Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Selasa, 03 Maret 2015

Opini : Menyoal Kebiasaan Penghancuran Patung


Oleh : M.Saddam SSD. Cahyo*

Beberapa ormas muslim di Sidoarjo Jawa Timur melakukan rangkaian protes keras agar monumen Jayandaru yang baru terbangun di alun-alun kota itu dibongkar. Monumen setinggi 25 meter  ini bentuknya mewakili gambaran khas kehidupan masyarakat setempat, yakni patung udang dan bandeng yang jadi produk unggulan, ditambah 9 patung aktifitas manusia agraris. Penolakan dilandasi pandangan bahwa daerah yang sudah lekat dengan citra kota santri itu tak patut “dinodai berhala” berupa patung manusia sempurna yang menyerupai ciptaan Tuhan dengan alasan apa pun (Metro TV, 21/2).

Sentimen Simbolik
Tentu kabar seperti ini bukan lagi hal baru buat masyarakat Indonesia, semisal di tahun 2010 lalu patung Tiga Mojang seharga 2,5 Milyar milik perumahan elit di Bekasi juga roboh diamuk massa lantaran dianggap mengumbar aurat dan mengandung unsur Kristenisasi. Lalu di tahun 2011 beberapa patung Tokoh Pewayangan yang meramaikan sudut-sudut kota Purwakarta juga mendapat nasib buruk dihancurkan secara paksa karena dituding sebagai berhala yang melanggengkan kemusyrikan.

Patung Kaki Akar di titik nol kilometer kota Yogyakarta juga akhirnya harus dirobohkan Pemkot di tahun 2014 karena terus menimbulkan prasangka pornoaksi bagi kelompok massa tertentu. Sedikit berbeda juga pernah dialami masyarakat Lampung di tahun 2012, yakni dirobohkannya patung Z.A. Pagar Alam di Kalianda, latarnya bukan sentimen agama melainkan politis seperti pemborosan anggaran, hingga ketidakjelasan alasan pembangunan yang dirasa warga menyalahi sejarah dan bernuansa nepotis.

Fenomena seperti ini dalam khasanah ilmu sosial biasa disebut Ikonoklasme, yakni tindakan memerangi hingga menghancurkan ikon-ikon berupa gambar, patung, atau simbol lain, baik yang bermakna religius mau pun politis karena motif tertentu dalam suatu kebudayaan (Ioanes Rakhmat, 2011). Dalam konteks kekinian, hal ini sesungguhnya lebih merujuk pada sikap intoleran berupa ketidakdewasaan masyarakat dalam menghargai seni, budaya, sejarah, dan sensitifitasnya menjaga kohesifitas kehidupan sosial yang majemuk.

Karenanya meski alasan-alasan yang diungkapkan kelompok-kelompok masyarakat reaksioner yang menuntut penghancuran patung itu dirasa cukup kuat, tetap saja tidak serta merta harus selalu dimaklumi. Terlebih kasus sentimen berlebihan pada simbol-simbol seperti ini tanpa disadari telah menjadi preseden buruk yang terus berulang dan seolah menjadi kebiasaan yang lumrah. Padahal konsekuensi publiknya tidaklah sepele karena menimbulkan keresahan yang menyuburkan konflik laten, atau malah berpotensi meledakkan konflik horizontal yang destruktif.  

Patung Produk Budaya
Sebagai bangsa yang beradab, sudah semestinya kita berusaha cerdas dan objektif dalam menyikapi berbagai hal, termasuk perkara patung. Bangsa ini faktanya memiliki sejarah peradaban adiluhung yang tak pernah jauh dari pengembangan seni patung sebagai penanda zaman. Begitulah konteks patung itu sendiri bagi kita, sepatutnya dimaknai secara estetis sebagai produk kebudayaan. Bukan secara banal dimaknai sebagai ikon pemecah-belah yang mengumbar dan  memancing rasa permusuhan antar sesama.

Apalagi konteks tudingan miring keberhalaan dalam beberapa kasus terakhir aksi penghancuran patung di Indonesia itu, jauh lebih dekat dengan sekedar prasangka berlebihan ketimbang fakta yang terbuktikan. Karena patung-patung itu memang tidaklah dijadikan sesembahan, melainkan sekedar penghias lingkungan. Patung jika dipandang sebagai karya seni yang serius, dengan sendirinya akan menimbulkan rasa bangga dan kepemilikan bersama dari semua golongan masyarakat di sekitarnya. Harapannya ini dapat memutus lingkaran setan kebencian yang merusak tatanan sosial bernegara.

Lebih dari itu, patung memanglah karya seni yang luhur nilai keindahannya, karenanya wajar jika nominal biaya yang dibutuhkan untuk setiap pembuatannya pun tak pernah terbilang murah dan mencapai milyaran rupiah. Preseden buruk dirobohkannya patung semestinya menjadi tamparan keras bagi seluruh spektrum penguasa negeri. Jangan sampai terus-terusan kita membiarkan ditelannya anggaran publik yang besar tapi hanya berujung pada kesia-siaan seperti ini. Padahal ada banyak sekali kebutuhan pembiayaan program pembangunan lain yang urgensifitasnya lebih patut didahulukan.

Kunci utamanya memang pada komitmen pemerintah selaku pihak yang paling berwenang,  terutama agar tak lagi sembarang mendirikan monumen tanpa pertimbangan dan kajian yang matang, serta melibatkan partisipasi masyarakat lebih dulu. Sebab sebaik apa pun maksudnya jika tak disertai komunikasi dan persuasi yang cukup, maka aksi sepihak menghancurkan patung seperti ini akan terus menjadi kebiasaan buruk masyarakat Indonesia. Berdukalah peradaban kita sekiranya sikap memusuhi seni patung begini malah dilestarikan. Tabik !
________
*) Peminat kajian sosial-politik. Mantan Sekretaris LMND Ekswil Lampung 2012-2014.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar