Perhatian publik sempat tersita pada berita bahagia yang tersiar
dari Kota Semarang, Jawa Tengah: Raeni, anak seorang tukang becak, menjadi
wisudawan terbaik di Universitas Negeri Semarang (Unnes) dengan raihan IPK
3,96—nyaris sempurna—dan langsung diantar dengan kayuhan becak oleh
ayahandanya. Prestasi ini memang membanggakan kita semua.Karenanya, wajar jika
Rektor Unnes Prof. Faturrokhman menyatakan langsung apresiasinya, bahkan ia
menyebut akan ada kebangkitan anak-anak kaum miskin di negeri ini karena
pemerintah telah memberi beasiswa penuh Bidik Misi kepada sekitar 50.000 anak
Indonesia per tahunnya agar bisa mengenyam pendidikan tinggi (Kompas.com,10/6).
Apresiasi untuk Raeni pun kian bermunculan dari banyak pihak, termasuk Presiden
SBY.
Namun, ada baiknya juga tidak hanyut dalam berita inspiratif ini
saja. Mengingat sekarang, sudah memasuki medio Juni–Agustus yang merupakan
musim penerimaan mahasiswa baru di seantero negeri. Hal menarik yang perlu juga
diperhatikan bersama adalah Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 Tentang Biaya
Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi
Negeri. BKT ialah akumulasi seluruh biaya pendidikan yang dibutuhkan oleh
setiap mahasiswa selama 8 semester dan dibagi rata untuk menentukan tarif iuran
per semester. BKT terdiri dari BOPTN (Biaya Operasional Perguruan Tinggi
Negeri) yang bersumber dari APBN ditambah UKT yang dibayar oleh mahasiswa
setiap semesternya.
Sekilas, kebijakan ini terkesan sangat positif karena meniadakan
beban biaya pangkal yang biasanya sampai puluhan juta rupiah. Sejak tahun
lalu kebijakan ini sudah diterapkan untuk mahasiswa angkatan 2013/2014 di
seluruh PTN se-Indonesia.Umumnya, mahasiswa dibagi dalam beberapa golongan
berdasar latar belakang kemampuan ekonomi keluarga. Diamanatkan juga, wajib
terpenuhinya kuota masing-masing minimal 5% untuk golongan yang digratiskan dan
golongan yang membayar di bawah Rp. 1 juta. Hal ini bisa dilakukan dengan
mekanisme subsidi silang atas nama keadilan antara si mampu kepada yang tidak.
Pendidikan Komersil
Di Universitas Lampung, misalnya, terdapat lima golongan UKT
mahasiswa yang nominalnya berbeda sesuai dengan beban studi jurusannya:
kelompok I gratis; kelompok II bayar Rp. 1 juta; kelompok III kisaran Rp. 2,08
juta – 3,87 juta; kelompok IV kisaran Rp. 3,1 juta – 6,4 juta; dan kelompok V
kisaran Rp. 3,8 juta – 8,62 juta. Tercatat paling murah di FKIP dan termahal di
Fakultas Teknik, sementara Fakultas Kedokteran memang jauh lebih mahal;
kelompok III Rp. 10,78 juta; kelompok IV Rp. 11,75 juta; dan kelompok V Rp.
12,38 juta (unila.ac.id). Tarif iuran UKT mahasiswa Unila ini, khususnya
Kelompok III yang non subsidi silang, terbilang melonjak naik rata-rata 100%
dari yang dibayarkan mahasiswa reguler angkatan sebelumnya.
Namun, pelaksanaan UKT di Unila tidaklah berjalan mulus, banyak
persoalan yang terjadi di lapangan sebagaimana terungkap dalam reportase khusus
tabloid kampus. Terutama banyaknya mahasiswa yang merasa sangat keberatan
dengan status UKT yang ditanggungnya karena memang sangat tidak sesuai dengan
kemampuan. Sayangnya, kesempatan sidang banding pun tidak cukup efektif sebagai
solusi karena berbagai masalah teknis seperti minimnya informasi sampai
kepasrahan. Selain itu, juga diketahui mayoritas mahasiswa yang lolos seleksi
penerimaan belum memahami sistem baru ini dan terlalu khawatir batal menjadi
mahasiswa, sehingga mereka terjebak mengisi formulir UKT yang tidak sesuai
(Teknokra, April 2014).
Sistem UKT ini memang menuai banyak protes, khususnya dari
kalangan mahasiswa. Di Lampung saja, misalnya, ratusan mahasiswa kampus IAIN
Radin Intan sempat melakukan aksi massa menuntut rektornya untuk membatalkan
pemberlakuan UKT karena dianggap memberatkan. Tetapi sayang upaya mereka belum
menuai hasil karena pihak rektorat menerangkan posisinya sebagai pelaksana
tugas kementerian pendidikan yang tak bisa membantah (14/1). Gejala otonomisasi
kampus negeri seperti ini memang sangat bertentangan dengan kemampuan mahasiswa
Indonesia pada umumnya, di seluruh daerah sebenarnya sudah terjadi protes,
hanya saja masih sporadik, belum terorganisir, serentak, dan massif. Hal ini
dikarenakan watak mahasiswa sebagai kelas menengah yang kurang percaya diri dan
cenderung pasrah pada status quo, padahal selalu
ada kesempatan untuk menciptakan perubahan.
Tapi diluar itu, sistem UKT ini memang punya masalah prinsipil,
yakni sarat ideologi bisnis. Sebuah penelitian yang mengamati kecenderungan
komersialisasi menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia memang nyaris tidak lagi
diposisikan sebagai public goods, melainkan
cenderung mengarah ke private goods. Pendidikan nasional telah
berubah menjadi lahan pemasaran produk industri maupun kebijakan, sehingga
membuat suasana sekolah berubah fungsi menjadi pasar. Masalah ini berakar dari
turutnya pemerintah kita dalam kesepakatan GATS (General Agreement of Trade and Services) tahun 2005 di WTO, yang
menetapkan pendidikan sebagai satu dari 12 komoditi sektor jasa (Rizqy Umami,
2014).
Secara bertahap dan pasti, pemerintah kita memang selalu
mengupayakan berlangsungnya liberalisasi pendidikan, dengan berbagai produk
kebijakan telah disusun untuk melegitimasinya secara halus. Sebut saja :UU
Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 dan UU Pendidikan Tinggi No 12
Tahun 2012 yang merupakan penyempurnaan dari UU BHP No.9 Tahun 2009 yang telah
dicabut MK karena wataknya yang komersil pada tahun 2010. Sekarang dilengkapi
lagi dengan lahirnya kebijakan UKT. Alasan yang kerap dimunculkan adalah
desakan arus global agar kita bisa bertahan, yakni negara harus melakukan
efisiensi anggaran, melakukan privatisasi dan liberalisasi berbagai sektor
publik, serta meminimalisir intervensinya atas pasar. Semua ini sungguh makin
melekatkan identitas neoliberalisme kepada pemerintah kita.
UKT sejatinya bukanlah strategi jitu untuk mewujudkan perluasan
akses pendidikan yang berkeadilan. UKT tidak sama sekali mengurangi beban biaya
pendidikan yang ditanggung masyarakat, ia juga tidak menghapuskan pungutan uang
pangkal, sebaliknya justru memukul rata semua mahasiswa wajib membayar uang
pangkal yang sudah terakumulasikan, padahal sebelumnya uang pangkal tidak
dikenakan bagi mahasiswa jalur reguler. UKT juga jelas memberatkan masyarakat
karena beban biaya yang melambung itu harus ditanggung sendiri, bahkan subsidi
silang pun sangat memberatkan, sebaliknya negara justru menarik diri alias
kebijakan ini sebagai upaya pencabutan subsidi pendidikan.
Sistem UKT juga punya potensi besar melenceng dari amanah
konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa karena bisa saja dimanfaatkan
sebagai celah komersialisasi demi mencari keuntungan yang illegal. Terutama
karena lemahnya transparansi pengelolaan anggaran, juga tentang apakah kuota
kelompok UKT 1 dan 2 sesuai jumlahnya dengan penanggung UKT kelompok 4 dan 5
sebagaimana skema subsidi silang. Salah-salah, karena kita selalu menyorot
persoalan terpenuhinya kuota minimal 5% mahasiswa miskin, kita jadi khilaf
menyadari kalau siswa yang dibebankan biaya tinggi melebihi kuota tersebut.
Hak Bangsa Untuk Cerdas
Perlu disadari era pasar bebas sudah menjadi hari esok, perjanjian
AFTA (Asean Free Trade Area) akan mulai berlangsung tahun 2015.
Sementara kita tahu betul itu pertanda level persaingan hidup akan semakin
berat dan tajam. Salah-salah pameo “Bangsa kuli di negeri sendiri” akan menjadi
kenyataan yang harus diterima kelak. Salah satu siasat mencegah mimpi buruk
seperti itu terjadi memang dengan melakukan lompatan kuantitas dan kualitas SDM
melalui pendidikan tinggi. Angka Partisipasi Kasar (APK) tahun 2012 anak
Indonesia usia produktif 19-24 yang mengenyam kuliah baru mencapai kisaran 28%,
padahal pendidikan adalah lokomotif utama mobilitas sosial masyarakat.
Perlu diakui juga, mayoritas rakyat kita sejatinya masih terjebak
dalam status miskin terselubung yang kerap diperhalus dengan sebutan kelas
menengah. Biaya hidup terus naik sementara trend penghasilan tidak mengikuti.
Tentu kita tidak cuma butuh beasiswa penuh bagi segelintir anak saja, melainkan
jaminan biaya kuliah yang murah terjangkau bagi semua kalangan, karena hal ini
sudah diamanatkan UUD sebagai tujuan kemerdekaan nasional. Kita butuh
komitmen bersama dari para decision maker, yakni
Presiden, Jajaran Kementrian, serta DPR RI dalam pemerintahan yang baru
mendatang untuk berani melakukan koreksi dan revisi radikal mengembalikan
hakekat pendidikan nasional yang inklusif dan prioritas.
_____________
Saddam Cahyo, Sekretaris
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung dan mahasiswa Sosiologi FISIP Unila
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20140719/ukt-wajah-nyata-pendidikan-komersil.html#ixzz37tthNTWy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar