Oleh : Saddam Cahyo dan Rismayanti Borthon
Mahasiswa bagaimanapun adalah kelompok sosial yang istimewa di tengah masyarakat Indonesia. Mereka dianggap memiliki peranan historis yang signifikan dalam sejarah bangsa ini, terutama sebagai penyambung lidah rakyat yang dipercaya masih begitu jujur, idealis, dan bersih dari tunggangan kepentingan golongan ketimbang para elite politikus yang sudah terlalu sering membohongi masyarakat. Namun, ternyata di tengah golongan masyarakat intelektual ini wacana apatisme terhadap proses politik semacam pemilihan umum yang mengarah pada pilihan menjadi golongan putih justru cukup tinggi.
Tugas Historis
Ada banyak kredo suci yang begitu melekat sebagai identitas sekaligus menjadi tanggung jawab bagi mahasiswa Indonesia. Di antaranya amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mewajibkan setiap insan mahasiswa untuk selalu tekun dan meraih prestasi, baik dalam pelajaran di kampus, penelitian di lapangan, maupun pengabdian kepada masyarakat.
Lalu, istilah agent of change, agent of social control, and iron stock dengan gamblang menunjukkan tugas historis mahasiswa sebagai agen yang mewakili masyarakat untuk mengontrol dan mengawasi berbagai kebijakan pemerintah, pelopor terwujudnya perubahan sosial yang lebih baik, serta sebagai calon penerus generasi kepemimpinan bangsa di masa mendatang.
Mendiang Soe Hok Gie, tokoh angkatan 1966, pernah menegaskan konsep moral force sebagai batasan perjuangan yang harus dipegang teguh dan mewaspadai agar tak terjebak dalam political force. Maksudnya peranan mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat haruslah sebagai gerakan moral yang bangkit di kala hadirnya momentum ketidakadilan dan kesewenangan penguasa, setelah perubahan dicapai mahasiswa harus kembali ke kampus dan tidak menjadi gerakan politik yang secara langsung ikut ambil bagian kekuasaan, karena gerakan mahasiswa harus murni dan netral terhadap kepentingan politik agar ketajaman nalar kritisnya tetap terjaga.
Wejangan Gie tentu saja sangat baik, mengingat status mahasiswa hanyalah sementara waktu. Namun, mahasiswa harus cerdas memahaminya dalam konteks realitas kekinian, semisal dalam menghadapi momentum pemilu. Nalar kritis dan netralitas tentu bukan berarti mutlak dipahami agar mahasiswa bersikap tak acuh pada semua proses politik, apalagi terlampau pesimistis dan apriori terhadap sistem kekuasaan. Sebagai katalisator dari harapan rakyat, mahasiswa harus memahaminya dengan optimistis, rasional, dan bertanggung jawab atas sikap apa pun yang dipilihnya.
Sukseskan Pemilu
Tentu saja golput atau tidak menggunakan hak pilih adalah sikap politik yang patut dihargai sebagai aksi protes dalam alam demokrasi seperti ini. Terlebih, sejarahnya di Indonesia aksi golput dengan tidak mendatangi TPS adalah gerakan politik radikal yang menentang status quo Orde Baru yang otoriter.
Sekarang ini tren golput memang terus meningkat setiap tahun, tapi metode golput seperti itu dianggap tak lagi efektif dan ampuh sebagai aksi protes. Pasalnya, justru hanya memberi celah terjadinya penyelewengan oleh para oknum penjual-beli suara, sementara meski golput menembus angka di atas 50% sekalipun, ternyata tidak akan mendeligitimasi keabsahan hasil pemilu.
Tak salah jika banyak pendapat menyebut pascareformasi, pemerintahan yang terpilih baik eksekutif maupun legislatif kinerjanya justru semakin mengecewakan dan perilakunya sering memalukan, sedangkan rakyat masih saja tenggelam dalam kemiskinan yang tak berkesudahan.
Karena itu, mereka beranggapan pemilu hanyalah pestanya elite penguasa yang sudah pasti melupakan pengabdiannya pada rakyat. Tapi hiruk-pikuk ribuan calon pemimpin dan belasan parpol serta berlapis-lapis pemilu yang masih karut-marut ini semestinya tetap dimaknai sebagai bentuk proses pendewasaan politik bangsa kita ini, yang dicapai melalui perjuangan dan pengorbanan gerakan mahasiswa.
Mahasiswa sebagai kelompok intelektual yang penuh idealisme haruslah memandang momentum Pemilu 2014 sebagai hal penting yang berbeda dari momen sebelumnya. Tahun ini penuh harapan baru, dengan hegemoni penguasa sebelumnya yang terbukti gagal sudah tergusur, dan sosok-sosok pemimpin yang lebih visioner pun kian bermunculan dan patut dipertimbangkan. Setiap mahasiswa Indonesia tentu bebas menentukan pilihan bentuk partisipasi apa yang dianggap paling tepat menyambut momentum Pemilu 2014 ini.
Ada banyak peranan teknis yang bisa dilakukan mahasiswa untuk memastikan pemilu berlangsung sesuai harapan, semisal menjadi bagian dari tim pengawas, panitia penyelenggara, kampanye pemilih cerdas, ataupun mendukung kandidat tertentu.
Prinsipnya, apa pun sikap politik yang kita ambil haruslah rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam semangat menyambut datangnya perubahan, ayo kita hindari sikap golput, apalagi sudah banyak BEM kampus yang sudah bekerja sama KPU untuk memastikan hak suara mahasiswa tetap tersalurkan meski berhalangan mudik ke TPS di kampung halaman.
__________
*) Terbit di harian cetak LAMPUNG POST, 10 Maret 2014.
http://lampost.co/berita/pemilu-dan-sikap-politik-mahasiswa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar