Oleh : Saddam Cahyo*
Siapa sangka, persis di penghujung tahun 2014 yang
hingar bingar dengan suksesi pemimpin kemarin, kita malah harus menemui
fakta miris tentang provinsi Lampung, yakni masuk dalam jajaran tertinggi
masyarakatnya yang kekurangan gizi, nyaris setara dengan provinsi Nusa
Tenggara Timur dan Papua (Lampost, 30/12). Fakta ini terungkap dari
Studi Diet Total oleh Balitbangkes Kemenkes RI tahun 2014 yang turut
dipamerkan dalam Parade Penelitian Kesehatan di Jakarta.
Batasan kekurangan gizi, khususnya kalori dan protein
yang digunakan ialah bila asupan kalori kurang dari 70% angka kecukupan
energi (AKE), dan jika asupan protein kurang dari 80% angka kecukupan
protein (AKP). Riset ini melibatkan 2.372 orang enumerator pengumpul
data lapangan terhadap 46.238 rumah tangga dari 497 kabupaten/kota di
33 provinsi se-Indonesia. Ditemukan juga fakta bahwa proporsi kekurangan
gizi nasional masih sebesar 29,4%.
Tentu banyak yang buru-buru menampik fakta ini sambil
mengerutkan kening, pasalnya sebagai orang Lampung kita merasa daerah
ini lebih maju dan bergengsi dalam banyak aspek ketimbang dua daerah
lain yang menjadi “rekan kurang gizinya” tadi. Terlebih Lampung
yang punya potensi menjanjikan di sektor pertanian dan perkebunannya
ini merupakan gerbang utama dari jalur distribusi ekonomi yang menghubungkan
langsung Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera.
Namun, beginilah faktanya, kita harus berani jujur
mengakui betapa masih “terbelakangnya” daerah ini, dan betapa kesejahteraan
masih samar-samar dinikmati warganya. Penting untuk juga diingat soal
“prestasi” Lampung juga masih sebagai provinsi termiskin kedelapan
secara nasional dan ketiga di pulau Sumatera setelah Bengkulu dan Aceh,
dengan kisaran angka penduduk miskin sekitar 1.134.280 jiwa atau 14,39%
dari total populasinya (Lampost, 27/9). Bahkan angka gizi buruk pun
masih cukup tinggi, data Dinkesprov menyebut sepanjanga tahun 2014 ada
132 kasus dengan 14 orang diantaranya meninggal dunia (Lampost, 17/1).
Tapi mengaku saja belumlah cukup, Gubernur baru kita
beserta jajarannya dalam beberapa kali kesempatan malah selalu mengklaim
bahwa data-data yang menyudutkan Lampung itu masih harus diragukan validitasnya.
Sebab jika ditumburkan dengan data lain semisal tren positif angka pertumbuhan
ekonomi daerah yang naik signifikan dalam beberapa tahun terakhir dianggapnya
sebagai paradoks yang mustahil. Ditambah adanya julukkan Lampung sebagai
lumbung beras, lumbung ternak, lumbung gula, lumbung ubi kayu yang terbesar
se-Indonesia.
Klaim seperti ini barangkali memang bagus, namun
baik pula kiranya data-data miring dijadikan oto-kritik bagi Lampung,
oleh masyarakatnya apalagi para pemimpinnya. Sebagaimana pernah diungkap
bersama oleh Joseph Stiglitz, Amartya Sein, dan Jean Paul Fittousi (2008)
yang tak lain pakar ekonomi sekaligus peraih nobel, bahwa telah terjadi
kesalahpahaman yang diselewengkan sedemikian rupa bahwa tolak ukur kesejahteraan
selalu dianggap berbanding lurus dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi.
Padahal ini tidaklah sesuai dengan realitas objektif masyarakat, sebab
yang diukur hanyalah taraf konsumsinya bukan produktifitas ekonominya,
atau hanya dari besaran investasi modal dari luar yang masuk.
Terlepas dari dua hal yang saling silang itu, memang
semestinya sudah kita berkaca dan berbenah, membangun Lampung bukan
lagi lewat bicara, melainkan aksi yang terukur capaiannya. Menempelnya
predikat 3 besar gizi buruk pada Lampung tidaklah bisa begitu saja dipersalahkan
pada satu atau dua pihak, sebagai derita bersama maka harus pula menjadi
tanggung jawab bersama semua orang Lampung, tak peduli yang asli atau
pendatang, kaya atau miskin, yang berkuasa atau pun jelata.
Seluruh keluarga masyarakat haruslah sadar betapa
pentingnya asupan gizi yang memadai demi tercapainya kesejahteraan hidup.
Konsumsi makanan bergizi tak berarti harus mewah dan mahal, sejak lama
kita mengenal pola diservisifikasi pangan dengan cara mengolah kekayaan
variatif dari panganan lokal sebagai asupan kalori dan protein yang
sehat dan terjangkau. Bukankah kita punya lautan dan nelayan yang terandalkan
memasok protein ? Bukankah kita juga punya luasan lahan dan petani yang
tangguh memasok kalori ?
Pun seluruh penguasa di daerah ini, Gubernur dan
terlebih Walikota/Bupati yang punya kuasa langsung untuk mencipta program,
menggerakkan aparatur, dan menggunakan anggaran. Menjadi kewajiban tak
tertawar baginya untuk menjawab perkara ini. Apalagi belakangan toh
sudah kita ketahui bersama akan hadirnya medan persaingan hidup yang
makin keras dengan diterapkannya Masyarakat Ekonomi Asean.
18 Maret 2015 mendatang provinsi ini akan mencapai
usianya yang tak lagi muda, 51 tahun. Jangan sampai kita yang hidup
di era sekarang ini terus-terusan mengabaikan waktu yang sudah dihabiskan
selama itu demi terbangunnya provinsi Lampung dengan membiarkan keterpurukan
demi keterpurukan kian melekat pada daerah dan masyarakatnya. Lampung
harus bangkit, ketercukupan gizi masyarakat hanyalah buah manis yang
ditentukan oleh suksesnya pemerataan dan peningkatan kesejahteraan.
Ayo membangun Lampung dari dalam tubuh manusianya !
___________
*) Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi
(LMND) Eksekutif Wilayah Lampung.
TERBIT di Harian Cetak KORAN EDITOR, Rabu 21 Januari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar