Oleh : Saddam Cahyo*
Apa
mau dikata, sekali lagi letupan konflik harus mengemuka di tengah kehidupan
masyarakat Lampung. Setelah aksi saling serang antar dua kampung di Padang Ratu
Lampung Tengah yang membawa kerugian materi dan psikis teramat besar beberapa
waktu lalu, kini tersiar kabar di Pugung Tanggamus siswa SMP saling berduel di
dekat sekolah. Ironisnya aksi ini jadi tontonan teman-temannya, dan sempat
direkam video ponsel, bahkan ada satu korban luka tusuk yang beruntung tak harus
sampai meregang nyawa (Lampost, 4/11).
Meski
dalam skala kecil, kabar ini tak patut disepelekan, terutama jika menengok
wabah aksi kekerasan serupa yang terjadi se-Indonesia. Sayangnya tak ada angka
pasti untuk kasus seperti ini, Kementerian Hukum dan HAM hanya mencatat indeks
kekerasan tahunan yang disebabkan oleh paham radikal tertentu, atau kasus
kekerasan seksual dan anak saja. Padahal, aksi kekerasan berujung kriminal yang
kerap hanya dilandasi ledakan emosi sesaat begini justru sangat mengkhawatirkan.
Internalisasi Massif Kekerasan
Jika memantau
media massa, betapa sering muncul berita kriminal pembunuhan hingga tawur massa
yang terjadi dalam nuansa balas dendam. Seolah jalan pintas mengejar kepuasan
batin untuk menyudahi tekanan masalah lewat aksi kekerasan adalah pilihan yang patut
dibenarkan. Ini juga bisa menjadi ukuran asumtif betapa institusi hukum tak
lagi meresap dan dipercaya ampuh menghadirkan rasa keadilan bagi masyarakat.
Dalam
kasus seperti ini tak bisa menyalahkan satu atau dua pihak saja, sebab
kompleksitasnya dilatari banyak faktor, dari motif eksistensi, ekonomi, beladiri,
pengaruh lingkungan, hingga dampak suguhan media
violence. Untuk yang terakhir ini butuh perhatian khusus, mengingat gejalanya
yang begitu massif di Indonesia. Tapi kekerasan media yang dimaksud tidak
sebatas pemberitaan aksi kekerasan yang vulgar dan agitatif oleh media massa,
tetapi juga merujuk pada tak terkontrolnya akses informasi berunsur kekerasan verbal
ataupun fisik dari tayangan hiburan televisi, internet, atau sarana lainnya.
Sosiolog
Stuart Hall (1980) menyebut tiga tipe konsumen informasi, yakni dominant reader yang terlampau mudah
menganggap semua informasi yang diperoleh sebagai kebenaran tunggal, lalu negotiated reader yang lebih pandai
menyaring informasi dan berusaha membangun persepsi sendiri, dan oppositional reader yang selalu
mengambil sikap bertentangan dengan arus mainstream. Sayang, masyarakat Indonesia masih
kurang kritis hingga cenderung terjerumus dalam tipe pertama yang sebenarnya
paling merugikan.
Masyarakat
Indonesia memang menemui seluruh kondisi objektif yang memenuhi syarat definitif
bagi tumbuh suburnya budaya kekerasan. Selain sikap dominant reader, masyarakat kita harus juga menghadapi tekanan
ekonomi cukup berat dalam keseharian hidup hingga mudah menimbulkan frustasi
sosial, ditambah hadirnya kepungan internalisasi nilai kekerasan yang
berlebihan di semua lini. Jika situasi ini terus diabaikan, ruang bagi tersulutnya
ledakan amarah yang kontra produktif semakin terbuka lebar.
Nilai-nilai
kekerasan memang semakin terasa lokal, kehadirannya bisa dengan mudah ditemui dalam
setiap rumah tangga, khususnya lewat beragam tayangan hiburan TV yang tak bisa
ditolak. Ini patut diwaspadai, sebab tayangan kekerasan yang diterima secara
simultan akan memicu proses penyerapan nilai yang bisa saja berlangsung tanpa
disadari. Proses ini akan pula mendorong seseorang untuk merekonstruksi nilai
kekerasan sebagai hal yang wajar dalam perilaku sosialnya.
Buah Perilaku Agresi
Bahkan
kita punya pengalaman mengerikan jika masih ingat kasus LP Cebongan Yogyakarta
23 Maret 2013 lalu, yang seolah menyuguhkan kisah heroik nan nyata ala film aksi Hollywood. Dimana ada sekelompok orang yang bersolidaritas atas
terbunuhnya seorang rekan dengan merancang aksi balas dendam, menerobos
penjagaan ketat penjara, melumpuhkan petugas, dan sukses menembak mati para
tersangka di dalam selnya. Gawatnya, aksi brutal ini dilakukan oleh aparat
militer yang semestinya jadi panutan warga sipil.
Inilah
tantangan bangsa ke depan, untuk memerangi wabah nilai kekerasan yang merasuki
kebudayaan kita. Jangan sampai perilaku agresi yang jauh dari manfaat terus
terjadi menumpahkan darah sesame anak bangsa, baik dalam skala kecil berupa
pertarungan individu apalagi skala besar dan kompleks seperti pertikaian
kelompok. Sejak dahulu kita selalu diingatkan rasa bangga sebagai bangsa
beradab, yang nir kekerasan dan mengedepankan musyawarah untuk mufakat.
Pemerintahan
melalui Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ternyata sudah
merancang Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) sebagai terobosan yang mampu
menyediakan data, pemetaan, dan analisis tentang konflik dan kekerasan yang
terjadi di berbagai daerah. Ini langkah baik sebagai upaya preventif, dan untuk
provinsi Lampung yang belum mampu terbebas dari teror konflik laten pun hendak
disusun Perda pengendalian konflik. Sekarang tinggal menguji komitmen bersama,
apakah sungguh kita menghendaki kedamaian?
_____________
*) Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk
Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung
TERBIT DI HARIAN CETAK LAMPUNG POST, SELASA 9 DESEMBER 2014. http://epaper.lampost.co/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar