Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Rabu, 19 Juni 2013

Opini : Golput, Dilema Publik Diambang Polemik Pilgub

Oleh : Hidayaturrohman*

Seperti diketahui bersama, provinsi Lampung sedang sibuk mempersiapkan mekanisme suksesi kepemimpinan daerah pada tahun 2013 ini. Kepastian itu ditandai oleh terbitnya Surat Edaran No. 270/2305/SJ tanggal 6 Mei 2013 dari Mendagri Gamawan Fauzi dengan payung hukum UU No.32 Th.2004 Tentang Pemerintah Daerah, maka menurut rencana, prosesnya akan berjalan sesuai dengan Surat Keputusan KPU Lampung No.75/Kpts/KPU-Prov-008/2012 tentang penetapan Hari Pemungutan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2013, yakni Pilgub akan diselenggarakan pada 2 Oktober dan putaran keduanya disiapkan pada 4 Desember.

Namun, polemik panjang tentang Pilgub Lampung nampaknya belumlah final dan masih akan terus bergulir mengenai kepastian jadwal pelaksanaannya. Pasalnya, sampai bulan Juni ini Pemprov Lampung belum juga memberi kepastian akan memasukan usulan anggaran pelaksanaan Pilgub dalam APBD Perubahan 2013. Spekulasi pun berkembang bahwa kemungkinan nantinya Pilgub Lampung akan berbarengan dengan Pileg dan Pilpres pada April 2014, Hal ini mencuat setelah Mendagri Gamawan Fauzi berkomentar jika KPU setempat menyatakan sanggup maka khusus untuk Lampung bisa saja dilakukan sebagai opsi terakhir agar tak menyalahi perundang-undangan yang berlaku (Suara Pembaruan, 23/5).

Di samping itu, tanpa terlalu menghiraukan polemik kepastian jadwal pelaksanaan, sejumlah tokoh pun semakin gencar mempublikasikan diri sebagai bakal calon pemimpin daerah yang siap bertarung di arena Pilgub Lampung nanti. Beragam strategi pemenangan pun mulai nampak semarak dilakukan demi merebut perhatian publik, semisal pemasangan spanduk, baliho, poster, sticker, iklan, hingga pembangunan posko berikut tim suksesnya disetiap sudut wilayah Provinsi ini. Tak kalah penting adalah munculnya jargon-jargon politik populis dari setiap calon yang seolah memberi kesan positif sebagai pembawa perubahan yang lebih baik.

Sederetan nama calon tersebut bukanlah pendatang baru dalam kancah politik daerah kita, mereka tokoh yang cukup dikenal diberbagai kalangan, namun hal ini belum dapat menjadi jaminan bahwa merekalah sosok pemimpin ideal yang masyarakat harapkan mampu mewujudkan perubahan. Perlu disayangkan, sejauh ini kita hanya sekedar disuguhi jargon, bukanlah tawaran gagasan yang solutif berupa program kerja konkret guna membangun Provinsi dan masyarakatnya. Strategi politik citra seperti ini memang kerap mengilusi publik, namun setelah melalui beberapa pengalaman pemilu sejak reformasi, strategi ini justru telah melahirkan kekecewaan publik yang berdampak luas seperti mewabahnya pragmatisme politik hingga yang terburuk adalah menjadi golongan putih.

Bahaya Golput

Golongan putih atau Golput merupakan fenomena politik yang penting dijadikan perhatian bersama, di Indonesia pertama kali muncul pada pemilu 1971 sebagai gerakan protes terhadap otoritarianisme Orde Baru sekaligus pendidikan politik kritis bagi masyarakat umum, dan secara prinsip sikap ini adalah ekspresi ketidakpuasan publik terhadap sistem politik yang berlaku. Dengan kata lain, munculnya fenomena golput merupakan pertanda bahwa sistem politik demokrasi kita sedang sakit (Arbi Sanit, 1992).

Hingga sekarang, golput masih menjadi momok bagi kehidupan politik Bangsa kita, bisa diamati dari tingginya angka golput pada beberapa pilkada terbaru di Indonesia, yakni Jawa Barat mencapai kisaran angka 36 %, Sumatera Utara kisaran 50 %, dan Jawa Tengah berkisar 47 %. Sementara itu, jika berkaca pada Pilgub Lampung tahun 2008 lalu, menurut data Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebut angka golput mencapai 33 %, tentu saja fakta ini sangat memprihatinkan.

Perbedaan mendasar dari fenomena golput era Orba dengan sekarang adalah, bukan lagi menjadi sebuah gerakan protes yang sengaja diorganisir untuk melawan kesewenangan rezim. Melainkan, golput terjadi secara sporadik sebagai ekspresi puncak dari kejenuhan, kebingungan dan melunturnya kepercayaan publik kepada mekanisme pemilu yang tak kunjung mewujudkan perubahan dan dirasa tak berhasil menghasilkan pemimpin yang kredibel. Disadari atau tidak, kondisi ini jauh lebih berbahaya ketimbang yang terdahulu, minimnya partisipasi politik publik bisa berpotensi menimbulkan krisis legitimasi bagi pemimpin terpilih, ini akan mengganggu kinerja dan produktivitas kepemimpinannya di daerah.

Golput pada dasarnya merupakan wujud partisipasi politik yang negatif bagi sistem demokrasi yang kita anut, maka sangatlah perlu ada upaya serius dan sistematis dari seluruh stakeholder untuk meminimalisir sikap golput pada pemilu mendatang. Terutama Pemerintah Daerah dan KPU agar memberikan kepastian kepada publik tentang jadwal pelaksanaan Pilgub yang final. Selain itu para calon kandidat pun harus mempraktekkan kampanye yang sehat dan mencerdaskan dengan berkomitmen menawarkan program kerja yang solutif, guna memajukan masyarakat Sai Bumi Ruwa Jurai ini.
______________
*) Penggiat Komunitas Sosiolog Muda Lampung
    Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas lampung

Bandar Lampung, 16 Juni 2013.
Diedit oleh Saddam Cahyo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar