Oleh : Saddam Cahyo*
Siapa
yang tidak terkejut mendengar kabar bahwa Dr. M. Akil Mochtar, yang menjabat
Ketua Mahkamah Konstitusi sejak Bulan April 2013 tersebut tertangkap tangan di
rumah dinasnya sendiri oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus dugaan
suap sengketa Pilkada sekitar pukul 21.45 WIB tadi malam (2/10). Seperti yang diberitakan,
Akil ditangkap bersama beberapa orang lainnya yakni Anggota DPR RI Chairun Nisa
dan pengusaha berinisial CHN, kemudian Bupati Gunung Mas Kalimantan Tengah,
Hambit Bintih dan seorang pengusaha berinisial DH ditangkap di sebuah hotel,
saat ini mereka sedang dalam pemeriksaan ketat oleh KPK dengan sitaan barang
bukti berbentuk uang tunai dolar Singapura bernilai sekitar 2 – 3 miliar rupiah
(Lampung Post, 3/10).
Sebuah Babak Baru
Menurut
Indeks Persepsi Korupsi (CPI) yang dirilis oleh Transparency International pada Desember 2012 menyebut Indonesia
menempati urutan ke 11 dari 176 negara. Tentu ini bukan prestasi, karena CPI
hanyalah penampakan puncak dari gunung es raksasa. Sosiolog UGM, Prof. Sunyoto
Usman pernah menjelaskan bahwa tindakan korupsi sedikitnya melibatkan empat
komponen penting yakni: birokrat, politisi, pelaku bisnis, dan masyarakat umum.
Mereka melakukannya secara terencana dan sistematis untuk memindahkan harta
publik menjadi harta privat, biasanya dengan memanfaatkan kelemahan regulasi
dan prosedur administrasi, atau dengan tegas melanggar aturan yang berlaku, dan
menyiasatinya melalui perantara atau broker. Pada intinya, korupsi cenderung
disebabkan oleh penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Kita ketahui bersama bahwa Akil Mochtar bukanlah
orang awam dalam dunia politik, dia pernah menjabat anggota DPR RI selama dua
periode sejak 1999. Pun bukan orang awam dalam dunia hukum, ia penyandang gelar
doktoral ilmu hukum, berpengalaman sebagai advokat, dan menjadi hakim
konstitusi di MK sejak 2009. Terlebih, dirinya pun sempat dikenal melalui
berbagai pernyataan kerasnya tentang korupsi, seperti dengan yakin ia
menyatakan siap dipenjara kalau terbukti bersalah saat issue jual beli putusan di MK mengemuka pada tahun 2010 lalu. Akil
juga pernah mengusulkan sebaiknya pelaku korupsi tak perlu dihukum mati, tapi
dimiskinkan dan dipotong salah satu jari tangannya guna memberi efek jera dan
peringatan bagi publik.
Meski
fenomena tertangkapnya aparat penegak hukum dalam kasus korupsi bukan hal baru,
namun peristiwa ini seharusnya mampu menjadi babak baru yang mencerahkan bagi
semangat pemberantasan korupsi. Mengingat yang tertangkap kali ini adalah orang
nomor satu di lembaga hukum tertinggi seperti MK, yang paling berwenang dan
berkewajiban menegakkan amanat Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Sebelumnya,
KPK baru sebatas mampu menyentuh pelaku tindak pidana korupsi di tingkatan
pegawai biasa seperti Gayus Tambunan, aparat jaksa, Urip Tri Gunawan, pengusaha
seperti Ahmad Fathonah, pejabat menengah seperti Nazaruddin, ketua partai
politik seperti Lutfi Hasan Ishaq, dan ketua lembaga negara, Rudi Rubiandini.
Sementara sudah menjadi rahasia umum bahwa persoalan korupsi di negeri ini
memang menggurita secara sistemik dan menjadi penyakit laten di berbagai
lembaga negara.
Menguji Komitmen
KPK
selama ini memang secara bertahap terus menunjukkan peningkatan kinerjanya,
meski kelemahannya pun tetap nampak nyata, seperti pada proses pengusutan kasus
Bank Century yang mandeg. Namun, perlu disadari pula bahwa perjuangan panjang
untuk memberantas wabah korupsi di negeri ini bukanlah domain monopolinya KPK
saja, melainkan secara simultan menjadi tanggung jawab dan kewajiban bagi banyak
pihak, sebab lembaga ini sejatinya dibentuk untuk membantu fungsi lembaga
penegak hukum yang lebih utama seperti Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan yang
telah dibekali amanat UU Tipikor.
Barangkali
ini momentum yang tepat untuk menguji komitmen para punggawa kuasa untuk
menyudahi praktek korupsi yang telah menjadi persoalan pokok penghambat
kemajuan negara ini. Sebagai pejabat negara di lembaga yang paling diharapkan
kemurniannya oleh publik, dan dengan nominal uang suap yang begitu besar, jika
terbutki bersalah nantinya Akil Mochtar tentu patut diberi vonis hukuman yang
paling berat agar efek jera benar-benar bisa terwujud. Selama ini baru ada 9
orang terpidana korupsi yang divonis secara maksimal berbentuk penjara 20 tahun
dan penjara seumur hidup, sementara ratusan terpidana lainnya kerap melenggang
bebas dengan berbagai perlakuan khusus dan keringanannya.
Sebagai
masyarakat, kita pun harus memberi perhatian lebih dan menanggapinya secara
serius, pun harus bijaksana dan berani menginstropeksi diri. Kenyataannya
masyarakat kita kerap kali berlaku permisif dengan mengaggap adanya biaya
ekstra yang terselubung demi melancarkan segala kebutuhann sebagai suatu kewajaran,
tentu kebiasaan umum ini turut pula menjadi andil penyebab korupsi merajalela
di negeri kita ini. Sekarang mari kita berharap bersama bahwa keadilan memang
mungkin ditegakkan.
______________
*)
Sekretaris LMND Lampung, mahasiswa FISIP Sosiologi Unila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar