Oleh: M Saddam SSD Cahyo*
Tak lama berselang usai kemerdekaan bangsa dan negara
Republik Indonesia yang telah begitu lama diidamkan itu diproklamirkan, lewat
upacara bendera yang sederhana namun penuh khidmat oleh para para pendiri
bangsa, terutama dwi-tunggal
Soekarno-Hatta di bilangan Pegangsaan Timur Nomor 56, Menteng, Jakarta Pusat
pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945.
Sebuah Maklumat Pemerintah diterbitkan pada tanggal 31 Agustus 1945 yang memberlakukan
pekik perjuangan “Merdeka!” sebagai
Salam Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengutip dari laman resmi Museum Nasional Proklamasi (http://munasprok.go.id/)
Salam Nasional ini dilakukan dengan tata cara mengangkat tangan setinggi bahu,
telapak tangan menghadap ke muka dan bersamaan dengan itu memekikkan Merdeka!.
Sementara dari versi film dokumenter karya sineas Kotot Soekardi yang tersimpan
di ANRI narasinya berbunyi: “..Tangan kanan naik setinggi telinga, jari lima
bersatu, apakah artinya itu? negara kita telah merdeka. Suara mengguntur
mengucapkan salam nasional Merdeka!, kita siap sedia mempertahankannya walau
dengan jalan yang bagaimanapun juga, Merdeka!..”
Riwayat Salam Nasional
Salam Nasional ini pun terlahir dari akar rumput dan
dialektika perjuangan, dimana zeitgeist alias semangat zaman pada masa
revolusi fisik dipenuhi gelora dan euforia kemerdekaan. Perkataan seperti
“Sekali Merdeka Tetap Merdeka!”, “Merdeka Sekarang Juga!”, “Merdeka Bung!”, “Indonesia
Merdeka”, atau “Merdeka Atau Mati!” oleh para pejuang tak hanya marak
digaungkan secara verbal, tetapi menjamur dalam coretan dinding maupun poster. Masih
lekat di ingatan, rekaman pidato membara Bung Tomo di Perang 10 November yang
berlangsung selama tiga pekan di Surabaya demi mempertahankan kemerdekaan dari
balatentara Sekutu dan NICA, dengan gema pekiknya “Allahuakbar, Allahuakbar,
Allahuakbar..Merdeka!”.
Sejarawan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya
Api Sejarah Jilid Jilid Kedua Edisi Revisi (2016: Hal. 171-173) mencatat
sosok Otto Iskandardinata “Si Jalak Harupat” sebagai tokoh yang mengusulkan pekik
perjuangan “Merdeka!” ini dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, hingga kemudian salam ini dikukuhkan oleh
Presiden Soekarno dan kian populer digandrungi massa.
Pernyataan ini diperkuat keterangan dalam
buku lawas berjudul Ensiklopedi Politik (1955: Hal. 187) yang disusun oleh
Tatang Sastrawira dan Haksa Wirasutisna, bahwa pada tanggal 19 Agustus 1945
Presiden Soekarno membahas tentang perlunya salam nasional sebagai suatu pekik
yang menggelorakan jiwa seluruh rakyat Indonesia dan beberapa opsinya bersama
Otto Iskandardinata. Pada rapat Badan Pekerja - Komite Nasional Indonesia Pusat
(BP-KNIP) di Jalan Kramat Raya ia kembali mengajukan ucapan “Indonesia
Merdeka!” sebagai pekik dari Salam Nasional.
Pidato Presiden Soekarno di forum Kongres Rakyat Jawa
Timur di Surabaya pada 24 September 1955 juga turut memberi penjelasan tentang
filosofi dari Salam Nasional,“..Pekik merdeka, saudara-saudara, adalah pekik
pengikat. Dan bukan saja saja pekik pengikat, melainkan adalah cetusan daripada
bangsa yang berkuasa sendiri, dengan tiada ikatan imperialism, dengan tiada
ikatan penjajahan sedikitpun. Maka oleh karena itu saudara-saudara, terutama
sekali fase revolusi nasional kita sekarang ini belum selesai, jangan lupa pada
pekik merdeka! Tiap-tiap kali kita berjumpa satu sama lain, pekikkanlah
merdeka!..”.
Patut disayangkan terkait masih adanya silang pendapat
perihal Salam Nasional ini, terlebih dengan narasi yang simpang-siur dan
cenderung menyesatkan atau malah berpotensi mengundang perpecahan bangsa. Sebuah
sikap yang tak sepatutnya dipelihara karena berwatak ahistoris dan reaksioner
serta jauh dari kebijaksanaan. Padahal, jika dicermati lebih jauh sebenarnya
kehadiran sebuah Salam Nasional memiliki dampak yang teramat positif sebagai
upaya merawat kesatuan dan persatuan, serta asupan moral kolektif agar selalu
teguh membangun bangsa dan negara tercinta.
Di masa awal peralihan kekuasaan Orde Baru, Presiden
Soeharto yang masih berstatus Pejabat Presiden pada kunjungan kerjanya di
Makassar, tanggal 24 Oktober 1967 dalam pidatonya menyampaikan agar rakyat
Indonesia memperbarui Salam Nasional untuk disesuaikan dengan perkembangan
zaman. Ia meminta pekik “Merdeka!” disambut dengan perkataan “Ampera!”
yang tak lain akronim dari Amanat Penderitaan Rakyat sebagai akar dari program
pembangunan nasional usai diraihnya kemerdekaan. Modifikasi Salam Nasional ini
pun terus digemakan Presiden di tiap kunjungan kerjanya ke daerah (Historia.id,
1/3/21).
Faktanya Salam Nasional dengan pekik “Merdeka!”
yang tertuang dalam Maklumat Pemerintah ini belum pernah dicabut oleh
siapapun, karenanya banyak tokoh
berpendapat secara yuridis aturan ini masih berlaku. Namun, nyatanya ia memang
sudah terlampau jauh dilupakan dan tertimbun distorsi, bahkan stigma. Sehingga
dalam upaya revitalisasi tanpa mengubah sedikitpun substansi makna yang
terkandung di dalamnya, hadirlah Salam Nasional: “Salam Pancasila!”
untuk kembali digelorakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Metamorfosis Salam Pancasila
Pertama kali di tahun 2017 dalam acara Peluncuran
Program Penguatan Pendidikan Pancasila di Istana Bogor, Megawati Soekarnoputri
saat itu selaku Ketua Dewan Pengarah dari Unit Kerja Presiden Pembinaan
Ideologi Pancasila (UKP-PIP) menggagas revitalisasi Salam Nasional yang
disebutnya Salam Pancasila. Di hadapan Presiden Joko Widodo, para Menteri,
jajaran pimpinan tinggi UKP-PIP, serta 500an peserta dari unsur akademisi dan
mahasiswa tersebut ia juga memperagakan langsung dan menerangkan maknanya yang
diadaptasi dari Salam Nasional dengan pekik “Merdeka!” (Tempo.co,
12/8/17).
Saat peresmian Baileo rumah adat Maluku, Monumen Bung
Karno, dan penamaan jalan di Masohi, Maluku Tengah secara daring pada 21 Juni
2021, Presiden Republik Indonesia Ke-5 itu pun kembali menegaskan misinya
sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk
konsisten memopulerkan Salam Pancasila sebagai Salam Nasional. Menurutnya jika
ucapan salam ini menjadi kebiasaan dalam interaksi masyarakat, maka nilai inti
dari Pancasila yakni gotong royong tidak hanya akan selesai di mulut, melainkan
benar-benar tumbuh di hati, dan terwujud dalam laku hidup sehari-hari
(Republika.co.id, 21/6/21).
Urgensi menggelorakan Salam Pancasila ini juga selalu
diutarakan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Ke-6 Try Sutrisno yang turut
mengemban amanah sebagai Wakil Ketua Dewan Pengarah BPIP. Semisal dalam
Simposium “Penataan Wilayah Pertahanan RI Dalam Rangka Mewujudkan Pertahanan
Negara Yang Tangguh” yang diselenggarakan oleh Kemhan di Jakarta, 9 Juli 2019,
disampaikannya untuk terus mengenalkan angkat lima jari dan teriakkan Salam
Pancasila! agar menjadi penangkal dari pengaruh buruk dari konten atau isu
yang bisa menggerus Pancasila (Antaranews.com, 9/7/19).
Presiden Jokowi dalam pengarahannya saat pengukuhan
Purna Paskibraka Tahun 2021 sebagai Duta Pancasila di halaman Istana Negara juga
penuh semangat mengucap Salam Pancasila. Ia mengingatkan putra-putri terbaik
bangsa itu akan realitas negeri yang penuh keberagaman namun dipersatukan oleh
ideologi Pancasila. Diharapkan agar mereka mampu menjadi motivator bagi pemuda
lain di seluruh penjuru Indonesia untuk berprestasi sebagai pelopor perubahan
dan kemajuan (Setkab.go.id, 18/8/21).
Meminjam analogi Yudi Latif, Ph.D. mantan Kepala
UKP-PIP hingga masa awal beralih menjadi BPIP dalam beberapa kesempatan
ceramahnya, diibaratkan protokol sabuk pengaman yang selalu diingatkan
berulang-ulang oleh pramugari di dalam kabin pesawat. Barangkali pesannya akan
terdengar menjenuhkan, tapi sesungguhnya ia justru menjadi pengingat yang akan
sangat menentukan keselamatan diri kita dalam keadaan darurat yang tak terduga
datangnya. Salam ini kiranya akan berguna untuk memupuk jiwa nasionalisme
rakyat Indonesia.
Terobosan gagasan metamorfosis Salam Pancasila sebagai
Salam Nasional ini pun senafas dengan Presiden Soekarno sendiri yang dapat
dijumpai dalam buku otobiografi Sukarno An Autobiography: As Told To Cindy
Adams (1966: Hal.224) atau mungkin lebih dikenal versi terjemahan Bahasa
Indonesianya yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Dikutipkan, "..As the Prophet invented the Salam to unify his
followers, so the inspiration descended from God Almighty to proclaim one
national greeting for the Indonesian people. The first of September I decreed
every citizen of the Republic should greet another by raising his hand,
spreading fingers wide in token of our five principles and shouting,
"MERDEKA!..".
Prof. KH. Yudian Wahyudi usai dilantik oleh Presiden
Joko Widodo sebagai Kepala BPIP pada tanggal 5 Februari 2020 juga cukup concern
pada upaya pembumian Salam Pancasila sebagai Salam Nasional. Sayangnya dalam
video wawancara eksklusif bersama Detik.com pada 12 Februari 2020, ikhtiar itu
sempat direspon begitu riuh khususnya oleh sebagian elemen masyarakat di ruang
maya dengan semakin dikeruhi oleh framing yang kontra produktif dan
bernada hoaks.
Padahal jika utuh disimak, saat itu ia sedang merespon
pertanyaan jurnalis tentang ekspresi nilai kebinekaan dari mantan Mendikbud
Prof. Daoed Jusuf yang tak pernah membuka percakapan formal dengan salam agama
tertentu sebagai panutan. Hal ini dihadapkan pada kasus adanya kecenderungan
abai terhadap toleransi dengan hanya mengucap salam agama tertentu saja,
sementara banyak umat beragama lain yang turut hadir. Dalam konteks inilah,
Prof. Yudian mengajukan Salam Pancasila sebagai alternatif kebinekaan yang
dapat dipakai untuk menghargai perbedaan dan menjaga persatuan, semisal di
berbagai momen pembukaan acara formal di ruang publik (Tempo.co, 21/2/20).
Patut disyukuri kedewasaan rakyat Indonesia memang
sudah teruji dalam banyak aral-rintang. Secara berangsur, kini maksud baik dari
upaya membangkitkan ingatan kolektif pada Salam Nasional yang lama terabaikan
itu kian pulih. Pun demikian penerimaan pada gagasan Salam Pancasila ini tampak
semakin bersambut, seiring dengan meningkatnya kesadaran bersama akan
pentingnya lebur merawat harmoni dan mengeratkan persatuan ketimbang hancur
dalam pertikaian tak berujung. Akhir kata, izinkan saya menutup tulisan ini
dengan mengucapkan salam yang mempersatukan kita semua, “Salam Pancasila!”.
--------------
*)Alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung. Peminat Kajian Sosial-Budaya-Politik.
Saat ini bekerja sebagai Analis Kelembagaan di Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Terbit di:
https://diksimerdeka.com/2022/02/11/menggelorakan-salam-nasional-salam-pancasila/
https://monologis.id/kopilogis/menggelorakan-salam-pancasila
MAJALAH SILAPEDIA Edisi Kedua, Maret 2022, Halaman 164.
Rujukan Buku:
“Api Sejarah Jilid
Kedua Edisi Revisi” oleh Ahmad Mansur Suryanegara. Penerbit Surya Dinasti.
Bandung. 2016.
“Ensiklopedi
Politik” oleh Tatang Sastrawira dan Haksa Wirasutisna. Penerbit Perpustakaan
Perguruan Kementerian PP dan K. Jakarta.1955.
“Sukarno An
Autobiography: As told to Cindy Adams” oleh Cindy Adams.Penerbit Gunung Agung.
Jakarta.1966.
Rujukan Daring:
http://munasprok.go.id/Web/baca/464
https://historia.id/politik/articles/pekik-merdeka-gaya-soeharto-P3om4/page/2
https://nasional.tempo.co/read/899362/megawati-perkenalkan-salam-pancasila-ajaran-soekarno
https://www.republika.co.id/berita/qv1ox5430/megawati-ingin-populerkan-salam-pancasila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar