Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Senin, 09 Maret 2015

Resensi : Menggugat Pembagian Kerja Secara Seksual


Ah, sebagai peminat buku kelas kacangan, saya merasa beruntung! tanpa diduga-duga, satu toko langganan menawarkan buku tua-bekas yang kertasnya sudah mulai kusam menguning hingga mengeluarkan aroma khas. Tapi buku tua-bekas yang tebalnya tak sampai seratus halaman ini masih terawat cukup baik, tak ada satu lembar pun yang rusak, dan dalam keadaan rapih tersampul plastik. Untung bagi saya, karena dibandrol dengan harga yang murah sekali, dan kebetulan sudah cukup lama masuk dalam list antrian perburuan saya.

DATA BUKU Judul :  Pembagian Kerja Secara Seksual;  Sebuah Pem bahasan Sosiologis Peran Wanita di dalam Masyarakat Penulis:  Dr. Arief Budiman Penerbit :  Jakarta, PT Gramedia, 1982  (cetakan ke-2) Halaman :  X + 53;  13,8 x 20,8 cm
DATA BUKU
Judul : Pembagian Kerja Secara Seksual; Sebuah Pem
bahasan Sosiologis Peran Wanita di dalam Masyarakat
Penulis : Dr. Arief Budiman
Penerbit : Jakarta, PT Gramedia, 1982 (cetakan ke-2)
Halaman : X + 53; 13,8 x 20,8 cm
Tak lain dari sebuah buku berjudul: “Pembagian Kerja Secara Seksual; Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat” karya Dr. Arief Budiman. Buku ini telah menjadi klasik bukan hanya lantaran terbit di tahun 1981 dan ditulis oleh salah seorang intelektual progresif Indonesia, melainkan juga nilai kemanfaatannya yang cukup fenomenal. Konon kabarnya, buku tipis ini sempat jadi rujukan penting bagi peminat kajian dan penggiat gerakan pro kesetaraan gender di Indonesia. Tapi sayang, saat ini akses publik untuk sekedar membacanya saja kian sulit dan langka.

Sebuah Pertanyaan Besar
Penulis buku ini berangkat dari pertanyaan besar yang bernada gugatan terhadap salah satu lembaga sosial tertua dan terkuat dalam peradaban manusia, yakni pembagian kerja secara seksual.  Sungguhkah pembagian seperti itu memang alamiah dan sudah semestinya demi kebaikan bersama? atau merupakan skandal besar yang penuh rekayasa demi melayani kepentingan pihak tertentu? Dalam konteks inilah buku klasik ini jadi cukup penting untuk kembali disimak seksama. Saya minta diizinkan untuk agak bertele-tele mengulasnya dengan segala keterbatasan pemahaman.

Perbincangan seputar kesetaraan gender, pembebasan perempuan, dan penindasan oleh sistem patriarki, memang sudah tak asing di zaman ini. Namun, bukan berarti masyarakat Indonesia umumnya sudah mempunyai kesadaraan yang mumpuni soal gender. Terbukti dari masih terpeliharanya pandangan umum bahwa perempuan adalah subordinat lelaki, atau dari kian maraknya “pemberontakan psikis” perempuan yang bernuansa balas dendam.

Pembagian kerja secara seksual secara substansial jelas merugikan dan tak mencerminkan keadilan bagi perempuan. Asumsinya lelaki secara jasmaniah punya banyak kelebihan, dan secara psikologis lebih aktif dan mengedepankan rasio bukan emosi. Sementara perempuan selalu ada dalam kondisi sebaliknya, hingga domestifikasi perempuan dalam rutinitas rumah tangga dianggap keharusan yang wajar.

Bahkan dalam beberapa kebudayaan, dianut sebuah keyakinan bahwa perempuan yang hidup mengabdi di dalam rumah tangga dan lelaki yang berjuang mencari nafkah di luar rumah merupakaan kemuliaan kodrati yang tak tergugat. Hal yang paling mengherankan adalah sebagian besar perempuan itu sendiri enggan menyadari kondisi ini sebagai bentuk ketertindasannya. Lebih dari itu, kebanyakan perempuan justru menikmati dan turut serta melanggengkannya. Padahal jelas ini menimbulkan “keterbelakangan” karena perempuan tak bisa utuh mengembangkan potensinya sebagai manusia.

Perdebatan tentang perbedaan peran antara lelaki dan perempuan pada dasarnya selalu berputar dalam dua arus teori besar, yakni nature atau alam dan nurture atau kebudayaan. Yang pertama meyakini perbedaan terjadi karena faktor-faktor biologis yang alamiah, sedangkan yang kedua meyakini perbedaan tercipta lewat proses belajar dari lingkungan (hal 2). John Stuart Mill di tahun 1869 dalam buku The Subjection of Women berkata, yang disebut sebagai “sifat kewanitaan” adalah hasil pemupukan masyarakat, dan pembedaan ini adalah suatu tindakan politik terencana.

Mill yang mewakili kubu nurture bahkan menyebut nasib wanita jadi lebih buruk dari budak, karena tak hanya diharap melayani secara badaniah saja tetapi juga harus memberikan rasa cinta yang dalam dan utuh. Tapi sayangnya teori nature sudah ada sejak awal perkembangan filsafat barat. Aristoteles misalkan menganggap wanita adalah lelaki yang terlahir tidak lengkap. Maka wajar, baginya, jika lelaki menguasai wanita yang jiwanya tidak lengkap itu (hal 6).

Lebih parahnya, ide tentang wanita lebih lemah dari lelaki terus dipertahankan dan disebarkan oleh para filsuf termashur sepanjang sejarah peradaban manusia. Immanuel Kant berkata, “Saya sulit percaya wanita punya kesanggupan untuk mengerti prinsip-prinsip”. Schopenhauer berkata, “Wanita ada dalam posisi di antara lelaki dewasa yang merupakan manusia sesungguhnya dengan anak-anak karena ketidaksanggupannya dalam berfikir.” Fichte berkata, “Wanita dikuasai karena memang keinginannya sendiri” (hal 7).

Hal senada juga ditemukan dari ajaran-ajaran agama besar dunia. Injil mengatakan wanita terbuat dari tulang rusuk lelaki. Yahudi ortodoks selalu bersyukur pada Tuhannya jika tak dilahirkan sebagai wanita. Qur’an menyatakan bahwa Tuhan menganugerahi kekuasaan penuh pada lelaki. Hindu Manu mengajarkan wanita harus di bawah kuasa ayahnya lalu suaminya lalu anak lelakinya. Kong Hu Cu menyebut lima kelemahan wanita yang membuatnya tak mampu percaya diri sendiri, yakni tak disiplin, tak puas, suka fitnah, cemburu, dan bodoh.

Teori psikoanalisa yang dipelopori Sigmund Freud masuk dalam barisan pendukung teori nature. Tampak dari konsep penis envy, yang meyakini telah terjadi kecemburuan yang sangat mendasar pada perempuan terhadap perbedaan kelaminnya dengan lelaki, hingga menimbulkan “pengakuan kalah” seumur hidup. Rasa iri perempuan kecil pada bentuk kelamin lelaki ini, saat dewasa dialihkan menjadi keinginan memiliki bayi terutama lelaki. Kalau wanita tak berhasil melewati fase ini, ia cenderung menjadi neurotic semisal perilaku tomboy.

Erich Fromm, tokoh psikoanalisa lainnya, menyebut pembagian peran antara lelaki dan perempuan bersifat artifisial,  sama saja seperti perbedaan antara orang ekstofert dengan introfert, keduanya tak mencukupi dijadikan alasan pakem untuk dibedakan. Bagi Fromm, sebenarnya penguasaan lelaki atas perempuan berawal dari ketakutannya karena tidak bisa menyembunyikan kesanggupannya dalam bersetubuh sebagaimana wanita.

Pun sebaliknya, perempuan memiliki ketergantungan untuk meraih orgasme secara vaginal kepada penis lelaki, hingga mereka selalu terdorong untuk mengemas dirinya semenarik mungkin. Upaya mempertahankan diri lelaki itu dikemas sedemikian rupa lewat kekuasaan sosial hingga membuat kesan wanitalah yang  harus merasa lemah.

Namun, teori ini mendapat bantahan keras, ternyata banyak penelitian membuktikan bahwa orgasme wanita pada dasarnya bersumber pada area klitoris, bahkan area dalam vagina terbukti bukan wilayah sensitif yang tak membutuhkan anastesi saat pembedahan. Dengan demikian, asumsi ketergantungan kepuasan seksual perempuan pada lelaki menurut psikoanalisa tak bisa sepenuhnya dibenarkan. Freud dan Fromm gagal memperhitungkan faktor-faktor sosial yang berperan penting dalam perilaku seksual seseorang (hal 12-13).

Perempuan Dilemahkan Lingkungan
Perdebatan soal gender juga bisa ditemukan dalam persinggungan klasik dua paradigma teori dalam ilmu sosial, yakni teori fungsional dan teori konflik Marxis. Kaum fungsionalis melihat pembagian kerja secara seksual merupakan kebutuhan bersama yang diciptakan demi keuntungan seluruh masyarakat itu sendiri. Talcott Parsons sebagai tokoh utamanya menjelaskan pengaturan ini berguna untuk meniadakan persaingan antara suami dan istri yang merusak keharmonisan rumah tangga (hal 15).

Seperti biasanya, kaum Marxis selalu punya amunisi untuk mendebat pandangan kaum fungsionalis. Kaum funsionalis meyakini bahwa social order / keserasian masyarakat yang di dalamnya termasuk pembagian peran gender ini terberi secara wajar, dan perilaku manusia hanyalah unsur di dalamnya. Bagi kaum Marxis, asumsi ini adalah paradoks besar, yang mengesankan betapa pasifnya manusia. Asumsi ini juga akan kesulitan menjelaskan hadirnya fenomena perubahan-perubahan sosial yang terus berlangsung.

Kaum Marxis sebaliknya meyakini bahwa keteraturan sosial itu buatan manusia, terutama oleh pihak mana yang diuntungkan darinya. Dalam hal pembagian peran gender, jelas lelakilah yang diuntungkan, karenanya ia akan berkeras mempertahankannya. Dengan kata lain, pembagian kerja secara seksual bisa bertahan ribuan tahun lamanya bukan karena ia sesuatu yang alamiah, tapi karena lelaki masih tetap berkuasa.

Friedreich Engels mengungkapkan, istilah family dalam bahasa Inggris itu sesungguhnya berasal dari kata famulus yang berarti budak domestik, dan familia berarti sejumlah budak yang dimiliki seorang lelaki dewasa, termasuk di dalamnya istri dan anaknya. Arief Budiman mengutip buku Engels The Origin of the Family, Private Property and the State yang menguraikan “keluarga inti” bukanlah bentuk keluarga yang universal berlaku di segala ruang dan waktu. Perkawinan kelompok terjadi dalam masyarakat yang masih liar (savagery), perkawinan pasangan (satu pasangan inti dan beberapa pasangan tambahannya) terjadi di masyarakat yang belum beradab (barbarism), sedang monogamy terjadi di masyarakat beradab (civilized) (hal 18-20).

Engels merujuk pada teori sejarah sistem kelas sosial yang dilatari oleh munculnya sistem kepemilikan pribadi atas harta kekayaan. Dalam masyarakat savagery belum dimungkinkan adanya harta benda yang bisa dimiliki secara privat, terutama karena tekonologi belum berkembang. Makanan masih harus dicari setiap hari lewat berburu atau mengumpulkan tumbuhan. Semua lelaki kawin dengan semua wanita, semua anak diasuh bersama, dan semua harta benda dikumpulkan.

Pada suatu titik dalam sejarah, keahlian beternak dan bercocok tanam berhasil dikembangkan, hingga tanah mendadak jadi sesuatu yang penting untuk dipertahankan dan diperebutkan. Kemudian ini memungkinkan terjadinya pengumpulan harta benda pribadi secara berlebihan, dan perkawinan berpasangan dimana satu lelaki atau perempuan berhak atas satu pasangan utama dan pendamping lainnya. Namun, karena lelakilah pihak yang diserahi tugas mengurus alat-alat produksi maka semakin memungkinkannya untuk mampu mengumpulkan kekayaan pribadi secara berlebihan.

Hingga akhirnya menimbulkan keinginan untuk mewarisi kekayaannya pada keturunannya saja. Sejak itulah aturan monogamy, terutama bagi wanita, mulai diberlakukan, karena jika wanita punya lebih dari satu suami akan sulit menentukan siapa bapak sejati dari anak-anaknya. Tapi Engels mencatat, hukum pewarisan masa itu masih berlangsung lewat garis matrilineal, jadi anak lelaki tidak mewarisi kekayaan bapaknya. Untuk kepentingan mengubah hukum inilah lelaki memanfaatkan kekuasannya dengan memunculkan sistem patriarchal yang menggusur perempuan menjadi makhluk pengabdi dan pembuat anak saja. Engels menyebut ini sebagai tonggak kekalahan terbesar perempuan dalam sejarah peradaban.

Uraian Engels ini dilengkapi dengan riset antropologis Kathleen Gogh bahwa sistem matriarkal belum pernah terbukti ada dalam sejarah peradaban manusia, yang ada hanyalah sistem matrilineal, khususnya soal pembagian warisan lewat garis ibu. Dalam masyarakat matrilineal, lelaki merupakan pihak yang berkuasa dalam taraf tertentu dan perempuan berkuasa dalam taraf lainnya. Di masa itu pembagian kerja memang terjadi secara seksual, namun dalam relasi timbal balik yang cenderung tidak eksploitatif. Jadi, bukan berarti Engels bermaksud menyebut sebelum era patriarkal terbentuk pernah ada suatu masa dimana perempuan berkuasa dan kemudian dikalahkan oleh lelaki (hal 23).

Riset antropologis Ernestine Friedl bahkan menyebut dalam masyarakat barbarism, wanita memang dipandang lebih penting ketimbang lelaki. Ini dikarenakan bahaya terbesar dari kehidupan kelompok masyarakat primitive adalah musnahnya kelompok itu karena matinya anggota. Maka kalau ada peperangan, lelakilah yang ditugaskan berangkat, juga dengan tugas berburu, suatu pekerjaan berbahaya yang mengancam tercabutnya nyawa. Pun demikian saat pekerjaan bertani sudah berkembang, seringkali terjadi konflik perebutan lahan dengan kelompok lainnya. Situasi ini membuat wanita jadi lebih dilindungi dari pekerjaan yang berbahaya, karena kemampuan alamiahnya melahirkan anak-anak sangat menentukan bagi eksistensi kelompok (hal 28).

Gerald Marwell secara apik menggabungkan teori nature dan nurture untuk mendukung asumsi bahwa pembagian kerja secara sosial sangatlah fungsional bagi masyarakat. Ia menjelaskan dalam satu keluarga ada dua fungsi yang harus difokuskan, yakni memproduksi makanan dan mendidik anak. Karena keluarga selalu terdiri dari lelaki dan wanita, maka akan sangat menguntungkan jika salah satu fungsi ini diberikan pada salah satu jenis seks. Wanita yang diberkahi alam untuk alami masa melahirkan anak , akan sangat baik jika menghindari resiko kerja di luar dan fokus mendidik anaknya di rumah (hal 25).

Uraian fungsionalis dari Marwell ini memang apik, tapi tak cukup kontekstual dengan kondisi hidup masyarakat modern. Dimana meski pekerjaan rumah tangga sudah banyak diambil alih oleh masyarakat (misalkan makanan banyak dijual, ada tempat penitipan anak,dsb), namun perempuan tetap masih terbelenggu dalam hukum penjara domestik dan predikat second sex. Kubu Marxislah yang menjelaskan meski pada mulanya pembagian kerja secara seksual berlangsung timbal balik dan tidak eksploitatif, namun situasi ini memungkinkan kaum lelaki memanfaatkannya sebagai dasar terbangunnya kekuasan mutlak patriarkal sekalipun situasi objektif zaman sudah berubah.

Hegemoni Ideologi Patriarkal
Engels juga menegaskan alasan penting memaksa perempuan jadi tergantung pada lelaki karena diputuskan hubungannya dengan sumber-sumber kekuasaan, ekonomi, dan politik (hal 30). Dengannya petempuan dapat “dipergunakan” untuk menjaga kemurnian darah sebuah keturunan, sehingga kekayaan pribadi dapat diwariskan sesuai garisnya. Fenomena ini tampak menonjol khususnya pada masyarakat kelas menengah – ke atas, yang menerapkan lebih banyak peraturan tegas pada kaum perempuan, dikarenakan golongan ini kerap memanfaatkan perkawinan sebagai jalan memperluas jaringan sosial dan pemindahan kekayaan.

Dalam masyarakat kapitalis, segala sesuatu dilihat menurut nilai tukarnya di pasar berdasarkan permintaan dan penawaran, alias segala sesuatu adalah komoditi, termasuk manusia. Sector masyarakat penuh dengan persaingan, sedangkan sector rumah tangga tidak. Dalam ruang lingkup pekerjaannya di tengah masyarakat kapitalistik, manusia lelaki hanya akan dihargai selagi ia masih punya nilai guna bagi hukum pasar. Maka timbul kebutuhan ego psikis bagi lelaki yang merasa terancam untuk menjadi “seseorang”, sekali pun hanya dalam lingkup kecil keluarganya saja. Sektor rumah tangga akhirnya dijadikan pelarian bagi kaum lelaki untuk mempertahankan hasrat berkuasanya. Karena itu, wanita harus dikorbankan bekerja dalam rumah tangga demi menyelamatkan kesehatan batin lelaki yang dieksploitir oleh sistem kapitalisme (hal 31).

Di masa kapitalisme awal juga berlangsung fenomena dimana perempuan kian tersudutkan dalam ketergantungan hidupnya pada lelaki. Pasalnya sistem ini selalu menilai manusia berdasarkan seberapa besar sektor pekerjaannya menghasilkan uang. Sedangkan pekerjaan rumah tangga tidaklah menghasilkan profit, hingga muncul gejala umum anjloknya psikis perempuan dengan menganggap hanya pernikahan lah yang mampu menyelamatkan hidupnya karena memecahkan masalah kebutuhan ekonomi dan psikis.

Dari sini Arief Budiman menyimpulkan: pertama, faktor-faktor yang menyebabkan pembagian kerja secara seksual tidak harus sama dengan faktor-faktor yang mempertahankannya kemudian.  Setiap masyarakat memiliki kombinasi dan dinamika yang berbeda sesuai dengan konteksnya masing-masing. Kedua, faktor-faktor yang mempertahankannya dapat dibagi dalam dua kelompok: (1) yang didasarkan pada kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat; (2) yang didasarkan pada sistem psikokultural berupa ideologi sistem patriarkal. Patriarki bukan sekedar kepercayaan abstrak, ia tak lain dari ideologi yang melanggengkan penindasan lelaki atas perempuan lewat lembaga-lembaga kemasyarakatan yang menyebarkannya (hal 36).

Mengikuti analisa Antonio Gramsci, kekuasaan lelaki atas perempuan sangat bersifat hegemonik, karena sadar atau tidak, lebih banyak ini diterima sebagai hal wajar, hingga lelaki tak perlu sampai menggunakan kekuatan fisiknya untuk menundukkan perempuan. Dalam kekuasaan hegemoni, ideologi mengambil peran vital karena sifatnya yang mengakar dalam kesadaran manusia. Dalam hal pembagian kerja secara seksual, kepentingan sosial-ekonomi punya kekuatan mendorong pemerintah untuk mencampuri gerakan feminis, khususnya jika mulai dirasa mengancam status quo.

Menuju Keadilan Gender
Dalam buku ini, Arief Budiman juga menyebutkan gerakan perempuan yang signifikan pada masa itu terbagi dalam 3 golongan: feminis liberal, feminis radikal, dan feminis sosialis (hal 38). Pertama, feminis liberal tentu mendasari gerakannya pada prinsip dan falsafah liberalism, bahwa semua orang diciptakan setara dan berhak mendapat kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Persoalan hak inilah yang menjadi tuntutan utamanya, mereka beranggapan sistem patriarkal dapat hancur sendirinya dengan cara mengubah sikap setiap individu wanita, terutama hubungannya dengan lelaki.
Dua cara yang dilakukan untuk mencapainya adalah: pendekatan psikologi dengan membangkitkan kesadaran individu lewat kelompok diskusi. Kemudian, dengan menuntut pembaruan hukum yang tak menguntungkan dan mengebiri hak-hak wanita. 

Gerakan ini tak punya dasar teoritis yang jelas dan tegas untuk membongkar problem penindasan perempuan. Mereka hanya sadar ada ketidakadilan dan ingin merubahnya, kesederhanaan ini kadang justru jadi kelebihan untuk lebih mudah diterima publik. Tapi sayang gerakan yang kurang memperhatikan faktor sosial-ekonomi ini meski secara kuantitas cukup besar namun kurang signifikan mencipta perubahan, hingga lebih banyak menimbulkan demoralisasi para wanita penggiatnya untuk kembali pasrah.

Kedua, feminis radikal yang tegas meyakini sistem patriarkal lah biang keladi penindasan perempuan lewat pembagian kerja secara seksual selama ribuan tahun. Kate Millet menyebut hubungan lelaki dan wanita dalam masyarakat merupakan hubungan politik, yang didasarkan pada struktur kekuasaan dimana satu kelompok manusia dikendalikan oleh yang lainnya. Keluarga dianggap sebagai lembaga utama dari sistem patriarki, hingga perlawanan terhadapnya pertama kali harus dilakukan di dalam keluarga (hal41).

Shulamit Firestone, tokoh lainnya, menyatakan pusat kelemahan wanita memang terletak pada struktur biologisnya terkait fungsi reproduksi. Namun kelemahan itu sudah mulai terbantahkan sejak perkembangan teknologi kian pesat, semisal alat kontrasepsi yang membebaskan dirinya dari keterbatasan badaniah. Ia meyakini landasan alamiah tidaklah mencukupi dijadikan alasan untuk melemahkan peran perempuan. Gerakan ini bukan hanya untuk menghapus hak istimewa lelaki, melainkan untuk menghapus perbedaan seksual secara kultural.

Gerakan feminis radikal dapat didefinisikan sebagai gerakan perempuan yang focus berjuang dalam dimensi realitas seksual ketimbang realitas ekonomi atau pun kebudayaan. Karenanya kelompok paling ekstrimnya menjuluki diri kaum feminis lesbian yang berusaha memutuskan hubungannya dengan lelaki, baik dalam hal perasaan atau pun kepuasan seksual. Sayangnya gerakan ini semakin terjebak dalam perjuangan melawan ideologi patriarki dan menjadikan lelaki sebagai musuh utamanya.

Padahal, perlu disadari secara objektif bahwa sistem patriarkal bukan hanya melahirkan penindasan pada perempuan, melainkan juga terhadap kaum lelaki itu sendiri. Semisal hukum patriarki menuntut lelaki harus bekerja dan menghasilkan uang, ini membuat mereka tak leluasa menggeluti bidang pekerjaan yang kurang profit oriented seperti melukis, menulis, atau berfilsafat. Sistem patriarkal ini sesungguhnya telah jadi persoalan bersama bagi perempuan mau pun lelaki, terutama karena kuatnya faktor sosial-ekonomi (baca: kapitalisme) yang diuntungkan olehnya.

Ketiga, adalah feminis sosialis yang mendasari gerakannya dengan teori Marxisme. Mereka mempercayai teori basic-struktur (dasar material dari masyarakat, yakni sistem sosial-ekonominya dan siapa saja yang diuntungkan darinya), dan super-struktur (organisasi sosial yang mendukung pembagian hasil produksi yang pincang, semisal nilai sosial, sistem hukum, dsb). Bahwa problem pembagian kerja secara seksual hanyalah bagian dari  superstruktur yang dengan sendirinya akan hancur jika basic-strukturnya dirombak (hal 46).

Hal ini membuat feminis sosialis lebih mengutamakan perjuangan pada perubahan sistem sosial-ekonomi (baca: kapitalisme), tapi bukan berarti perjuangan melawan sistem patriarki tak jadi tujuannya, ini soal skala prioritas. Seperti diuraikan Charnie Guettel, materialisme historisnya Marxisme memandang dalam masyarakat yang menganut sistem yang mengesahkan kekayaan pribadi, perjuangan kelas merupakan hal yang utama sedangkan kontradiksi rasial, kontradiksi nasional, atau pun kontradiksi seksual adalah persoalan kedua.

Tapi kritik kepada feminis sosialis juga tak kalah seru, terutama lantaran penekanannya pada faktor-faktor sosial-ekonomi dianggap sebagai kegagalan dalam mengantisipasi faktor-faktor ideologi berupa lembaga-lembaga sosial yang kian leluasa menyebarkan patriarki. Namun, kehadiran teori-teori Gramsci pada pemikir Marxis, belakangan ini mulai kembali menjernihkan perhatian bahwa patriarki tidaklah akan serta merta musnah begitu saja hanya dengan jalan merubah sistem sosial-ekonomi masyarakat tanpa diiringi dengan proses counter-hegemoni yang serius atas proses ideologisasi yang sudah terlembagakan selama ribuan tahun itu.

Ini teruji ketika kita kembali merujuk pada Lenin setelah berhasil meraih kekuasaan politik di Rusia sempat berupaya menghapus segala kondisi sosial-ekonomi yang membuat perempuan tergantung pada lelaki. Seperti membuat dapur umum agar perempua tak hanya memasak untuk keluarganya saja, mendirikan tempat penitipan anak, mempermudah proses perceraian, dan menganjurkan perempuan untuk bekerja di luar rumah tangga. Tapi ternyata ideologi yang menghendaki perempuan tetap terkurung dalam penjara domestiknya masih dominan, hingga akhirnya upaya ini kurang meraih kesuksesan.

Ada pula perdebatan klasik antara feminis radikal dengan feminis sosialis. Kaum feminis radikal khawatir jika terlibat dalam perjuangan politik sosialis justru akan mereduksi perjuangannya, dan menuduh feminisme sosialis hanyalah strategi lain kaum lelaki untuk membingungkan kaum perempuan atas kepentingannya. Sebaliknya kaum feminis sosialis beranggapan, jika tak mau mendorong terjadinya perubahan sosial-ekonomi maka hanya akan menemui jalan buntu, sebab dendam konflik seksual justru semakin menyuburkan lingkaran setan patriarki.

Arief Budiman memandang perdebatan antar kedua kelompok ini akan sia-sia jika terus dilakukan di taraf teori dan ideologi, tanpa dimajukan pada satu analisa yang lebih konkret. Mengingat pembagian kerja secara seksual adalah problem serius yang menyangkut eksploitasi separuh dari umat manusia oleh separuh lainnya. Dibutuhkan hadirnya penelitian lapangan yang cermat untuk membongkar problem ini dan menemukan formula solusinya yang tepat dan spesifik sesuai dengan konteks realnya.

Penting pula untuk digaris bawahi, Arief Budiman setidaknya bermakusd menegaskan pada kita semua agar jangan tersesat dalam memahami feminisme sebagai gerapan kebencian dalam relasi adu kekuasaan antar lelaki dan perempuan. Lebih dari itu, sistem patriarki harus difahami sebagai problem bersama yang harus dimusnahkan, karena sifatnya yang menindas secara hegemonik bagi kedua kelompok manusia ini, dan pengaruhnya yang begitu buruk bagi kemajuan peradaban.

Dengan begitu kita juga akan faham, bahwa pembebasan perempuan Indonesia dari belenggu patriarki bukanlah sekedar keperluan moral belaka, melainkan sebuah syarat jika memang kita sungguh-sungguh ingin menciptakan suatu tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera sepanjang masa. Akhir kata, semoga kesadaran akan pentingnya persatuan perjuangan politik antara perempuan dan lelaki kian bersemi di negeri ini. Tabik !

_________
Saddam CahyoPeminat buku dan kajian sosial-politik, masih belajar Sosiologi di FISIP Universitas Lampung.

Catatan : Tulisan sederhana ini dipersembahkan pada organisasi Aksi Perempuan Indonesia (API Kartini), yang baru  terbentuk dan sedang bergelora menyongsong momentum Hari Perempuan Internasional perdananya di tanggal 8 Maret 2015. Semoga organisasi ini kian pesat menoreh prestasi gemilang dalam perjuangan penyadaran kaum perempuan Indonesia untuk turut serta bangkit memenangkan cita-cita kemerdekaan nasional.

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/suluh/20150309/resensi-buku-menggugat-pembagian-kerja-secara-seksual.html#ixzz3TrrCLsza 

Kamis, 05 Maret 2015

Opini : Hegemoni Budaya Konsumen


Oleh : Saddam Cahyo*


Belakangan, masyarakat Indonesia sempat diresahkan oleh kabar bahwa pemerintah melalui Kementerian Perdagangan resmi mengeluarkan pelarangan bagi beredarnya dua jenis buah apel impor karena diduga mengandung bakteri listeria monocytogenes yang masuk kategori berbahaya. Kedua jenis apel yang penampakannya sekilas mirip apel Malang itu adalah Granny Smith dan Gala asal Bakersfield, California, Amerika Serikat yang dipasarkan dengan merk dagang Granny’s Best dan Big B (Liputan 6, 27/1).

Mengejutkan ? tidak juga, sebab meski belum ada catatan kasus gangguan kesehatan yang spesifik disebabkan oleh buah impor, kita sudah “sama-sama tahu” bahwa buah-buahan impor yang membludak sampai ke pinggiran jalan kota dan pelosok desa itu tentulah mengandung zat kimia yang beresiko. Bagaimana tidak, tak diketahui persis sudah berapa lama sejak buah itu dipanen di negeri jauh, hingga apa saja yang dilakukan demi mempertahankan kualitasnya tetap tampak segar mengkilau. Tak jarang juga ditemui kondisi isi buahnya yang tak sesuai dengan kesegaran tampilan luarnya.

Karenanya prosedur cuci dan kupas sangat dianjurkan jadi siasat saat hendak mengkonsumsinya. Tapi tak juga boleh menggeneralisir kalau semua buah impor tidak aman dikonsumsi, karena idealnya ada banyak prosedur baku dan uji klinis yang jadi syarat bagi kelayakan pangan impor. Hanya amat disayangkan memang, masih saja kecolongan tersebarnya buah yang semestinya jadi asupan nutrisi manusia Indonesia justru malah meracuni tubuh seperti kasus ini.

Hegemoni Budaya Konsumen

Tapi ada problem mendasar yang bisa dicermati secara kultural dalam konteks ini, tak lain dari gejala xenomaniac yang mewabah dalam banyak aspek pola konsumsi masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari kita mudah sekali silau dan bangga jika mampu mengkonsumsi produk impor, ditambah berkembangnya citra bahwa produk luar selalu lebih unggul ketimbang lokal. Pun dalam buah-buahan, yang lokal tampilannya lebih kusam, kerdil, dan cepat busuk ketimbang impor yang lebih menarik, ditambah perbandingan harganya yang bersaing.

Pandangan seperti ini kian mendapat legitimasinya dalam benak publik bersamaan dengan maraknya produk-produk budaya-massa lain di luar pangan. Alhasil, karena permintaan konsumen atas buah impor terus bertambah, tak ada alasan bagi pedagang untuk tidak memasoknya lebih banyak. Sedangkan posisi buah lokal kian tergusur mundur tak laku dipasaran, dan tanpa disadari satu persatu petaninya berhenti menanam hingga kebanyakan  hanya tersisa petani mikro yang luas lahan dan teknologi penanamannya terbatas.

Memang buah lokal tidaklah punah dan masih juga membanjiri pasar, namun skalanya masih belum memuaskan. Secara berangsur laju konsumsi buah impor di Indonesia terus meningkat signifikan, dalam tahun 2014 lalu saja belanja impor hortikultura mencapai 23,8 triliun rupiah, naik dari tahun sebelumnya sekitar 20,2 triliun rupiah, dan cukup jauh ketimbang tahun 2011 yang masih di kisaran 17,6 triliun rupiah. Sungguh fenomena gunung es yang tak patut diabaikan.

Mau tak mau kita mesti mengakui adanya hegemoni buah impor yang menguasai pasar domestik. Seiring dengan itu pula hasrat konsumsi manusia Indonesia kian menjadi-jadi dan melunturkan nalar produktifnya hingga menciptakan situasi ketergantungan pada pasokan impor. Situasi terburuknya adalah kesan bahwa putaran pasar dianggap menuntut begitu banyak hingga terjadi kecerobohan sistemik dalam mengawasi jaminan kelayakan dari produk yang di impor.

Membangun Daulat Buah

Tantangan besar yang terdekat tak lain dari diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang bisa juga disebut pasar bebas regional beberapa bulan lagi. Jika masih saja bangsa ini tak eling meningkatkan daya saing produksinya dan tak kunjung membenahi pola konsumsinya, maka tak urung negeri yang besar dengan populasi raksasa ini pula hanya akan menjadi pasar rebutan tetangga yang mengejar untung.

Tentu saja kita tak perlu menanam kebencian pada buah impor sebab dalam batasan tertentu memang masyarakat pun membutuhkannya, tapi penting untuk semakin jelas mengaturnya agar seimbang. Semisal dengan terus membatasi dan mengurangi arus impor jenis buah tropis, dan diimbangi dengan keseriusan mengembangkan pertaniannya di kota-kota yang potensial. Kita harus berpacu dengan Thailand, Vietnam, Filipina yang kuota ekspor buah per tahunnya mulai mengalir signifikan bahkan ke Indonesia, sementara kita punya ribuan varietas yang bisa diunggulkan tapi masih diabaikan. Bukankah bangsa yang kuat adalah bangsa dengan rakyatnya yang sehat ?

Hanya dengan SDM-nya yang sehat dan terdidiklah bangsa itu mampu berkembang. Dan konsumsi buah-buahan diketahui menyumbang banyak bagi terbangunnya tubuh manusia sehat. Kita tidak bisa cuma menunggu jalannya implementasi janji kebijakan daulat pangan yang diprogramkan pemerintahan baru ini. Belum lagi sangat diperlukan hadirnya gerakan yang mendorong pemerintah daerah pun mampu bersinergi mensukseskannya. Terpenting rakyat Indonesia juga harus makin sadar, utamakan konsumsi buah lokal dan berbanggalah menanam buah local, ini penting agar cita-cita berdaulat tak lagi menguap jadi jargon hampa belaka.
__________________

*)  Aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Wilayah Lampung.
TERBIT di harian cetak KORAN EDITOR, Kamis 5 Maret 2015.

Rabu, 04 Maret 2015

Opini : Menyoal Kuasa Produk Buah Impor



Oleh : Saddam Cahyo*


Belakangan, masyarakat Indonesia sempat diresahkan oleh kabar bahwa pemerintah melalui Kementerian Perdagangan resmi mengeluarkan pelarangan bagi beredarnya dua jenis buah apel impor karena diduga mengandung bakteri listeria monocytogenes yang masuk kategori berbahaya. Kedua jenis apel yang penampakannya sekilas mirip apel Malang itu adalah Granny Smith dan Gala asal Bakersfield, California, Amerika Serikat yang dipasarkan dengan merk dagang Granny’s Best dan Big B (Liputan 6, 27/1).

Mengejutkan ? tidak juga, sebab meski belum ada catatan kasus gangguan kesehatan yang spesifik disebabkan oleh buah impor, kita sudah “sama-sama tahu” bahwa buah-buahan impor yang membludak sampai ke pinggiran jalan kota dan pelosok desa itu tentulah mengandung zat kimia yang beresiko. Bagaimana tidak, tak diketahui persis sudah berapa lama sejak buah itu dipanen di negeri jauh, hingga apa saja yang dilakukan demi mempertahankan kualitasnya tetap tampak segar mengkilau. Tak jarang juga ditemui kondisi isi buahnya yang tak sesuai dengan kesegaran tampilan luarnya.

Karenanya prosedur cuci dan kupas sangat dianjurkan jadi siasat saat hendak mengkonsumsinya. Tapi tak juga boleh menggeneralisir kalau semua buah impor tidak aman dikonsumsi, karena idealnya ada banyak prosedur baku dan uji klinis yang jadi syarat bagi kelayakan pangan impor. Hanya amat disayangkan memang, masih saja kecolongan tersebarnya buah yang semestinya jadi asupan nutrisi manusia Indonesia justru malah meracuni tubuh seperti kasus ini.

Hegemoni Budaya Konsumen

Tapi ada problem mendasar yang bisa dicermati secara kultural dalam konteks ini, tak lain dari gejala xenomaniac yang mewabah dalam banyak aspek pola konsumsi masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari kita mudah sekali silau dan bangga jika mampu mengkonsumsi produk impor, ditambah berkembangnya citra bahwa produk luar selalu lebih unggul ketimbang lokal. Pun dalam buah-buahan, yang lokal tampilannya lebih kusam, kerdil, dan cepat busuk ketimbang impor yang lebih menarik, ditambah perbandingan harganya yang bersaing.

Pandangan seperti ini kian mendapat legitimasinya dalam benak publik bersamaan dengan maraknya produk-produk budaya-massa lain di luar pangan. Alhasil, karena permintaan konsumen atas buah impor terus bertambah, tak ada alasan bagi pedagang untuk tidak memasoknya lebih banyak. Sedangkan posisi buah lokal kian tergusur mundur tak laku dipasaran, dan tanpa disadari satu persatu petaninya berhenti menanam hingga kebanyakan  hanya tersisa petani mikro yang luas lahan dan teknologi penanamannya terbatas.

Memang buah lokal tidaklah punah dan masih juga membanjiri pasar, namun skalanya masih belum memuaskan. Secara berangsur laju konsumsi buah impor di Indonesia terus meningkat signifikan, dalam tahun 2014 lalu saja belanja impor hortikultura mencapai 23,8 triliun rupiah, naik dari tahun sebelumnya sekitar 20,2 triliun rupiah, dan cukup jauh ketimbang tahun 2011 yang masih di kisaran 17,6 triliun rupiah. Sungguh fenomena gunung es yang tak patut diabaikan.

Mau tak mau kita mesti mengakui adanya hegemoni buah impor yang menguasai pasar domestik. Seiring dengan itu pula hasrat konsumsi manusia Indonesia kian menjadi-jadi dan melunturkan nalar produktifnya hingga menciptakan situasi ketergantungan pada pasokan impor. Situasi terburuknya adalah kesan bahwa putaran pasar dianggap menuntut begitu banyak hingga terjadi kecerobohan sistemik dalam mengawasi jaminan kelayakan dari produk yang di impor.

Membangun Daulat Buah

Tantangan besar yang terdekat tak lain dari diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang bisa juga disebut pasar bebas regional beberapa bulan lagi. Jika masih saja bangsa ini tak eling meningkatkan daya saing produksinya dan tak kunjung membenahi pola konsumsinya, maka tak urung negeri yang besar dengan populasi raksasa ini pula hanya akan menjadi pasar rebutan tetangga yang mengejar untung.

Tentu saja kita tak perlu menanam kebencian pada buah impor sebab dalam batasan tertentu memang masyarakat pun membutuhkannya, tapi penting untuk semakin jelas mengaturnya agar seimbang. Semisal dengan terus membatasi dan mengurangi arus impor jenis buah tropis, dan diimbangi dengan keseriusan mengembangkan pertaniannya di kota-kota yang potensial. Kita harus berpacu dengan Thailand, Vietnam, Filipina yang kuota ekspor buah per tahunnya mulai mengalir signifikan bahkan ke Indonesia, sementara kita punya ribuan varietas yang bisa diunggulkan tapi masih diabaikan. Bukankah bangsa yang kuat adalah bangsa dengan rakyatnya yang sehat ?

Hanya dengan SDM-nya yang sehat dan terdidiklah bangsa itu mampu berkembang. Dan konsumsi buah-buahan diketahui menyumbang banyak bagi terbangunnya tubuh manusia sehat. Kita tidak bisa cuma menunggu jalannya implementasi janji kebijakan daulat pangan yang diprogramkan pemerintahan baru ini. Belum lagi sangat diperlukan hadirnya gerakan yang mendorong pemerintah daerah pun mampu bersinergi mensukseskannya. Terpenting rakyat Indonesia juga harus makin sadar, utamakan konsumsi buah lokal dan berbanggalah menanam buah local, ini penting agar cita-cita berdaulat tak lagi menguap jadi jargon hampa belaka.
__________________
*)  Bergiat di organisasi Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Wilayah Lampung.

Selasa, 03 Maret 2015

Opini : Menyoal Kebiasaan Penghancuran Patung


Oleh : M.Saddam SSD. Cahyo*

Beberapa ormas muslim di Sidoarjo Jawa Timur melakukan rangkaian protes keras agar monumen Jayandaru yang baru terbangun di alun-alun kota itu dibongkar. Monumen setinggi 25 meter  ini bentuknya mewakili gambaran khas kehidupan masyarakat setempat, yakni patung udang dan bandeng yang jadi produk unggulan, ditambah 9 patung aktifitas manusia agraris. Penolakan dilandasi pandangan bahwa daerah yang sudah lekat dengan citra kota santri itu tak patut “dinodai berhala” berupa patung manusia sempurna yang menyerupai ciptaan Tuhan dengan alasan apa pun (Metro TV, 21/2).

Sentimen Simbolik
Tentu kabar seperti ini bukan lagi hal baru buat masyarakat Indonesia, semisal di tahun 2010 lalu patung Tiga Mojang seharga 2,5 Milyar milik perumahan elit di Bekasi juga roboh diamuk massa lantaran dianggap mengumbar aurat dan mengandung unsur Kristenisasi. Lalu di tahun 2011 beberapa patung Tokoh Pewayangan yang meramaikan sudut-sudut kota Purwakarta juga mendapat nasib buruk dihancurkan secara paksa karena dituding sebagai berhala yang melanggengkan kemusyrikan.

Patung Kaki Akar di titik nol kilometer kota Yogyakarta juga akhirnya harus dirobohkan Pemkot di tahun 2014 karena terus menimbulkan prasangka pornoaksi bagi kelompok massa tertentu. Sedikit berbeda juga pernah dialami masyarakat Lampung di tahun 2012, yakni dirobohkannya patung Z.A. Pagar Alam di Kalianda, latarnya bukan sentimen agama melainkan politis seperti pemborosan anggaran, hingga ketidakjelasan alasan pembangunan yang dirasa warga menyalahi sejarah dan bernuansa nepotis.

Fenomena seperti ini dalam khasanah ilmu sosial biasa disebut Ikonoklasme, yakni tindakan memerangi hingga menghancurkan ikon-ikon berupa gambar, patung, atau simbol lain, baik yang bermakna religius mau pun politis karena motif tertentu dalam suatu kebudayaan (Ioanes Rakhmat, 2011). Dalam konteks kekinian, hal ini sesungguhnya lebih merujuk pada sikap intoleran berupa ketidakdewasaan masyarakat dalam menghargai seni, budaya, sejarah, dan sensitifitasnya menjaga kohesifitas kehidupan sosial yang majemuk.

Karenanya meski alasan-alasan yang diungkapkan kelompok-kelompok masyarakat reaksioner yang menuntut penghancuran patung itu dirasa cukup kuat, tetap saja tidak serta merta harus selalu dimaklumi. Terlebih kasus sentimen berlebihan pada simbol-simbol seperti ini tanpa disadari telah menjadi preseden buruk yang terus berulang dan seolah menjadi kebiasaan yang lumrah. Padahal konsekuensi publiknya tidaklah sepele karena menimbulkan keresahan yang menyuburkan konflik laten, atau malah berpotensi meledakkan konflik horizontal yang destruktif.  

Patung Produk Budaya
Sebagai bangsa yang beradab, sudah semestinya kita berusaha cerdas dan objektif dalam menyikapi berbagai hal, termasuk perkara patung. Bangsa ini faktanya memiliki sejarah peradaban adiluhung yang tak pernah jauh dari pengembangan seni patung sebagai penanda zaman. Begitulah konteks patung itu sendiri bagi kita, sepatutnya dimaknai secara estetis sebagai produk kebudayaan. Bukan secara banal dimaknai sebagai ikon pemecah-belah yang mengumbar dan  memancing rasa permusuhan antar sesama.

Apalagi konteks tudingan miring keberhalaan dalam beberapa kasus terakhir aksi penghancuran patung di Indonesia itu, jauh lebih dekat dengan sekedar prasangka berlebihan ketimbang fakta yang terbuktikan. Karena patung-patung itu memang tidaklah dijadikan sesembahan, melainkan sekedar penghias lingkungan. Patung jika dipandang sebagai karya seni yang serius, dengan sendirinya akan menimbulkan rasa bangga dan kepemilikan bersama dari semua golongan masyarakat di sekitarnya. Harapannya ini dapat memutus lingkaran setan kebencian yang merusak tatanan sosial bernegara.

Lebih dari itu, patung memanglah karya seni yang luhur nilai keindahannya, karenanya wajar jika nominal biaya yang dibutuhkan untuk setiap pembuatannya pun tak pernah terbilang murah dan mencapai milyaran rupiah. Preseden buruk dirobohkannya patung semestinya menjadi tamparan keras bagi seluruh spektrum penguasa negeri. Jangan sampai terus-terusan kita membiarkan ditelannya anggaran publik yang besar tapi hanya berujung pada kesia-siaan seperti ini. Padahal ada banyak sekali kebutuhan pembiayaan program pembangunan lain yang urgensifitasnya lebih patut didahulukan.

Kunci utamanya memang pada komitmen pemerintah selaku pihak yang paling berwenang,  terutama agar tak lagi sembarang mendirikan monumen tanpa pertimbangan dan kajian yang matang, serta melibatkan partisipasi masyarakat lebih dulu. Sebab sebaik apa pun maksudnya jika tak disertai komunikasi dan persuasi yang cukup, maka aksi sepihak menghancurkan patung seperti ini akan terus menjadi kebiasaan buruk masyarakat Indonesia. Berdukalah peradaban kita sekiranya sikap memusuhi seni patung begini malah dilestarikan. Tabik !
________
*) Peminat kajian sosial-politik. Mantan Sekretaris LMND Ekswil Lampung 2012-2014.

Sumber :