Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Senin, 26 Januari 2015

Karya Kawan : Liberalisme Harga BBM dan ‘Labil Ekonomi’


Oleh : Devin Prastyia*

Masih ingat istilah “labil ekonomi”? Istilah yang dipopulerkan secara sekenanya oleh Vicky Prasetyo beberapa waktu lalu ini memang tidak ada dalam kosakata ilmu ekonomi baku. Namun, istilah ini justru telah mendapatkan konteks empiriknya dalam situasi perekonomian real masyarakat Indonesia sekarang. Persisnya setelah pemerintah resmi meliberalisasikan berbagai barang publik, seperti BBM, listrik, dan gas.

Senin (19/1), tepat pukul 00.00 WIB, harga baru Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium dan solar resmi diberlakukan. Harga premium yang sebelumnya Rp 7.600,- diturunkan menjadi Rp. 6.700,- sedangkan solar dari Rp. 7.250,- menjadi Rp. 6.400,-. Pemerintah beralasan turunnya harga BBM ini karena menyesuaikan harga minyak dunia yang juga sedang turun, dan ini sesuai dengan Permen ESDM No.39/2014.

Padahal sebelumnya, pada tanggal 1 Januari 2015, pemerintah juga sudah menetapkan kebijakan baru perihal BBM, yakni pencabutan subsidi untuk premium serta diberlakukannya subsidi tetap Rp.1000,- untuk solar. Harga premium turun dari sebelumnya Rp. 8.500,- menjadi Rp. 7.600,- sedangkan solar dari Rp. 7.500,- menjadi 7.250,-.

Setidaknya dalam tempo yang belum genap 100 hari kepemimpinannya, Rezim Jokowi-JK sudah melakukan tiga kali perubahan harga BBM. Pada November tahun lalu, harga BBM dipaksakan naik sebesar Rp.2000,- untuk premium yang semula Rp.6500,- dan solar yang semula Rp.5500,- dengan dalih peralihan subsidi ke program pembangunan produktif.

Fluktuasi Harga

Persoalannya, fluktuasi harga BBM yang tak menentu karena akan dievaluasi per dua minggu ini akan berakibat fatal bagi seluruh sektor kehidupan rakyat. Masyarakat menjadi resah karena harga barang dan jasa kebutuhan pokok menjadi tidak menentu. Tentunya ini sangat berpengaruh langsung bagi aktifitas produksi, baik petani, nelayan, buruh, usaha mikro, mahasiswa, dan masyarakat miskin lainnya yang notabene masih menjadi mayoritas di negeri ini.

Di sektor buruh, misalkan, ketidakstabilan harga BBM akan menyebabkan semakin sulitnya pemenuhan kebutuhan hidup buruh di tengah hegemoni politik upah murah para pengusaha yang khawatir keuntungannya berkurang. Selain itu, juga dapat berdampak semakin menggilanya sistem kerja kontrak dan outsourcing serta ancaman PHK oleh perusahaan.

Sektor tani, nelayan, dan usaha mikro pun akan semakin kerepotan menghadapi ketidakstabilan harga BBM ini, karena biaya produksi yang dibutuhkan semakin tidak jelas dan bisa menyebabkan turunnya produktifitas atau hingga anjloknya harga jual produk yang membuat mereka gulung tikar dan tenggelam dalam kemiskinan.

Bahkan mahasiswa pun akan terkena imbas lantaran biaya yang dibutuhkan selama masa studi melonjak, dari sewa kost, foto copy, biaya makan, transportasi, dan lain-lain. Belum lagi, sebelumnya pemerintah sudah menerapkan sistem uang kuliah tunggal (UKT) yang telah menswastakan perguruan tinggi negeri hingga melonjaknya iuran semester.

Belum lagi masyarakat pada umumnya juga harus menghadapi dampak dari fluktuasi  harga BBM terkait biaya rutin rumah tangga, seperti listrik, air, gas, bahan makanan (beras, susu, dsb), bahan bangunan, transportasi, kesehatan, dan pendidikan anak.

Hentikan Liberalisasi

Sudah disadari bersama betapa BBM berperan teramat vital dan fundamental bagi keberlangsungan hidup rakyat Indonesia. Ketidakpastian harga jual yang terlampau fleksibel mengikuti gerak harga minyak di pasaran dunia, tentu menimbulkan reaksi was-was dari seluruh pelaku ekonomi baik mikro maupun makro. Inilah yang mengakibatkan sekali pun harga BBM sedang turun, harga barang/jasa kebutuhan hidup belum tentu diturunkan karena tak ada kepastian kapan dan berapa nominal kenaikannya.

Itulah mengapa rakyat Indonesia tak bisa merayakan momen dua kali penurunan harga BBM dalam satu bulan ini. Terlebih lagi, yang perlu kita sadari adalah praktek dilepaskannya penentuan harga BBM pada mekanisme pasar. Ini adalah bentuk paling sempurna dari neoliberalisme atau penjajahan asing gaya baru, dimana peran negara untuk mengayomi rakyatnya kian dihilangkan.
Ditengah perekonomian rakyat Indonesia yang masih tergolong rendah, kebijakan liberalisasi dengan mencabut subsidi BBM dan penyesuaian harga pada mekanisme pasar sangatlah fatal. Rakyat sebagai warga negara dipaksa menanggung beban hidup yang kian berat hingga berpotensi besar melipatgandakan angka kemiskinan.

Oleh karena itu, pemerintah Jokowi – JK harusnya segera melakukan perubahan yang mendasar untuk mengatasi segala persoalan bangsa, bukan malah semakin memperburuk. Sudah jelas, persoalan bangsa hari ini tak lepas dari tidak berdaulatnya kita dalam bidang ekonomi maupun politik yang telah menyebabkan ketergantungan akut terhadap suntikan modal dari negeri asing.
Bukankah pada masa kampanye pemilu yang lalu Jokowi-JK begitu lantang mengusung janji Trisakti sebagai visi politiknya. Trisakti adalah gagasan besar yang pernah digaungkan Bung Karno untuk menjemput kejayaan bangsa ini. Berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara budaya adalah hal yang patut dijadikan pedoman rezim baru ini.

______
*) Mahasiswa Teknik Informatika IBI Darmajaya
    Pengurus Eksekutif Kota LMND Bandar Lampung
    TERBIT di harian cetak KORAN EDITOR, Senin 26 januari 2015.

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20150127/liberalisme-harga-bbm-dan-labil-ekonomi.html#ixzz3Q0RxGkm5 


Kamis, 22 Januari 2015

Opini : Orang Lampung Kurang Gizi ?


Oleh : Saddam Cahyo*


Siapa sangka, persis di penghujung tahun 2014 yang hingar bingar dengan suksesi pemimpin kemarin, kita malah harus menemui fakta miris tentang provinsi Lampung, yakni masuk dalam jajaran tertinggi masyarakatnya yang kekurangan gizi, nyaris setara dengan provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua (Lampost, 30/12). Fakta ini terungkap dari Studi Diet Total oleh Balitbangkes Kemenkes RI tahun 2014 yang turut dipamerkan dalam Parade Penelitian Kesehatan di Jakarta.

Batasan kekurangan gizi, khususnya kalori dan protein yang digunakan ialah bila asupan kalori kurang dari 70% angka kecukupan energi (AKE), dan jika asupan protein kurang dari 80% angka kecukupan protein (AKP). Riset ini melibatkan 2.372 orang enumerator pengumpul data lapangan terhadap 46.238 rumah tangga dari 497 kabupaten/kota di 33 provinsi se-Indonesia. Ditemukan juga fakta bahwa proporsi kekurangan gizi nasional masih sebesar 29,4%.

Menyadari Keterpurukan

Tentu banyak yang buru-buru menampik fakta ini sambil mengerutkan kening, pasalnya sebagai orang Lampung kita merasa daerah ini lebih maju dan bergengsi dalam banyak aspek ketimbang dua daerah lain yang menjadi “rekan kurang gizinya” tadi. Terlebih Lampung yang punya potensi menjanjikan di sektor pertanian dan perkebunannya ini merupakan gerbang utama dari jalur distribusi ekonomi yang menghubungkan langsung Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera.

Namun, beginilah faktanya, kita harus berani jujur mengakui betapa masih “terbelakangnya” daerah ini, dan betapa kesejahteraan masih samar-samar dinikmati warganya. Penting untuk juga diingat soal “prestasi” Lampung juga masih sebagai provinsi termiskin kedelapan secara nasional dan ketiga di pulau Sumatera setelah Bengkulu dan Aceh, dengan kisaran angka penduduk miskin sekitar 1.134.280 jiwa atau 14,39% dari total populasinya (Lampost, 27/9). Bahkan angka gizi buruk pun masih cukup tinggi, data Dinkesprov menyebut sepanjanga tahun 2014 ada 132 kasus dengan 14 orang diantaranya meninggal dunia (Lampost, 17/1).

Tapi mengaku saja belumlah cukup, Gubernur baru kita beserta jajarannya dalam beberapa kali kesempatan malah selalu mengklaim bahwa data-data yang menyudutkan Lampung itu masih harus diragukan validitasnya. Sebab jika ditumburkan dengan data lain semisal tren positif angka pertumbuhan ekonomi daerah yang naik signifikan dalam beberapa tahun terakhir dianggapnya sebagai paradoks yang mustahil. Ditambah adanya julukkan Lampung sebagai lumbung beras, lumbung ternak, lumbung gula, lumbung ubi kayu yang terbesar se-Indonesia.

Klaim seperti ini barangkali memang bagus, namun baik pula kiranya data-data miring dijadikan oto-kritik bagi Lampung, oleh masyarakatnya apalagi para pemimpinnya. Sebagaimana pernah diungkap bersama oleh Joseph Stiglitz, Amartya Sein, dan Jean Paul Fittousi (2008) yang tak lain pakar ekonomi sekaligus peraih nobel, bahwa telah terjadi kesalahpahaman yang diselewengkan sedemikian rupa bahwa tolak ukur kesejahteraan selalu dianggap berbanding lurus dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi. Padahal ini tidaklah sesuai dengan realitas objektif masyarakat, sebab yang diukur hanyalah taraf konsumsinya bukan produktifitas ekonominya, atau hanya dari besaran investasi modal dari luar yang masuk.
Lampung Bergizi

Terlepas dari dua hal yang saling silang itu, memang semestinya sudah kita berkaca dan berbenah, membangun Lampung bukan lagi lewat bicara, melainkan aksi yang terukur capaiannya. Menempelnya predikat 3 besar gizi buruk pada Lampung tidaklah bisa begitu saja dipersalahkan pada satu atau dua pihak, sebagai derita bersama maka harus pula menjadi tanggung jawab bersama semua orang Lampung, tak peduli yang asli atau pendatang, kaya atau miskin, yang berkuasa atau pun jelata.

Seluruh keluarga masyarakat haruslah sadar betapa pentingnya asupan gizi yang memadai demi tercapainya kesejahteraan hidup. Konsumsi makanan bergizi tak berarti harus mewah dan mahal, sejak lama kita mengenal pola diservisifikasi pangan dengan cara mengolah kekayaan variatif dari panganan lokal sebagai asupan kalori dan protein yang sehat dan terjangkau. Bukankah kita punya lautan dan nelayan yang terandalkan memasok protein ? Bukankah kita juga punya luasan lahan dan petani yang tangguh memasok kalori ?

Pun seluruh penguasa di daerah ini, Gubernur dan terlebih Walikota/Bupati yang punya kuasa langsung untuk mencipta program, menggerakkan aparatur, dan menggunakan anggaran. Menjadi kewajiban tak tertawar baginya untuk menjawab perkara ini. Apalagi belakangan toh sudah kita ketahui bersama akan hadirnya medan persaingan hidup yang makin keras dengan diterapkannya Masyarakat Ekonomi Asean.  

18 Maret 2015 mendatang provinsi ini akan mencapai usianya yang tak lagi muda, 51 tahun. Jangan sampai kita yang hidup di era sekarang ini terus-terusan mengabaikan waktu yang sudah dihabiskan selama itu demi terbangunnya provinsi Lampung dengan membiarkan keterpurukan demi keterpurukan kian melekat pada daerah dan masyarakatnya. Lampung harus bangkit, ketercukupan gizi masyarakat hanyalah buah manis yang ditentukan oleh suksesnya pemerataan dan peningkatan kesejahteraan. Ayo membangun Lampung dari dalam tubuh manusianya !
___________
*) Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung.
TERBIT di harian cetak LAMPUNG POST Kamis 22 Januari 2014.

http://epaper.lampost.co/index.php?edisi_epaper=847

Rabu, 21 Januari 2015

Opini : Miskin dan Kurang Gizi


Oleh : Saddam Cahyo*


Siapa sangka, persis di penghujung tahun 2014 yang hingar bingar dengan suksesi pemimpin kemarin, kita malah harus menemui fakta miris tentang provinsi Lampung, yakni masuk dalam jajaran tertinggi masyarakatnya yang kekurangan gizi, nyaris setara dengan provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua (Lampost, 30/12). Fakta ini terungkap dari Studi Diet Total oleh Balitbangkes Kemenkes RI tahun 2014 yang turut dipamerkan dalam Parade Penelitian Kesehatan di Jakarta.

Batasan kekurangan gizi, khususnya kalori dan protein yang digunakan ialah bila asupan kalori kurang dari 70% angka kecukupan energi (AKE), dan jika asupan protein kurang dari 80% angka kecukupan protein (AKP). Riset ini melibatkan 2.372 orang enumerator pengumpul data lapangan terhadap 46.238 rumah tangga dari 497 kabupaten/kota di 33 provinsi se-Indonesia. Ditemukan juga fakta bahwa proporsi kekurangan gizi nasional masih sebesar 29,4%.

Tentu banyak yang buru-buru menampik fakta ini sambil mengerutkan kening, pasalnya sebagai orang Lampung kita merasa daerah ini lebih maju dan bergengsi dalam banyak aspek ketimbang dua daerah lain yang menjadi “rekan kurang gizinya” tadi. Terlebih Lampung yang punya potensi menjanjikan di sektor pertanian dan perkebunannya ini merupakan gerbang utama dari jalur distribusi ekonomi yang menghubungkan langsung Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera.

Namun, beginilah faktanya, kita harus berani jujur mengakui betapa masih “terbelakangnya” daerah ini, dan betapa kesejahteraan masih samar-samar dinikmati warganya. Penting untuk juga diingat soal “prestasi” Lampung juga masih sebagai provinsi termiskin kedelapan secara nasional dan ketiga di pulau Sumatera setelah Bengkulu dan Aceh, dengan kisaran angka penduduk miskin sekitar 1.134.280 jiwa atau 14,39% dari total populasinya (Lampost, 27/9). Bahkan angka gizi buruk pun masih cukup tinggi, data Dinkesprov menyebut sepanjanga tahun 2014 ada 132 kasus dengan 14 orang diantaranya meninggal dunia (Lampost, 17/1).

Tapi mengaku saja belumlah cukup, Gubernur baru kita beserta jajarannya dalam beberapa kali kesempatan malah selalu mengklaim bahwa data-data yang menyudutkan Lampung itu masih harus diragukan validitasnya. Sebab jika ditumburkan dengan data lain semisal tren positif angka pertumbuhan ekonomi daerah yang naik signifikan dalam beberapa tahun terakhir dianggapnya sebagai paradoks yang mustahil. Ditambah adanya julukkan Lampung sebagai lumbung beras, lumbung ternak, lumbung gula, lumbung ubi kayu yang terbesar se-Indonesia.

Klaim seperti ini barangkali memang bagus, namun baik pula kiranya data-data miring dijadikan oto-kritik bagi Lampung, oleh masyarakatnya apalagi para pemimpinnya. Sebagaimana pernah diungkap bersama oleh Joseph Stiglitz, Amartya Sein, dan Jean Paul Fittousi (2008) yang tak lain pakar ekonomi sekaligus peraih nobel, bahwa telah terjadi kesalahpahaman yang diselewengkan sedemikian rupa bahwa tolak ukur kesejahteraan selalu dianggap berbanding lurus dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi. Padahal ini tidaklah sesuai dengan realitas objektif masyarakat, sebab yang diukur hanyalah taraf konsumsinya bukan produktifitas ekonominya, atau hanya dari besaran investasi modal dari luar yang masuk.

Terlepas dari dua hal yang saling silang itu, memang semestinya sudah kita berkaca dan berbenah, membangun Lampung bukan lagi lewat bicara, melainkan aksi yang terukur capaiannya. Menempelnya predikat 3 besar gizi buruk pada Lampung tidaklah bisa begitu saja dipersalahkan pada satu atau dua pihak, sebagai derita bersama maka harus pula menjadi tanggung jawab bersama semua orang Lampung, tak peduli yang asli atau pendatang, kaya atau miskin, yang berkuasa atau pun jelata.

Seluruh keluarga masyarakat haruslah sadar betapa pentingnya asupan gizi yang memadai demi tercapainya kesejahteraan hidup. Konsumsi makanan bergizi tak berarti harus mewah dan mahal, sejak lama kita mengenal pola diservisifikasi pangan dengan cara mengolah kekayaan variatif dari panganan lokal sebagai asupan kalori dan protein yang sehat dan terjangkau. Bukankah kita punya lautan dan nelayan yang terandalkan memasok protein ? Bukankah kita juga punya luasan lahan dan petani yang tangguh memasok kalori ?

Pun seluruh penguasa di daerah ini, Gubernur dan terlebih Walikota/Bupati yang punya kuasa langsung untuk mencipta program, menggerakkan aparatur, dan menggunakan anggaran. Menjadi kewajiban tak tertawar baginya untuk menjawab perkara ini. Apalagi belakangan toh sudah kita ketahui bersama akan hadirnya medan persaingan hidup yang makin keras dengan diterapkannya Masyarakat Ekonomi Asean.

18 Maret 2015 mendatang provinsi ini akan mencapai usianya yang tak lagi muda, 51 tahun. Jangan sampai kita yang hidup di era sekarang ini terus-terusan mengabaikan waktu yang sudah dihabiskan selama itu demi terbangunnya provinsi Lampung dengan membiarkan keterpurukan demi keterpurukan kian melekat pada daerah dan masyarakatnya. Lampung harus bangkit, ketercukupan gizi masyarakat hanyalah buah manis yang ditentukan oleh suksesnya pemerataan dan peningkatan kesejahteraan. Ayo membangun Lampung dari dalam tubuh manusianya !
___________
*) Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung.
TERBIT di Harian Cetak KORAN EDITOR, Rabu 21 Januari 2015.

Rabu, 14 Januari 2015

Karya Kawan : Malari Dan Pergerakan Mahasiswa Saat Ini


Oleh : Dody Firmansyah*

Berbicara tentang pergerakan, tentu kita akan teringat pada sebuah momen penting di Indonesia, yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1974 atau lebih dikenal dengan peristiwa MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari). Peristiwa ini dapat dikatakan sebagai momen perlawanan terhebat pertama terhadap rezim Orde Baru yang dimotori oleh mahasiswa, dan berujung pada kerusuhan massa. Tak ayal peristiwa ini kelak menjadi titik monumental bagi munculnya wajah represif yang sistematis dari Rezim Soeharto.

Dilatari oleh ketidakpuasan gerakan mahasiswa atas kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat, khususnya terkait masuknya modal asing dalam program pembangunan nasional. Aksi protes mahasiswa era itu kian menjadi-jadi saat datangnya Jan P. Pronk sebagai perwakilan modal asing dari Amerika Serikat pada 11 November 1973, dan memuncak saat perdana menteri Jepang Tanaka Kakuei juga datang ke Indonesia pada 14 Januari 1974.

Namun, kini terlepas dari peristiwa yang telah berlalu tersebut timbul satu pertanyaan, “dimanakah kaum mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah sekarang ini?”Apakah masih terbuai dalam mimpi-mimpi masturbasi di siang hari, atau sibuk dalam hiruk pikuk dunia modern yang terlampau hedonis? Pertanyaan-pertanyaan tersebut harusnya menjadi sebuah sindiran yang teramat pedas terhadap para mahasiswa di zaman sekarang yang di gadang-gadangkan sebagai ujung tombak rakyat atau terkadang menyebut diri mereka sebagai Agent of Change (Agen perubahan).

Seharusnya, sebagai generasi yang memiliki tingkat intelektualitas yang dapat dikatakan mumpuni, kaum mahasiswa di zaman sekarang harus sama kritisnya dengan para mahasiswa pada masa pergerakan, mengamati jalannya setiap kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah serta mengawasi berlangsungnya pemerintahan. Dan jika terjadi penyimpangan terhadap hal-hal tersebut, maka seharusnya merekalah orang-orang yang pertama kali menanggapi. Namun, pada kenyataannya, hanya segelintir mahasiswa yang masih peka terhadap gejolak-gejolak sosial-politik yang terjadi sekarang ini. Sementara sebagian besar mahasiswa lainnya tidak pernah menanggapi, bahkan lebih bersikap apatis.

Hal ini menjadi suatu permasalahan yang cukup rumit jika ditelusuri penyebabnya. Apakah penyebab utamanya orang tua yang membebani anak mereka dengan tuntutan nilai sempurna supaya lekas wisuda dan mendapat pekerjaan layak? atau pemerintah yang dengan segala cara menina-bobokan mahasiswa agar tidak kembali bergerak dengan peraturan-peraturan akademik dan sebagai aparatus ideologis yang mengharuskan mahasiswa sibuk berkutat dengan tugas-tugasnya? (Catatan: baru-baru ini ada peraturan akademik yang baru diterapkan di seluruh kampus negeri di Indonesia yang mewajibkan mahasiswa menyelesaikan studinya paling lambat lima tahun), sehingga setiap penyimpangan yang terjadi dalam tubuh birokrasi negeri tidak terungkap dan terabaikan.

Padahal, rakyat Indonesia masih sangat membutuhkan hadirnya kaum-kaum muda terpelajar yang peduli terhadap keadaan negeri yang kacau seperti sekarang ini. Kaum muda harus memiliki sikap progresif untuk mengawal bangsa menuju kesejahteraan dengan cara melakukan pengawasan serta pembenahan pada sistem-sistem kebijakan pemerintah. Namun, tentu kesadaran tersebut tidak dapat dibangun dengan mudah, butuh proses yang panjang mulai dari menanamkan kepekaan terhadap lingkungan sosial-politik hingga pengorganisasian mahasiswa dalam ruang lingkup umum, sehingga sedikit demi sedikit timbul sebuah kesadaran dalam diri setiap mahasiswa untuk kembali peduli terhadap setiap persoalan bangsa ini.

Persoalan bangsa yang dihadapi saat ini adalah mewabahnya kapitalisme serta neoliberalisme dalam segala sektor yang jelas merugikan serta mengancam kesejahteraan rakyat kedepannya. Hal ini tercermin dalam bentuk eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang dilakukan pihak asing serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat pro terhadap kepentingan asing. Jika dibandingkan dengan penyebab terjadinya peristiwa MALARI, tentu penyimpangan yang dilakukan pemerintah sekarang ini sudah lebih jauh serta keterlaluan.

Maka dari itu, sikap kritis yang ada pada diri mahasiswa terhadap jalannya pemerintahan harus berupa aksi nyata yang jelas sebagai wujud kepedulian serta refleksi akan jiwa muda yang membara. Sebab, setiap kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak pro rakyat sekarang ini sudah tidak dapat dipengaruhi dengan cara kompromi atau negosiasi. Tugas mahasiswa adalah membersihkan apa yang ternoda serta meluruskan apa yang bengkok.

Merujuk apa yang dikatakan Bung Karno: “berikan aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, tetapi berikan aku 10 pemuda maka akan kuguncang dunia.” Karenanya, segala macam perubahan harus diawali oleh para pemuda, khususnya kaum muda terpelajar. Jangan sampai generasi mahasiswa di masa sekarang ini malah termasuk ke dalam kriteria generasi yang gagal. Mahasiswa harus menjadi martir-martir revolusi sekalipun di tengah-tengah arus modernisasi yang teramat dahsyat.
___________
*) Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung dan bergiat di Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Kota Bandar Lampung

Sumber Artikel:
http://www.berdikarionline.com/opini/20150113/malari-dan-pergerakan-mahasiswa-saat-ini.html#ixzz3OlALvD9j