Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Kamis, 26 Februari 2015

Opini : Meneropong Komitmen Trisakti Jokowi-JK



Oleh : M.Saddam SSD Cahyo


SATUHARAPAN.COM – Persisnya tanggal 28 Januari 2015 yang lalu, genap sudah 100 hari Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjabat pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, yakni sejak dilantik pada 20 Oktober 2014. Tentu sudah banyak kerja-kerja nyata dari segenap jajaran pemerintahan baru ini yang bisa dijadikan kajian bersama, mengingat momen 100 hari memang selalu jadi ukuran penting bagi masyarakat untuk meneropong keteguhan komitmen politik penguasa terpilih selama satu periode kepemimpinannya kelak.
Karenanya wajar saja jika muncul banyak reaksi dari kelompok masyarakat yang menggelar protes mencurahkan ketidakpuasannya, atau pun yang tetap mengungkapkan optimismenya pada pemerintahan baru ini. Menarik jika mengamati beragam fenomena kritiknya, ada yang bernada dendam kesumat bawaan pilpres, tapi ada juga yang nadanya seperti patah hati merasa diingkari. Paduan dari keduanya ini terkadang melahirkan protes-protes keras yang blak-blakan, tapi dalam kadar tertentu kerap nampak irasional.  
Memilih Dengan Rasio
Kedewasaan demokrasi Indonesia memang sedang mendapatkan momentum pengujiannya. Satu tahapan sudah berhasil dilalui ialah berlangsungnya pemilu yang kondusif, meski masih menyisakan banyak drama di parlemen dan parpol. Tahap paling krusial tentu ada pada kesadaran politik masyarakatnya, apakah sudah sungguh-sungguh mengedepankan rasio? Ataukah masih terjebak dalam banalitas pesona kedekatan emosional, primordial, loyalis, fans, dan atau malah dilatari motif transaksional semata?
Penting kiranya menguji benarkah kita sudah memilih dengan rasio. Artinya sejak awal sadar dan konsekuen akan segala potensi keberhasilan sekaligus kegagalan yang inheren dalam pilihan politik yang diambilnya. Semisal menakar personalitas sang pemimpin dan kolektif politiknya, juga situasi objektif negeri yang mencakup seluruh kompleksitas masalah yang dimilikinya. Dengan demikian kita akan terhindar dari kesesatan sikap yang sibuk menghakimi rezim baru ini kualitasnya hanyalah sekelas Rukun Tetangga, atau sikap yang galau sampai mengumpatinya bagai pengkhianat.
Ini tidak berarti harus pasrah pada status quo, sebab prasyarat terbangunnya demokrasi yang matang sangatlah membutuhkan hadirnya publik yang partisipatif, bukan yang manggut manut hanya mengafirmasi semua langkah yang diambil pemerintah. Sebab sekalipun seorang pemimpin itu hanyalah manusia fana biasa yang patut dimaklumi keterbatasannya, tetapi bangsa yang besar ini membutuhkan sosoknya yang kuat dan andal, bukan yang sudah terlahir dengan nama besar tetapi yang ditempa hingga menjadi besar. Di situlah hakikatnya kritik rakyat, sebagai penempa manusia pemimpin yang telah diberi amanat.
Pun demikian pemerintahan Jokowi-JK ini membutuhkan kritik yang massif, apalagi beberapa langkah yang diambilnya belakangan memang tampak kontroversial. Mulai dari pembentukan kabinet yang tidak ramping karena tetap 34 kementerian, dengan perimbangan yang tak proporsional antara latar profesional dan parpol. Ditambah penunjukkan komandan paspampres yang tak lain menantu dari penasehat Rumah Transisi, diangkatnya Jaksa Agung yang tak lain seorang politikus parpol, hingga polemik jenderal yang punya rapor merah sebagai kandidat tunggal Kapolri. 
Semua ini dikesankan sebagai bentuk praktek politik balas budi yang di masa kampanye sangat ditolak oleh duet Jokowi-JK. Namun, dalam teori politik mana pun juga sangat bisa dimaklumi jika pemerintahan yang baru terpilih akan membangun jajaran yang mayoritas berisikan pihak-pihak yang masuk dalam barisan pendukungnya secara proporsional. Tak lain tujuannya adalah untuk menjamin soliditas dan kohesifitas jalannya pemerintahan yang dipimpinnya. Terpenting dalam proses ini adalah menjunjung tinggi komitmen untuk memilih orang-orang yang kredibel dan bersih, di samping terbangunnya hubungan yang seimbang dengan kelompok oposan di parlemen.
 Trisakti Sebagai Pedoman
Timbul juga prasangka yang menyebut pemerintahan baru ini hanya berbeda kulit dari rezim sebelumnya, karena masih saja menambahi beban kehidupan rakyat. Terutama jika menyorot kebijakan ekonominya, Jokowi-JK dianggap inkonsisten pada jalan kemandirian bangsa yang sempat dikemas dalam buku tebal semasa kampanye. Ini lantaran diterapkannya subsidi tetap solar, mencabut subsidi premium, listrik 1300 watt, dan gas LPG 12 kg yang tak lain merupakan barang kebutuhan paling mendasar bagi rakyat, serta melemparkannya pada mekanisme pasar yang labil.
Tak urung tudingan neoliberalisme juga mulai dilekatkan pada rezim baru ini. Namun, di sisi lain kita juga perlu objektif mengingat betapa anggaran tahunan negara selalu defisit karena banyaknya sektor pembiayaan yang inefisien, sementara pendapatan negara belum mampu dipacu naik signifikan. Utang luar negeri pun masih membengkak dengan tuntutan cicilan bunga tahunannya. Hingga akhirnya memangkas biaya subsidi harus jadi pilihan demi menyehatkan neraca keuangan negara di tahap awal pemerintahan ini.
Sejak awal musim kampanye Pilpres lalu, duet Jokowi-JK sebenarnya secara eksplisit telah menyebut Trisakti yang dahulu sempat digaungkan Bung Karno sebagai visi politiknya. Ini saja sudah jadi istimewa mengingat sekian lama gagasan besar ini diabaikan hingga negeri menjadi karut marut sedemikian rupa. Dilengkapi juga dengan misi Nawa Cita sebagai program unggulan yang isinya cukup padat membangun negeri. Namun, tantangan dalam mengimplementasikannya tak hanya berkutat soal birokrasi, tapi juga soal kebutuhan pembiayaannya yang besar karena harus dilakukan secara simultan dalam lima tahun.
Visi politik Trisakti yang menyentuh segaa aspek problematika bangsa memang bukan main mendesaknya untuk ditegakkan kembali. Kedaulatan politik kita yang makin dipandang sebelah mata dan tak berdaya di kancah dunia, kemandirian ekonomi kita yang keropos karena ketergantungan pada utang luar negeri dan terkuasainya kekayaan alam, hingga kepribadian bangsa yang kian luntur dilumuri ketamakan, perpecahan saudara, dan kesilauan pada asing pun sudah jadi fakta yang memilukan. 
Tapi persoalannya memang tak pernah bisa semudah membalikkan telapak tangan, sangat dibutuhkan keteguhan tekad dan kerja yang berlipat lebih keras. Sederhananya, Jokowi-JK tentu membutuhkan dan memang masih punya waktu untuk membuktikan komitmennya pada segenap rakyat Indonesia. Tanpa muluk-muluk, jika dalam kurun waktu menjelang lima tahun kedepan seluruh program yang terejawantah dalam Nawa Cita itu bisa diwujudkan separuhnya saja di masing-masing bidang, tentu akan menjadi torehan prestasi yang membanggakan. 
Maka jika protes keras di momentum 100 hari dianggap sangat prematur, mari bersabar seraya awas mengawalnya bekerja. Tak hanya itu, siapa pun pemimpin baru yang terpilih sudah sepatutnya kita sebagai warga negara menjadikannya sebagai motivasi lebih untuk bangkit menjadi bangsa yang produktif. Ada begitu banyak potensi yang menanti diolah-kembangkan oleh putra-putri bangsa ini, dan penting disadari juga bahwa kunci perubahan ada di tangan kita rakyat Indonesia. Tanpa rasa jumawa, kita wajib mendorong maju cita-cita besar ini agar tak menguap menjadi bualan belaka. Tabik !
____________ 
Penulis adalah lulusan FISIP Universitas Lampung, aktif di Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)
Sumber : http://www.satuharapan.com/read-detail/read/meneropong-komitmen-trisakti-jokowi-jk 

Senin, 23 Februari 2015

Karya Kawan : Langkah-Langkah Memperjuangkan Swasembada Pangan



Baru-baru ini Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Mariani Soemarno, merencanakan penghapusan program beras untuk rakyat miskin (Raskin). Rencana kebijakan ini mendulang banyak reaksi dari berbagai lapisan masyarakat.

Kebijakan yang ditengarai akan menjadi mesin pendongkrak untuk bangkitnya swasembada pangan ini cukup tidak realistis jika dilihat dengan keterkaitannya dengan swasembada pangan. Proses pencapaian swasembada pangan harus seutuhnya dipersiapkan oleh pemerintah dengan memberikan fokus yang jelas pada proses perkembangan pertanian di Indonesia.

Era Soeharto Indonesia pernah mencapai swasembada beras sehingga kebutuhan akan beras lokal dapat terpenuhi sehingga tidak perlu melakukan impor. Tetapi, kebijakan yang menganut trend Revolusi Hijau yang kala itu menjadi program mendunia untuk mengatasi kelangkaan bahan pangan pokok, terakhir diakui oleh sebagian besar ilmuan dibidang pertanian merupakan kebijakan yang salah, karena teknik mendongkrak hasil produksi menggunakan pupuk kimiawi dalam skala besar yang justru merugikan aktivitas pertanian.

Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam mencapai swasembada pangan:

Pertama,harus ada peningkatan kualitas budidaya pertanian dengan teknik yang lebih modern. Cara ini tentu sangat efektif dalam mendongkrak hasil produksi pangan. Dalam satu hektar lahan pertanian tentu akan mengalami peningkatan hasil produksi yang significant jika proses budidaya yang dilakukan tepat. Dewasa ini ilmu pengetahuan dibidang budidaya pertanian telah berkembang pesat dengan bertambahnya Profesor dalam bidang ini. Tentu, sumbangsih penemuan-penemuan terbarukan mereka mampu menjadi pendongkrak pengetahuan baru yang menjadi solusi ditengah krisisnya pengetahuan di bidang pertanian modern yang dimiliki oleh para petani yang rata-rata minus latar belakang pendidikannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan sosialisasi-sosialisasi terhadap petani tentang teknik-teknik baru tersebut.

Kedua¸ pemerintah harus menjamin pemenuhan kebutuhan produksi pertanian. Kebutuhan petani akan pupuk, bibit unggul, pengendali Hama dan penyakit tanaman serta irigasi harus betul-betul diperhatikan. Untuk beberapa tanaman pangan yang musiman tentu akan sangat terkendala ketika sudah tiba musim tanam tetapi pupuk dan bibit belum didapatkan oleh petani. Ini adalah kondisi real yang dialami oleh petani di Indonesia, dimana kelangkaan pupuk terjadi hampir setiap kali musim tanam. Kelangkaan pupuk ini mengakibatkan petani mau tidak mau berusaha mati-matian untuk mendapatkan pupuk meskipun dengan harga yang mahal demi tetap bisa berproduksi. Setali tiga uang dengan pupuk, pestisida dan juga obat-obatan yang digunakan untuk mengendalikan hama pun menjadi barang langka yang sulit didapatkan oleh petani. Tentu kondisi-kondisi ini sangat jauh jika melirik cita-cita swasembada pangan ala Jokowi.

Ketiga, pemerintah harus menjamin pasar bagi distribusi hasil produksi pertanian dengan harga yang stabil dan sesuai. Sampai hari ini tidak ada satupun kebijakan pemerintah yang menjamin proses pemasaran untuk hasil produksi pertanian. Akibatnya, untuk beberapa hasil produksi pertanian yang bukan kebutuhan pokok, petani mengalami kesulitan memasarkan produk mereka, sehingga harus menemui harga jual yang murah atau bahkan tidak laku. Menjamin pemasaran hasil produksi pertanian saja tidak cukup, kebijakan ini juga harus disertai dengan jaminan harga yang stabil dan sesuai dengan ongkos produksi yang dikeluarkan oleh petani. Sampai hari ini, persoalan inipun masih menjadi kecamuk bagi petani, dimana terkadang petani harus menjual hasil produksinya dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan ongkos produksi yang dikeluarkan. Akibatnya, tak jarang petani mengalami kerugian besar pasca panen dan memilih untuk menjual lahannya.

Keempat, menerapkan sistem budidaya pertanian yang Sustainable. Sistem budidaya pertanian yang diterapkan pada era Revolusi Hijau dipandang sebagai kebijakan salah dalam meningkatkan hasil produksi pertanian. Karena peningkatan produksi pertanian ditekankan pada penggunaan bahan kimia besar-besaran, dalam bentuk pupuk dan pestisida. Kebijakan ini dinilai telah menimbulkan dampak buruk pada sistem budidaya pertanian, karena penggunaan pupuk kimia dalam skala besar hanya akan mengurangi jangka waktu produktif pada lahan pertanian. Dimana lahan pertanian yang mustinya mampu digunakan untuk kurun waktu yang lebih lama akan berumur lebih rendah, sehingga harus disiasati dengan memberikan kapur pertanian untuk menstabilkan pH tanah. Ini diakibatkan karena penggunaan pupuk kimia dapat mempercepat pengasaman tanah yang mengakibatkan matinya mikroba tanah yang menjadi agen dekomposer dan penyubur tanah. Sedangkan penggunaan pestisida kimia untuk mengatasi hama dan penyakit tanaman, hanya akan menjadikan petani ketergantungan terhadap bahan-bahan tersebut. Karena penggunaan pestisida untuk membunuh hama akan menyisakan beberapa hama yang tidak mati. Hama yang tidak mati ini akan tumbuh menjadi hama yang lebih kebal terhadap dosis pestisida yang digunakan sebelumnya, kemudian hama tersebut beranak-pinak dan melahirkan koloni yang lebih resisten. Sehingga pada musim tanam selanjutnya untuk membunuh hama tersebut petani harus menaikkan dosis pestisida lebih tinggi lagi. Tetapi sekali lagi, masih akan ada hama yang tetap hidup dengan dosis tersebut dan siklus ini akan kembali terulang sampai entah kapan dan harus berapa dosis yang digunakan petani untuk menghalau hama tersebut dan selamanya petani akan bergantung pada pestisida tersebut dan inilah yang diinginkan oleh kapitalist.
Oleh karena itu, penerapan sistem budidaya pertanian yang Sustainable menjadi solusi agar sistem pertanian bisa lebih efektif dan efisien. Sistem pertanian ini mengacu pada sistem budidaya yang ramah lingkungan, dimana kelangsungan budidaya pertanian menjadi pertimbangan utama dengan memperhatikan kondisi lingkungan sekitar, mengingat aktivitas budidaya pertanian juga menyumbang gas emisi yang mampu merusak lapisan ozon. Karenanya, Penekanan penggunakan pupuk organik dan melepaskan ketergantungan pada bahan-bahan kimia menjadi fokus utama dalam sistem budidaya ini. Begitu pula dengan pengendalian hama yang lebih ditekankan dengan memanfaatkan hewan-hewan predator dalam menghalau hama tersebut.

Kelima, menggalakkan proses perluasan lahan budidaya pertanian pangan. Perluasan lahan pertanian yang ”katanya” telah dilakukan oleh pemerintah perlu ditinjau ulang fungsinya. Jika swasembada pangan sudah menjadi program konkret, maka proses perluasan lahan pertanian harus difokuskan pada fungsinya sebagai lahan tanaman pangan, bukan yang lain. Mengingat, perluasan lahan pertanian yang dilakukan hari ini justru digunakan untuk penanaman tanaman perkebunan yang mengakibatkan indonesia semakin tidak berdikari dalam hal pangan. Karena semodern apapun teknik budidaya pertanian tidak akan pernah mencapai swasembada pangan jika tidak disertai dengan perluasan lahan produksi.

Keenam, menghentikan atau membatasi penanaman tanaman perkebunan. Dalam rangka perluasan lahan produksi tanaman pangan maka pemerintah harus membatasi perluasan lahan untuk tanaman perkebunan. Bahkan untuk beberapa usaha perkebunan milik swasta lokal atau bahkan milik asing yang sering mengemplang pajak atau bahkan tidak membayar pajak dan legalisasinya bermasalah lebih baik ditutup karena tidak ada kontribusinya bagi negara dan hanya menguntungkan sepihak saja.

Ketujuh, penyelesaian konflik agraria. Petani harus diberikan akses seluas-luasnya untuk berproduksi, oleh karenanya tanah sebagai modal dasar dalam budidaya pertanian harus disediakan oleh pemerintah. Saat ini, tanahnya sudah ada tetapi persoalannya tidak dipegang oleh petani melainkan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan perkebunan/tambang swasta milik lokal dan asing, yang dalam proses penguasaannya mengalami konflik langsung dengan para petani itu sendiri, Mulai dari perampasan tanah secara terang-terangan hingga penipuan dengan berkedok penggadaian sertifikat atau mengajak bermitra dengan petani yang ujung-ujungnya merampas paksa lahan-lahan rakyat. Konflik agraria ini terjadi hampir diseluruh wilayah NKRI yang tentu diwarnai oleh insiden tragis yang tak jarang merenggut jiwa. Oleh karena itu, swasembada pangan yang dicanangkan oleh Jokowi juga harus berkorelasi dengan penyelesaian konflik agraria di Indonesia. Karena sekali lagi, program swasembada pangan tanpa disertai perluasan lahan budidaya pertanian pangan adalah omong kosong.
Ketujuh point diatas harus betul-betul ditepati sebagai modal dasar menuju swasembada pangan. Selain itu kebijakan penghapusan raskin sama sekali tidak ada hubungannya dengan swasembada pangan, karena kebutuhan akan bahan pangan murah masih sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia ditengah kondisi perekonomian yang carut-marut. Kemudian, harus ada pembenahan pola pikir pemerintah tentang kebijakan subsidi, bahwa jika dalam proses pelaksanaannya tidak tepat sasaran maka yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah merubah sistemnya dan melakukan pengawasan yang ketat agar menjadi tepat sasaran sesuai fungsinya, bukan justru mencabut subsidinya, seperti subsidi pupuk yang sangat diharapkan mampu meringankan ongkos produksi petani.
Selamat menyongsong swasembada pangan!.
_________________
Rismayanti Borthon, Mahasiswi Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Ketua Eksekutif Kota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EK-LMND) Bandar lampung

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20150217/langkah-langkah-memperjuangkan-swasembada-pangan.html#ixzz3SXLbjbQr 

Karya Kawan : Swasembada Pangan dan Peran Perempuan di Bidang Pertanian


Program pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) terkait Swasembada pangan tentu menjadi sebuah kebijakan yang sangat dinantikan oleh masyarakat Indonesia yang situasinya sama sekali sangat tidak berdikari dalam hal pangan. Kebijakan ini tentu menjadi semacam telaga ditengah gurun pasir mengingat kondisi Indonesia yang sampai hari ini hanya mampu mencapai ketahanan pangan dengan kebijakan impor sebagai andalannya.

Pangan Dan Bangsa
Untuk Negara dengan daratan yang cukup luas dan subur, sangat tidak masuk akal bahkan sekedar cabai merah saja harus import untuk memenuhi kebutuhan pasar, beras juga harus import untuk memenuhi ketahanan pangan, belum lagi produk-produk lain yang mewarnai pasar modern dan tradisonal tanah air. Pertanyaannya, apakah hari ini Indonesia telah kehabisan tanah-tanahnya, sehingga kebutuhan akan bahan pangan harus bergantung pada negara lain yang luas daratannya tidak sebanding dengan Indonesia?

Jawabannya sederhana: pemerintah memang tidak fokus dalam mengurusi persoalan pangan, padahal urusan pangan adalah urusan hajat hidup orang banyak. Pangan juga sangat strategis untuk menajadi sumber kekuatan, juga sebagai sumber kelemahan. Pangan menjadi sumber kekuatan manakala kebutuhan pangan kita mampu kita penuhi sendiri dengan produk lokal, tetapi sebaliknya pangan menjadi kelemahan suatu bangsa ketika pemenuhan kebutuhannya tidak mampu ditangani oleh produksi dalam negeri sehingga bergantung pada negara lain melalui kebijakan impor seperti yang kini kita alamai.

Tahun 1952, saat peletakan batu pertama di Universitas Pertanian Indonesia (sekarang IPB), Bung Karno mengatakan bahwa kebijakan pangan adalah tentang hidup matinya sebuah bangsa dikemudian hari. Bisa dibayangkan, kebutuhan paling dasar rakyat Indonesia yang harus dipenuhi setiap harinya masih belum mampu diwujudkan melalui produksi pertanian lokal. Kondisi ini tentu sangat miris, mengingat bahwa kapan saja Indonesia bisa mengalami musibah kelaparan massal ketika tiba-tiba Negara pensuplai bahan pokok kita tidak mau lagi mengekspor produknya ke Indonesia.

Sungguh menyedihkannya, kondisi Indonesia yang terkenal dengan istilah “gemah ripah loh djinawi” kini harus membungkuk pada negara lain demi tetap bisa makan dan menguli. Kondisi ini tentu juga semakin melemahkan kekuatan politik Indonesia dikancah Asia bahkan dunia, khususnya dihadapan negara-negara pengekspor kebutuhan pokok kita. Indonesia akan semakin mudah disetir dan campuri urusan dapurnya hingga menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan asing dan jauh dari cita-cita proklamasi.

Perempuan Dan pertanian
Sebagai negara agraris, jumlah perempuan usia di atas 10 tahun dalam sektor pertanian mencapai 40 persen. Berbagai penelitian dalam sektor pertanian menunjukkkan bahwa peran perempuan pada kegiatan pertanian sangat substansial. Kesemuanya menyebut adanya pembagian kerja seksual dimana perempuan melakukan kerja selama proses produksi yang meliputi penanaman, penyiangan, pemeliharaan, panen, pasca panen, pemasaran, baik yang bersifat manajerial tenaga buruh, pada komoditi tanaman pangan ataupun tanaman industri yang diekspor. Beberapa pekerjaan malah dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti halnya menanam bibit, menabur benih dan menyiang.

Dalam proses budidaya, nyaris tak ada benih jatuh ke bumi tanpa sentuhan tangan perempuan. Bahkan dalam pengairan, yang selama ini dianggap kerja laki-laki, perempuan ternyata ikut menentukan kapan pengairan dilakukan, banyaknya kuantitas air, kedalaman air, frekuensi pengairan, termasuk ‘bagian kerja laki-laki’. Tanpa keterlibatan perempuan, proses produksi tak akan berlangsung, termasuk komoditi ekspor yang diperdagangkan secara internasional. Perempuan juga mempunyai peran dalam pengambilan keputusan rumahtangga.

Pada masa orde baru, secara tegas Soeharto menerapkan sistem Revolusi Hijau sebagai solusi ditengah kelangkaan bahan pangan pada saat itu. Revolusi hijau lahir karena masalah pertambahan penduduk yang pesat dan pertambahan penduduk harus diimbangi dengan peningkatan produksi pertanian. Maka kemudian dilakukanlah perombakan sistem pertanian yang sebelumnya tradisional berubah kearah modern. Dalam proses perubahan teknik budidaya pertanian inilah, sedikit demi sedikit peran terampil perempuan digeser dengan peralatan-peralatan modern yang mulai dilirik oleh petani-petani di Indonesia. Lambat laun, peran aktif perempuan tidak lagi dibutuhkan ketika menyemai padi, memupuk, menyiram hingga memanen sudah bisa menggunakan teknologi. Akhirnya, yang terjadi kemudian adalah perempuan kehilangan lahan untuk berdikari secara ekonomi.

Ditambah lagi, kontribusi tenaga kerja perempuan belum terungkap secara transparan. Baik bila dilihat curahan waktu dan tenaga untuk kegiatan produksi sampai pengolahan hasil dan pemasaran serta kaitannya dengan kegiatan rumah tangga. Dalam perkembangan pertanian, kembali perempuan tidak mampu untuk eksis dikarenakan masih adanya penilaian masyarakat terhadap partisipasi perempuan pada sektor pertanian yang masih mendiskriminasi perempuan serta asumsi yang menyatakan bahwa kegiatan pertanian merupakan urusan laki-laki yang dinyatakan sebagai pengelola usaha tani.

Fenomena di atas dikuatkan dengan norma dan tradisi yang hidup dalam masyarakat. Akibatnya, perempuan kurang menjangkau sumber-sumber ekonomis (tanah, modal dan tenaga) dan berbagai kemudahan dari pemerintah seperti pendidikan keterampilan, penyuluhan dan pelayanan lain. Padahal, seperti halnya kaum laki-laki, perempuan juga memiliki hak – hak asasi selaku manusia.

Disamping itu, kondisi lahan pertanian yang tiap harinya makin berkurang membuat usaha-usaha produksi pertanian juga menyusut. Tidak hanya kaum perempuan, hal ini juga berimbas pada hilangnya akses ekonomi bagi kaum laki-laki. Tetapi, seperti halnya persoalan norma-norma yang tumbuh dimasyarakat yang telah dijelaskan diatas tadi, kaum perempuan berada diposisi yang lebih sulit dimana ketika akses produksi pertanian sudah tidak bisa dicapai, kaum laki-laki bisa lebih mudah mendapatkan pekerjaan meski hanya sebagai buruh serabutan atau kuli bangunan. Sedang perempuan? lagi-lagi dinilai tidak mampu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat yang dicap sebagai ranah kerja laki-laki.

Perempuan Dan Ketahanan Pangan
Yang perlu diketahui, perempuan sebagai sumber daya insani yang cukup besar jumlahnya saat ini merupakan subyek pembangunan yang cukup handal.  Mereka adalah kekuatan potensial bangsa yang hadir dalam jumlah yang tidak hanya besar, tetapi juga berimbang jumlahnya dengan kaum pria.  Keberadaan perempuan tidak dapat diabaikan, karena kenyataan menunjukkan bahwa daya tahan fisik perempuan melebihi kaum pria, yakni sekitar 64 tahun bagi perempuan dan 63 tahun bagi pria.

Tentu kita masih ingat, bahwa perempuan adalah pihak paling berjasa pada proses penciptaan budidaya pertanian tradisional. Kondisi ini ditandai dengan peran aktif perempuan dalam mengembangkan budidaya pertanian tradisional melalui keterampilannya. Oleh karena itu, beberapa studi menyebutkan bahwa perempuan sangat berperan penting dalam proses menstabilkan pangan baik skala rumah tangga maupun skala nasional. Dalam skala besar mereka bekerja dalam beberapa aspek produksi, pasca panen, distribusi pangan dan konsumsi. Mereka tidak saja berperan pada kegiatan pertanian yang bertujuan dalam menambah penghasilan keluarga, namun mereka juga ikut dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam skala rumah tangga, seorang istri atau seorang Ibu adalah anggota keluarga yang paling penting dalam menentukan kebutuhan pangan serta menu hidangan bagi keluarga, menetukan nilai gizi yang menjadi asupan anggota keluarga serta ketersediaan bahan pangan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini membuat perempuan berkontribusi besar dalam menjaga kelangsungan keaneragaman hayati, sebagai upaya paling penting dalam peningkatan ketahanan pangan.

Perempuan Memperjuangkan Swasembada Pangan
Program swasembada pangan yang digemar-gemborkan oleh pemerintahan Jokowi-JK, Patut disambut dengan baik. Karena program swasembada pangan ini, artinya pemerintah akan membuka akses yang sangat luas pada aspek pertanian. Kondisi perempuan yang nyaris kehilangan akses ekonomi dalam proses produksi pertanian pasca adanya pergesaran pola pertanian dari tradisonal kearah modern, seakan kembali mendapat harapan baru. Yakni, kembali tersedianya lahan-lahan pertanian yang dapat digarap.

Harapan ini didasarkan pada program swasembada pangan yang dipastikan harus disertai dengan perluasan lahan produksi pertanian. Ketika luasan lahan pertanian dilakukan maka ini akan membuka peluang bagi perempuan untuk turut aktif dalm proses produksinya. Kreatifitas, keterampilan hingga kekuatan diri perempuan bisa kembali dituangkan dalam proses budidaya pertanian ini guna mencapai swasembada pangan.

Oleh karena itu, penting kiranya mengawal kebijakan ini menjadi kebijakan yang realistis dalam proses penerapannya dengan mempertaruhkan kredibilitas pemerintahan Jokowi-JK, Tentu disertai dengan program-program turunan yang juga mendukung kebijakan tersebut.
_________________
Rismayanti BorthonMahasiswi Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Ketua Eksekutif Kota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EK-LMND) Bandar Lampung, dan Staff Deputy Kajian dan Bacaan Dewan Pimpinan Pusat Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20150217/swasembada-pangan-dan-peran-perempuan-di-bidang-pertanian.html#ixzz3SXKbhPjR 

Opini : Inkonsistensi Jokowi - JK


Oleh : Saddam Cahyo*



Persisnya tanggal 28 Januari 2015 yang telah lalu, genap sudah 100 hari Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjabat pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, yakni sejak dilantik pada 20 Oktober 2014. Tentu sudah banyak kerja-kerja nyata dari segenap jajaran pemerintahan baru ini yang bisa dijadikan kajian bersama, mengingat momen 100 hari memang selalu jadi ukuran penting bagi masyarakat untuk meneropong keteguhan komitmen politik penguasa terpilih selama satu periode kepemimpinannya kelak.

Karenanya wajar saja jika muncul banyak reaksi dari kelompok masyarakat yang menggelar protes mencurahkan ketidakpuasannya, atau pun yang tetap mengungkapkan optimismenya pada pemerintahan baru ini. Menarik jika mengamati beragam fenomena kritiknya, ada yang bernada dendam kesumat bawaan pilpres, tapi ada juga yang nadanya seperti patah hati merasa diingkari. Paduan dari keduanya ini terkadang melahirkan protes-protes keras yang blak-blakan, tapi dalam kadar tertentu kerap nampak irasional.

Memilih Dengan Rasio

Kedewasaan demokrasi Indonesia memang sedang mendapatkan momentum pengujiannya, satu tahapan sudah nyaris berhasil dilalui ialah berlangsungnya pemilu yang kondusif, meski masih menyisakan banyak drama di parlemen dan parpol. Tahap paling krusial tentu ada pada kesadaran politik masyarakatnya, apakah sudah sungguh-sungguh mengedepankan rasio? ataukah masih terjebak dalam banalitas pesona kedekatan emosional, primordial, loyalis, fans, dan atau malah dilatari motif transaksional semata.

Penting kiranya menguji benarkah kita sudah memilih dengan rasio. Artinya sejak awal sadar dan konsekuen akan segala potensi keberhasilan sekaligus kegagalan yang inheren dalam pilihan politik yang diambilnya. Semisal menakar personalitas sang pemimpin dan kolektif politiknya, juga situasi objektif negeri yang mencakup seluruh kompleksitas masalah yang dimilikinya. Dengan demikian kita akan terhindar dari kesesatan sikap yang sibuk menghakimi rezim baru ini kualitasnya hanyalah sekelas Rukun Tetangga, atau sikap yang galau sampai mengumpatinya bagai pengkhianat.

Ini tidak berarti harus pasrah pada status quo, sebab prasyarat terbangunnya demokrasi yang matang sangatlah membutuhkan hadirnya publik yang partisipatif, bukan yang manggut manut hanya mengafirmasi semua langkah yang diambil pemerintah. Sebab sekalipun seorang pemimpin itu hanyalah manusia fana biasa yang patut dimaklumi keterbatasannya, tetapi bangsa yang besar ini membutuhkan sosoknya yang kuat dan andal, bukan yang sudah terlahir dengan nama besar tetapi yang ditempa hingga menjadi besar. Disitulah hakikatnya kritik rakyat, sebagai penempa manusia pemimpin yang telah diberi amanat.

Pun demikian pemerintahan Jokowi-JK ini membutuhkan kritik yang massif, apalagi beberapa langkah yang diambilnya belakangan memang tampak kontroversial. Mulai dari pembentukan kabinet yang tidak ramping karena tetap 34 kementerian, dengan perimbangan yang tak proporsional antara latar profesional dan parpol. Ditambah penunjukkan komandan paspampres yang tak lain menantu dari penasehat Rumah Transisi, diangkatnya Jaksa Agung yang tak lain seorang politikus parpol, hingga polemik jenderal yang punya rapor merah sebagai kandidat tunggal Kapolri.

Semua ini dikesankan sebagai bentuk praktek politik balas budi yang di masa kampanye sangat ditolak oleh duet Jokowi-JK. Namun, dalam teori politik mana pun juga sangat bisa dimaklumi jika pemerintahan yang baru terpilih akan membangun jajaran yang mayoritas berisikan pihak-pihak yang masuk dalam barisan pendukungnya secara proporsional. Tak lain tujuannya adalah untuk menjamin soliditas dan kohesifitas jalannya pemerintahan yang dipimpinnya. Terpenting dalam proses ini adalah menjunjung tinggi komitmen untuk memilih orang-orang yang kredibel dan bersih, disamping itu dibangunnya hubungan yang seimbang dengan kelompok oposan di parlemen.

Trisakti Sebagai Pedoman

Timbul juga prasangka yang menyebut pemerintahan baru ini hanya berbeda kulit dari rezim sebelumnya, karena masih saja menambahi beban kehidupan rakyat. Terutama jika menyorot kebijakan ekonominya, Jokowi-JK dianggap inkonsisten pada jalan kemandirian bangsa yang sempat dikemas dalam buku tebal semasa kampanye. Ini lantaran diterapkannya subsidi tetap solar, mencabut subsidi premium, listrik 1300 watt, dan gas LPG 12 kg yang tak lain merupakan barang kebutuhan paling mendasar bagi rakyat, serta melemparkannya pada mekanisme pasar yang labil.

Tak urung tudingan neoliberalisme juga mulai dilekatkan pada rezim baru ini. Namun, di sisi lain kita juga perlu objektif mengingat betapa anggaran tahunan negara selalu defisit karena banyaknya sektor pembiayaan yang inefisien, sementara pendapatan negara belum mampu dipacu naik signifikan. Utang luar negeri pun masih membengkak dengan tuntutan cicilan bunga tahunannya. Hingga akhirnya memangkas biaya subsidi harus jadi pilihan demi menyehatkan neraca keuangan negara di tahap awal pemerintahan ini.

Sejak awal musim kampanye Pilpres lalu, duet Jokowi-JK sebenarnya secara eksplisit telah menyebut Trisakti yang dahulu sempat digaungkan Bung Karno sebagai visi politiknya. Ini saja sudah jadi istimewa mengingat sekian lama gagasan besar ini diabaikan hingga negeri menjadi karut marut sedemikian rupa. Dilengkapi juga dengan misi Nawa Cita sebagai program unggulan yang isinya cukup padat membangun negeri. Namun, tantangan dalam mengimplementasikannya tak hanya berkutat soal birokrasi, tapi juga soal kebutuhan pembiayaannya yang besar karena harus dilakukan secara simultan dalam lima tahun.

Visi politik Trisakti yang menyentuh segaa aspek problematika bangsa memang bukan main mendesaknya untuk ditegakkan kembali. Kedaulatan politik kita yang makin dipandang sebelah mata dan tak berdaya di kancah dunia, kemandirian ekonomi kita yang keropos karena ketergantungan pada utang luar negeri dan terkuasainya kekayaan alam, hingga kepribadian bangsa yang kian luntur dilumuri ketamakan, perpecahan saudara, dan kesilauan pada asing pun sudah jadi fakta yang memilukan.

Tapi persoalannya memang tak pernah bisa semudah membalikkan telapak tangan, sangat dibutuhkan keteguhan tekad dan kerja yang berlipat lebih keras. Sederhananya, Jokowi-JK tentu membutuhkan dan memang masih punya waktu untuk membuktikan komitmennya pada segenap rakyat Indonesia. Tanpa muluk-muluk, jika dalam kurun waktu menjelang lima tahun kedepan seluruh program yang terejawantah dalam Nawa Cita itu bisa diwujudkan separuhnya saja di masing-masing bidang, tentu akan menjadi torehan prestasi yang membanggakan.

Maka jika protes keras di momentum 100 hari dianggap sangat prematur, mari bersabar seraya awas mengawalnya bekerja. Tak hanya itu, siapa pun pemimpin baru yang terpilih sudah sepatutnya kita sebagai warga negara menjadikannya sebagai motivasi lebih untuk bangkit menjadi bangsa yang produktif. Ada begitu banyak potensi yang menanti diolah-kembangkan oleh putra-putri bangsa ini, dan penting disadari juga bahwa kunci perubahan ada di tangan kita rakyat Indonesia. Tanpa rasa jumawa, kita wajib mendorong maju cita-cita besar ini agar tak menguap menjadi bualan belaka. Tabik !

____________

*)  Bergiat di organisasi Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).
TERBIT DI "KORAN EDITOR" Senin, 23 Februari 2015.

Minggu, 22 Februari 2015

Karya Kawan : Pembangunan Desa dan Kaum Perempuan


Menurut seorang ahli sosial, Bambang Utoyo, desa merupakan tempat sebagian besar penduduk yang bermata pencarian di bidang pertanian dan menghasilkan bahan makanan. Teori ini tentu benar dengan diperkuat dengan kondisi geografis sebuah desa yang memang menjadi pabrik bagi produksi bahan pangan maupun industri kreatif rumahan tradisional.

Selain itu, seorang ahli lainnya, R. Bintarto, mengatakan, ‘desa adalah perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial, ekonomis politik, kultural setempat dalam hubungan dan pengaruh timbal balik dengan daerah lain’.

Hal tersebut tidak terlepas dari peran sebuah desa sebagai pembentuk kultur bangsa, tempat lahirnya adat dan budaya yang menjadi ciri sebuah negara hingga posisi desa yang menjadi objek politik dan lahan empuk berbagai jenis eksploitasi yang pada akhirnya mendistorsi keutuhan sosial dari desa itu sendiri.

Terlepas dari apapun teori yang menerjemahkan posisi desa baik secara geografis, sosial maupun politik, nyatanya desa adalah sendi terkuat penyokong sebuah negara yang menjadi rahim lahirnya industri pangan nasional, kekayaan budaya, sumber daya manusia yang real, penyeimbang kelestarian Sumber Daya Alam (SDA), dan masih banyak lagi.

Peran Desa dan UU nomor 5 tahun 1979

Dijelaskan dalam Wikipedia Indonesia, bahwa Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan kelurahan, desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Meskipun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan.

Sampai disini kita bisa menilai bahwa desa merupakan soko terkuat dari sebuah negara yang memiliki otonomi besar dalam mengatur siklus budaya masyarakat secara natural. Sebegitu besarnya peran desa dalam sebuah negara, tentu tidak bisa hanya dilihat sebagai pabrik industri penyedia bahan pangan saja, tetapi juga sebagai penyedia sumber daya manusia yang real. Desa sebagai kampung halaman dimana tempat rakyat merujuk dan mengidentifikasikan dirinya, menjadi poros tempat hidup berputar, tempat orang-orang dilahirkan, merajut kehidupan, membangun keluarga hingga akhirnya meninggal, tentu menjadi penentu akan pola pembangunan bangsa.

Tetapi, ketika masa Orde Baru, Soeharto beserta para pengikutnya sukses menebar sekteisme terhadap bagian paling penting dari sebuah negara ini. Pengrusakan demi pengrusakan membombardir desa-desa diseluruh Indonesia. Para pengikut Soeharto yang sedang mencari muka dengan menunjukan pengabdiannya kepada sang diktator melakukan rekayasa, mengawasi, melakukan diskriminasi hingga memaksa rakyat Indonesia menjadi pancasilais. Orang-orang ini bisa ditemukan di 68.000 desa lebih di Indonesia. Berkat orang-orang inilah kelembagaan desa dirusak, diganti dengan organisasi-organisasi yang dikendalikan oleh negara, seperti LKMD, PKK, dan HKTI. Pimpinan desa dipaksa menjadi para pengikut negara yang patuh. Masyarakat desa diubah dari penentu hidupnya sendiri menjadi objek perlakuan negara.

Tidak sampai disitu, kegiatan-kegiatan politik di desa pun dibatasi. Program-program negara yang bertubi-tubi telah mengekang kehidupan dan kepentingan rakyat diantaranya: Keluarga Berencana (KB), ABRI masuk Desa (AMD), Kuliah Kerja Nyata (KKN), dan lain-lain, semua melengkapi kondisi bahwa masyarakat desa hanya menjadi objek passif dari pembangunan sebuah negara. Lalu, penduduk desa didepolitisasi dan dibuat menjadi massa mengambang yang tidak boleh berfikir sendiri, hanya patuh mengikuti indoktrinasi di televisi, sekolah dan rapat-rapat desa yang hanya merupakan sosialisasi dari program Pemerintah.

Rentetan perubahan arah gerak Desa ini tidak terlepas dari diberlakukannya UU no. 5 tahun 1979, yang mendeskripsikan Desa sebagai ‘suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia’, Yang kemudian praktis membuat desa kehilangan otonominya.

Tidak sampai disitu, posisi desa sebagai bagian dari organisasi pemerintah terendah menjadikan patronase dimasayarakat desa hanya dipusatkan kepada kepala desa sebagai perpanjang tanganan penguasa pusat. Sedangkan posisi kepala adat, kepala Kampung dan sebutan-sebutan lain sebagai sosok yang dituakan di desa mulai memudar pamornya. Hal ini disebabkan hampir tidak ada program pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah yang tidak melibatkan institusi pemerintahan desa, baik secara langsung maupun tidak langsung, tanpa menyentuh fungsi kelembagaan adat disebuah desa.

Nah, nilai-nilai yang terkandung dalam aturan baru yang dipaksa diberlakukan berdasar pada hukum tertulis ini sangat dirasa tidak memberikan rasa keadilan bagi berbagai kelompok masyarakat yang disebut sebagai masyarakat adat. Misalnya dalam program pemukiman kembali dan regrouping (desanisasi) yang hanya memberikan lahan seluas 2 Ha untuk berkebun, 0,25 Ha untuk tapak rumah, 6×6 m untuk rumah, 0,25 Ha lahan pertanian pangan secara merata, baik bagi penghuni awal maupun para pendatang (transmigran). Pembagian ini dirasa tidak adil karena masyrakat adat harus merelakan tanah-tanah pribadi dan komunal yang lebih luas yang selama ini menjamin kelangsungan hidupnya. Sebaliknya para pendatang umumnya dari kalangan petani miskin di Jawa yang tidak memiliki tanah dianggap oleh masyarakat adat telah memperoleh tanah yang bukan miliknya tetapi tanah tersebut berasal dari kepemilikan adat atau pertuanan. (R. Yando Zakaria, Merebut Negara).

Oleh karenanya, program Soeharto berupa transmigrasi ini menjadi penyumbang besar dalam setiap peristiwa konflik Horizontal yang mendera beberapa daerah di Indonesia. Tak lain dan tak bukan, hampir sebagiannya dipicu karena kesenjangan sosial dan rasa tidak adil yang merujuk pada pembagian sumber penghidupan tadi. Selain itu, R. Yando Zakaria juga menambahkan, akibat buruk lain dari UU nomor 5 tahun 1979 berdampak pada pengetahuan-pengetahuan dan teknologi ramah lingkungan, yakni sistem pengobatan tradisional yang selama ini membantu survival dari komunitas adat tersebut. Hal ini diperparah dengan adanya kebijakan pembanguna pangan yang ‘bias padi’. Sehingga, karena dianggap inferior, bahan makanan pokok non-padi yang sebelumnya akrab dengan masyarakat mulai ditinggalkan. Akhirnya masyarakat bertumpu pada beras sebagai bahan pangan tunggal.

Berbicara soal desa memang tak akan pernah ada habisnya. Komunitas sederhana yang memberikan output besar bagi sebuah negara ini memang menjadi sumber kekuatan sebuah negara sekaligus sumber kelemahan. Itulah sebabnya, upaya pembangunan sebuah negara harus diawali dengan pembangunan di ranah desa yang massif.

Perempuan Dan Peranannya Membangun Desa

Didalam sebuah desa yang umumnya dihuni oleh beragam makhluk hidup dari mulai klas manusia hingga hewan dan tumbuhan, praktis menjunjung budaya keseimbangan alam, dengan memandang kelestarian budaya dan kelangsungan hayati adalah prioritas utama. Terjadinya pembalakan liar, penggundulan hutan hingga eksploitasi besar-besaran, adalah dampak dari keserakahan manusia diluar komunitas Desa. Mengapa? Karena masyarakat Desa tidak perlu melakukan hal tersebut, mereka cukup menjaga keseimbangan alam dan kelestarian hayati, maka semua kebutuhan hidup berupa sandang pangan dan papan akan terpenuhi. Mereka punya lahan untuk bercocok tanam guna memenuhi kebutuhan pangan dan ekonomi, ada sumber air yang tersedia gratis tanpa beli, ada sumber protein hewani yang bisa didapatkan dengan mudah dan tidak akan menyebabkan kepunahan jika hanya dikonsumsi oleh masyarakat desa, ada ketersediaan kayu sebagai modal membangun rumah, dan lain-lain.

Dalam situasi ini, pembangunan kembali fungsi desa juga tidak terlepas dari campur tangan perempuan sebagai bagian penting dalam masyarakat desa. Dalam ruang geraknya pada skala rumah tangga, perempuan sebagai objek terpenting dalam membangun karakter anak sebagai individu baru dalam sebuah desa. Dalam perannya inilah, kelangsungan generasi baru desa ditentukan oleh kecakapan seorang perempuan. Baik dari aspek psikologis hingga taraf kecerdasan anak. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa kecerdasan anak 60% nya adalah menurun dari genetik Ibunya. Oleh karenanya, perempuan diharuskan untuk cerdas. Bagaiamana caranya? Perempuan-perempuan desa harus berpendidikan, berorganisasi, menyalurkan kreatifitas dan bakatnya tanpa ada batasan.

Budaya patriarkal yang selama ini ‘menghalangi’ perempuan untuk bisa mandiri, menjangkau pendidikan yang tinggi, memimpin dalam organisasi dan politik skala kecil dan besar, mendapatkan posisi dalam ruang publik dll harus dihilangkan. Juga tentang status perkawinan yang selalu memicu pembatasan ruang gerak kaum perempuan diatas kuasa laki-laki. Padahal sederhanya, pernikahan adalah sekedar proses legalisasi secara hukum dan agama untuk beraktivitas seksual dan bereproduksi, karena ketika tidak disertai ritual pernikahan tersebut, maka kedua aktivitas tersebut dinyatakan ilegal secara hukum dan agama yang kemudian dikenal dengan itilah “kumpul kebo”, “berzina” dll.

Dalam hal ini keduanya merupakan aktivitas biologis yang sama-sama dibutuhkan baik oleh laki-laki maupun oleh perempuan. Sedangkan soal cinta, komitment, kenyamanan dll adalah perpanjangan dari fase mempertahankan pernikahan itu. Karena pernikahan adalah soal pemenuhan kebutuhan, maka kita tidak berbicara untung dan rugi, tetapi berbicara tentang mengakomodir kebutuhan mendesak yang dimiliki masing-masing. Karena masing-masing (laki-laki & perempuan), memiliki keinginan yang sama, kebutuhan yang sama, kepentingan yang juga sama maka apakah pantas ketika ritual pernikahan sudah dilakukan seorang suami bertindak superior dengan membatasi ruang gerak perempuan, mengultimatum peraturan-peraturan terhadap perempuan hanya karena status pernikahan? Dengan alasan agama, budaya dan kuasa suami atas istrinya.

Padahal, perempuan juga harus berproduksi secara ekonomi dalam membangun taraf hidup keluarga. Jika taraf hidup sebuah keluarga meningkat dan merata disebuah Desa tentu ini juga akan berimbas kuat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa. Tidak ada satupun agama yang melarang perempuan yang sudah menikah untuk bekerja sebagai womencareer’s di kantor atau di industri rumahan, atau industri handmade. Jika yang sering menjadi batu sandungan adalah soal dogma agama yang menyebut jika istri tidak bisa keluar rumah tanpa seijin suami, maka mari kita bubuhkan pertanyaan yang sama, “apakah seorang suami ketika akan pergi juga tidak perlu meminta izin sang istri?” saya rasa ini juga keharusan sebagai etika berumah tangga dengan saling menghargai dan menghormati peran masing-masing.

Demikian peran perempuan dalam mencetak generasi penerus dalam sebuah desa yang kelak akan membawa laju perkembangan di Desa secara budaya, ekonomi, politik dan aspek-aspek yang lain. Jika desa adalah soko terkuat dari sebuah negara dan perempuan adalah aspek terpenting dalam membangun desa maka kredibilitas sebuah negara ada ditangan perempuan sebagai subjek dasar yang dibutuhkan untuk mencetak generasi penerus di desa maupun pemimpin negara. Maka, jika hari ini kondisi perempuan-perempuan Indonesia dikampung-kampung, di desa, di dusun, di bagian pinggir-pinggir perkotaan atau bagian-bagian lain, ‘masih’ mengalami keterbelakangan dari aspek pendidikan, akses informasi, pergaulan, buta politik, dipenjarakan pada aktivitas domestik, tidak mendapat akses ruang publik yang luas, maka masihkah kita bisa berharap bahwa negara ini bisa maju dan berkembang dengan kondisi rahim pencetak generasi bangsa mengalami kecacatan parah?

______________
Rismayanti Borthon, Mahasiswi Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Ketua Eksekutif Kota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (EK-LMND) Bandar Lampung, dan Staff Deputi Kajian dan Bacaan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20150221/pembangunan-desa-dan-kaum-perempuan.html#ixzz3SScCfWwx