Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Rabu, 21 Januari 2015

Opini : Miskin dan Kurang Gizi


Oleh : Saddam Cahyo*


Siapa sangka, persis di penghujung tahun 2014 yang hingar bingar dengan suksesi pemimpin kemarin, kita malah harus menemui fakta miris tentang provinsi Lampung, yakni masuk dalam jajaran tertinggi masyarakatnya yang kekurangan gizi, nyaris setara dengan provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua (Lampost, 30/12). Fakta ini terungkap dari Studi Diet Total oleh Balitbangkes Kemenkes RI tahun 2014 yang turut dipamerkan dalam Parade Penelitian Kesehatan di Jakarta.

Batasan kekurangan gizi, khususnya kalori dan protein yang digunakan ialah bila asupan kalori kurang dari 70% angka kecukupan energi (AKE), dan jika asupan protein kurang dari 80% angka kecukupan protein (AKP). Riset ini melibatkan 2.372 orang enumerator pengumpul data lapangan terhadap 46.238 rumah tangga dari 497 kabupaten/kota di 33 provinsi se-Indonesia. Ditemukan juga fakta bahwa proporsi kekurangan gizi nasional masih sebesar 29,4%.

Tentu banyak yang buru-buru menampik fakta ini sambil mengerutkan kening, pasalnya sebagai orang Lampung kita merasa daerah ini lebih maju dan bergengsi dalam banyak aspek ketimbang dua daerah lain yang menjadi “rekan kurang gizinya” tadi. Terlebih Lampung yang punya potensi menjanjikan di sektor pertanian dan perkebunannya ini merupakan gerbang utama dari jalur distribusi ekonomi yang menghubungkan langsung Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera.

Namun, beginilah faktanya, kita harus berani jujur mengakui betapa masih “terbelakangnya” daerah ini, dan betapa kesejahteraan masih samar-samar dinikmati warganya. Penting untuk juga diingat soal “prestasi” Lampung juga masih sebagai provinsi termiskin kedelapan secara nasional dan ketiga di pulau Sumatera setelah Bengkulu dan Aceh, dengan kisaran angka penduduk miskin sekitar 1.134.280 jiwa atau 14,39% dari total populasinya (Lampost, 27/9). Bahkan angka gizi buruk pun masih cukup tinggi, data Dinkesprov menyebut sepanjanga tahun 2014 ada 132 kasus dengan 14 orang diantaranya meninggal dunia (Lampost, 17/1).

Tapi mengaku saja belumlah cukup, Gubernur baru kita beserta jajarannya dalam beberapa kali kesempatan malah selalu mengklaim bahwa data-data yang menyudutkan Lampung itu masih harus diragukan validitasnya. Sebab jika ditumburkan dengan data lain semisal tren positif angka pertumbuhan ekonomi daerah yang naik signifikan dalam beberapa tahun terakhir dianggapnya sebagai paradoks yang mustahil. Ditambah adanya julukkan Lampung sebagai lumbung beras, lumbung ternak, lumbung gula, lumbung ubi kayu yang terbesar se-Indonesia.

Klaim seperti ini barangkali memang bagus, namun baik pula kiranya data-data miring dijadikan oto-kritik bagi Lampung, oleh masyarakatnya apalagi para pemimpinnya. Sebagaimana pernah diungkap bersama oleh Joseph Stiglitz, Amartya Sein, dan Jean Paul Fittousi (2008) yang tak lain pakar ekonomi sekaligus peraih nobel, bahwa telah terjadi kesalahpahaman yang diselewengkan sedemikian rupa bahwa tolak ukur kesejahteraan selalu dianggap berbanding lurus dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi. Padahal ini tidaklah sesuai dengan realitas objektif masyarakat, sebab yang diukur hanyalah taraf konsumsinya bukan produktifitas ekonominya, atau hanya dari besaran investasi modal dari luar yang masuk.

Terlepas dari dua hal yang saling silang itu, memang semestinya sudah kita berkaca dan berbenah, membangun Lampung bukan lagi lewat bicara, melainkan aksi yang terukur capaiannya. Menempelnya predikat 3 besar gizi buruk pada Lampung tidaklah bisa begitu saja dipersalahkan pada satu atau dua pihak, sebagai derita bersama maka harus pula menjadi tanggung jawab bersama semua orang Lampung, tak peduli yang asli atau pendatang, kaya atau miskin, yang berkuasa atau pun jelata.

Seluruh keluarga masyarakat haruslah sadar betapa pentingnya asupan gizi yang memadai demi tercapainya kesejahteraan hidup. Konsumsi makanan bergizi tak berarti harus mewah dan mahal, sejak lama kita mengenal pola diservisifikasi pangan dengan cara mengolah kekayaan variatif dari panganan lokal sebagai asupan kalori dan protein yang sehat dan terjangkau. Bukankah kita punya lautan dan nelayan yang terandalkan memasok protein ? Bukankah kita juga punya luasan lahan dan petani yang tangguh memasok kalori ?

Pun seluruh penguasa di daerah ini, Gubernur dan terlebih Walikota/Bupati yang punya kuasa langsung untuk mencipta program, menggerakkan aparatur, dan menggunakan anggaran. Menjadi kewajiban tak tertawar baginya untuk menjawab perkara ini. Apalagi belakangan toh sudah kita ketahui bersama akan hadirnya medan persaingan hidup yang makin keras dengan diterapkannya Masyarakat Ekonomi Asean.

18 Maret 2015 mendatang provinsi ini akan mencapai usianya yang tak lagi muda, 51 tahun. Jangan sampai kita yang hidup di era sekarang ini terus-terusan mengabaikan waktu yang sudah dihabiskan selama itu demi terbangunnya provinsi Lampung dengan membiarkan keterpurukan demi keterpurukan kian melekat pada daerah dan masyarakatnya. Lampung harus bangkit, ketercukupan gizi masyarakat hanyalah buah manis yang ditentukan oleh suksesnya pemerataan dan peningkatan kesejahteraan. Ayo membangun Lampung dari dalam tubuh manusianya !
___________
*) Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung.
TERBIT di Harian Cetak KORAN EDITOR, Rabu 21 Januari 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar