Oleh : Rizqy Umami
( Mahasiswi Pascasarjana PEP UNY 2015 )
Indonesia
merupakan negeri yang diberkati keistimewaan dalam banyak hal,
terutama keberagamannya di segala aspek yang sudah sepatutnya
disyukuri sebagai harta kolektif. Segala perbedaan yang terbentang
dari ujung Sabang hingga Merauke, mulai dari aspek geografis,
tradisi, bahasa, etnis, hingga agama dan kepercayaan, pada akhirnya
menjelma sebagai keberagaman yang melekat dalam suatu identitas
nasional.
Kesadaran
ini sayangnya belumlah mencapai final dan bebas dari sanggahan.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah menunjukkan betapa konsepsi
kemajemukan masih terus diuji lewat berbagai konflik dan perpecahan,
baik yang berlangsung secara vertikal maupun horizontal. Contoh
terdekat ialah runtutan fenomena aksi massa dalam skala nasional yang
bernuansa SARA, yakni Aksi 411, Aksi 212, dan berbagai reaksi
terhadapnya.
Konflik Sebagai Ujian
Integritas Nasional
Aksi
massa bertajuk "Bela Islam" yang berlangsung di Jakarta
sebagai Ibukota Negara pada tanggal 4 November 2016 yang lalu,
merupakan kulminasi dari keresahan sebagian kalangan masyarakat
Indonesia atas indikasi telah terjadinya dugaan penistaan agama
Islam. Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, salah satu calon Gubernur
DKI Jakarta yang berlatar non muslim dianggap bersalah karena
menyitir Surat Al Maidah ayat 51 dalam pidato kampanyenya di
Kepulauan Seribu.
Penggalan
video rekamannya menyebar sebagai viral di berbagai media sosial dan
internet. Berbagai pihak kemudian mengolahnya dari isu politik
pemilukada menjadi isu yang bernuansa sentimen agama dan etnis.
Sementara mayoritas masyarakat Indonesia merupakan umat muslim, data
sensus BPS tahun 2010 bahkan menyebut angka 87,17% dari total
populasi. Sehingga isu yang sensitif seperti ini sangatlah mudah
menuai resistensi.
Mobilisasi
dalam aksi massa tersebut diperkirakan mencapai angka dua ratus ribu
orang, yang datang berbondong-bondong dari berbagai daerah. Tuntutan
utama sebagaimana dilansir dalam surat pemberitahuan ke pihak
kepolisian ialah agar Ahok bisa diproses secara hukum untuk
mempertanggungjawabkan perkataannya. Namun, sayangnya beredar pula
wacana disintegritas seperti anti etnis Cina/Tionghoa, tudingan
kafir, dan sebagainya.
Aksi
ini ternyata berdampak besar bagi kohesifitas masyarakat Indonesia,
maupun stabilitas nasional bagi pemerintah. Isunya terus meluas,
berkembang, dan menjadi kontroversial, bahkan situasinya sempat
menimbulkan ketegangan horizontal antar masyarakat yang bereaksi
terhadapnya. Namun, patut diapresiasi bahwa pemerintah cukup
responsif dengan segera melakukan pemeriksaan hukum kepada
pihak-pihak yang diduga terlibat dan tersangka.
Pemerintah
Indonesia beserta jajarannya kemudian melakukan konsolidasi, dan
menginisiasi gerakan "Apel Siaga Nusantara Bersatu".
Tujuannya tak lain untuk meredakan keadaan, hal ini memang krusial,
karena dalam situasi konflik harus ada pihak yang mengambil posisi
arbitrase untuk menengahi dan memediasi masing-masing pihak yang
terlibat langsung maupun yang bersimpati agar tercipta konsensus yang
melegakan (Soekamto, 1982: 291).
Fenomena
ini masih terus berlanjut hingga kembali dilakukannya mobilisasi
ratusan ribu massa aksi dengan tuntutan yang sama di tanggal 2
Desember 2106 lalu. Namun, tidak sampai menimbulkan kericuhan dan
vandalisme sebagaimana terjadi di aksi sebelumnya, lantaran Presiden
RI segera tanggap membuka ruang dialog dan mendatangi langsung ke
lokasi demonstrasi.
Tak
lama berselang, di tanggal 4 Desember 2016, dan seolah saling
berjawab juga dilangsungkan aksi "Parade Kebhinekaan" yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial-politik di Jakarta sebagai
respon terhadap aksi sebelumnya. Meski demikian, konflik adalah
keniscayaan dalam suatu bangsa, ia bisa melahirkan perubahan sosial
yang tak selamanya negatif. Menjadi tanggung jawab bersama bagi
setiap elemen masyarakat untuk dapat mengelolanya sebagai jalan
menuju penguatan integritas nasional.
Memaknai Kembali
Hakikat Kebhinekaan
Para
pendiri Republik Indonesia pada dasarnya sudah dengan tepat
memberikan fondasi yang kokoh bagi bangunan kemerdekaan yang sekarang
ini kita nikmati. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan nasional,
sudah secara eksplisit menegaskan keberagaman sebagai hakikat yang
menyatukan, bukan sebaliknya menjadi alasan bagi terciptanya
perpecahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Patut
kembali disadari bahwa bangsa Indonesia ini terbentuk bukan hanya
dilatari oleh cultural unity atau karena berada dalam satu
persekutuan hidup yang sama ras, religi,bahasa sejarah, dan adat
istiadat. Lebih dari itu, bangsa ini juga terbentuk karena adanya
political unity, dimana telah terdapat suatu kesepahaman, terbentuk
suatu kesadaran akan kesamaan cita-cita untuk dapat hidup berdaulat,
adil, dan makmur (Winarno, 2009: 31).
Problemnya,
kesadaran yang seperti itu memang kian terkikis dan memudar dalam
kehidupan masyarakat Indonesia belakangan. Terlalu sering terjadi
saling silang pendapat yang berujung pada permusuhan antar saudara
sebangsa. Oleh karenanya, perlu kembali digencarkan upaya-upaya
kolektif dalam memaknai hakikat kebhinekaan dengan segenap kebesaran
hati dan keluasan alam pikiran.
Zainal
Abidin Bagir (2009: 29-31) misalnya, menerangkan konsepsi Pluralisme
Kewargaan untuk memisahkannya dari konsepsi Pliralisme Teologis yang
sensitif. Maksudnya, memusatkan perhatian pada bagaimana masyarakat
yang terdiri dari kelompok-kelompok identitas yang berbeda dapat
hidup bersama dalam ikatan negara-bangsa yang mempersatukan. Dengan
demikian ada pemilahan yang tegas antara ranah teologis dengan
kewargaan.
Dalam
hal kewargaan, yaitu sebagai warga negara, baik secara
individu-individu maupun asosiasi atau kelompok, jelas memiliki hak
untuk bertindak (berpendapat, melakukan sesuatu, mendukung ataupun
menentang sesuatu) secara bertanggungjawab dan tetap mengedepankan
prinsip persatuan nasional. Artinya, pengejawantahan hak sipil itu
juga tidak dibenarkan jika sampai merampas hak-hak warga yang
lainnya.
Apa
yang terjadi dalam rentang waktu dua bulan terakhir ini, hemat
penulis bukanlah hal yang patut disesali begitu saja. Sebaliknya bisa
dijadikan sebagai pelajaran bagi publik, untuk dapat menemukan jalan
pulang ke arah pemahaman kebhinekaan yang hakiki. Berangkat dari
konsep pluralisme kewargaan, rangkaian Aksi Bela Islam patut dipahami
sebagai ekspresi politik yang konstitusional dari kelompok masyarakat
muslim Indonesia.
Begitupun
reapon yang telah diberikan pemerintah, dengan porsi yang mencukupi
sudah membuka ruang bagi proses pembuktian secara hukum akan dugaan
penistaan agama yang dituduhkan pada Ahok. Sikap dari oihak yang
disangkakan pun terbilang kooperatif dengan menyatakan kesiapan diri
mengikuti persidangan dan berharap prosesnya dapat dilangsungkan
secara terbuka bagi publik.
Menjawab Persoalan
Bersama
Secara
legal dan konstitusional, persoalan ini sebenarnya sudah menemukan
jalannya untuk terjawab. Namun, tidak juga bisa disederhanakan begitu
saja, karena masalah utamanya bukan lagi terletak pada Ahok yang jadi
tersangka, massa aksi Bela Islam sebagai penuntut, atau pemerintah
dan proses hukum sebagai penengahnya. Masalah utamanya justru
terletak pada kita semua, warga negara Indonesia.
Fenomena
ini, yang berkembang menjadi isu kontraproduktif berbau SARA,
sesungguhnya hanyalah mencerminkan betapa berbahayanya konflik laten
yang integral dalam identitas kebangsaan Indonesia. Bahwa ternyata
intoleransi masih terus bersemayam sebagai penyakit sosial (social
deviation) yang sulit disembuhkan, atau bahkan bisa dibilang
kambuhan.
Interaksi
silang budaya (cross-cultural) yang selama ini berlangsung dalam
masyarakat Indonesia, masih saja melahirkan proses disosiatif berupa
rasa saling memisahkan, menolak, membenci, dan curiga. Stereotip dan
berbagai prasangka buruk selalu mewarnai hubungan antar kolektif.
Pengabaian terhadap gejala-gejalanya yang timbul justru hanya akan
mengakumulasi dan berpotensi destruktif bagi semua pihak (Pranowo,
1988:2-5).
Dibutuhkan
tumbuhnya motivasi yang kuat dari dalam benak setiap warga negara
Indonesia untuk dapat memutus rantai penyakit intoleransi tersebut.
Penting rasanya sekarang ini untuk saling berinstropeksi, saling
meredakan ketegangan, saling meluruskan pemahaman, dan untuk
bersama-sama fokus pada persoalan yang pokok, dan menyudahi
penyimpangan isu ke arah perpecahan.
Persoalan
ini adalah persoalan bersama yang wajib mendapatkan jawaban secara
utuh dari setiap pihak, baik yang terlibat maupun tidak, sebagai
sebuah kolektif bangsa Indonesia. Ini dilakukan dengan mengawal
proses hukumnya, dan yang terpenting untuk dapat menerima dan
memahami hasilya sebagai kesepahaman yang positif, dan menjadi
panutan bagi penyelesaian konflik serupa di kemudian hari.
Dari
Ahok, pubik belajar betapa pentingnya etika politik. Dari massa Aksi
Bela Islam publik belajar betapa besarnya kekuatan persatuan. Dari
pemerintah, publik belajar bagaimana semestinya mengelola kekuasaan.
Sedangkan dari pihak-pihak yang merayakan penyelewengan dari isu ini,
publik mendapatkan peringatan, betapa besarnya urgensi meresapi
hakikat kebangsaan Indonesia, yang berbhineka tunggal ika.
-----------
Bagir,
Zainal Abidin. 2011, Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik
Keragaman di Indonesia, Bandung,Mizan.
Pranowo,
Bambang, M. 1988, Stereotip, Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial,
Jakarta, Pustaka Grafika.
Soekamto,
Soerjono. 1982, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press.
Winarno.
2009, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta, Bumi
Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar