne Guru di atas adalah, mengapa diubah? Apa tujuannya? Apa alasannya? Bukankah perubahan berkonsekuensi sosiologis yang luas ? Kenyataannya, harus diakui hingga kini perubahan tersebut belum tersosialisasi dengan baik. Perubahan baru diketahui oleh lingkup FKIP UNS. Itu pun terbatas pada mahasiswa yang lulus dan diwisuda, karena memang Hymne Guru menjadi lagu wajib dalam acara wisuda FKIP UNS. Berdasarkan realitas tersebut, menarik untuk mendiskusikan Hymne Guru dalam wacana perubahan teks dan konteks, bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini.
Dalam konteks musikologi, Hymne sebenarnya adalah sejenis nyanyian pemujaan, terutama ditujukan untuk memuja Tuhan, Dewa-dewa, pahlawan, dan tokoh-tokoh agung. Secara khusus tidak ada pembeda antara jenis lagu Hymne dengan jenis nyanyian yang lain, kecuali hanya pada muatan teks yang berisi pujian tersebut. Dan ciri ini muncul secara kuat dalam Hymne Guru ketika teks lagu diawali dengan kata “terpujilah wahai engkau ibu bapak guru”. Artinya, Hymne Guru, telah menempatkan guru sebagai figur penting, tinggi, agung, bahkan dapat disejajarkan dengan pahlawan. Ya, pahlawan tanpa tanda jasa.
Konteks yang berubah
Teks lagu Hymne Guru tidak sekedar memuji guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Lebih dari itu, diksi dalam keseluruhan teksnya yang sederhana dan lugas, justru mampu menghadirkan citra guru sebagai insan yang lebih dari manusia biasa. Lihat saja epigraf di atas, guru dianalogikan sebagai pelita dalam kegelapan. Guru disamakan dengan embun penyejuk dalam kehausan. Sederhananya, guru dalam perspektif teks lagu ini, tidak saja dipandang sebagai pendidik dan pengajar. Lebih dari itu, figur guru dicitrakan sebagai sosok yang memiliki daya inspiring dan empowering. Luar biasa ! Bukankah figur guru seperti ini yang dalam kajian Furqon Hidayatullah (2010) disebut sebagai guru sejati ?
Citra ideal dan agungnya guru dalam teks lagu tersebut tentu dapat dipahami, karena pada masa Hymne Guru diciptakan–tahun 1980–sosok guru memang lekat dengan dunia keilmuan dan dunia pengabdian. Saat itu, duabelas tahun orde baru berkuasa, pendidikan Indonesia masih berada dalam situasi yang kurang menguntungkan. Jumlah guru rasionya sangat kurang dibanding jumlah siswa. Hal ini membuat guru dipandang sebagai pusat pencerahan. Guru dianggap bisa segalanya, tidak hanya pandai secara keilmuan, tetapi juga mumpuni secara sosial. Oleh karena itu, di masyarakat guru menempati “kasta” yang tinggi. Bahkan, dalam budaya Jawa muncul idiom untuk guru sebagai orang yang Pana ing pamawas lebdha ing pitutur (luas dalam wawasan dan mumpuni dalam bertutur). Tidaklah mengherankan jika akhirnya guru mampu menginspirasi dan memberi kekuatan pada lingkungannya.
Sayangnya, peran strategis dan status sosial guru tersebut, kontradiktif dengan kondisi kesejahteraan ekonominya. Anggaran pendidikan yang minim membuat kehidupan ekonomi guru masuk dalam kategori menengah ke bawah. Pada saat itu, gaji guru, terutama yang pegawai negeri, tergolong rendah. Ditambah lagi model pemberian tunjangan makan keluarga yang berwujud “beras jatah” kualitas jelek, dengan sistem pengambilan antri, lebih menguatkan citra buruk kehidupan ekonomi guru kala itu. Kondisi tersebut menyebabkan profesi guru tidak diminati. Dampaknya, tidak banyak anak muda yang bersedia, atau bahkan sekedar bercita-cita jadi guru. Realitas inilah yang dengan sangat cerdas diartikulasikan Pak Sartono dengan ungkapan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Rela mengabdi dan berkorban meskipun imbalannya tidak sepadan.
Kenyataan konteks sosio-ekonomis guru di atas tentu saja sangat jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Dalam rentang 32 tahun sejak Hymne Guru tercipta, telah banyak kebijakan pendidikan bermunculan, yang tentu saja lebih berpihak pada guru. Seiring reformasi tata kelola negara, dan seiring bertambahnya anggaran pendidikan, bersamaan dengan itu pula perbaikan kesejahteraan guru terjadi. Itikad baik pengelola negara untuk memberi porsi 20% APBN bagi sektor pendidikan, berdampak positif bagi perbaikan kesejahteraan guru. Di antara berbagai kebijakan, dua kebijakan yang telah mengubah nasib sekaligus citra guru-terutama guru PNS-adalah kenaikan gaji yang disesuaikan dengan standar kelayakan hidup, dan kebijakan pemberian tunjangan profesi.
Cerita manis tentang guru pun berlanjut. Kini, profesi guru adalah profesi primadona banyak orang. Lihat saja, angka keketatan masuk program keguruan di beberapa perguruan tinggi sudah sebanding dengan keketatan masuk program kedokteran. Hal yang tentu saja tidak pernah terjadi dalam rentang tiga dasawarsa sebelumnya. Lihat juga, betapa banyak orang yang rela menjadi guru honorer dengan harapan suatu saat akan diangkat menjadi guru PNS. Ya, faktor pendapatan agaknya merupakan faktor dominan yang mempengaruhi motivasi masyarakat untuk berbondong-bondong ingin menjadi guru. Tentu saja, karena jadi guru sekarang ini menjanjikan imbalan pendapatan yang menggiurkan. Bayangkan, mendapatkan gaji layak, menerima kenaikan gaji berkala setiap tahun, menerima gaji ke-13, ditambah tunjangan profesi setelah melewati proses sertifikasi.
Dengan demikian, fenomena berubahnya teks lagu Hymne Guru tersebut memang tampak jelas berkaitan kuat dengan perubahan konteksnya. Muncul kesadaran bahwa figur guru kini perlu direkonstruksi, meskipun itu hanya dalam sebuah lagu. Tidak relevan lagi jika saat ini guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Alasannya, kinerja guru bukan lagi pengabdian semata, tetapi telah dijamin oleh undang-undang sebagai kerja profesional. Dan profesionalitas tentu berhak mendapat imbalan “pahala dunia”. Oleh karena “pahala dunia” yang setimpal inilah maka guru kemudian dituntut menjadi agen pembangun “insan cendekia”. Sebuah cita-cita ideal sekaligus rekonstruksi figur guru yang dibutuhkan dewasa ini.
Sayangnya, rekonstruksi ideal figur guru tersebut masih saja hanya berhenti pada tataran teks lagu. Jujur harus diakui, ada banyak realitas kehidupan guru yang kontradiktif dengan puja-puji indah dalam Hymne-nya. Sebagai figur yang harusnya membangun insan cendekia, ternyata masih ada saja guru yang menganjurkan siswanya menyontek. Masih ada guru yang lancung dalam sertifikasi. Masih ada guru yang tega menyiksa siswanya. Masih ada guru yang malas mengajar karena berbisnis. Padahal, betapa negri ini merindukan sosok guru yang inspiring dan empowering. Guru yang mampu sung tuladha – mangun karsa – handayani. Guru yang namanya selalu abadi di sanubari. Selamat Hari Pendidikan Nasional.
(Tulisan Kecil ini adalah Dedikasi untuk Ayah, Guruku Tercinta, yang namanya selalu abadi di Sanubari, yang masih sempat mendampingiku ketika jemari ini menuliskannya. Semoga damai dan sejahtera di alam penantian Pak Guru Kawitman Wignyodiharjo)
Minggu, 03 November 2013
Opini : Anak Indonesia Dalam Kepungan Erotisme
Oleh
: Saddam Cahyo*
Masyarakat dengan
segala kemajemukan dan kompleksitas kehidupannya barangkali memang tempat ideal
bagi lahirnya berbagai anomali. Namun, jika penyimpangan selalu tidak diacuhkan
dan diluruskan maka akan semakin mewabah, lama kelamaan bisa kita amini sebagai
kewajaran meski sudah begitu jelas keburukannya. Setiap harinya selalu mudah
ditemukan berita penyimpangan perilaku seksual yang sangat memprihatinkan kita
karena melibatkan anak-anak sebagai korban atau bahkan pelakunya. Terbaru
adalah beberapa orang siswa SD di Kemiling Bandar Lampung bermain menirukan Goyang
Caesar yang sedang popular itu sambil membuka resleting celananya di hadapan
teman perempuan sekelasnya (Kompas, 27/10).
Buah
Kuasa Pasar
Sekarang ini, logika
sistem hidup kapitalisme memang kian menggerogoti peradaban kita, semua benteng
nilai ajaran agama dan etika sudah runtuh dijebol nafsu picik duniawi. Theodore
W. Adorno, teorikus kritis mazhab Frankfurt menyebut fenomena ini sebagai commodity society, dimana kita sedang
hidup dalam dunia yang tak lagi berproduksi memenuhi kebutuhan dan kepuasan
dasar manusia, tetapi menciptakan kebutuhan dan konsumsi yang tak berbatas demi
pelipatgandaan profit material bagi segelintir pihak. Dalam hal ini, seluruh
aspek kehidupan dipandang sebagai komoditas atau barang jualan, meski ia
menyangkut hal-hal sensitif dan privasi termasuk aktivitas seksual dan tanpa
mempedulikan dampak sosialnya.
Seperti dalam fenomena
siswa SD tadi, Goyang Caesar memang sedang begitu populer menjadi salah satu produk
hiburan yang paling digemari masyarakat segala usia. Penampilan komedian Caesar
yang konyol dan energik memang terasa sangat menghibur di tengah kepenantan
rutinitas kerja dan tekanan kebutuhan hidup yang kian menghimpit. Tapi sayang
kita nyaris melupakan substansinya bahwa dibalik semua sensasi yang nampak di
permukaan, hiburan ini sesungguhnya diiringi oleh lagu Buka Dikit Jos yang berlirik erotis. Menjadi paradoks rasanya,
ketika kita beramai-ramai berjoget riang di muka publik ternyata sambil
melantunkan nyanyian yang tak senonoh, terlebih lagi semua ini bisa dengan
mudah dikonsumsi anak-anak dan remaja yang sangat labil dalam mencerna
informasi.
Mirisnya lagi ini
hanyalah contoh kecil, sebut saja lagu-lagu berjudul Hamil Tiga Bulan, Kucing Garong, Satu Jam Saja, Mari Bercinta, Belah
Duren, Paling Suka 69, dan banyak sekali lagu berlirik erotis lain, belum
lagi tontonan, bacaan, dan akses internet bernuansa cabul yang dengan leluasa bisa
diakses siapapun. Semua perangkat informasi seperti ini secara simultan
sangatlah efektif merusak nalar sebagian masyarakat, tak hanya bocah bahkan akal
sehat manusia dewasa pun bisa semakin tidak tahu batasan etik dari naluri
seksual yang dimiliki. Perselingkuhan, seks bebas, pemerkosaan, bahkan terhadap
balita dan hewan terus menggenapi fenomena anomalis yang fatal di negeri ini.
Sementara pemerintah melalui kuasa kebijakannya pun seakan lupa dan setengah
hati menganggapnya sebagai tanggung jawab. Kecaman sensor dari Komisi Penyiaran
di beberapa daerah saja tidaklah cukup, sanksi tegas dan penegakkan hukum di
bidang inilah yang kita butuhkan.
Kembalikan
Hak Anak
Barangkali kita semua
memang tahu persis betapa anak semestinya dipandang sebagai aset berharga yang
harus dididik sebaik mungkin demi terwujudnya masa depan yang lebih baik bagi bangsa
maupun peradaban manusia itu sendiri. Namun, sayangnya pengetahuan kita ini
sebatas kesadaran etik yang tak mampu diejawantahkan dalam kehidupan nyata.
Sistem hidup yang kita lakoni sekarang sama sekali tak ramah dan adil kepada
anak, segala fasilitas yang baik bagi pertumbuhan fisik dan psikisnya terus
dipelintir menjadi komoditas eksklusif yang tak terjangkau. Anak seakan tidak
punya pilihan selain turut menelan hiburan orang dewasa sebagai bahan imajinasi
saat bermain dan belajar. Tengok saja hilangnya lagu dan program TV anak yang
kontennya sesuai dengan perkembangan usia mereka, belum lagi fasilitas publik
untuk bermain pun terus tergusur. Kalaupun ada acara hiburan yang dikemas untuk
anak, isi kontennya tetap saja memakai perkataan atau lagu populer orang
dewasa.
Cukup sudah menganggap
perilaku anak yang berpotensi menyimpang sebagai hal sepele, wajar, atau malah
kelucuan belaka, sebagai orang dewasa kita semua turut bertanggung jawab atas perkembangan
kepribadian mereka. Sudah saatnya kita bertindak untuk mengembalikan hak
anak-anak dengan melindungi dan mengayomi kehidupannya sewajar mungkin. Kita juga
harus menyudahi tuduhan miring sebagai bangsa permisif, yang mudah memaafkan
menerima keadaan sekalipun pahit, seperti melumrahkan perilaku menyimpang para public figure (selebritis dan tokoh
politik) yang mau tak mau dijadikan panutan. Negeri ini memang bukan didirikan
di atas fondasi agamis dan konservatifisme, namun sejak merdeka, membangun
bangsa yang berkarakter dan berkepribadian merupakan salah satu cita-cita utama
yang wajib diperjuangkan.
______________
*) Sekretaris Liga Mahasiswa
Nasional untuk Demokrasi (LMND) Wilayah Lampung, Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila.
Diterbitkan portal berita Berdikari Online (BO) 31 Oktober 2013. http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20131031/anak-indonesia-dalam-kepungan-erotisme.html
Sabtu, 05 Oktober 2013
Opini : Akil Mochtar, Babak Baru Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Oleh : Saddam Cahyo*
Siapa
yang tidak terkejut mendengar kabar bahwa Dr. M. Akil Mochtar, yang menjabat
Ketua Mahkamah Konstitusi sejak Bulan April 2013 tersebut tertangkap tangan di
rumah dinasnya sendiri oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus dugaan
suap sengketa Pilkada sekitar pukul 21.45 WIB tadi malam (2/10). Seperti yang diberitakan,
Akil ditangkap bersama beberapa orang lainnya yakni Anggota DPR RI Chairun Nisa
dan pengusaha berinisial CHN, kemudian Bupati Gunung Mas Kalimantan Tengah,
Hambit Bintih dan seorang pengusaha berinisial DH ditangkap di sebuah hotel,
saat ini mereka sedang dalam pemeriksaan ketat oleh KPK dengan sitaan barang
bukti berbentuk uang tunai dolar Singapura bernilai sekitar 2 – 3 miliar rupiah
(Lampung Post, 3/10).
Sebuah Babak Baru
Menurut
Indeks Persepsi Korupsi (CPI) yang dirilis oleh Transparency International pada Desember 2012 menyebut Indonesia
menempati urutan ke 11 dari 176 negara. Tentu ini bukan prestasi, karena CPI
hanyalah penampakan puncak dari gunung es raksasa. Sosiolog UGM, Prof. Sunyoto
Usman pernah menjelaskan bahwa tindakan korupsi sedikitnya melibatkan empat
komponen penting yakni: birokrat, politisi, pelaku bisnis, dan masyarakat umum.
Mereka melakukannya secara terencana dan sistematis untuk memindahkan harta
publik menjadi harta privat, biasanya dengan memanfaatkan kelemahan regulasi
dan prosedur administrasi, atau dengan tegas melanggar aturan yang berlaku, dan
menyiasatinya melalui perantara atau broker. Pada intinya, korupsi cenderung
disebabkan oleh penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Kita ketahui bersama bahwa Akil Mochtar bukanlah
orang awam dalam dunia politik, dia pernah menjabat anggota DPR RI selama dua
periode sejak 1999. Pun bukan orang awam dalam dunia hukum, ia penyandang gelar
doktoral ilmu hukum, berpengalaman sebagai advokat, dan menjadi hakim
konstitusi di MK sejak 2009. Terlebih, dirinya pun sempat dikenal melalui
berbagai pernyataan kerasnya tentang korupsi, seperti dengan yakin ia
menyatakan siap dipenjara kalau terbukti bersalah saat issue jual beli putusan di MK mengemuka pada tahun 2010 lalu. Akil
juga pernah mengusulkan sebaiknya pelaku korupsi tak perlu dihukum mati, tapi
dimiskinkan dan dipotong salah satu jari tangannya guna memberi efek jera dan
peringatan bagi publik.
Meski
fenomena tertangkapnya aparat penegak hukum dalam kasus korupsi bukan hal baru,
namun peristiwa ini seharusnya mampu menjadi babak baru yang mencerahkan bagi
semangat pemberantasan korupsi. Mengingat yang tertangkap kali ini adalah orang
nomor satu di lembaga hukum tertinggi seperti MK, yang paling berwenang dan
berkewajiban menegakkan amanat Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Sebelumnya,
KPK baru sebatas mampu menyentuh pelaku tindak pidana korupsi di tingkatan
pegawai biasa seperti Gayus Tambunan, aparat jaksa, Urip Tri Gunawan, pengusaha
seperti Ahmad Fathonah, pejabat menengah seperti Nazaruddin, ketua partai
politik seperti Lutfi Hasan Ishaq, dan ketua lembaga negara, Rudi Rubiandini.
Sementara sudah menjadi rahasia umum bahwa persoalan korupsi di negeri ini
memang menggurita secara sistemik dan menjadi penyakit laten di berbagai
lembaga negara.
Menguji Komitmen
KPK
selama ini memang secara bertahap terus menunjukkan peningkatan kinerjanya,
meski kelemahannya pun tetap nampak nyata, seperti pada proses pengusutan kasus
Bank Century yang mandeg. Namun, perlu disadari pula bahwa perjuangan panjang
untuk memberantas wabah korupsi di negeri ini bukanlah domain monopolinya KPK
saja, melainkan secara simultan menjadi tanggung jawab dan kewajiban bagi banyak
pihak, sebab lembaga ini sejatinya dibentuk untuk membantu fungsi lembaga
penegak hukum yang lebih utama seperti Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan yang
telah dibekali amanat UU Tipikor.
Barangkali
ini momentum yang tepat untuk menguji komitmen para punggawa kuasa untuk
menyudahi praktek korupsi yang telah menjadi persoalan pokok penghambat
kemajuan negara ini. Sebagai pejabat negara di lembaga yang paling diharapkan
kemurniannya oleh publik, dan dengan nominal uang suap yang begitu besar, jika
terbutki bersalah nantinya Akil Mochtar tentu patut diberi vonis hukuman yang
paling berat agar efek jera benar-benar bisa terwujud. Selama ini baru ada 9
orang terpidana korupsi yang divonis secara maksimal berbentuk penjara 20 tahun
dan penjara seumur hidup, sementara ratusan terpidana lainnya kerap melenggang
bebas dengan berbagai perlakuan khusus dan keringanannya.
Sebagai
masyarakat, kita pun harus memberi perhatian lebih dan menanggapinya secara
serius, pun harus bijaksana dan berani menginstropeksi diri. Kenyataannya
masyarakat kita kerap kali berlaku permisif dengan mengaggap adanya biaya
ekstra yang terselubung demi melancarkan segala kebutuhann sebagai suatu kewajaran,
tentu kebiasaan umum ini turut pula menjadi andil penyebab korupsi merajalela
di negeri kita ini. Sekarang mari kita berharap bersama bahwa keadilan memang
mungkin ditegakkan.
______________
*)
Sekretaris LMND Lampung, mahasiswa FISIP Sosiologi Unila.
Selasa, 01 Oktober 2013
Opini : 28 September 1999, Malapetaka ‘UBL Berdarah’ Yang Dilupakan
Oleh : Saddam Cahyo*
Tahun ini genap empat belas tahun sudah berlalunya salah satu peristiwa pelanggaran HAM Berat yang pernah terjadi di Lampung, tepatnya pada 28 September 1999, dan berlokasi persis di depan gedung kampus Universitas Bandar Lampung (UBL).
Peristiwa itu dicatat oleh NGO Kontras sebagai aksi kekerasan aparat TNI / POLRI terbesar yang menimpa gerakan mahasiswa di Lampung, dengan jatuhnya korban sekitar 44 orang mahasiswa luka-luka dan dua orang mahasiswa Universitas Lampung tewas, yakni Saidatul Fitria “Atul” dan M. Yusuf Rizal “Ijal”. Barangkali hanya sedikit masyarakat Lampung yang mengingatnya, atau bahkan lebih banyak lagi yang tak mau ambil tahu, tapi janganlah sampai kita—meminjam istilah mendiang Gus Dur—‘menjadi Bangsa pelupa yang hebat.
Sebuah Malapetaka
Sebenarnya peristiwa ini sudah lebih dulu populer dengan sebutan Tragedi 28 September / UBL Berdarah. Namun, saya lebih suka merujuk pada istilah malapetaka dalam konsepsi Max R Lane, seorang Indonesianis yang telah banyak memberi curahan perhatian pada upaya pelurusan sejarah politik Indonesia. Menurutnya, kata tragedi berasal dari istilah berbahasa Inggris yang bermakna sebagai peristiwa menyedihkan dan patut disesali, ibarat suatu kecelakaan yang tak ada unsur kesengajaan di dalamnya. Sementara istilah malapetaka dirasa lebih layak disematkan pada berbagai peristiwa kekerasan dan pembunuhan sistematik yang direncanakan oleh pemegang status quo terhadap orang-orang tak bersalah dan tak bisa membela diri, namun dianggap mengganggu seperti peristiwa ini (Lane, 2012).
Benar saja, Malapetaka 28 September/ UBL Berdarah ini memang tak bisa kita pandang secara atomik, terpisah dari kejadian lainnya yang serupa. Peristiwa ini adalah bagian utuh dari rangkaian kekerasan dan pembunuhan sistemik yang dilakukan oleh aparat bersenjata selama kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru, bahkan masih terus berlanjut hingga masa setelahnya. Khususnya ini terjadi sepanjang bulan September 1999, dimana mahasiswa di hampir seluruh wilayah Indonesia yang masih dalam nuansa euphoria reformasi, melakukan aksi demonstrasi menolak rencana penerapan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan RUU Rakyat Terlatih (Ratih) yang dianggap bertentangan dengan semangat demokratisasi dan memberi peluang kembali menguatnya Dwi Fungsi ABRI.
Puncaknya terjadi setelah peristiwa Semanggi II pada 24 September 1999, dimana aparat menembak mati Yap Yun Hap mahasiswa UI dan 16 orang lainnya di Jakarta. Sontak gerakan mahasiswa di berbagai daerah meresponnya lewat aksi solidaritas dengan tuntutan yang sama. Namun, reaksi pemerintah dan aparatnya justru semakin mengeras hingga meletus aksi represif serupa di Lampung, dimana Ijal aktivis Cakrawala FISIP Unila tewas terkena tembakan peluru tajam di dada dan lehernya, sementara Atul aktivis Teknokra Unila yang sedang meliput tewas setelah kepalanya dipopor senapan, selanjutnya menyusul pada 5 Oktober di Palembang, Meyer Ardiansyah mahasiswa ABI tewas setelah dipukuli dan ditusuk sangkur oleh aparat.
Demonstrasi mahasiswa di Lampung ini dilakukan setelah ratusan gabungan aliansi mahasiswa melakukan aksi long march dari kampus Unila menuju Makoramil Kedaton, persis di seberang kampus UBL, mereka meminta bendera merah putih dikibarkan setengah tiang dan komandan Koramil menandatangani surat dukungan penolakan RUU PKB dan ditolak. Setelah berunding, disepakati mahasiswa akan menumpang 20 bus menuju kantor Gubernur dan melanjutkan aksinya, namun mendadak situasi berubah menjadi chaos, dan meski mahasiswa telah berlindung masuk areal kampus UBL, aparat tetap menyerbu masuk dan melakukan penembakan, penangkapan, pemukulan, serta perusakan kendaraan dan gedung hingga setelahnya perkuliahan harus diliburkan.
Hutang Sejarah
Untungnya malapetaka ini di Lampung tidak benar-benar dilupakan. Setiap tahunnya masih ada saja kelompok mahasiswa yang mengenang perjuangan generasi pendahulunya tersebut. Bahkan meski belum terlaksana, sejak 2008 lalu Rektorat Unila sempat menjanjikan nama Atul menjadi nama bagi gedung PKM Unila, sedangkan nama Ijal menjadi nama salah satu gedung di FISIP Unila. Selain itu juga, nama Saidatul Fitria telah diabadikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menjadi acara penghargaan tahunan bagi karya jurnalistik yang bertanggung jawab dan memiliki dampak perubahan di masyarakat.
Dalam tulisan ini, sekali lagi saya mengajak kita semua untuk tidak hanya mengingat dan mengenang mereka yang tewas dalam memperjuangkan demokrasi di Indonesia ini, sekedar sebagai korban pelanggaran HAM an sich. Mereka berhak mendapatkan apresiasi lebih tinggi lagi dari kita yang menikmati buah perjuangannya sekarang ini. Mereka adalah juga pahlawan Bangsa, pelopor perubahan yang dengan sadar berjuang dan berkorban demi terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih demokratis. Terlebih cita-cita mereka tentang kehidupan ber-Bangsa yang adil dan makmur belumlah sepenuhnya terwujud. Bahkan sekarang ini telah kembali muncul berbagai regulasi yang berpotensi membungkam demokrasi dan memberi jalan bagi terulangnya kembali kekuasaan lalim yang otoriter melalui UU Kamnas, UU Intelejen, UU Komcad, UU Ormas dan sebagainya.
Meski dalam persitiwa ini ada pihak yang secara tak langsung mengaku bertanggung jawab, yakni pernyataan Dandenpom II/3 Sriwijaya Lampung Letkol CPM Bagus Heru Sucahyo menyatakan bahwa dirinya sudah mengamankan proyektil peluru pada tubuh korban dan saat itu Dema Unila pun telah menerima surat permintaan maaf dari Danrem 043 Gatam, Kol. Inf. Mudjiono, namun kelanjutan kasusnya tak pernah dituntaskan. Lembaga-lembaga stakeholder seperti Komnas HAM RI, Pemerintah Pusat dan Daerah, termasuk TNI, haruslah lebih pro aktif berupaya menuntaskannya selayak mungkin. Bagaimanapun, malapetaka haruslah diakui dengan kesatria dan dipertanggungjawabkan dengan bijaksana. Jika tidak selamanya ini akan terus menghantui kita, menjadi hutang sejarah kepada generasi penerus Bangsa ini.
*) Sekretaris LMND Wilayah Lampung
Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila
Dimuat pada portal berita berdikarionline.com (BO),28 Sept 2013
Dimuat pada koran harian cetak SENATOR, 1 Oktober 2013
Dimuat pada koran harian cetak LAMPUNG POST, 4 Okt 2013
Sabtu, 28 September 2013
Opini : Mengurai Persepsi Masyarakat di Pilgub Lampung
Oleh
: Saddam Cahyo dan Nyoman Adi Irawan*
Provinsi Lampung
ternyata juga masuk kategori wilayah yang teristimewa, tapi dalam hal polemik
penetapan jadwal Pemilihan Gubernurnya yang maju-mundur dan melelahkan. Berbeda
dengan 42 Kepala Daerah se-Indonesia lainnya yang habis masa jabatan pada tahun
2014, seperti pelaksanaan Pilgub Jawa Timur dan Pilbup Lampung Utara yang sudah
terlaksana dengan baik. Bagi sebagian masyarakat Lampung, barangkali ini
hanyalah polemiknya kaum elit politik, atau ibarat drama sinetron picisan yang
menjenuhkan dan menjengkelkan tapi terus disiarkan. Pasalnya, polemik panjang
ini sudah dimulai sejak pertengahan tahun 2012 lalu, dan hingga bulan September
2013 ini belum juga ada kepastian jadwal pelaksanaan yang tetap, padahal masa
jabatan Gubernur akan habis pada Juni 2014, begitupun dengan jadwal Pileg dan
Pilpres yang semakin dekat.
Benang
Kusut Persepsi
Secara prinsip hal ini
tentu sangat merugikan seluruh masyarakat Lampung, meski sebenarnya persoalan
ini tidaklah terasa secara langsung dampaknya bagi kehidupan mereka. Berlarutnya
polemik Pilgub bukanlah hal baik yang harus kita banggakan sama sekali, justru
ini sebuah preseden buruk yang memalukan daerah, karena sudah berulang kali
Lampung mencatatkan sejarah buruk di momentum pesta demokrasi lima tahunan ini.
Bermula dari terbitnya SK KPUD Lampung No.75/Kpts/KPU-Prov-008/2012
tertanggal 11 September 2012 tentang penetapan Hari Pemungutan Suara Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2013, yang menegaskan putaran pertama akan
dilakukan pada 2 Oktober dan putaran kedua disiapkan pada 4 Desember. Gubernur pun
bereaksi menolak untuk menganggarkannya dalam APBD-P 2013, dan berharap Pilgub
diundur hingga tahun 2015 dengan pertimbangan belum adanya dasar hukum yang
kuat, karena RUU Pemilukada belum disahkan oleh DPR RI.
Perdebatan pun
berlanjut dan mulai melibatkan elemen masyarakat baik yang pro maupun kontra. Kementerian
Dalam Negeri dan DPRD Provinsi yang punya kewajiban menengahi pun tidak cukup
tegas mengambil sikap, dan dengan cara yang plin
plan justru memperkeruh keadaan. Upaya mediasi pertama di Hotel Sheraton
pada akhir 2012 ternyata hanya menghasilkan kata islah, sementara polemik tarik ulur kepentingan justru makin
menjadi. Berbagai tawaran solusi pun muncul kemudian, seperti Gubernur
mengatakan dana akan disediakan pada APBD 2014 dan boleh dilaksanakan di bulan
januari, Mendagri menawarkan jadwalnya dibarengi dengan Pileg pada april 2014.
Opsi lain yang pernah
ditawarkan adalah terbitnya Perppu oleh Presiden RI, bahkan sempat muncul
wacana solusi agar para calon yang sedang menjabat kepala daerah, untuk
sementara urunan sebesar 50 Milyar dari dana sisa bagi hasil APBD
masing-masing.Terakhir, KPUD melalui pleno bersama KPU Pusat menetapkan jadwal mundur
ke tanggal 2 Desember untuk putaran pertama dan 2 Februari untuk putaran kedua,
ini tertuang dalam SK No.47/KPU-Prov-008/2013 tanggal 9 September dan sudah
disosialisasikan kepada Mendagri, KPU Pusat, Parpol, DPRD, dan para calon gub-wagub.
Maju mundurnya jadwal
tetap pelaksanaan Pilgub ini memang terutama disebabkan oleh tidak pastinya
ketersediaan anggaran oleh Pemprov Lampung. Hingga sekarang, belum juga tampak
akan adanya pembahasan porsi anggaran APBD-Perubahan yang diharapkan dapat
menyediakan dana untuk Pilgub yang berkisar angka 300 milyar rupiah tersebut. Bahkan
saat tim Kemendagri datang pada 19/8 kemarin pun anggaran dinyatakan Rp.0,-.Akhirnya
tahapan yang sudah dimulai seperti pemeriksaan tes kesehatan rohani dan jasmani
,serta pengadaan barang dan jasa untuk logistik Pilgub pun harus tertunda. Kemudian
ada pula wacana KPU akan menggugat Pemprov
ke MK terkait sengketa wewenang, karena APBD memang satu-satunya jalur
pendanaan yang diamanatkan UU, namun tindakan ini tentu akan semakin
memperpanjang nafas polemik.
Semangat
Demokratisasi
Secara substansial,
demokrasi bukanlah sistem politik atau kekuasaan yang menjelma seperti festival
individualisme dan prosedurialisme belaka, melainkan sangat mengutamakan partisipasi
aktif seluruh masyarakatnya, karena cita-cita demokrasi adalah membangun
kesejahteraan umum (Donny Gahral, 2010). Untuk itu tidaklah baik kalau sampai
polemik ini dibiarkan berkepanjangan, dan berakibat pada meningkatnya
kekecewaan publik pada sistem demokrasi yang sedang berlangsung. Tingginya
angka golput haruslah dicegah, apalagi dengan tahapan yang normal pada Pilgub
Lampung 2008 saja angka golput sudah mencapai kisaran angka 30 %, bertepatan
dengan standar minimal nasional.
Dengan diperpanjangnya masa jabatan 5 orang
komisioner KPU Lampung hingga pelantikan Gubernur terpilih periode 2014-2019
melalui SK KPU-RI No.0/Kpts/KPU/Tahun 2013 Tertanggal 12 September, dan dengan
landasan hukum UU No.32 Tahun 2004, PP No. 6 Tahun 2005 dan Peraturan KPU No. 9
Tahun 2010, maka tahapan yang tertunda patutlah segera dimulai kembali. Semua
pihak harus lebih tegas, pro aktif, dan berniat tulus menuntaskan persoalan,
tak hanya Gubernur Lampung yang memegang kunci utama anggaran, tapi juga
Mendagri yang berkewajiban konsisten dengan keputusan Surat Edarannya, serta
DPRD Provinsi yang berhak terlibat mekanisme anggaran pun harus konsisten,
sebab semua cagub-cawagub adalah representasi dari partai politik. Yang pasti
adalah masyarakat Lampung menginginkan perubahan dan membutuhkan kepastian,
jangan sampai polemik elit yang tidak substansial ini melukai harapan publik,
sebab rakyat adalah pemilik sejati demokrasi.
_____________________
*)
Sekretaris dan Ketua LMND Eksekutif Wilayah Lampung Mahasiswa FISIP dan FKIP Unila.
Dimuat pada Surat Kabar Harian SENATOR, 27 September 2013
Dimuat pada portal berita berdikarionline.com (BO), 28 September 2013
Dimuat pada harian cetak LAMPUNG POST (Rubrik Voting), 2 Okt 2013
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20130928/polemik-pelaksanaan-pilgub-lampung.html#ixzz2gQz4oP3l
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook
Langganan:
Postingan (Atom)