Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Kamis, 07 Mei 2015

Opini : Menyudahi Pelecehan Si Miskin (Persembahan Terakhir untuk Ayahanda Samsi Almarhum)


Oleh : Saddam Cahyo*

Bapak Usini (45) warga Limau, Tanggamus itu dikabarkan meninggal dunia setelah seharian mengantre pembagian dana Program Keluarga Harapan (PKH) di kantor Pos setempat  (Lampost,22/4). Namanya tentu tidaklah dikenal karena memang “bukan siapa-siapa”, tapi dari kabar kematiannya yang memilukan ini kita semestinya malu dan tahu diri ketimbang cuma  prihatin.

Kabar duka yang ironis seperti ini sayangnya bukan hal asing di telinga masyarakat Indonesia. Hampir terjadi sepanjang tahun, tapi penting diingatkan agar berita ini jangan sampai menjadi dianggap hal yang biasa saja. Beberapa hari sebelumnya (18/4), Kakek Asi Sukarsi (60) di Pasuruan, Jawa Timur juga dikabarkan meninggal karena kelelahan mengantre dana Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS).

Tentu mudah diingat betapa setiap pengadaan operasi pasar sembako, minyak tanah/gas, BLT/BLSM, zakat bulan Ramadhan, atau kurban Idul Adha, pun tak luput dari peristiwa pilu membludaknya ribuan warga miskin yang berdesakan mengantre berjam-jam di bawah terik matahari, tak jarang kedapatan orang pingsan, terjepit, jatuh lemas, terinjak-injak, hingga meninggal dunia. Seperti tewasnya tunanetra bernama Johni Malela (45) di tengah antrean open house Presiden saat Lebaran tahun 2010 lalu.

Pendekatan Melecehkan
Kejadian yang terus berulang ini nyaris seakan hanya tontonan rutin yang menggugah simpati sesaat, karena tak kunjung diputus rantai masalahnya. Benar memang miskin adalah keadaan yang kurang terhormat dan tidak membanggakan, tapi bukan berarti mereka yang masuk dalam golongan ini tak patut dihormati. Sebaliknya, kemiskinan adalah masalah yang wajib menjadi tanggung jawab bersama bagi seluruh masyarakat, terlebih pemimpinnya.

Fakta masih banyaknya kemiskinan adalah juga bagian dari fakta akan diri kita sendiri. Batasan itulah yang membuat kita harus selalu berkaca dan tidak menghakimi dengan perlakuan yang melecehkan. Bukankah kitab-kitab kebijaksanaan agama mana pun  mengungkap bahwa dari segala materi yang kita punya terdapat sebagiannya yang juga menjadi hak orang-orang miskin di sekitar kita ? Maka sekali lagi tak ada alasan untuk bersikap arogan.

Benar memang kemiskinan itu haruslah dihindari, betapa tidak ada satu pun manusia yang ingin hidup miskin. Tapi bukan manusia miskinnya yang harus kita jauhi, melainkan etos hidup yang bisa menggiring kita ke arahnyalah. Sebab betapa akan semakin parah dan meluasnya kemiskinan itu terjadi jika orang-orang miskin malah tidak dirangkul untuk dibantu bangkit dan lepas dari belenggunya.

Bukankah kajian dan teori-teori mutakhir tentang fenomena kemiskinan setiap tahunnya terus bertambah? dan kian meneguhkan simpulan bahwa jerat kemiskinan di dunia sangat sulit dihapus karena terjadi secara struktural dan sistemik. Artinya tidaklah mutlak dibenarkan pandangan usang yang menganggap kemiskinan itu lestari hanya karena orang-orang miskin tak pernah mau memberdayakan dirinya sendiri.

Kemiskinan struktural berarti adanya saling silang hubungan antara kacaunya komitmen penguasa dan sistem kekuasaan yang berlaku sebagai penyebab utama dari kian mewabahnya fenomena kemiskinan yang dialami suatu masyarakat. Semakin tersimpul bahwa kemiskinan adalah problem kolektif bagi suatu bangsa, menjadi salah satu tugas utama yang juga harus diselesaikan secara struktural dan sistemik, bukan dengan cara-cara yang karikatif, temporer, dan terbalut pencitraan.

Maka jelas adanya bahwa tragedi yang menimpa mendiang Usini kemarin telah menambah tumpukan bukti nyata dari praktek-praktek arogansi dan pelecehan kepada kaum miskin di negeri ini. Entah harus menunggu berapa nyawa lagi tercabut dari tubuh-tubuh si miskin untuk menyadarkan kita semua, menyadarkan para pemimpin yang punya kuasa mencipta perubahan.

Merubah Paradigma
Bangsa ini memang wajib berbenah, merubah paradigma akan kemiskinan agar pendekatan atau metode yang digunakan dalam upaya pengentasannya pun bisa lebih tepat. Sudah semestinya pemerintah berani mengevaluasi diri bahwa metode yang kekeuh dipakai selama ini sudah gagal. Benar memang sekecil apa pun bantuan yang diterima oleh masyarakat miskin akan sangat membantu, tapi niat baik untuk membantu jangan sampai dilakukan dengan cara-cara yang malah menodainya.

Sudah tanggung jawab aparatur negara untuk mengabdi lebih giat, maka pilihan untuk mendatangkan bantuan ke pintu rumah-rumah si miskin tentu jauh lebih baik ketimbang mempertahankan pola antrean. Atau bisa saja dengan semangat modernisasi birokrasi, sistem kartu elektronik berdeposit sebagai saluran dana bantuan sosial ke setiap individu miskin yang berhak akan jauh lebih efektif dan efisien bila digunakan.

Pemerintah mutlak harus memelopori metode baru yang tak lagi menciderai hati rakyat miskin dan golongan ekonomi rentan, yang notabene jumlahnya bisa separuh dari populasi penduduk negeri. Itu akan menjadi role model bagi para dermawan yang sukanya bersedekah secara partikelir, mau pun bagi lembaga-lembaga penyalur amal agar bersama-sama menyudahi tradisi yang buruk ini. Tabik!
__________

*) Peminat kajian sosial-politik, Mantan Sekretaris LMND Ekswil Lampung Periode 2012-2014.

Catatan : Artikel opini ini merupakan tulisan terakhir saya yang terbit di media massa dan dibaca langsung oleh Ayahanda Drs. Samsi, M.Si bin Sholihin yang wafat sehari setelahnya, Rabu 29 April 2015 pukul 22.50 WIB di RS Advent Bandar Lampung. Pun dalam proses penulisannya, almarhum juga menyempatkan memberi masukan lewat diskusinya yang khas. Terimakasih ayah, putra mu ini berjanji akan terus mengembangkan diri demi membanggakanmu di surga Allah sana.

TERBIT di LAMPUNG POST, Selasa 28 April 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar