Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Sabtu, 02 Agustus 2014

Opini : Revisi UU MD3 yang Menodai Harapan Rakyat


Oleh : Saddam Cahyo*

 Republik Indonesia sudah punya Presiden baru, pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla selasa malam (22/7) lalu resmi ditetapkan oleh KPU sebagai peraih suara terbanyak, yakni 70.633.576 atau 53,15% dari 33 provinsi. Sedikit melirik ke belakang, ada sebuah ganjalan yang sudah siap menghalau pencapaian kerja pemerintahan baru tersebut, yakni disahkannya revisi UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD) lewat Rapat Paripurna DPR RI (8/7) meski 3 dari 9 fraksi parpol yakni PDI-P, Hanura, dan PKB melakukan walk out. Tentu bukan suatu masalah jika di ujung masa jabatannya para wakil rakyat ini mengebut kerja prolegnas yang memang selalu gagal mecapai target, tapi akan menjadi perkara serius jika UU yang digarap ternyata tidak menyentuh substansi kepentingan rakyat umum, melainkan karena konflik kepentingan elit politiknya semata.

Begitulah nuansa yang terasa dalam proses penggantian UU MD3 tersebut. Pembahasan utama dalam revisi UU ini berkutat soal  perebutan hak terpilih sebagai ketua. Sebelumnya diatur ketua DPR RI menjadi hak bagi parpol pemenang Pileg yang meraih kursi terbanyak, sementara kali ini diganti, pimpinan akan dipilih secara paket oleh seluruh anggota legislatif yang baru. Putusan inilah yang menjadi titik tekan dari perselisihan pendapat antar fraksi, khususnya PDI-P yang merasa haknya terzalimi karena sudah berhasil memenangkan pemilu dengan raihan suara 18,95%. Gugatan juga terus bermunculan dari berbagai pihak semisal Koalisi Masyarakat Sipil yang merupakan gabungan beragam LSM/NGO tingkat nasional.

Lupa Hakekat

Memang terasa sekali tingginya suhu perebutan kekuasaan dalam revisi UU MD3, terlebih prosesnya kurang transparan dan pengesahannya yang terburu-buru yakni sehari sebelum Pilpres 9 Juli. Maka wajar jika banyak kalangan beranggapan ini sebagai upaya menghindari konsumsi publik yang sedang fokus pada penyelenggaraan pemilu, dan sudah tentu ada keganjilan yang patut dicurigai bersama. Penyusunan UU memang sepenuhnya hak Pemerintah dan DPR, namun hakekatnya tetap harus terbuka kepada publik, agar aspirasi rakyat juga bisa terus tersampaikan dan dijadikan pertimbangan, karena mubazir jadinya jika UU yang telah disahkan ternyata lebih banyak mudharatnya sampai harus digugat rakyat dan dibatalkan MK. 

Nyatanya memang banyak persoalan, terutama Pasal 84 ketentuan pemilihan pimpinan DPR RI dengan sistem paket jelas telah mengabaikan prinsip keterwakilan rakyat, dan malah bisa menjadi celah kian suburnya praktek politik dagang sapi yang vulgar antara berbagai kelompok kepentingan yang ada. Hal lain yang perlu disoroti dari hasil revisi UU MD3 ialah: pertama, ketentuan kuorum untuk hak menyatakan pendapat dirubah dari 3/4 menjadi hanya 2/3. Seperti diketahui, absensi yang bolong adalah persoalan klasik yang dibudayakan oleh para anggota dewan. Berkurangnya syarat kuorum akan semakin melegitimasi hobi bolos mereka, bahkan juga bisa digunakan untuk memenangkan kebijakan yang tidak pro rakyat oleh kelompok kepentingan tertentu.

Kedua, dihapusnya ketentuan yang menekankan pentingnya keterwakilan perempuan secara proporsional dalam alat kelengkapan DPR, ini merupakan suatu kemunduran dalam proses transisi demokrasi kita, dan bisa menjadi preseden buruk bagi semangat peningkatan partisipasi politik perempuan, yang berdampak pada lemahnya capaian pemenangan kebijakan yang pro pada pemenuhan hak-hak dasar kaum perempuan itu sendiri.

Ketiga, dilemahkannya fungsi pengawasan anggaran negara dengan dihapuskan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) sebagai alat kelengkapan DPR yang bertugas menindaklanjuti hasil audit BPK. Ditambah pula dengan dihapusnya kewajiban pelaporan anggaran DPR pada publik lewat laporan kinerja tahunan, padahal ada penambahan pasal 80 (j) dimana anggota dewan berhak mengajukan usul pembangunan di daerah pemilihannya serta memperoleh anggaran khusus. Ini gawat, harapan akan transparansi dan kepastian anggaran negara yang pro poor semakin sulit dicapai, sementara celah penyalahgunaan dan potensi korupsi kian terbuka lebar.

Berkelindan dengan itu, muncul persoalan kelima yakni ketentuan yang semakin melemahkan semangat pemberantasan korupsi, penegakkan hukum, dan secara berlebihan meningkatkan superioritas DPR yang kredibilitasnya pun tengah tergugat. Mahkamah Kehormatan dibentuk untuk menggantikan Badan Kehormatan (BK), dan tak hanya mengurusi pelanggaran kode etik, tapi sampai pada pelanggaran pidana. Padahal BK selama ini dianggap tidak tegas dan objektif dalam menindak berbagai perilaku menyimpang yang sempat dilakukan oknum-oknum anggota dewan.

Sebagaimana dalam Pasal 224 tentang hak imunitas dan Pasal 245 tentang penyidikan menyebut, pemanggilan permintaan keterangan pada anggota dewan yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan yang dikeluarkan paling lama 30 hari setelah permohonan diterima, namun jika tidak disetujui maka surat itu batal demi hukum. Padahal Mahkamah Kehormatan sebagai sesama anggota dewan tentu sangat potensial  terikat konflik kepentingan dan penilaian subjektif, salah-salah ini jadi ruang untuk  menghialngkan barang bukti atau malah melarikan diri.

Bertabur Ironi

Sepertinya para anggota dewan kita memang sudah melupakan hakekat jabatannya . kita tahu betul bahwa UU sebagai suatu aturan hukum akan sangat mengikat untuk diamalkan setiap warga negara, tapi sayang, mereka yang punya kuasa menyusunnya justru suka bermain-main, membuat celah untuk mengamankan kepentingannya sendiri. Jabatan para wakil rakyat ini akan resmi berakhir pada 1 Oktober 2014 mendatang, selama ini  mereka memang langganan menjadi sorotan bukan karena prestasinya, melainkan ironi yang bertaburan di sekitarnya.

Kita juga masih ingat Entah berapa banyak UU “titipan asing” terbit meski menambah beban keterpurukan bangsa, berapa banyak oknum yang terjerat korupsi dan penyimpangan kode etik hingga rasa malu pun nyaris punah. Para wakil rakyat di Senayan yang bergaji terbesar keempat di dunia itu sudah lupa hakekat jabatan. Memang tak bisa kita bersikap pars pro toto, ulah sebagian dianggap sebagai keseluruhan, barangkali kepada DPR baru kita bisa menaruh harap lebih, karena komposisi wajah baru dengan latar yang lebih terpercaya pun cukup dominan, karena pasti tidak semua anggota DPR kita tak punya kompetensi dan komitmen yang teguh untuk bekerja demi kepentingan rakyat.

Mengingat betapa strategisnya fungsi UU ini tentu sangat rentan diselewengkan agar tidak terbangun suatu pemerintahan baru yang kuat dengan didukung oleh kekuatan legislatif. Jelas jika prasangka rakyat terbukti benar adanya, ini namanya abuse of power sebuah penyelewengan kekuasaan. Sangat disayangkan setelah momentum tahun politik 2014 ini berhasil melipatgandakan ekspektasi dan partisipasi politik rakyat, justru harus dinodai oleh wali amanahnya sendiri. Semoga Mahkamah Konstitusi (MK) mau mencabut revisi UU MD3 demi tegaknya kedaulatan rakyat !

____________
*)  Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung  

     Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila.   
http://www.rajabasanews.com/20140802/revisi-uu-md3-yang-menodai-harapan-rakyat/  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar