Oleh : Saddam Cahyo
Tahun ini genap 11 tahun masyarakat Lampung kembali melewatkan momentum sejarah gerakan massanya yang terbesar sepanjang reformasi di tegakkan di negeri ini. Dalam suasana euforia kemenangan reformasi, bangsa kita menghadapi babak baru, dimana era keterbukaan mulai di usung, tak luput masyarakat Lampung yang juga berpartisipasi aktif dalam proses sebelumnya.
Gerakan rakyat di Lampung kala itu bisa dikatakan sangat solid, karena masyarakat yang dipelopori gerakan intelektual mahasiswa mulai menyadari pentingnya mengorganisir diri dan memperjuangkan hak hidup bersama, termasuk dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. Tidak hanya di Lampung, lompatan kualitas kesadaran masyarakat akan pentingnya menegakkan demokrasi juga bermunculan di seluruh pelosok negeri, begitupun berbagai reaksi massa untuk menyuarakan pendapatnya di muka umum telah menjadi budaya positif yang baru.
28 September 1999, gerakan rakyat di Lampung kembali melakukan gejolak perlawanan untuk menolak kebijakan Pemerintah Gusdur yang berupa RUU PKB atau Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya untuk menanggulangi berbagai gejolak sosial pasca reformasi di berbagai daerah. UU ini dinilai oleh rakyat Indonesia yang baru terlepas dari belenggu tekanan otoritarian militer sebagai bentuk legitimasi penindasan gaya baru oleh militer terhadap masyarakat sipil yang sekedar bergejolak menyuarakan aspirasinya.
Gerakan ini sesungguhnya merupakan klimaks persatuan perjuangan rakyat Lampung, di lihat dari kuantitas massa aksi yang mencapai ribuan orang dari berbagai elemen dan kualitas tuntutan serta teknis aksi yang sistematis, namun sangat disayangkan karena gerakan ini justru berubah menjadi Tragedi pelanggaran HAM terbesar dalam periode reformasi di tanah Lampung ini.
Ribuan massa aksi yang datang berangsur-angsur melakukan longmarch menyuarakan aspirasi justru di pukul mundur dan di bubar paksakan oleh aparat TNI yang bersiaga di depan kampus UBL. Tak hanya itu, penyalah gunaan wewenang pun dilakukan aparat TNI yang menerobos kampus UBL mengejar demonstran sambil melakukan pemukulan dan pengerusakan fasilitas kampus.
Tragedi ini pun akhirnya merenggut dua nyawa aktivis mahasiswa Unila, Yusuf Rizal sebagai massa aksi yang ditembak mati di tempat dan Saidatul Fitria aktivis Pers Mahasiswa yang kepalanya di popor senapan saat sedang melakukan kerja jurnalistik serta ratusan orang lainnya luka-luka. Begitu kompleksnya dampak tragedi UBL berdarah ini, dan dapat kita kerucut kan sebagai bentuk nyata potensi kekejaman militerisme terhadap massa rakyat yang menghendaki demokrasi.
Berangkat dari ini, sewajarnya kita sebagai mahasiswa harus menjadi pelopor perubahan, Mengingat pelanggaran HAM di negeri ini belum pernah dihentikan melainkan terus berlangsung dengan ”cara baru” yang lebih di legitimasi pemerintah. Tak hanya memperingati tragedi puncak ini sebagai ceremonial tahunan belaka, tetapi menjadikannya sebagai momentum penguatan tekad anti penindasan antar manusia serta penguatan desakan sosial dari masyarakat akan realisasi program-program kampanye pemerintah yang selalu menjanjikan pengusutan dan penghentian segala bentuk pelanggaran HAM bukan sekedar wacana pencitraan pendongkrak popularitas politik saja.
________________
Bandar Lampung, September 2010
**) Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila
Dimuat dalam ”KORAN MERAH” News Letter LMND Ekskot B. Lampung Edisi September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar