Selamat membaca !
"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."
Selasa, 01 Oktober 2013
Opini : 28 September 1999, Malapetaka ‘UBL Berdarah’ Yang Dilupakan
Oleh : Saddam Cahyo*
Tahun ini genap empat belas tahun sudah berlalunya salah satu peristiwa pelanggaran HAM Berat yang pernah terjadi di Lampung, tepatnya pada 28 September 1999, dan berlokasi persis di depan gedung kampus Universitas Bandar Lampung (UBL).
Peristiwa itu dicatat oleh NGO Kontras sebagai aksi kekerasan aparat TNI / POLRI terbesar yang menimpa gerakan mahasiswa di Lampung, dengan jatuhnya korban sekitar 44 orang mahasiswa luka-luka dan dua orang mahasiswa Universitas Lampung tewas, yakni Saidatul Fitria “Atul” dan M. Yusuf Rizal “Ijal”. Barangkali hanya sedikit masyarakat Lampung yang mengingatnya, atau bahkan lebih banyak lagi yang tak mau ambil tahu, tapi janganlah sampai kita—meminjam istilah mendiang Gus Dur—‘menjadi Bangsa pelupa yang hebat.
Sebuah Malapetaka
Sebenarnya peristiwa ini sudah lebih dulu populer dengan sebutan Tragedi 28 September / UBL Berdarah. Namun, saya lebih suka merujuk pada istilah malapetaka dalam konsepsi Max R Lane, seorang Indonesianis yang telah banyak memberi curahan perhatian pada upaya pelurusan sejarah politik Indonesia. Menurutnya, kata tragedi berasal dari istilah berbahasa Inggris yang bermakna sebagai peristiwa menyedihkan dan patut disesali, ibarat suatu kecelakaan yang tak ada unsur kesengajaan di dalamnya. Sementara istilah malapetaka dirasa lebih layak disematkan pada berbagai peristiwa kekerasan dan pembunuhan sistematik yang direncanakan oleh pemegang status quo terhadap orang-orang tak bersalah dan tak bisa membela diri, namun dianggap mengganggu seperti peristiwa ini (Lane, 2012).
Benar saja, Malapetaka 28 September/ UBL Berdarah ini memang tak bisa kita pandang secara atomik, terpisah dari kejadian lainnya yang serupa. Peristiwa ini adalah bagian utuh dari rangkaian kekerasan dan pembunuhan sistemik yang dilakukan oleh aparat bersenjata selama kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru, bahkan masih terus berlanjut hingga masa setelahnya. Khususnya ini terjadi sepanjang bulan September 1999, dimana mahasiswa di hampir seluruh wilayah Indonesia yang masih dalam nuansa euphoria reformasi, melakukan aksi demonstrasi menolak rencana penerapan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan RUU Rakyat Terlatih (Ratih) yang dianggap bertentangan dengan semangat demokratisasi dan memberi peluang kembali menguatnya Dwi Fungsi ABRI.
Puncaknya terjadi setelah peristiwa Semanggi II pada 24 September 1999, dimana aparat menembak mati Yap Yun Hap mahasiswa UI dan 16 orang lainnya di Jakarta. Sontak gerakan mahasiswa di berbagai daerah meresponnya lewat aksi solidaritas dengan tuntutan yang sama. Namun, reaksi pemerintah dan aparatnya justru semakin mengeras hingga meletus aksi represif serupa di Lampung, dimana Ijal aktivis Cakrawala FISIP Unila tewas terkena tembakan peluru tajam di dada dan lehernya, sementara Atul aktivis Teknokra Unila yang sedang meliput tewas setelah kepalanya dipopor senapan, selanjutnya menyusul pada 5 Oktober di Palembang, Meyer Ardiansyah mahasiswa ABI tewas setelah dipukuli dan ditusuk sangkur oleh aparat.
Demonstrasi mahasiswa di Lampung ini dilakukan setelah ratusan gabungan aliansi mahasiswa melakukan aksi long march dari kampus Unila menuju Makoramil Kedaton, persis di seberang kampus UBL, mereka meminta bendera merah putih dikibarkan setengah tiang dan komandan Koramil menandatangani surat dukungan penolakan RUU PKB dan ditolak. Setelah berunding, disepakati mahasiswa akan menumpang 20 bus menuju kantor Gubernur dan melanjutkan aksinya, namun mendadak situasi berubah menjadi chaos, dan meski mahasiswa telah berlindung masuk areal kampus UBL, aparat tetap menyerbu masuk dan melakukan penembakan, penangkapan, pemukulan, serta perusakan kendaraan dan gedung hingga setelahnya perkuliahan harus diliburkan.
Hutang Sejarah
Untungnya malapetaka ini di Lampung tidak benar-benar dilupakan. Setiap tahunnya masih ada saja kelompok mahasiswa yang mengenang perjuangan generasi pendahulunya tersebut. Bahkan meski belum terlaksana, sejak 2008 lalu Rektorat Unila sempat menjanjikan nama Atul menjadi nama bagi gedung PKM Unila, sedangkan nama Ijal menjadi nama salah satu gedung di FISIP Unila. Selain itu juga, nama Saidatul Fitria telah diabadikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menjadi acara penghargaan tahunan bagi karya jurnalistik yang bertanggung jawab dan memiliki dampak perubahan di masyarakat.
Dalam tulisan ini, sekali lagi saya mengajak kita semua untuk tidak hanya mengingat dan mengenang mereka yang tewas dalam memperjuangkan demokrasi di Indonesia ini, sekedar sebagai korban pelanggaran HAM an sich. Mereka berhak mendapatkan apresiasi lebih tinggi lagi dari kita yang menikmati buah perjuangannya sekarang ini. Mereka adalah juga pahlawan Bangsa, pelopor perubahan yang dengan sadar berjuang dan berkorban demi terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih demokratis. Terlebih cita-cita mereka tentang kehidupan ber-Bangsa yang adil dan makmur belumlah sepenuhnya terwujud. Bahkan sekarang ini telah kembali muncul berbagai regulasi yang berpotensi membungkam demokrasi dan memberi jalan bagi terulangnya kembali kekuasaan lalim yang otoriter melalui UU Kamnas, UU Intelejen, UU Komcad, UU Ormas dan sebagainya.
Meski dalam persitiwa ini ada pihak yang secara tak langsung mengaku bertanggung jawab, yakni pernyataan Dandenpom II/3 Sriwijaya Lampung Letkol CPM Bagus Heru Sucahyo menyatakan bahwa dirinya sudah mengamankan proyektil peluru pada tubuh korban dan saat itu Dema Unila pun telah menerima surat permintaan maaf dari Danrem 043 Gatam, Kol. Inf. Mudjiono, namun kelanjutan kasusnya tak pernah dituntaskan. Lembaga-lembaga stakeholder seperti Komnas HAM RI, Pemerintah Pusat dan Daerah, termasuk TNI, haruslah lebih pro aktif berupaya menuntaskannya selayak mungkin. Bagaimanapun, malapetaka haruslah diakui dengan kesatria dan dipertanggungjawabkan dengan bijaksana. Jika tidak selamanya ini akan terus menghantui kita, menjadi hutang sejarah kepada generasi penerus Bangsa ini.
*) Sekretaris LMND Wilayah Lampung
Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila
Dimuat pada portal berita berdikarionline.com (BO),28 Sept 2013
Dimuat pada koran harian cetak SENATOR, 1 Oktober 2013
Dimuat pada koran harian cetak LAMPUNG POST, 4 Okt 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar