Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo*
Muhammad Yusuf Rizal atau yang akrab disapa Ijal merupakan satu dari sekian banyak nama anak bangsa Indonesia yang gugur sebagai martir perubahan dalam memperjuangkan demokrasi di penghujung milenium kedua. Ia dan Saidatul Fitria alias Atul tewas terbunuh secara mengenaskan akibat kekejian represi aparat dalam peristiwa kelam yang dijuluki Tragedi UBL Berdarah 1999. Hingga kini kasusnya tak pernah sungguh-sungguh terselesaikan, bersamaan dengan kasus pelanggaran HAM lainnya oleh alat negara yang daftarnya menggunung tinggi tapi selalu ditenggelamkan.
Tragedi ini telah menyisakan
efek traumatis yang teramat dalam bagi ratusan orang yang terlibat langsung di
dalamnya. Sebagai catatan, ia juga mendorong lahirnya beberapa karya sebagai
upaya untuk terus merawat dan mewarisi ingatan akan episode yang belum tuntas
dipertanggungjawabkan ini. Semisal dari musisi Dompak “Red Flag” Tambunan
tercipta lagu berjudul G/28S/TNI. Sastrawan Rilda Oe. Taneko menelurkan
novel berjudul Anomie. Sementara jurnalis cum sastrawan, Udo Z.
Karzi menulis empat buah sajak berbahasa Lampung untuk memotret kisah pilu ini.
Mengurai Latar Tragedi
Berdarah
Selasa, 28 September 1999, sejak
pagi hari ratusan massa dari berbagai aliansi pergerakan di Lampung, baik dari
unsur rakyat miskin perkotaan, pelajar, dan terutama mahasiswa melakukan aksi longmarch
dari berbagai arah dengan titik tujuan utama Markas Korem 043 Garuda Hitam.
Demonstrasi itu merupakan bagian dari gerakan solidaritas nasional pasca
tewasnya Yap Yun Hap, aktivis mahasiswa UI yang ditembak peluru tajam tentara dalam
Tragedi Semanggi II tanggal 24 September 1999 pada gelombang aksi menolak RUU
Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB).
Arus massa aksi yang penuh
gelora itupun secara spontan memilih Markas Koramil Kedaton yang berada persis
di zona kampus (Jalur Dua Jl. Z.A. Pagar Alam, Kedaton-Rajabasa) sebagai titik
awal pemanasan. Tuntutannya agar diturunkan bendera setengah tiang dan
ditandatanganinya petisi persetujuan menolak pengesahan RUU PKB itu oleh
Danramil. Tapi sayangnya suasana begitu mudah bergolak, entah bagaimana prosesnya
barisan demonstran mendesak maju menembus gerbang. Merasa terdesak, prajurit justru
terprovokasi untuk bertindak brutal dengan melepas rentetan tembakan
membubarkan barisan demonstran.
Di momen bentrokan pertama
itulah salah seorang demonstran, M. Yusuf Rizal mahasiswa Jurusan Sosiologi
FISIP Universitas Lampung Angkatan 1997 yang turut berlari mundur ke arah
kampus Universitas Bandar Lampung (UBL) seketika terperosok ke dalam parit.
Tubuhnya terkulai lemah dengan darah yang mengucur deras membasahi slayer yang kerap
terikat di leher dan kemeja flanel kotak-kotak andalannya.
Diceritakan oleh tiga orang
penyintas eks-aktivis mahasiswa UBL masa itu, dalam podcast youtube
channel DRB TV (https://www.youtube.com/watch?v=LbGbORfkKTI) dan CAWO EKAM (https://www.youtube.com/watch?v=MfjaGV0T3Do), Romli berada di parit yang sama dengan Ijal, dan mengaku
sempat memegangi kakinya agar tidak roboh. Sementara Deni Ribowo dan Setiawan
Batin ikut mengevakuasi Ijal ke RS Imannuel dengan menggunakan mobil salah
seorang dosen UBL.
(Kliping Koran Perihal Tewasnya Ijal - Sumber: Koleksi Ahmad Jusmar)
Ia kemudian
dirujuk ke RSU Abdoel Moeloek untuk mendapatkan perawatan intensif, tapi sayangnya
di hari itu juga Ijal dinyatakan tewas akibat dua luka tembak peluru tajam.
Salah satunya yang paling fatal di dada kanan menembus hingga bagian leher
bawah belakang (Suara Pembaruan, 29/9/99). Kabar buruk itu lekas menyebar dan
memicu simpati spontan dari seluruh elemen mahasiswa di Lampung. Siang harinya,
gelombang aksi solidaritas yang lebih besar pun terus mengalir ke titik lokasi tragedi.
Polda Lampung
untuk mengatasi situasi ini segera menurunkan pasukan organik Brimob yang konon
baru saja kembali dari wilayah konflik di Timor Timur/Timor Leste. Alhasil
tensi kedua pihak sama-sama tak terbendung lagi, hingga terjadilah bentrok kedua
yang lebih sengit dan tak seimbang yang berlangsung hingga sore hari. Tanpa keraguan,
aparat pun dengan beringas merangsek masuk ke semua penjuru kampus, terutama
UBL untuk memburu massa aksi yang kocar-kacir.
Beberapa
penyintas mengisahkan tindakan brutal aparat seperti memukulkan tongkat rotan
secara membabi buta, menembakkan peluru karet ke arah yang tak beraturan, menusukkan
sangkur, todongan pistol, bahkan ada yang berbuat pelecehan. Setidaknya 31
orang tercatat mengalami luka serius akibat pendarahan di kepala, tangan, dan
perut. Sementara puluhan orang lainnya luka-luka ringan sampai sedang (Harian Kompas,
29/9/1999).
Di momen
bentrokan kedua inilah, Saidatul Fitriah mahasiswi Jurusan Bahasa Inggris FKIP
Unila yang juga jurnalis Surat Kabar Mahasiswa TEKNOKRA turut menjadi korban
saat menjalani tugas peliputan. Ia ditemukan tak sadarkan diri dengan kondisi
luka parah di bagian tengkorak kepala, yang diduga kuat akibat poporan senjata
laras panjang. Ia dilarikan ke RS Advent kemudian dirujuk ke RSUDAM untuk
tindakan operasi. Namun, setelah menjalani koma selama lima hari, Atul pun
menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya.
(Foto-Foto Hasil Liputan Atul di Lokasi Tragedi - Sumber: Koleksi UKPM Teknokra Unila)
Kabar duka semacam ini terjadi pula di beberapa kota dalam rangkaian aksi yang sama, yakni menolak
RUU PKB yang muncul di masa peralihan dari kepemimpinan Habibie kepada
pemerintahan baru hasil Pemilu 1999. Publik menganggap regulasi ini berpotensi mengancam
demokrasi karena melemahkan pemerintahan transisi reformasi pasca Orde Baru,
yakni untuk menggelar karpet merah bagi kembalinya praktek otoritarianisme ala
Dwifungsi ABRI yang baru saja dicabut. Namun, sejarah mencatat pengorbanan
mereka semua tidaklah sia-sia, sebab RUU PKB yang rentan menimbulkan abuse
of power itu batal disahkan oleh rezim manapun jua (Hukum Online.Com,
23/10/2000).
Ijal Sang Pejuang Altruis
Patut disyukuri, elemen
pergerakan khususnya mahasiswa di Lampung tampak begitu setia menaruh perhatian
pada Tragedi UBL Berdarah 1999. Selama 22 tahun berlalu, rasanya tak sekalipun
terlewatkan digelar berbagai rangkaian kegiatan untuk memperingatinya, baik berupa
demonstrasi, forum diskusi, hingga pementasan seni. Rasanya final bagi kita
semua, Ijal dan Atul adalah Pahlawan Reformasi yang membanggakan dari Tanah
Lada ini.
Namun, seperti ada yang
terlewatkan dalam narasi sejarah yang dominan dituturkan. Aktivis gerakan mahasiswa, jurnalis, maupun
para tokoh penyintas cenderung hanya membicarakan seputar latar peristiwa
penolakan RUU PKB, kronologis tragedi, buntunya penegakkan keadilan,
peran-peran heroisme pribadi, serta detail kenangan tentang Atul yang memang
mencerminkan idealisme jurnalis. Dibandingkan Atul yang mungkin bisa disebut
“korban salah sasaran”, sosok Ijal yang demonstran betulan saat itu justru “agak
terpinggirkan” dan malah dipenuhi dengan kabar yang kabur.
Harumnya nama Atul semisal
dapat ditengok dari apresiasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung
yang sejak tahun 2008 rutin menggelar Saidatul Fitria Award bagi karya jurnalistik
yang memiliki dampak positif bagi demokrasi. Juwendra Asdiansyah misalnya
jurnalis kawakan yang di masa itu menjabat sebagai Pemimpin Umum UKM Pers
Mahasiswa Teknokra Unila bahkan rutin bicara dan telah mencatatkan ingatannya
dalam buku berjudul Pertengkaran Orang Baik yang terbit tahun 2021. Lantas,
siapa sebenarnya M Yusuf Rizal? Bagaimana sosoknya baik dalam perjuangan,
perkuliahan, keluarga, bahkan percintaan?
Penelusuran informasi terus menggelinding bak bola salju untuk menjumpai
kontak demi kontak pribadi yang mengenal baik sosok mendiang Ijal. Melalui forum
daring saya berhasil berbincang dengan beberapa rekan seperjuangannya seperti
Surya Adhi (Ilmu Pemerintahan ’97), Taufik Hidayat/Galang (Ilmu Pemerintahan
’97), Laila Ahmad/Uthet (Humas ’99), Suci Perlindungan (Ilmu Tanah ’97), Berga
Saragih (Sosiologi ’97), Bella Suzantina (Komunikasi ’97). Kedekatan mereka
dengan Ijal sebagai inner circle pergaulan kesehariannya dalam beberapa
tahun menyandang status aktivis mahasiswa hingga ajal menjemput tak bisa
diragukan. Terlebih Berga sahabat karibnya sejak Penataran P4 di awal
perkuliahan.
(Foto Bundel Kliping
Kenangan Keluarga M Yusuf Rizal - Sumber: Koleksi Ahmad Jusmar)
Ijal sama
sekali bukan aktivis karbitan, apalagi sekedar ikut-ikutan. Ia merenangi dunia
kampus persis di masa puncak krisis politik nasional alias ketika Indonesia
hamil tua. Sebagai mahasiswa FISIP Unila, tentu sejak awal ia sudah melebur
dalam kultur perjuangan. Bermula dari seringnya ikut diskusi dengan para senior
di fakultas, ia bersama beberapa rekan seangkatan seperti Surya, Andrianto, Muzzamil,
Galang, Aprica Winata, dan Berga membentuk sebuah Kelompok Diskusi bernama
CIKAL, akronim dari Cermin Ilmu dan Kreativitas Intelektual.
Ijal tercatat
sebagai anggota aktif UKM-F CAKRAWALA yang menjadi saluran hobi pecinta alamnya
sejak remaja. Ia tak sekedar gemar mendaki demi menikmati hening dan menghirup
segarnya udara murni pegunungan, tetapi juga mengidolakan mendiang Soe Hok Gie
berikut pemikirannya yang kerap ia kutip dan tulis di sela buku harian. Hal ini
membuatnya tumbuh menjadi sosok aktivis yang romantik dan kontemplatif serta
menggandrungi sastra.
Pada suatu
aksi mogok makan yang diikutinya, tanggal 3 Oktober 1997 Ijal berteriak keras
di dalam hati dan menuliskannya sebagai puisi “Diam adalah Aksi!” di
secarik kertas. Ya, dari keterangan rekan-rekannya, Ijal memang bukan
tipikal orator yang haus panggung. Tapi soal demonstrasi, ia nyaris tak pernah
absen. Konon, ia punya posisi favorit di barisan terdepan sebelah kanan sambil
memegang bendera atau juga spanduk tuntutan. Ini bukan tanpa alasan, dengan
sosok tubuhnya yang tinggi besar ia merasa lebih mudah membuka jalan bagi
kawan-kawannya jika terjadi bentrokan. Sebuah cerminan sikap atruistik yang
dimilikinya.
Sidang
Paripurna MPR RI tanggal 11 Maret 1998 yang resmi melantik Soeharto sebagai
Presiden untuk ketujuh kalinya, didampingi B.J. Habibie dalam masa jabatan
1998-2003 telah menuai protes keras di seluruh penjuru negeri. Tak luput,
mahasiswa Lampung berdemonstrasi nyaris setiap hari, hingga meletuslah Tragedi
Gedung Meneng Berdarah pada Kamis, 19 Maret 1998 di Jalur Dua Unila Jl.
Soemantri Brojonegoro. Meski tak ada korban jiwa, puluhan mahasiswa terluka
akibat bentrokan hebat dengan aparat itu. Ijal tak ketinggalan turut serta
menyala sebagai titik api dalam momentum aksi besar ini. Hingga setelahnya, sebuah
sajak mengharukan karya Iswadi Pratama untuk mengenang peristiwa ini selalu
terlipat rapih dan terselip di dompetnya.
Usai ikut bergulung
peluh merobohkan tirani Orde Baru, Ijal dan kawan-kawannya dari beragam
Kelompok Diskusi yang tumbuh menjamur di masa itu menginisasi konsolidasi
gerakan mahasiswa pasca reformasi, khususnya di dalam kampus. Guna mengisi
kevakuman Senat Mahasiswa Unila dan berangkat dari pandangan agar lembaga
internal kampus bisa hadir dengan spirit progresif-revolusioner, mereka
membentuk sebuah organisasi wadah bernama Dewan Mahasiswa (Dema-Unila) yang
diketuai oleh Surya Adi. Sementara Ijal bertugas di Departemen Pengembangan
Organisasi (DPO).
Bersama DEMA
Unila, aktivisme Ijal semakin matang ditempa. Meski tidak resmi diakui
Rektorat, kala itu aktivitas DEMA Unila cukup populer dan tiada putusnya. Lebih
banyak mereka concern pada isu-isu nasional dan kerja pengorganisiran
multi sektoral dengan mengadvokasi konflik rakyat tertindas. Diyakini bahwa
gerakan mahasiswa tak semestinya hanya menjadi moral force yang
temporer, melainkan harus mewujud sebagai political force. Mereka
menggugat kecenderungan mahasiswa yang terlanjur nyaman di atas menara gading
intelektualitas dan enggan turun langsung menuntaskan beragam masalah rakyat
kecil.
Jargon
perjuangan DEMA Unila sendiri berbunyi “Menuju Kampus Demokratis
Pro-Rakyat!”, sebuah perspektif yang anti-mainstream di masanya. Sementara
program perjuangannya mencakup beberapa tuntutan seperti: “Hapuskan Dwi Fungsi
ABRI”, “Cabut Paket 5 UU Politik”, “Pendidikan dan Kesehatan Gratis”, sampai
dengan solidaritas “Kemerdekaan bagi Timor Leste”. Sikap politik organisasional
yang cadas ini memang cerminan
dari tujuan pokok mereka untuk mewujudkan reformasi total. Namun, posisi
melawan arus ini pasti menanggung resiko. Keseharian mereka menjadi sorotan
banyak mata, mulai dari bidikan intelejen hingga lembaga rektorat yang tak
kunjung memberi restu legalitas. Belakangan, untuk memoderasi pergerakannya, berkali-kali
sekretariat DEMA Unila digembok pihak kampus hingga ditawari untuk mengubah
diri menjadi UKM HAM dan Demokrasi. Barang tentu ditolak mentah-mentah oleh
sekumpulan pemuda yang sedang bergolak itu.
(Foto
Aktivitas DEMA Unila - Sumber: Koleksi Dema Unila )
Di
acara-acara diskusi publik, pameran buku, dan mimbar bebas yang digelar DEMA
Unila, Ijal kerap tampil sebagai agitator pembakar semangat peserta. Biasanya dengan
penuh semangat ia mengusung kepalan tinju tangan kirinya ke atas seraya
memimpin pembacaaan “Sumpah Mahasiswa Indonesia”, lagu “Darah Juang”, atau
puisi Wiji Thukul “Peringatan” yang amat populer itu. Kesehariannya di kampus usai
berkuliah lebih banyak dihabiskan di sekretariat DEMA Unila yang menempati
sebuah ruang terbengkalai dan sebelumnya menjadi laboratorium persidangan Fakultas
Hukum di lantai 2 samping gedung Balai Bahasa.
Tragedi UBL Berdarah
sebenarnya merupakan puncak demonstrasi dari rentetan beberapa aksi massa
sebelumnya di Lampung untuk ikut menolak pengesahan RUU PKB yang digagas oleh
DEMA Unila beserta unsur lainnya yang tergabung dalam KMPPRL (Komite Mahasiswa
Pemuda Pelajar dan Rakyat Lampung). Tanggal 26 September 1999, mereka berunjuk
rasa di depan markas KOREM GATAM dan mendapatkan sambutan represi. Idhan
Januwardhana aktivis Pussbik yang tergabung dalam aliansi menjadi sasaran pukul
tentara. Besoknya tanggal 27 September 1999 di depan markas Koramil Kedaton, 11
orang aktivis DEMA Unila termasuk Ijal menggelar aksi diam sebagai bentuk
protes.
Tanggal 28 September 1999,
Ijal datang terlambat. Ia tidak mengikuti dari titik awal longmarch di
Unila. Ia baru muncul bergabung dalam barisan demonstran setelah tiba di dekat
kampus UBL. Seperti biasanya, Ijal pun langsung mengambil salah satu bendera
DEMA-Unila dan maju ke barisan depan sebelah kanan. Ia larut dalam riak
gelombang protes hari itu, beberapa rekannya berhasil merubuhkan papan nama
koramil dan dengan euforia Ijal ikut menginjak-injak. Sampai akhirnya desingan
peluru tajam tentara dilepas tanpa pertimbangan. Ratusan massa aksi itu
terkejut dan kocar-kacir berhamburan mencari selamat. Tetapi takdir untuknya
sudah digariskan, Tuhan memilihkan waktu terbaik baginya menjadi Syuhada.
Ijal gugur sebagai pahlawan
bagi banyak orang. Persemayamannya dilakukan dengan penuh khidmat dari ribuan
manusia, entah yang mengenalnya dengan baik maupun yang tersentuh karena merasa
haknya diperjuangkan. Jenazah Ijal yang semula terbujur kaku di RSUDAM esok
harinya disalatkan di Masjid Al Wasi’i Unila. Agamawan KH. Abdurrahman Hilabi (alm)
bahkan turut mengusung keranda jenazahnya, sungguh penghormatan yang
mengharukan bagi kawan seperjuangan terlebih keluarga yang ditinggalkan.
Jasadnya dengan tenang dikebumikan di TPU yang tak jauh dari rumah orang
tuanya, di kawasan Bayur, pinggiran Kota Bandar Lampung.
Si Introvert Andalan Ebak
dan Emak
Bagi keluarganya, kabar
kematian Ijal ibarat petir yang menyambar di siang bolong. Ebak dan Emak
tak kuasa menahan tangis meratapi putra bungsunya yang pagi tadi berpamitan
sudah tak lagi bernyawa. Namun, dibalik duka yang teramat dalam, mereka begitu tegar
dan ikhlas menerima kenyataan. Ijal, anak yang sejak kecil berwatak penurut dan
pendiam itu ternyata memiliki karya besar dan pergaulan begitu luas di luar
rumah. Seorang senior sekira di tahun 2008 pernah bercerita, ia baru saja
ziarah dan silaturahmi ke rumah keluarga almarhum. Meski matanya masih selalu
berkaca dan bibir kadang bergetar, konon Ebak (kini sudah almarhum)
selalu hangat menyambut siapapun yang berkunjung untuk mengenang putranya.
(Foto Pusara
Makam M Yusuf Rizal - Sumber: Koleksi Berga Saragih)
Ahmad Jusmar, kakak kandung mendiang
Ijal dalam wawancara mengakui hingga sekarang pihak keluarga masih merawat
bundel dokumen yang berisikan segala macam kliping koran, foto-foto, dan buku
catatan harian. Ia bahkan sempat terkejut ketika menemukan fakta adiknya
ternyata seorang pengarsip dan pencatat yang tekun dan detil. Di dalam buku
hariannya, Ijal menyimpan banyak potongan kliping berita demonstrasi, juga
berbagai konsep tulisan setengah jadi yang hanya berupa sobekan kertas kumal.
Ia juga mencatat kesan perjalanannya menjumpai tahanan politik, Budiman
Sujatmiko di penjara Salemba, Jakarta Pusat.
Terlahir di Teluk Betung pada
5 Juli 1978, Muhammad Yusuf Rizal adalah bungsu dari empat bersaudara. Kakak
pertamanya perempuan yang sudah menikah dan tinggal diboyong suami ke Unit II
Menggala. Kedua abangnya sama-sama merantau untuk berkuliah di Yogyakarta. Otomatis
Ijal seoranglah anak yang tinggal di rumah. Bagi semuanya, ia bukan sosok
bungsu yang manja dan kerap merajuk. Sebaliknya ia justru sangat mandiri dan
benar-benar penurut sampai menjadi “anak andalan” kedua orang tuanya.
Bahkan setelah ia berstatus
mahasiswa yang notabene juga aktivis pergerakan di luar sana, Ijal tak
sekalipun membantah apalagi menolak jika disuruh Emak membeli minyak
tanah dengan jeriken literan di warung tetangga. Pun demikian jika Ebak menyuruhnya
menggiring kambing peliharaan untuk kembali ke kandang agar tak kuyub diguyur
hujan yang sudah memberi pertanda akan turun ke Bumi. Ijal, mahasiswa semester
lima berambut gondrong dengan kulit sawo matang itu tak pernah mengeluh dan
selalu mengiyakan. Maka wajar saja jika kepergian sang martir ke haribaan-Nya
menyisakan lubang kosong di hati keluarga.
Dalam benak kenangan Jusmar sang
Kakak, si bungsu andalan keluarga itu memang berkarakter introvert. Bahkan kala
tiba musim liburan semester dan kedua abangnya pulang ke rumah, Ijal harus
dipancing lebih dulu untuk memulai cerita dan canda gurau. Tapi menurutnya, meski
begitu pendiam sang Adik sesungguhnya menyimpan banyak bakat dan luwes bergaul.
Ijal yang bertubuh tinggi dengan rambut lurus panjang terurai itu selain punya
hobi pada aktivitas pecinta lingkungan, diketahuinya juga tergabung sebagai
penjaga gawang dalam club Sepak Bola FISIP Unila. Sering pula ia tampil garang
di berbagai Festival Musik sebagai vokalis RFC band yang beraliran rock.
Pernyataan soal karakter
dingin dan tertutupnya Ijal ini dibenarkan pula oleh kawan-kawan almarhum. Suci
dan Uthet menyebut selama mengenalnya dalam satu organisasi, tak ada secuilpun
ingatan jika Ijal pernah menggoda wanita, ia malah selalu kikuk jika harus
berinteraksi dengan kawan perempuan meski sudah kenal dekat. Berga sohib kental
yang nyaris 24 jam selalu bersama, bahkan baru mengetahui jika Ijal memendam
rasa suka yang teramat pada teman sejurusannya yang berinisial RIA, justru
setelah ia wafat. Terutama dari berbagai curahan perasaannya yang ditutup rapat
dalam lembaran buku harian.
Itulah
sepenggal kisah Muhammad Yusuf Rizal, yang mati secara paripurna. Sebagaimana
bunyi dalam petikan sajak favoritnya:
Ibu, jika besok aku ‘ndak pulang, burung perenjak di halaman
tak berhenti bernyayi, angin menebar amis darah dari jalan-jalan
dan kau membaca sebuah nama tiba-tiba dikabarkan hilang
tak usah cemas dan jangan menangis.
Catatan: Artikel ini dibuat untuk ajang penulisan kolektif dari alumni FISIP Unila berjudul:
Buku Romantika di Kampus Oranye
kerjasama Pustaka LABRAK dan IKA FISIP Unila, Maret 2022.
Data Buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar