Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Kamis, 02 Mei 2013

Resensi : Pulang, Kisah Tentang Nasionalisme Sang Ekalaya




DATA BUKU

Judul Buku  :  Pulang
Jenis  :  Fiksi (Novel)
Penulis :  Leila S. Chudori
Penerbit   :  KPG (Kepustakaan Populer Gramedia),Cetakan pertama Desember 2012
Tebal  : vii + 464; 13,5 x 20 cm ISBN 13: 978-979-91-0515-8


Oleh : Saddam Cahyo*

Dua minggu yang lalu, saat sedang iseng mengisi waktu luang dengan mengunjungi toko buku terbesar namun bukan yang terlengkap di provinsi Lampung ini, ada setumpukan buku di baris terdepan etalase new book yang menggodaku untuk berhenti melangkah, buku berwarna sampul kuning dominan dan sedikit paduan warna merah dengan ilustrasi kepalan tinju dari lukisan cukil kayu itulah yang menarik perhatianku, dan tanpa berfikir lama segera kuamankan satu jilid untuk dibaca dirumah seolah puluhan pengunjung lain di toko itu pun sedang melirik tajam dan bergegas menyusul karena takut kehabisan.

Judulnya “Pulang”, merupakan sebuah novel setebal 464 halaman karangan Leila S. Chudori, wartawan senior majalah Tempo yang mengangkat tema tentang kisah hidup seorang eksil politik Indonesia di negeri Perancis, atau dalam bahasa khas Gus Dur kerap disebut  sebagai “Orang-orang klayaban yang terhalang  pulang”. Kata exile sendiri dalam bahasa Inggris berarti pembuangan atau pengasingan, sedangkan dalam konteks Indonesia, istilah ini merujuk pada sebuah tragedi politik yang dimulai sejak periode tahun 1965 dan masih menyisakan banyak persoalan hingga saat ini, sebuah peristiwa yang mendapat banyak sebutan serta tafsiran, sedangkan saya sendiri lebih suka menyebutnya dengan Tragedi 30 September 1965.

Tentang Eksil

Eksil politik dalam novel ini adalah julukan bagi warga Negara Indonesia yang sedang berada di luar negeri saat tragedi politik itu terjadi, mereka tidak diperbolehkan menginjak kembali tanah airnya sampai batas waktu yang tak jelas, hanya karena tuduhan sepihak terlibat baik langsung sebagai anggota dan simpatisan maupun sekedar keluarga dari organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI), yang difitnah sebagai dalang keji dibalik tragedi penggantian rezim pada 30 September 1965. Kebanyakan mereka ini sekarang menetap di beberapa Negara Eropa yang cukup ramah merangkul dan memberi ruang hidup dengan pemberlakuan kebijakan suaka politik seperti Belanda, Jerman, Prancis, dsb.

Secara terpaksa dan mendadak mereka yang jumlahnya ribuan dengan beragam latar belakang dan profesi ini menjadi orang yang “dibuang” oleh negerinya sendiri, dan harus bertahan hidup dengan cara berkelana tanpa perlindungan dan kepastian di berbagai Negara yang rela memberi suaka politik. Hak dan kewajiban mereka sebagai warga Negara Indonesia sudah dicabut paksa, dan hak azasi mereka sebagai manusia pun telah diinjak-injak oleh pemerintahnya sendiri yang berubah total secara mendadak, dari pemerintahan sipil yang berprinsip mandiri dan berdaulat menjadi pemerintahan militer yang menggadaikan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa imperialisme modal asing.  

Adapula istilah eksil domestic, bagi orang-orang yang sama-sama “dibuang” karena dianggap terlibat baik langsung maupun tidak sama sekali dengan organisasi  PKI yang dikambing hitamkan oleh pihak militer dalam tragedi 30 S/1965, namun mereka yang berjumlah jutaan orang ini berada di dalam negeri, di tanah air yang melahirkannya, tapi  di sini pula mereka dicabut paksa dari akar kehidupan normalnya, dikangkangi hak azasinya sebagai manusia merdeka, dibunuh mendadak, ditangkap paksa, dipenjara jauh dari layak tanpa pengadilan, disiksa secara fisik dan mental, dianggap hina, dicap pengkhianat, diteror seumur hidupnya dan dinistakan sampai anak cucu dengan identitas KTP berkode ET (Eks Tapol). Dalam suatu kesempatan, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, komandan RPKAD atau pasukan khusus yang ditugasi membasmi gerakan komunisme beberapa hari pasca tragedi 30 S/1965 itu, dengan angkuh pernah mengklaim membunuh sekitar tiga juta jiwa manusia sebangsanya sendiri. Terlepas dari benar atau tidaknya jumlah yang disebutkannya, peristiwa ini memang tragedi pertumpahan darah “tanpa pertempuran” terbesar yang pernah terjadi di Negara ini.

Dikemudian hari, PKI menjadi organisasi paling terlarang di Indonesia dengan diterbitkannya dokumen pembubaran dan pelarangan berupa TAP MPRS No.XXV/1966 oleh Pemerintah Orde Baru, isinya menuduh tanpa menjelaskan bahwa ideologi marxisme maupun komunisme yang diusungnya sangat bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar Negara. Bahkan hingga di era politik demokrasi sekarang ini pun, masih ada berbagai upaya pengebirian hak demokratis serupa dengan ancaman pidana kurungan 7-15 tahun penjara bagi siapa saja yang membangkang, seperti ditemui  dalam upaya DPR RI yang sebagian besar anggotanya merupakan produk generasi penghafal sejarah distorsif Orba dalam pembahasan RUU KUHP Pasal 212 awal tahun 2013 ini.

Potret Suram Hidup Eksil

Kembali ke novel Pulang, secara eksplisit Leila memang sudah menerangkan bahwa ia begitu terinspirasi oleh para eksil yang pernah dijumpainya, seperti Ibrahim Isa, Sobron Aidit, Umar Said dan sosok lainnya, juga dipengaruhi oleh kebijakan redaksi tempatnya bekerja yang secara rutin tahunan menerbitkan edisi khusus Tempo 30 September sejak 2005 lalu, serta kepada berbagai upaya pelurusan sejarah nasional seperti yang dilakukan oleh Asvi Warman Adam maupun Bonnie Triyana, guna melawan dominasi penulisan sejarah distorsif yang selama ini dilakukan oleh para sejarawan mainstream “peliharaan” Orba yang dipelopori oleh sosok Prof. Nugroho Notosusanto itu.

Saya hampir lupa kalau buku ini bukan memoar, tapi sebuah karya fiksi, namun sama sekali tidak membuat novel ini menjadi bisa diremehkan, mengingat proses penulisannya selama 6 tahun sejak 2006 dan selesai tahun 2012, didorong oleh rasa keprihatinan yang dalam dan melalui penelitian serius serta penelusuran sejarah yang panjang demi diperolehnya konteks sosio-historis yang begitu berusaha mendekati realitas. Restoran Indonesia yang ia samarkan menjadi Restoran Tanah Air di Rue de Vaugirard, Paris, Prancis yang diambil sebagai latar tempat utama memang begitu menggugah saya, seakan nyata novel ini  menggiring saya memasuki imajinasi tentang kisah hidup beberapa orang eksil politik yang sejak sekitar 40 tahun lalu memperjuangkan hidupnya di negeri jauh dengan membangun badan usaha berbentuk koperasi produksi, sebagaimana pernah dikisahkan dalam buku memoarnya sastrawan Sobron Aidit di tahun 2007  berjudul “Melawan Dengan Restoran”.

Keunggulan novel ini adalah penggunaan bahasa prosais, yakni bahasa keseharian yang cukup mudah dimengerti pembaca awam tanpa mengurangi bobot kompleksitas nilai yang hendak disampaikan penulisnya, cukilan kisah tokoh-tokoh pewayangan Jawa dan sisipan kisah saling silang percintaan pun menjadi pemikat tersendiri bagi pembaca. Alur dan plot cerita yang maju mundur pun tak membuat kebingungan dan dapat dinikmati, seperti kisah kehidupan politik-ideologis di masa sebelum meletusnya tragedi politik 30 S/1965, lalu di masa awal pelarian Dimas, dkk sebagai eksil dengan kehidupan yang pasang surut penuh ancaman di luar negeri sejak 1965 sampai menjelang tahun 1998. Hingga masa 1998 dimana situasi ekonomi dan politik Indonesia kian memuncak pada titik krisis yang memicu gelombang ledakan protes masyarakat setelah tiga dekade lebih dibungkam todongan senjata rezim Orba.

Novel ini mengangkat tokoh utama bernama Dimas Suryo, seorang alumnus faculteit sastra dan filsafat Universiteit Indonesia yang menjadi wartawan di Kantor Berita Nusantara (KBN),  dimana sebagian besar redakturnya punya kecenderungan simpatik kepada program perjuangan politik PKI yang sedang melejit kala itu. Sebagian besar wartawannya pun cukup intens bergelut dalam organisasi kebudayaan LEKRA, namun ada pula yang sekedar bekerja secara profesional maupun segelintir kecil yang anti terhadap segala hal berbau kiri. Dimas adalah seorang petualang yang tidak suka berlabuh, dia tidak pernah meyakini konsep ketunggalan mutlak, meragukan setiap teori yang kerap dianggap memiliki nilai virtuous atau keluhuran bagi penganutnya,seperti marxisme. Di sisi lain, Dimas Suryo adalah seorang lelaki asal Solo yang begitu mencintai kuliner Nusantara, ia meyakini bahwa memasak itu ibarat sebuah ritus suci dengan memperlakukan berbagai paduan bumbu dan bahan makanan layaknya kata-kata yang harus terangkai apik dalam suatu karya sastra.

Dalam Novel ini, Dimas memiliki beberapa orang sahabat karib yang mengisi kehidupannya sejak masih berstatus mahasiswa maupun saat mereka menjadi wartawan KBN, hingga kemudian menjadi eksil politik yang bertahan hidup secara kolektif dengan membangun restoran di negeri jauh. Mereka adalah Nugroho Dewantoro, asal Jogja yang lebih senior namun berprinsip egaliter dalam kelompok, dia adalah sosok paling ceria, optimis dan kerap menjadi motor penyemangat saat mereka dirundung keputusasaan dalam masa pelarian, lalu ada tokoh Risjaf, berasal dari Sumatera dengan perawakan tubuh jantan ideal dan berwajah tampan, namun ia justru sosok paling lugu dan penurut, lalu ada Tjai Sin Soe, seorang tokoh Tiong Hoa yang paling apolitis dari semuanya, namun harus turut terjebak dalam situasi chaos itu, sebagai seorang sarjana ekonomi, dialah manajer keuangan bagi kelompok kecil eksil politik ini.

Tokoh penting lainnya adalah Hananto Prawiro, kawan seangkatan Nugroho yang kerap menjadi leader baik semasa mereka masih sama-sama berkuliah maupun setelah bekerja di KBN, tokoh ini yang paling memiliki ikatan emosional dengan Dimas, ia kerap berperan sebagai sahabat, pimpinan, sekaligus lawan diskusi yang cukup tengil. Han, adalah redaktur berita luar negeri yang aktif membangun komunikasi dengan berbagai elemen gerakan revolusioner kiri di dunia terutama Amerika Latin, selain itu ia juga aktif di ormas LEKRA dan menjadi tangan kanan pemimpin redaksi yang  bertendensi mendukung PKI. Sayangnya, dia harus tertangkap intel melayu di negerinya sendiri pada 1968 setelah melakukan pelarian panjang seperti bayangan, dan di eksekusi mati oleh militer pada tahun 1970.

Selain itu ada pula tokoh kunci lainnya, yakni  Surti Sundari, perempuan cantik yang tangguh berdiri tegak menjadi tiang kehidupan keluarga meski terus diterpa badai siksaan rezim yang hanya mengenal kekerasan itu. Surti adalah mantan kekasih Dimas saat muda dan paling berkesan dihatinya, namun dikemudian hari, Surti justru menjadi istri Hananto hingga melahirkan Kenanga, Bulan dan Alam. Ada pula Aji Suryo, adik Dimas yang berbudi dan tulus, seorang lulusan ITB yang memilih hidup merunduk dan bekerja sebagai kepala laboraturium penelitian sebuah pabrik ban terkemuka, sejak dulu ia memang tidak tertarik terlibat dalam politik. Lalu ada  Vivienne Deveraux, wanita Prancis yang menjadi istri Dimas karena mengalami kejutan le coup de foudre alias cinta pada pandangan pertama pada lelaki Asia yang ditemuinya di tengah ribuan massa aksi mahasiswa dan buruh dalam revolusi Paris, Mei 1968. Ada pula Lintang Utara, putri tunggal Dimas dan Vivienne yang sangat cerdas ditempa oleh kehidupan sastrawi ayahnya dan nuansa intelektual ibunya. Terpenting terakhir adalah  Segara Alam, putra Hananto yang 10 tahun lebih tua dari Lintang, sebagai anak eks tapol yang tumbuh dalam stigma, ia menjelma menjadi sosok pemuda yang begitu cerdas, kritis dan keras pendirian.

Tiga buah peristiwa sejarah yang dijadikan latar utama adalah peristiwa seputar tragedi 30 S/1965, revolusi sosial Paris 1968, dan Reformasi 1998. Secara umum, kisah dimulai pada latar 12 September 1965, saat Hananto selaku redaktur luar negeri harus tertahan di dalam negeri karena pertimbangan pimred KBN yang membutuhkan dirinya untuk membantu mencermati dinamika politik nasional di pertengahan tahun 1965 yang sudah terasa begitu panas bergejolak di Ibu Kota Jakarta, jadwal semula ia harus menghadiri beberapa forum konferensi pers kiri internasional bersama Nugroho dan beberapa rekan lain dari media cetak Harian Rakyat. Akhirnya ia mengalihkan tugas ini kepada Dimas Suryo, junior sekaligus sahabatnya yang bandel dan dianggap terkontaminasi gagasan, lalu ditentukanlah Dimas akan mendampingi Nugroho ke forum pertama di Santiago, Chile. Sedangkan Risjaf, juga diminta mewakilinya ke forum di Havana, Kuba. Setelah dua pertemuan itu tuntas, Dimas dan Nugroho dijadwalkan akan menyusul Risjaf ke Kuba lebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan bertiga ke forum wartawan Asia – Afrika di Peking, RRT.

Namun, saat tengah berlangsungnya Konferensi di Santiago, mereka memperoleh kabar dari ketua panitia bahwa di Indonesia telah meletus tragedi politik 30 S/1965 yang ditandai oleh penculikan dan pembunuhan beberapa orang jenderal TNI, memanasnya issue dewan jenderal yang hendak merebut kekuasaan disaat presiden Soekarno melemah, serta beredarnya pengumuman resmi Negara bahwa PKI sebagai biang keladi, dan bersama kekuatan politik revolusioner berazaskan marxisme maupun nasionalis pro-Soekarno lainnya harus ditumpas habis tanpa pandang bulu melalui serangkaian operasi militer karena dianggap sudah mengkhianati Pancasila.

Bagi mereka, kabar ini tentu dirasakan seperti langit runtuh dan bumi porak poranda dalam satu kedipan mata. Peristiwa yang tak terduga ini sempat membuat mereka harus didera gelisah, ketegangan yang tak berkesudahan, bahkan selama beberapa minggu mereka tidak nafsu makan dan hanya mengisi perut dengan berbotol-botol anggur yang disediakan tuan rumah. Setelah Nug dan Dimas menemui Risjaf di Havana, barulah mereka mampu menata ulang mental yang masygul itu dengan menggantung sedikit harapan hidup. Informasi singkat yang terkumpul dari laporan berita luar negeri maupun telegram Aji yang ia terima, menggambarkan betapa kacaunya suasana kehidupan masyarakat di tanah air, orang-orang dari orang sipil hingga militer dan pejabat negara yang digolongkan masuk spektrum kiri termasuk keluarga pun segera ditangkap, bahkan tak sedikit pula yang langsung dibunuh, kantor dan rumah tak luput dari sasaran amuk militer, termasuk harian KBN yang terkena stigma kiri pun turut disterilkan.
Babak baru kehidupan para jurnalis ini pun dimulai, mereka resmi menyandang status sebagai manusia stateless alias eksil politik. Dari Kuba, mereka terbang ke Peking untuk menghadiri agendakonferensi yang semula telah dijadwalkan, namun karena sudah “ditolak” pulang, mereka harus bertahan tinggal sementara di negeri Paman Mao itu. Setelah tidak tahan beberapa bulan hidup dalam tekanan program Revolusi Kebudayaan Tiongkok, mereka bertiga memutuskan untuk mencari kesempatan pindah ke beberapa pilihan Negara di Eropa, hingga pada awal tahun 1967 mereka sudah mendarat terpisah, Nug di Swiss, Risjaf di Belanda, dan Dimas di Perancis bersama Tjai yang sudah lebih dulu datang dari Singapura. Pertengahan tahun 1967 adalah moment pertama mereka memutuskan untuk tinggal bersama di Perancis. Selanjutnya adalah sajian rentetan potret suram perjuangan kelompok kecil eksil ini maupun sanak keluarganya di tanah air yang terus berjuang mempertahankan hidupnya sebagai manusia merdeka di bawah ancaman program “Bersih Diri dan Bersih Lingkungan”.

Gagasan Penulis

Upaya penulisnya untuk mengambil sudut cerita dari setiap tokoh-tokoh kunci yang di munculkannya sebagai sub-sub bab tersendiri  patut diapresiasi sebagai maksud untuk menyajikan rangkaian perspektif cerita yang utuh. Namun, menurut saya Plot yang harus diafirmasi dengan tegas dalam novel ini adalah adanya upaya sistematis yang dilakukan oleh penulisnya untuk menggiring pembaca pada pemahaman politik moderat-pragmatis dengan embel-embel profesionalisme sebagai sebuah common sense,  satu-satunya kebenaran umum yang harus diterima secara universal. Saya sangat menyayangkan hal ini, sebab dalam konteks awal sebagai salah satu bentuk menyokong terwujudnya upaya rekonsiliasi dan pelurusan sejarah Bangsa, apa yang dilakukan oleh Leila S Chudori justru mengangkanginya dengan tidak secara persuasif memberi unsur zeit geist, atau semangat zaman untuk mengawali perubahan bagi kaum muda pembaca novelnya.

Ini nampak dari penuturan tokoh utama Dimas Suryo yang dalam banyak setting cerita di banyak bab, dikesankan mengalami kegamangan prinsip, digambarkan bahwa ia tidak pernah mau menetapkan pilihan dalam konteks apapun, baginya memilih adalah sebuah kesalahan yang tidak perlu, sebab pada akhirnya kehidupanlah yang memilih dan menentukan bagaimana kita manusia harus hidup. Seperti dirinya yang tak pernah menjatuhkan minat pada suatu ideologi politik tertentu namun tetap saja harus menerima menjadi salah satu tumbal tragedi politik yang mengerikan.

Mungkin penulisnya mencoba menangkap emosi traumatik yang memang banyak dialami oleh para eksil politik maupun korban tragedi politik 30 S/1965 lainnya. Tak bisa dipungkiri bahwa tragedi berdarah ini memang sangat memilukan dan menyisakan luka dalam, bahkan kobaran api dendam bagi para korban yang secara langsung mengalami pemberangusan rezim, tak sedikit pula dari mereka yang menghabiskan sisa hidup dengan mengutuki diri sendiri dan menyesali kehidupan sebelumnya, terutama bagi mereka yang memang saat itu bukanlah orang yang memiliki sandaran ideologi politik tertentu yang akan dengan tegar memahaminya sebagai konsekuensi perjuangan.  

Sang Ekalaya

Paling menarik adalah diangkatnya Sang Ekalaya sebagai tokoh yang dikagumi Dimas dalam cerita novel ini. Singkat cerita,Ekalaya merupakan salah satu tokoh dalam kisah pewayangan Jawa yang juga tertulis dalam kitab Mahabarata. Sesungguhnya ia adalah satu-satunya orang yang pernah mampu menandingi kemampuan memanah Arjuna, tokoh Pandawa Lima yang dikenang sebagai pemanah terbaik dalam epos legendaris itu. Namun, permohonannya untuk dijadikan murid oleh Resi Drona yang termashur itu ditolak, karena sang  begawan ilmu panah itu telah berjanji hanya akan menjadikan Arjuna sebagai satu-satunya murid terbaik, akhirnya Ekalaya hanya meminta restu untuk menempa dirinya secara otodidak. Meski tak pernah diterima sebagai murid, Ekalaya tetap menganggap Resi Drona sebagai gurunya dan setiap hari memuja patung sang Begawan. Hingga akhirnya dalam satu perburuan di hutan, pandawa lima terkejut bertemu dengan seorang pemuda yang sanggup memanah sejago Arjuna terlebih ia mengaku sebagai murid Drona, sontak Arjuna menggugat Sang Guru. Dengan ide picik, Resi Drona menemui Ekalaya yang begitu mengaguminya, ia menuntut dakshina, imbalan seorang murid yang berbakti, yakni dengan memotong dan mempersembahkan ibu jari tangannya. Meski sadar dampaknya akan mengurangi keahlian memanah, Ekalaya tetap mengabulkan permohonan sang guru dengan tulus, hingga akhir hayat ia tetap menempa diri dalam ilmu panah meski tak lagi mampu menandingi Arjuna.

Kembali ke tokoh Dimas, digambarkan betapa teguh dan tulus cintanya kepada tanah air dan sebangsanya Indonesia. Dimas hanyalah seorang jurnalis profesional yang tak menganut ideologi politik tertentu, juga tak terlibat gerakan organisasi politik tertentu. Ia harus menelan pil pahit yang terkadang disesalkannya sendiri, sebab harus hidup tersiksa tanpa alasan. Meski selalu ditolak, selama menjadi eksil setiap tahunnya Dimas selalu mendatangi KBRI mengajukan visa masuk ke Indonesia. Ia juga pernah harus bercerai dengan Vivienne dan bertengkar dengan anaknya Lintang karena cemburu Dimas selalu berkorespondensi dengan Surti dan anak-anaknya padahal itulah akses yang ia miliki untuk mengetahui gambaran situasi di tanah airnya, dia juga selalu menyimpan stoples kunyit dan cengkih segar yang diletakkan di ruang tamu apartemennya supaya setiap hari bisa menghirup aroma khas tanah airnya, pun dengan menghiasi ruangan dengan wayang kulit dan sesekali memainkannya sendirian. Yang paling mengagumkan adalah Restoran Tanah Air yang dirintis bersama kelompok eksilnya dan sempat dilabeli sarang komunis dengan larangan kunjungan oleh Orba itu, kelak menjadi salah satu duta budaya Indonesia yang memperkenalkan tradisi kuliner khas Nusantara di Eropa.

Dalam novel ini, tak lain Dimas Suryo adalah Sang Ekalaya itu sendiri. Seperti Ekalaya, Dimas adalah manusia yang memandang lurus kehidupan, dia tak sadari bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang suka bertarung dan saling memakan sesamanya demi memenuhi kepentingan masing-masing. Meski tak diakui lagi status kewarganegaraannya, selalu ditolak pulang oleh pemerintah di negaranya, Dimas tetap bertahan dengan langkah penuh jejak darah luka, sebab ia tahu persis tanah air Indonesia tak pernah menolak dirinya. Pada akhirnya setelah Orde Baru Soeharti ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa dan rakyat pada 21 Mei 1998, dan sebagai upaya terakhirn untuk menegaskan bahwa dirinya adalah putra Indonesia yang punya hak mewarisi tanah airnya, Dimas Suryo pun berhasil pulang untuk selamanya ke TPU Karet Bivak Jakarta Pusat, tanah yang aromanya ia kenal dan mengenali dirinya.

Sebagaimana yang sering ia kutip dalam berbagai kesempatan obrolan, sajak Yang Terampas dan yang Terputus miliknya Chairil Anwar,

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin..”

Sebagai penutup, semua inilah yang membuat mengapa novel Pulang layak dijadikan bacaan wajib, bagi generasi muda Indonesia yang hendak membuka diri memahami sejarah Bangsanya secara utuh. Namun, penting pula diingatkan agar generasi buta sejarah ini tidak malas melakukan konfirmasi pengetahuan dengan melengkapi informasi dari karya-karya penulis lain, baik berupa fiksi, biografi, memoir, apalagi hasil penelitian serius dan berimbang, demi pemahaman sejarah nasional yang utuh dan seadil mungkin. Salam Indonesia !

____________
Bandar Lampung, 1 Mei 2013.
Dimuat di media massa alternatif Berdikari Online (BO) pada 2 Mei 2013, http://www.berdikarionline.com/suluh/20130502/pulang-kisah-tentang-nasionalisme-sang-ekalaya.html 

*) Aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Ekswil Lampung  
    Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila      
   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar