Oleh : Saddam
Cahyo*
Lagi-lagi
diberitakan, aparat berwenang berhasil mencegat upaya penyelundupan daging
celeng ilegal dari Sumatera menuju Jawa di Pelabuhan Bakauheni Lampung. Kali
ini seberat 500 kg lebih ditemukan di dalam bagasi bus jurusan Medan-Jakarta
(Lampost, 16/6). Menjadi sangat menarik, prestasi besar yang kuantitas sitaannya
bisa sampai berton-ton ini anehnya hanya membias jadi sekedar rutinitias.
Ditambah mulai
dijulukinya Lampung sebagai lumbung celeng nasional, meski sesungguhnya daerah
ini hanya kunci bagi jalur perlintasan daging selundupan. Ini lantaran Balai
Karantina Pertanian Kelas 1 Bandar Lampung mencatat jumlah tangkapan daging
celeng ilegal selama tahun 2014 mencapai kisaran 53,3 ton atau meningkat 340 %
dari tahun sebelumnya yang hanya 12 ton. Untuk 2015, sampai bulan Mei saja
sudah tersita sekitar 20 ton (Lampost, 24/5).
Bukan Salah Celeng
Angka ini tentu
fantastis, wajar jika berbuah keresahan publik. Bagaimana tidak, puluhan ton
daging celeng itu beredar bebas secara ilegal entah hingga kemana saja.
Problemnya adalah daging ini kerap dimanfaatkan secara tak bertanggungjawab oleh
para spekulan picik yang juga menguasai pasar. Modusnya dioplos daging sapi
yang sulit dibedakan oleh mata, atau dijadikan daging giling dan produk olahan
yang mudah disamarkan dengan ekstrak perasa daging sapi.
Tapi bagaimana
pun celeng alias babi hutan liar (Sus
Scrofa) adalah mamalia omnivora yang habitat aslinya memang ada di seluruh
penjuru Nusantara (Yong,etc, 2010)[1].
Sesungguhnya saat ini celeng masuk dalam golongan hewan liar yang kelestariannya
memprihatinkan. Sebut saja pertama, celeng dan seluruh hewan liar lainnya
menghadapi situasi pelik dimana habitat alami mereka terus menyusut signifikan secara
tak seimbang.
Kedua, dianggap
hama perusak lahan pertanian dan perkebunan hingga konfliknya dengan manusia
sulit ditolak. Ketiga, celeng harus menghadapi kenyataan statusnya sebagai
hewan yang diharamkan oleh agama mayoritas penduduk Indonesia. Keempat, tak
lain harus marasakan langsung imbas dari hasrat keserakahan umat manusia yang
kadang tak manusiawi.
Semuanya berkelindan
menguatkan stigma buruk hingga dianggap tak patut jadi satwa primadona yang
dilindungi. Padahal celeng tetaplah bagian dari keragaman hayati Nusantara yang
butuh perlindungan. Lebih jujur lagi, kasus yang merugikan banyak pihak,
terutama masyarakat konsumen, pedagang, dan usaha kecil ini adalah juga buah
pahit dari sistem hidup kapitalisme yang telah merajalela.
Sebab tersirat pula
akutnya problem ekologis yang diderita Indonesia. Beralih fungsinya kawasan
hutan di sepanjang pulau Sumatera menjadi lahan perkebunan milik korporasi
raksasa, membawa konsekuensi logis rusaknya keseimbangan ekosistem. Harimau dan
hewan predator lain semakin terancam punah lantaran tak sanggup bertahan, sedangkan
celeng lebih adaptif dan sangat mudah berkembang biak.
Populasi yang
terus meledak dan locus hidupnya yang kini bertubrukan dengan kepentingan
profit usaha perkebunan, ditambah adanya fakta krisis pasokan daging sapi segar
sebagai sumber protein masyarakat, serta tingginya laju tekanan biaya hidup
yang terus menuntut manusia sibuk mengejar kemakmuran meski mengabaikan
moralitas, yang akhirnya membuahkan modus penyelundupan daging celeng.
Daging Untuk Rakyat
Lebih jauh, kasus
ini juga mengungkap kekacauan alur distribusi daging sapi yang biasa diakses
masyarakat. Dengan demikian akar masalahnya tak hanya pada eksploitasi lahan
hutan yang berakibat over populasi
celeng, atau sekedar keresahan masyarakat muslim yang takut tak sengaja
memakannya. Tetapi juga terlalu abainya negara dalam rangka memenuhi hak
rakyatnya untuk aman mengkonsumsi daging.
Konsumsi daging
sapi nasional masih harus ditopang oleh impor karena peternakan lokal kita
masih sangat minim dan penuh hambatan. Ini mengakibatkan labilnya pasokan dan
fluktuasi harga daging sapi hingga membuka celah peluang bagi para spekulan.
Sementara itu, fakta tingginya produksi daging celeng ini juga tak bisa terus diabaikan
menjadi celah penyimpangan.
Jika problemnya
hanya status yang ilegal, penting bagi negara selain menguatkan penegakkan hukum
adalah segera menyusun aturan legalisasi serta teknis operasionalnya. Toh ini bermanfaat
besar bagi sebagian rakyat yang memang boleh mengkonsumsinya. Pun umat muslim
tak perlu was-was karena akan memberi jaminan distribusi yang sesuai
peruntukan. Segeralah berbuat, temukan solusi terbaik bukan hanya untuk celeng,
tetapi rakyat yang butuh tingkatkan kualitas hidup.
---------------
*) Peminat kajian
sosial-politik, mantan sekretaris LMND Ekswil Lampung 2012 – 2014
Sumber: harian cetak FAJAR SUMATERA, Selasa 23 Juni 2015.
[1]
Dalam artikel jurnal yang berjudul “The Status on Singapore Island of the
Eurasian Wild Pig Sus Scrofa” dan terbit di SIngapura tahun 2010, L E. Yong, H.
Lee, A. Ang, dan H. Tan menulis bahwa daerah persebaran habitat alami hewan
babi hutan yang akrab disebut celeng ini cukup luas menjamah dunia. Mulai Eropa
Tengah, kawasan Mediterania, dan sebagian besar Asia. Khusus di Asia Tenggara, yakni
wilayah Peninsular seperti Malaysia, Singapura, dan terutama Indonesia
cenderung memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar