Oleh
: Saddam Cahyo*
Bapak Usini (45) warga
Limau, Tanggamus itu dikabarkan meninggal dunia setelah seharian mengantre
pembagian dana Program Keluarga Harapan (PKH) di kantor Pos setempat (Lampost,22/4). Namanya tentu tidaklah
dikenal karena memang “bukan siapa-siapa”, tapi dari kabar kematiannya yang
memilukan ini kita semestinya malu dan tahu diri ketimbang cuma prihatin.
Kabar duka yang ironis
seperti ini sayangnya bukan hal asing di telinga masyarakat Indonesia. Hampir
terjadi sepanjang tahun, tapi penting diingatkan agar berita ini jangan sampai
menjadi dianggap hal yang biasa saja. Beberapa hari sebelumnya (18/4), Kakek
Asi Sukarsi (60) di Pasuruan, Jawa Timur juga dikabarkan meninggal karena
kelelahan mengantre dana Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS).
Tentu mudah diingat
betapa setiap pengadaan operasi pasar sembako, minyak tanah/gas, BLT/BLSM,
zakat bulan Ramadhan, atau kurban Idul Adha, pun tak luput dari peristiwa pilu
membludaknya ribuan warga miskin yang berdesakan mengantre berjam-jam di bawah
terik matahari, tak jarang kedapatan orang pingsan, terjepit, jatuh lemas,
terinjak-injak, hingga meninggal dunia. Seperti tewasnya tunanetra bernama
Johni Malela (45) di tengah antrean open
house Presiden saat Lebaran tahun 2010 lalu.
Pendekatan
Melecehkan
Kejadian yang terus
berulang ini nyaris seakan hanya tontonan rutin yang menggugah simpati sesaat,
karena tak kunjung diputus rantai masalahnya. Benar memang miskin adalah
keadaan yang kurang terhormat dan tidak membanggakan, tapi bukan berarti mereka
yang masuk dalam golongan ini tak patut dihormati. Sebaliknya, kemiskinan
adalah masalah yang wajib menjadi tanggung jawab bersama bagi seluruh
masyarakat, terlebih pemimpinnya.
Fakta masih banyaknya
kemiskinan adalah juga bagian dari fakta akan diri kita sendiri. Batasan itulah
yang membuat kita harus selalu berkaca dan tidak menghakimi dengan perlakuan
yang melecehkan. Bukankah kitab-kitab kebijaksanaan agama mana pun mengungkap bahwa dari segala materi yang kita
punya terdapat sebagiannya yang juga menjadi hak orang-orang miskin di sekitar
kita ? Maka sekali lagi tak ada alasan untuk bersikap arogan.
Benar memang kemiskinan
itu haruslah dihindari, betapa tidak ada satu pun manusia yang ingin hidup
miskin. Tapi bukan manusia miskinnya yang harus kita jauhi, melainkan etos
hidup yang bisa menggiring kita ke arahnyalah. Sebab betapa akan semakin parah
dan meluasnya kemiskinan itu terjadi jika orang-orang miskin malah tidak
dirangkul untuk dibantu bangkit dan lepas dari belenggunya.
Bukankah kajian dan
teori-teori mutakhir tentang fenomena kemiskinan setiap tahunnya terus
bertambah? dan kian meneguhkan simpulan bahwa jerat kemiskinan di dunia sangat
sulit dihapus karena terjadi secara struktural dan sistemik. Artinya tidaklah
mutlak dibenarkan pandangan usang yang menganggap kemiskinan itu lestari hanya
karena orang-orang miskin tak pernah mau memberdayakan dirinya sendiri.
Kemiskinan struktural
berarti adanya saling silang hubungan antara kacaunya komitmen penguasa dan
sistem kekuasaan yang berlaku sebagai penyebab utama dari kian mewabahnya
fenomena kemiskinan yang dialami suatu masyarakat. Semakin tersimpul bahwa
kemiskinan adalah problem kolektif bagi suatu bangsa, menjadi salah satu tugas
utama yang juga harus diselesaikan secara struktural dan sistemik, bukan dengan
cara-cara yang karikatif, temporer, dan terbalut pencitraan.
Maka jelas adanya bahwa
tragedi yang menimpa mendiang Usini kemarin telah menambah tumpukan bukti nyata
dari praktek-praktek arogansi dan pelecehan kepada kaum miskin di negeri ini.
Entah harus menunggu berapa nyawa lagi tercabut dari tubuh-tubuh si miskin
untuk menyadarkan kita semua, menyadarkan para pemimpin yang punya kuasa
mencipta perubahan.
Merubah
Paradigma
Bangsa ini memang wajib
berbenah, merubah paradigma akan kemiskinan agar pendekatan atau metode yang
digunakan dalam upaya pengentasannya pun bisa lebih tepat. Sudah semestinya
pemerintah berani mengevaluasi diri bahwa metode yang kekeuh dipakai selama ini sudah gagal. Benar memang sekecil apa pun
bantuan yang diterima oleh masyarakat miskin akan sangat membantu, tapi niat
baik untuk membantu jangan sampai dilakukan dengan cara-cara yang malah menodainya.
Sudah tanggung jawab
aparatur negara untuk mengabdi lebih giat, maka pilihan untuk mendatangkan
bantuan ke pintu rumah-rumah si miskin tentu jauh lebih baik ketimbang
mempertahankan pola antrean. Atau bisa saja dengan semangat modernisasi
birokrasi, sistem kartu elektronik berdeposit sebagai saluran dana bantuan
sosial ke setiap individu miskin yang berhak akan jauh lebih efektif dan
efisien bila digunakan.
Pemerintah mutlak harus
memelopori metode baru yang tak lagi menciderai hati rakyat miskin dan golongan
ekonomi rentan, yang notabene jumlahnya bisa separuh dari populasi penduduk
negeri. Itu akan menjadi role model
bagi para dermawan yang sukanya bersedekah secara partikelir, mau pun bagi
lembaga-lembaga penyalur amal agar bersama-sama menyudahi tradisi yang buruk
ini. Tabik!
__________
*)
Peminat kajian sosial-politik, Mantan Sekretaris LMND Ekswil Lampung Periode
2012-2014.
Catatan : Artikel opini ini merupakan tulisan terakhir saya yang terbit di media massa dan dibaca langsung oleh Ayahanda Drs. Samsi, M.Si bin Sholihin yang wafat sehari setelahnya, Rabu 29 April 2015 pukul 22.50 WIB di RS Advent Bandar Lampung. Pun dalam proses penulisannya, almarhum juga menyempatkan memberi masukan lewat diskusinya yang khas. Terimakasih ayah, putra mu ini berjanji akan terus mengembangkan diri demi membanggakanmu di surga Allah sana.
Catatan : Artikel opini ini merupakan tulisan terakhir saya yang terbit di media massa dan dibaca langsung oleh Ayahanda Drs. Samsi, M.Si bin Sholihin yang wafat sehari setelahnya, Rabu 29 April 2015 pukul 22.50 WIB di RS Advent Bandar Lampung. Pun dalam proses penulisannya, almarhum juga menyempatkan memberi masukan lewat diskusinya yang khas. Terimakasih ayah, putra mu ini berjanji akan terus mengembangkan diri demi membanggakanmu di surga Allah sana.
TERBIT di LAMPUNG POST, Selasa 28 April 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar