Di Karet Bivak ini jasadnya ditanam.
Sedang jiwanya terus tumbuh menjalar. dan gagasannya abadi bermekaran, mewarnai corak Bumi Manusia Indonesia..
Di hari Minggu dengan rintik hujan yang syahdu ini Pak Pram. Aku datang dalam basah, menjenguk pusara mu.
Hormat dan doaku untukmu..
...dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain.." Pramoedya Ananta Toer.
Minggu, 9 Februari 2020 yang lalu. Selepas waktu dzuhur kami berangkat berboncengan dari bilangan Jagakarsa ke pusat kota Jakarta. Sebenarnya langit sudah tampak muram saat itu, tapi siapa peduli? jikalau tekad sudah bulat. Motor Honda Vario itu pun ditancap gas meraung ditumpangi dua lelaki tambun mengaspal di ibu kota.
Hanya butuh waktu sekitar 30 menit lebih, kami sudah tiba di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Kala itu cuaca sudah sangat gelap. Hujan tak bisa lagi dibendung, bagaimanapun kami berdoa memohon pengertian kepada-Nya, tak bisa membantu terlalu banyak. Kami pasrah, tapi sama sekali tidak menyerah.
Bermodal petunjuk sekilas dari beberapa pemberitaan di media massa, sekenanya saja kami mengurai perkiraan posisi makam Sang Legenda Sastra Indonesia itu. Patokannya masih di komplek A dan tak jauh dari pintu gerbang, juga pinggir jalan raya. Tapi siapa sangka, TPU Karet Bivak ini tak kalah melegenda. Ratusan nama besar dari kalangan pahlawan bangsa, seniman, konglomerat, pejabat negara, dan alim ulama jasadnya terkubur di sini. Sebut saja Chairil Anwar Si "Binatang Jalang", Ibu Negara Fatmawati Soekarno, Bing Slamet, Mohammad Husni Thamrin, Achmad Bakrie, Benyamin Sueb, Ismail Marzuki, A Rafiq, Jeffry Al Buchori, dan terlalu banyak lagi nama yang bakal melelahkan jika kuketik di sini.
Luas lahannya saja mencapai 16 hektar lebih dengan jumlah makam yang terdata pun di atas 48.000 nisan. Alhasil, kami pun tersasar di tengah pemakaman dalam kondisi basah diguyur rintiknya hujan. Sambil mencari tempat berteduh, kami berpencar sambil masih menyusuri Komplek A itu. Celingak-celinguk mengeja nama di batu-batu nisan. Saat itu kami memang agak ragu untuk bertanya, ditambah suasana memang sedang sepi sekali. Tapi di tepi parkiran depan, kujumpai beberapa pedagang paket bunga bagi peziarah. Sambil membeli dua botol air mineral dan sekantung bunga, aku ajak mereka berbincang.
Ternyata nama Pram tidak asing di telinga mereka, syukurlah. Secara spontan seorang yang sedang jongkok pun berdiri sambil menunjukan arah. "Oh itu Bang, nanti di makamnya ada tulisan SASTRAWAN, itu tuh lurus aja dikit deket tembok dan pagar kecil. Nah, itu patokannya pohon kamboja putih, tapi yang depannya ya." ucapnya bersemangat. Aku pun tak kalah semangat, kawan yang berteduh di sisi lain segera kutelepon dan memberi petunjuk. Saat hujan mereda tapi masih cukup basah merintik, kami sudah berada persis di hadapan makamnya. Ialah Pramoedya Ananta Toer. Seorang pelopor sastra pembebasan di Indonesia. Ia pula manusia Indonesia pertama yang namanya berhasil masuk sebagai calon penerima penghargaan bergengsi dunia NOBEL PRIZE AWARD di tahun 2004 untuk bidang sastra. Tapi sayangnya kesempatan emas itu harus pupus karena satu dan lain hal yang masih menjadi misteri. Pram tahu persis apa alasannya, tapi ia memang tak pernah berlebihan menaruh harap. Toh ada banyak penghargaan internasional lain yang diraihnya, seperti Ramon Magsaysay Award (1995), Hadiah Budaya Asia Fukuoka (2000) , Norwegian Authors Award (2004), dan masih banyak lagi.
Ada pula yang menurut ku paling teristimewa. Yaitu penghargaan yang diperolehnya pada tahun 1949 dari Balai Pustaka atas karyanya yang berjudul "Perburuan". Mengapa? bukan hanya lantaran kejelian seorang H.B. Yasin dalam melihat potensi Pram yang masih muda kala itu, tapi ini adalah kali pertama dan terakhir baginya untuk bisa mendapatkan penghargaan resmi dari negara yang begitu dicintainya, Indonesia.
Pram lahir di Blora Jawa Tengah pada 6 Februari 1925. Kisah hidupnya sangatlah epik. Ia seorang genius yang mahir sekaligus otodidak sejati. Sebagai anak sulung dari seorang Ayah Mas Toer yang menekuni profesi pendidik dengan jalan yang terlampau idealis di tengah pergolakan zaman kolonial. Pendidikan formalnya hanya bisa dicapai setingkat sekolah kejuruan teknik radio di Surabaya, karena kehidupan menuntutnya untuk mencari hidup ke Jakarta.
Di sanalah perjalanan yang penuh jurang harus dilaluinya. Bermula jadi seorang juru ketik untuk surat kabar di masa pendudukan Jepang. Pram juga sempat terjun langsung menjadi serdadu pejuang kemerdekaan. Segala kesulitannya merangkak di garis bawah kehidupan ternyata menjadi pemantik bakatnya untuk mulai menulis sastra. Ia menjadi sangat produktif, karya-karya awalnya seputar refleksi kehidupan pribadi baik keluarga maupun pengalaman masa perang. Sebagai contoh sebut saja "Bukan Pasar Malam" dan "Di Tepi Kali Bekasi".
Namanya mulai dikenal sebagai pengarang realisme sosial. Sepanjang tahun 1950 Pram mendapat kesempatan belajar lebih banyak dengan mengikuti program pertukaran budaya di Belanda. Sepulang ke Indonesia, ia memutuskan untuk bergabung dengan organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Karyanya semakin berkembang, perenungan terhadap situasi dan momentum krusial sejarah bangsa ini menjadi perhatian utamanya. Novel "Korupsi" yang ditulisnya tahun 1954 menjadi cerminan betapa kerasnya pandangan Pram. Tak hanya itu, ia juga mulai menerbitkan hasil riset non fiksinya secara serius seperti "Hoakiau di Indonesia" yang merekam diskriminasi atas kaum Tionghoa.
Hatiku bergetar saat berdiri dan membaca perlahan setiap huruf yang tertera di batu nisannya yang sederhana. Gerimis siang itu terasa begitu syahdu. Jauh dari ekspektasiku sebagai penggemar yang berlebihan, pusara makam Pramoedya Ananta Toer yang wafat pada 30 April 2006 itu tampak terlalu biasa saja. Di dalam liang yang sama, jasad istri tercintanya Maemunah Thamrin yang wafat pada Januari 2011 juga turut dikuburkan. Ia memang bukan cinta pertama bagi Pram, sebelumnya ia pernah menikah dan memiliki anak. Tapi rumah tangganya kandas karena perbedaan prinsip yang tak lagi bisa ditawar. Sementara gadis Maemunah adalah perempuan paling setia dalam hidup Pram. Diterpa badai sekencang apapun, teruji sudah Ibu Maemunah kukuh berdiri membesarkan anak-anak mereka dan mendampingi Pram hingga batas usia.
Setidaknya ada satu tulisan yang begitu mengesankanku di makam itu. Ialah perkataan terakhir PAT sebelum ajal sungguh-sungguh menjemput: "Pemuda Harus Melahirkan Pemimpin." begitu bunyinya. Sepenelusuranku, Pram memang sangat percaya bahwa golongan muda adalah motor penggerak perubahan bagi suatu bangsa. Misalnya tercermin dari isi pidato yang pernah dibacakannya pada tanggal 21 Maret 1999. Pidato berjudul "Angkatan Muda Sekarang" itu disambut aplaus gempita oleh semua orang yang hadir di momen pelantikannya sebagai anggota luar biasa Partai Rakyat Demokratik (PRD), sebuah partai politik yang digawangi aktivis belia untuk memperjuangkan demokratisasi di Indonesia dan mendobrak belenggu kuasa rezim otoritarian Orde Baru.
Pram memang pribadi penuh ledakan. Ia tak pernah kehabisan bahan bakar untuk berkarya. Hingga usianya mencapai 80 tahun sekalipun, tak ada hari yang disia-siakan. Aktivitas membuat kliping menjadi rutinitas dalam ruang kerja di rumah tinggalnya di kawasan Bojong Gede yang sejuk. Setiap hari Pram juga harus membakar sampah apa saja di pekarangan, itu seperti terapi yang memberi efek tenteram baginya. Beberapa tahun sebelum wafat, ia tak lagi mampu menulis sebaik dulu. Daya tahan tubuhnya menurun jauh terutama pasca terkena serangan stroke di tahun 2000. Pendengaran dan penglihatannya pun terus menurun. Jemarinya sering kaku, dan ingatannya kerap terselip.
Tapi hidupnya tak pernah sepi, jutaan orang muda terus membacai karyanya. Memetik makna dan mereproduksi semangatnya menjadi sebuah gerakan. Begitulah Pram, manusia yang lebih dari separuh masa hidupnya dihabiskan dalam kurungan penjara penguasa. Orang yang dipenjara dalam tiga zaman, 3 tahun oleh pemerintah kolonial Belanda yang kembali masuk ke tanah air pasca Jepang menyerah, 1 tahun oleh pemerintahan Soekarno yang diidolakannya, sampai 14 tahun oleh pemerintahan Soeharto yang paling dalam melukai jiwanya.
Penderitaan terbesar sebagai manusia merdeka di negeri yang ikut dimerdekakannya adalah kehilangan kemerdekaan itu sendiri. Kondisi itu harus diterimanya seperti kutukan yang sudah ditakdirkan. Setelah dimulainya episode guncangan politik nasional melalui peristiwa Gestapu atau Gestok '65, Pram ikut terciduk. Melalui program bersih lingkungan, bersama jutaan manusia Indonesia lainnya ia dihukum tanpa pernah diadili, harta benda maupun karyanya dirampas musnah, dan seluruh keluarga harus sesak nafas terkena stigma seumur hidup mereka.
Lebih buruknya Pram ikut disertakan dengan ribuan tapol alias tahanan politik lainnya untuk mengalami masa pembuangan di Pulau Buru selama satu dekade. Namun, meski harus mengalami ketertindasan jiwa raga, kobar api semangatnya untuk berkarya justru semakin tak bisa dipadamkan. Tanpa alat tulis yang pantas, tanpa eferensi yang ideal, dan hanya mengandalkan ingatan juga instingnya saja, Pram membuktikan bahwa dirinya adalah seorang sastrawan sejati. Novel Tetralogi Pulau Burunya (Bumi Manusia, ANak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) serta Novel Arus Balik yang bergenre sejarah berhasil disusun dan menjadi mahakarya di kemudian hari.
Dari pengalaman pahit sebagai tapol Golongan B itu, ia juga merampungkan dua jilid catatan harian berjudul "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu" yang memberi gambaran rinci betapa kejam dan eksploitatifnya penahanan manusia oleh militer di Pulau Buru. Sementara perjumpaan dengan perempuan-perempuan tua yang dikawini suku-suku asli di pedalaman Buru, menyingkap tabir penyintas korban eksploitasi seks tentara Jepang di era perang pasifik disusunnya dengan judul "Perempuan Remaja dalam Cengkeraman Militer". Semua karya itu nyatanya telah menjadi sumbangan besar bagi pencatatan sejarah bangsa Indonesia, negeri yang amat dicintainya sampai juga terluka karenanya.
Renungan dan panjatan doaku siang itu terhenti karena hujan kembali turun dengan derasnya. Mau tak mau, aku harus lekas berpamitan meski jiwa Pak Pram sendiri mungkin tak akan pernah mendengarnya. Sambil berteduh di tenda besar yang sedang dipasang untuk acara haul konglomerat Achmad Bakrie, kukenali salah seorang pesepeda yang sedang terlamun. Ternyata sejarawan JJ Rizal dan kawannya yang merupakan putra bungsu mendiang Sitor Situmorang, legenda sastra Indonesia lainnya. Mereka sedang mempersiapkan rute sepeda susur sejarah di momen haul pahlawan nasional M.H. Thamrin yang juga paman mertua bagi Pramoedya Ananta Toer.
Dalam keadaan basah terkena percikan air hujan, kami berempat mengobrol tentang banyak hal. Dari jalur kekerabatan keluarga Pak Thamrin, seputar hari-hari tua Pak Pram, momen seru pemakaman Pak Sitor yang wafat di Belanda dan dimakamkan di pingir Danau Toba, hingga jenakanya bocah-bocah Ibukota yang tampak begitu riangnya bermandi hujan dan merenangi genangan air di cekungan komplek pemakaman tua ini tanpa sedikitpun rasa takut. Hanya itu cara yang bisa kami lakukan untuk menghangatkan tubuh. Setelah dua jam terjebak oleh derasnya hujan, kami pun berpamitan, saling menyalami dan bersyukur untuk perjumpaan hari itu.
-------
Terbit di portal Monologis.Id pada Minggu, 10 Mei 2020.