Oleh : Saddam
Cahyo*
Republik
Indonesia sudah punya Presiden baru, pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla selasa
malam (22/7) lalu resmi ditetapkan oleh KPU sebagai peraih suara terbanyak,
yakni 70.633.576 atau 53,15% dari 33 provinsi. Sedikit melirik ke belakang, ada
sebuah ganjalan yang sudah siap menghalau pencapaian kerja pemerintahan baru
tersebut, yakni disahkannya revisi UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MD3 (MPR, DPR,
DPD, DPRD) lewat Rapat Paripurna DPR RI (8/7) meski 3 dari 9 fraksi parpol
yakni PDI-P, Hanura, dan PKB melakukan walk
out. Tentu bukan suatu masalah jika di ujung masa jabatannya para wakil
rakyat ini mengebut kerja prolegnas yang memang selalu gagal mecapai target,
tapi akan menjadi perkara serius jika UU yang digarap ternyata tidak menyentuh
substansi kepentingan rakyat umum, melainkan karena konflik kepentingan elit
politiknya semata.
Begitulah
nuansa yang terasa dalam proses penggantian UU MD3 tersebut. Pembahasan utama
dalam revisi UU ini berkutat soal
perebutan hak terpilih sebagai ketua. Sebelumnya diatur ketua DPR RI
menjadi hak bagi parpol pemenang Pileg yang meraih kursi terbanyak, sementara
kali ini diganti, pimpinan akan dipilih secara paket oleh seluruh anggota
legislatif yang baru. Putusan inilah yang menjadi titik tekan dari perselisihan
pendapat antar fraksi, khususnya PDI-P yang merasa haknya terzalimi karena
sudah berhasil memenangkan pemilu dengan raihan suara 18,95%. Gugatan juga
terus bermunculan dari berbagai pihak semisal Koalisi Masyarakat Sipil yang
merupakan gabungan beragam LSM/NGO tingkat nasional.
Lupa Hakekat
Memang
terasa sekali tingginya suhu perebutan kekuasaan dalam revisi UU MD3, terlebih
prosesnya kurang transparan dan pengesahannya yang terburu-buru yakni sehari
sebelum Pilpres 9 Juli. Maka wajar jika banyak kalangan beranggapan ini sebagai
upaya menghindari konsumsi publik yang sedang fokus pada penyelenggaraan
pemilu, dan sudah tentu ada keganjilan yang patut dicurigai bersama. Penyusunan
UU memang sepenuhnya hak Pemerintah dan DPR, namun hakekatnya tetap harus
terbuka kepada publik, agar aspirasi rakyat juga bisa terus tersampaikan dan
dijadikan pertimbangan, karena mubazir jadinya jika UU yang telah disahkan
ternyata lebih banyak mudharatnya sampai harus digugat rakyat dan dibatalkan
MK.
Nyatanya
memang banyak persoalan, terutama Pasal 84 ketentuan pemilihan pimpinan DPR RI
dengan sistem paket jelas telah mengabaikan prinsip keterwakilan rakyat, dan
malah bisa menjadi celah kian suburnya praktek politik dagang sapi yang vulgar
antara berbagai kelompok kepentingan yang ada. Hal lain yang perlu disoroti
dari hasil revisi UU MD3 ialah: pertama, ketentuan kuorum untuk hak menyatakan
pendapat dirubah dari 3/4 menjadi hanya 2/3. Seperti diketahui, absensi yang
bolong adalah persoalan klasik yang dibudayakan oleh para anggota dewan.
Berkurangnya syarat kuorum akan semakin melegitimasi hobi bolos mereka, bahkan
juga bisa digunakan untuk memenangkan kebijakan yang tidak pro rakyat oleh
kelompok kepentingan tertentu.
Kedua,
dihapusnya ketentuan yang menekankan pentingnya keterwakilan perempuan secara
proporsional dalam alat kelengkapan DPR, ini merupakan suatu kemunduran dalam
proses transisi demokrasi kita, dan bisa menjadi preseden buruk bagi semangat
peningkatan partisipasi politik perempuan, yang berdampak pada lemahnya capaian
pemenangan kebijakan yang pro pada pemenuhan hak-hak dasar kaum perempuan itu
sendiri.
Ketiga,
dilemahkannya fungsi pengawasan anggaran negara dengan dihapuskan Badan
Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) sebagai alat kelengkapan DPR yang bertugas
menindaklanjuti hasil audit BPK. Ditambah pula dengan dihapusnya kewajiban
pelaporan anggaran DPR pada publik lewat laporan kinerja tahunan, padahal ada
penambahan pasal 80 (j) dimana anggota dewan berhak mengajukan usul pembangunan
di daerah pemilihannya serta memperoleh anggaran khusus. Ini gawat, harapan
akan transparansi dan kepastian anggaran negara yang pro poor semakin sulit dicapai, sementara celah penyalahgunaan dan
potensi korupsi kian terbuka lebar.
Berkelindan
dengan itu, muncul persoalan kelima yakni ketentuan yang semakin melemahkan
semangat pemberantasan korupsi, penegakkan hukum, dan secara berlebihan
meningkatkan superioritas DPR yang kredibilitasnya pun tengah tergugat. Mahkamah
Kehormatan dibentuk untuk menggantikan Badan Kehormatan (BK), dan tak hanya
mengurusi pelanggaran kode etik, tapi sampai pada pelanggaran pidana. Padahal
BK selama ini dianggap tidak tegas dan objektif dalam menindak berbagai
perilaku menyimpang yang sempat dilakukan oknum-oknum anggota dewan.
Sebagaimana
dalam Pasal 224 tentang hak imunitas dan Pasal 245 tentang penyidikan menyebut,
pemanggilan permintaan keterangan pada anggota dewan yang diduga melakukan
tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan yang
dikeluarkan paling lama 30 hari setelah permohonan diterima, namun jika tidak
disetujui maka surat itu batal demi hukum. Padahal Mahkamah Kehormatan sebagai
sesama anggota dewan tentu sangat potensial
terikat konflik kepentingan dan penilaian subjektif, salah-salah ini
jadi ruang untuk menghialngkan barang
bukti atau malah melarikan diri.
Bertabur Ironi
Sepertinya
para anggota dewan kita memang sudah melupakan hakekat jabatannya . kita tahu
betul bahwa UU sebagai suatu aturan hukum akan sangat mengikat untuk diamalkan
setiap warga negara, tapi sayang, mereka yang punya kuasa menyusunnya justru
suka bermain-main, membuat celah untuk mengamankan kepentingannya sendiri.
Jabatan para wakil rakyat ini akan resmi berakhir pada 1 Oktober 2014
mendatang, selama ini mereka memang
langganan menjadi sorotan bukan karena prestasinya, melainkan ironi yang
bertaburan di sekitarnya.
Kita
juga masih ingat Entah berapa banyak UU “titipan asing” terbit meski menambah
beban keterpurukan bangsa, berapa banyak oknum yang terjerat korupsi dan
penyimpangan kode etik hingga rasa malu pun nyaris punah. Para wakil rakyat di
Senayan yang bergaji terbesar keempat di dunia itu sudah lupa hakekat jabatan.
Memang tak bisa kita bersikap pars pro
toto, ulah sebagian dianggap sebagai keseluruhan, barangkali kepada DPR
baru kita bisa menaruh harap lebih, karena komposisi wajah baru dengan latar
yang lebih terpercaya pun cukup dominan, karena pasti tidak semua anggota DPR
kita tak punya kompetensi dan komitmen yang teguh untuk bekerja demi
kepentingan rakyat.
Mengingat
betapa strategisnya fungsi UU ini tentu sangat rentan diselewengkan agar tidak
terbangun suatu pemerintahan baru yang kuat dengan didukung oleh kekuatan
legislatif. Jelas jika prasangka rakyat terbukti benar adanya, ini namanya abuse of power sebuah penyelewengan
kekuasaan. Sangat disayangkan setelah momentum tahun politik 2014 ini berhasil
melipatgandakan ekspektasi dan partisipasi politik rakyat, justru harus dinodai
oleh wali amanahnya sendiri. Semoga Mahkamah Konstitusi (MK) mau mencabut
revisi UU MD3 demi tegaknya kedaulatan rakyat !
____________
*) Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk
Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung
Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila.
http://www.rajabasanews.com/20140802/revisi-uu-md3-yang-menodai-harapan-rakyat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar