Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Selasa, 23 Juni 2015

Opini : Mencari Solusi Bagi Celeng


Oleh : Saddam Cahyo*

Lagi-lagi diberitakan, aparat berwenang berhasil mencegat upaya penyelundupan daging celeng ilegal dari Sumatera menuju Jawa di Pelabuhan Bakauheni Lampung. Kali ini seberat 500 kg lebih ditemukan di dalam bagasi bus jurusan Medan-Jakarta (Lampost, 16/6). Menjadi sangat menarik, prestasi besar yang kuantitas sitaannya bisa sampai berton-ton ini anehnya hanya membias jadi sekedar rutinitias.
Ditambah mulai dijulukinya Lampung sebagai lumbung celeng nasional, meski sesungguhnya daerah ini hanya kunci bagi jalur perlintasan daging selundupan. Ini lantaran Balai Karantina Pertanian Kelas 1 Bandar Lampung mencatat jumlah tangkapan daging celeng ilegal selama tahun 2014 mencapai kisaran 53,3 ton atau meningkat 340 % dari tahun sebelumnya yang hanya 12 ton. Untuk 2015, sampai bulan Mei saja sudah tersita sekitar 20 ton (Lampost, 24/5).
Bukan Salah Celeng
Angka ini tentu fantastis, wajar jika berbuah keresahan publik. Bagaimana tidak, puluhan ton daging celeng itu beredar bebas secara ilegal entah hingga kemana saja. Problemnya adalah daging ini kerap dimanfaatkan secara tak bertanggungjawab oleh para spekulan picik yang juga menguasai pasar. Modusnya dioplos daging sapi yang sulit dibedakan oleh mata, atau dijadikan daging giling dan produk olahan yang mudah disamarkan dengan ekstrak perasa daging sapi.
Tapi bagaimana pun celeng alias babi hutan liar (Sus Scrofa) adalah mamalia omnivora yang habitat aslinya memang ada di seluruh penjuru Nusantara (Yong,etc, 2010)[1]. Sesungguhnya saat ini celeng masuk dalam golongan hewan liar yang kelestariannya memprihatinkan. Sebut saja pertama, celeng dan seluruh hewan liar lainnya menghadapi situasi pelik dimana habitat alami mereka terus menyusut signifikan secara tak seimbang.
Kedua, dianggap hama perusak lahan pertanian dan perkebunan hingga konfliknya dengan manusia sulit ditolak. Ketiga, celeng harus menghadapi kenyataan statusnya sebagai hewan yang diharamkan oleh agama mayoritas penduduk Indonesia. Keempat, tak lain harus marasakan langsung imbas dari hasrat keserakahan umat manusia yang kadang tak manusiawi.
Semuanya berkelindan menguatkan stigma buruk hingga dianggap tak patut jadi satwa primadona yang dilindungi. Padahal celeng tetaplah bagian dari keragaman hayati Nusantara yang butuh perlindungan. Lebih jujur lagi, kasus yang merugikan banyak pihak, terutama masyarakat konsumen, pedagang, dan usaha kecil ini adalah juga buah pahit dari sistem hidup kapitalisme yang telah merajalela.
Sebab tersirat pula akutnya problem ekologis yang diderita Indonesia. Beralih fungsinya kawasan hutan di sepanjang pulau Sumatera menjadi lahan perkebunan milik korporasi raksasa, membawa konsekuensi logis rusaknya keseimbangan ekosistem. Harimau dan hewan predator lain semakin terancam punah lantaran tak sanggup bertahan, sedangkan celeng lebih adaptif dan sangat mudah berkembang biak.
Populasi yang terus meledak dan locus hidupnya yang kini bertubrukan dengan kepentingan profit usaha perkebunan, ditambah adanya fakta krisis pasokan daging sapi segar sebagai sumber protein masyarakat, serta tingginya laju tekanan biaya hidup yang terus menuntut manusia sibuk mengejar kemakmuran meski mengabaikan moralitas, yang akhirnya membuahkan modus penyelundupan daging celeng.
Daging Untuk Rakyat
Lebih jauh, kasus ini juga mengungkap kekacauan alur distribusi daging sapi yang biasa diakses masyarakat. Dengan demikian akar masalahnya tak hanya pada eksploitasi lahan hutan yang berakibat over populasi celeng, atau sekedar keresahan masyarakat muslim yang takut tak sengaja memakannya. Tetapi juga terlalu abainya negara dalam rangka memenuhi hak rakyatnya untuk aman mengkonsumsi daging.
Konsumsi daging sapi nasional masih harus ditopang oleh impor karena peternakan lokal kita masih sangat minim dan penuh hambatan. Ini mengakibatkan labilnya pasokan dan fluktuasi harga daging sapi hingga membuka celah peluang bagi para spekulan. Sementara itu, fakta tingginya produksi daging celeng ini juga tak bisa terus diabaikan menjadi celah penyimpangan.
Jika problemnya hanya status yang ilegal, penting bagi negara selain menguatkan penegakkan hukum adalah segera menyusun aturan legalisasi serta teknis operasionalnya. Toh ini bermanfaat besar bagi sebagian rakyat yang memang boleh mengkonsumsinya. Pun umat muslim tak perlu was-was karena akan memberi jaminan distribusi yang sesuai peruntukan. Segeralah berbuat, temukan solusi terbaik bukan hanya untuk celeng, tetapi rakyat yang butuh tingkatkan kualitas hidup.
---------------
*) Peminat kajian sosial-politik, mantan sekretaris LMND Ekswil Lampung 2012 – 2014

Sumber:  harian cetak FAJAR SUMATERA, Selasa 23 Juni 2015.





[1] Dalam artikel jurnal yang berjudul “The Status on Singapore Island of the Eurasian Wild Pig Sus Scrofa” dan terbit di SIngapura tahun 2010, L E. Yong, H. Lee, A. Ang, dan H. Tan menulis bahwa daerah persebaran habitat alami hewan babi hutan yang akrab disebut celeng ini cukup luas menjamah dunia. Mulai Eropa Tengah, kawasan Mediterania, dan sebagian besar Asia. Khusus di Asia Tenggara, yakni wilayah Peninsular seperti Malaysia, Singapura, dan terutama Indonesia cenderung memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar