Sebuah
buku klasik berjudul “Four Theories of The Press” pernah ditulis
secara kolektif oleh Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm,
pada masa perang dingin berlangsung di era 1950an. Buku itu kemudian menjadi
legenda karena dijadikan acuan umum bagi pelajar jurnalisme di berbagai belahan
dunia. Dalam buku itu, mereka berangkat dari pemahaman atas sejarah peradaban
manusia dan menguraikan tentang empat teori sistem pers yang berlaku di dunia
ini, yakni authoritarian press system, libertarian press system,
soviet-communism press system dan social responsibility press system.
Indonesia
sebagai negara dunia ketiga alias negeri yang belum pernah sepenuhnya merdeka
dari intervensi ekonomi-politik negar-negeri barat tak bisa luput dari
penilaian baku yang berdasar pada empat kerangka teori sistem tersebut. Namun,
kehidupan pers kita belumlah menemukan karakter spesifik menganut sistem pers
yang mana di antara keempat teori tadi. Seperti di masa Orde Lama kita
mempraktekkan campuran sistem pers otoriter dengan sistem pers liberal secara
kasar, yang ditandai dengan pertarungan opini kelompok sosial-politik yang
begitu terbuka di media massa. Sedangkan di masa Orde Baru, rezim yang sangat
anti ideologi komunisme itu, justru menggabungkan sistem pers komunis dan
sistem pers otoriter yang ditandai dengan kehidupan pers dibungkam rapat-rapat
dan pemberitaan dimonopoli oleh media massa milik pemerintah saja.
Baru
kemudian di masa reformasi, kehidupan pers di negeri ini mendapatkan nyawa baru
berupa UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin bahwa kehidupan pers
diberikan kembali kemerdekaannya tanpa ancaman pelarangan, sensor ketat apalagi
pembredelan. Namun, jangan pula mengira bahwa kehidupan pers kembali dalam
nuansa kental pertarungan ideologis-politis seperti era Orde Lama dahulu, yang
terjadi justru kehidupan pers diwarnai oleh arus deras liberalisasi jurnalistik
yang paradoksal.
Antara
Kenyataan dan Harapan
Dalam
situasi yang begitu terbuka seperti saat ini, banyak pakar jurnalisme yang
menerangkan dengan manis bahwa saat ini kehidupan pers di Negara kita cenderung
menganut sistem pers social responsibility, yakni dalam setiap
pemberitaannya, media massa dituntut untuk mampu bertanggung jawab secara
sosial kepada masyarakat umum, bersinergi dengan nilai-nilau kemanusiaan
universal dan senantiasa melakukan kerja jurnalistik dengan dilandasi prinsip social
conscience (kesadaran moral sosial) yang teguh.
Namun,
dalam prakteknya hari ini, mimpi indah tentang kebebasan pers itu justru
menjadi sesuatu yang bermakna absurd bagi masyarakat, bukan hanya karena masih
adanya berbagai upaya pembelengguan kerja-kerja jurnalistik oleh pemerintah
maupun pihak penguasa lainnya yang merasa tidak senang atas substansi berita
tertentu. Media massa sendiri pun kerap menjadi biang kerok dalam hal ini,
terutama dalam konteks konsistensinya atas pemberitaan yang menyangkut issue
tertentu yang bersifat fenomenal.
Media
massa sering kali terkesan gemar mempermainkan fikiran publik. Gejala ini
sangat terasa jika kita mencermati lompatan-lompatan atraktif-inkonsisten yang
dilakukan oleh redaksi media massa saat memilih issue yang patut diusung
sebagai beritanya. Memang benar bahwa media massa dituntut untuk selalu siap
bergerak selaras dengan gerak dinamis masyarakat itu sendiri, sehingga
pemilihan berita yang layak terbit haruslah bersifat kekinian dan mampu
merangkum segala peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat.
Namun,
bukan berarti media massa harus menjadi kutu loncat yang gemar mengusik,
yakni mewacanakan issue tertentu yang sangat menyita perhatian publik
dengan melakukan pemberitaan yang berlebihan dan terlalu massif hingga menuai
beragam reaksi publik, namun dalam waktu yang singkat, berganti lagi mencari
issue lainnya yang yang tidak berhubungan tapi lebih berpotensi dibuat
melejit, dan begitu seterusnya. Sebagai contoh, hari ini kasus korupsi arena
olahraga hambalang yang menyeret banyak politisi kawakan seperti Angelina
Sondakh, Andi Malarangeng, dan Anas Urbaningrum diangkat, besoknya berita
tentang konflik dukun santet eyang Subur dengan artis Adi Bing Slamet yang dihebohkan,
ketika memanasnya konflik internal partai Demokrat dan melemahnya posisi
politik SBY justru wacana mengamini aksi pembunuhan sepihak atas nama jiwa
korsa TNI memberantas preman di LP Cebongan yang dihebohkan, lalu saat
gonjang-ganjing rencana kenaikan BBM Subsidi dengan dua harga mencuat justru
kisah pilu bocah Tasripin di pelosok Jawa Tengah yang dihebohkan.
Fenomena
yang terus berulang seperti ini tentu menimbulkan keresahan bagi masyarakat
sebagai konsumen informasi. Tak jarang, hal ini justru menimbulkan efek buruk
berupa meningkatnya sikap apatisme publik terhadap perkembangan situasi Negara
dan bangsanya. Padahal, partisipasi publik sebagai agent of social control
dalam sistem politik demokrasi seperti sekarang ini sangat diperlukan demi memastikan
berlangsungnya proses pemerintahan yang pro rakyat.
Dalam
konteks ini, penulis sendiri justru berasumsi bahwa saat ini kehidupan pers di
Indonesia justru menganut sistem pers neo-liberal yang melampaui batasan klasik
dari konsep libertarian press system. Berdasarkan perilaku pers yang
dipaparkan tadi, dapat disimpulkan bahwa, secara umum pemberitaan di
segala bentuk media massa, baik cetak, elektronik, maupun online, hanyalah
bertanggung jawab pada pemilik modal dan pasar.
Dimana
media massa yang semula dirancang sebagai institusi sosial penyedia ruang
interaksi dan komunikasi massa justru berubah menjadi suatu sektor industri
jasa informasi yang berorientasi pada akumulasi profit bagi pemiliknya, dan
kondisi ini menuntut proses redaksi media massa yang semula terikat pada
gagasan mewakili kebutuhan publik akan informasi yang objektif dan terpercaya
pun harus tunduk kepada mekanisme pasar yang menuntut percepatan inovasi produk
yang mampu mendongkrak oplah maupun rating media tersebut. Sementara itu, Idealisme
para jurnalisnya pun dicerabut menjadi hanya sebuah bentuk profesionalisme yang
mekanis khas pekerja yang teralienasi dari kerjanya sendiri. Di sisi lain,
tuduhan miring bahwa media massa hanyalah agen terandal dari kepentingan elit
politik untuk sekedar mengalihkan issue dan pembentukan citra demi
melanggengkan keuasaan pun tak dapat dihindarkan.
“As
long as you can write, you can be journalist” adalah kalimat yang dapat
dimaknai sebagai, siapapun asalkan bisa menulis dan memiliki saluran media, maka
pasti menjadi konsumsi publik, meskipun informasi yang disampaikannya
mengingkari prinsip dan azas jurnalisme yang bermuara pada kewajiban pemenuhan
informasi publik demi meningkatkan kualitas hidup manusia. Jangan sampai pameo
sindiran semacam ini justru menjadi kenyataan paling hakiki dari kehidupan pers
di Indonesia. Salam..
____________________________
Bandar Lampung, 28 April 2013.
M.
Saddam SSDC, Mahasiswa
Jurusan Sosiologi FISIP Unila dan aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk
Demokrasi (LMND) Lampung.
Penulis
tinggal di Jl.Abdul Muis, Griya Gedong Meneng Blok B5 No.4, Kel.Gedong Meneng
Kec. Rajabasa, Bandar Lampung, kode pos 35145.Dapat dihubungi di nomor HP
0857-69422333, email ; saddam.cahyo@gmail.com.
Catatan:
Tulisan ini untuk disertakan dalam Lomba Menulis Opini bertema “Mengkritisi
Pelaku Media” yang diselenggarakan oleh UKPM Teknokra Unila dalam
rangkaian acara HUT ke-36 tahun april 2013.
Dimuat di media massa alternatif BO / Berdikari Online pada 13 Mei 2013.
http://www.berdikarionline.com/opini/20130513/menuntut-tanggung-jawab-sosial-media-massa.html Dimuat di media massa cetak harian LAMPUNG POST rubrik Opini berjudul "Menagih Tanggung Jawab Sosial Media Massa" pada 16 Mei 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar