Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Jumat, 11 Februari 2022

OPINI: Menggelorakan Salam Nasional: “Salam Pancasila!”


Oleh: M Saddam SSD Cahyo*

 

Tak lama berselang usai kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang telah begitu lama diidamkan itu diproklamirkan, lewat upacara bendera yang sederhana namun penuh khidmat oleh para para pendiri bangsa, terutama  dwi-tunggal Soekarno-Hatta di bilangan Pegangsaan Timur Nomor 56, Menteng, Jakarta Pusat pada pagi hari tanggal  17 Agustus 1945. Sebuah Maklumat Pemerintah diterbitkan pada tanggal 31 Agustus 1945 yang memberlakukan pekik perjuangan “Merdeka!” sebagai  Salam Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mengutip dari laman resmi Museum Nasional Proklamasi (http://munasprok.go.id/) Salam Nasional ini dilakukan dengan tata cara mengangkat tangan setinggi bahu, telapak tangan menghadap ke muka dan bersamaan dengan itu memekikkan Merdeka!. Sementara dari versi film dokumenter karya sineas Kotot Soekardi yang tersimpan di ANRI narasinya berbunyi: “..Tangan kanan naik setinggi telinga, jari lima bersatu, apakah artinya itu? negara kita telah merdeka. Suara mengguntur mengucapkan salam nasional Merdeka!, kita siap sedia mempertahankannya walau dengan jalan yang bagaimanapun juga, Merdeka!..”

Riwayat Salam Nasional

Salam Nasional ini pun terlahir dari akar rumput dan dialektika perjuangan, dimana zeitgeist alias semangat zaman pada masa revolusi fisik dipenuhi gelora dan euforia kemerdekaan. Perkataan seperti “Sekali Merdeka Tetap Merdeka!”, “Merdeka Sekarang Juga!”, “Merdeka Bung!”, “Indonesia Merdeka”, atau “Merdeka Atau Mati!” oleh para pejuang tak hanya marak digaungkan secara verbal, tetapi menjamur dalam coretan dinding maupun poster. Masih lekat di ingatan, rekaman pidato membara Bung Tomo di Perang 10 November yang berlangsung selama tiga pekan di Surabaya demi mempertahankan kemerdekaan dari balatentara Sekutu dan NICA, dengan gema pekiknya “Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar..Merdeka!”.

Sejarawan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah Jilid Jilid Kedua Edisi Revisi (2016: Hal. 171-173) mencatat sosok Otto Iskandardinata “Si Jalak Harupat” sebagai tokoh yang mengusulkan pekik perjuangan “Merdeka!” ini dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, hingga kemudian salam ini dikukuhkan oleh Presiden Soekarno dan kian populer digandrungi massa.

Pernyataan ini diperkuat keterangan dalam buku lawas berjudul Ensiklopedi Politik (1955: Hal. 187) yang disusun oleh Tatang Sastrawira dan Haksa Wirasutisna, bahwa pada tanggal 19 Agustus 1945 Presiden Soekarno membahas tentang perlunya salam nasional sebagai suatu pekik yang menggelorakan jiwa seluruh rakyat Indonesia dan beberapa opsinya bersama Otto Iskandardinata. Pada rapat Badan Pekerja - Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) di Jalan Kramat Raya ia kembali mengajukan ucapan “Indonesia Merdeka!” sebagai pekik dari Salam Nasional.  

Pidato Presiden Soekarno di forum Kongres Rakyat Jawa Timur di Surabaya pada 24 September 1955 juga turut memberi penjelasan tentang filosofi dari Salam Nasional,“..Pekik merdeka, saudara-saudara, adalah pekik pengikat. Dan bukan saja saja pekik pengikat, melainkan adalah cetusan daripada bangsa yang berkuasa sendiri, dengan tiada ikatan imperialism, dengan tiada ikatan penjajahan sedikitpun. Maka oleh karena itu saudara-saudara, terutama sekali fase revolusi nasional kita sekarang ini belum selesai, jangan lupa pada pekik merdeka! Tiap-tiap kali kita berjumpa satu sama lain, pekikkanlah merdeka!..”.

Patut disayangkan terkait masih adanya silang pendapat perihal Salam Nasional ini, terlebih dengan narasi yang simpang-siur dan cenderung menyesatkan atau malah berpotensi mengundang perpecahan bangsa. Sebuah sikap yang tak sepatutnya dipelihara karena berwatak ahistoris dan reaksioner serta jauh dari kebijaksanaan. Padahal, jika dicermati lebih jauh sebenarnya kehadiran sebuah Salam Nasional memiliki dampak yang teramat positif sebagai upaya merawat kesatuan dan persatuan, serta asupan moral kolektif agar selalu teguh membangun bangsa dan negara tercinta.

Di masa awal peralihan kekuasaan Orde Baru, Presiden Soeharto yang masih berstatus Pejabat Presiden pada kunjungan kerjanya di Makassar, tanggal 24 Oktober 1967 dalam pidatonya menyampaikan agar rakyat Indonesia memperbarui Salam Nasional untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Ia meminta pekik “Merdeka!” disambut dengan perkataan “Ampera!” yang tak lain akronim dari Amanat Penderitaan Rakyat sebagai akar dari program pembangunan nasional usai diraihnya kemerdekaan. Modifikasi Salam Nasional ini pun terus digemakan Presiden di tiap kunjungan kerjanya ke daerah (Historia.id, 1/3/21).

Faktanya Salam Nasional dengan pekik “Merdeka!” yang tertuang dalam Maklumat Pemerintah ini belum pernah dicabut oleh siapapun,  karenanya banyak tokoh berpendapat secara yuridis aturan ini masih berlaku. Namun, nyatanya ia memang sudah terlampau jauh dilupakan dan tertimbun distorsi, bahkan stigma. Sehingga dalam upaya revitalisasi tanpa mengubah sedikitpun substansi makna yang terkandung di dalamnya, hadirlah Salam Nasional: “Salam Pancasila!” untuk kembali digelorakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Metamorfosis Salam Pancasila

Pertama kali di tahun 2017 dalam acara Peluncuran Program Penguatan Pendidikan Pancasila di Istana Bogor, Megawati Soekarnoputri saat itu selaku Ketua Dewan Pengarah dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) menggagas revitalisasi Salam Nasional yang disebutnya Salam Pancasila. Di hadapan Presiden Joko Widodo, para Menteri, jajaran pimpinan tinggi UKP-PIP, serta 500an peserta dari unsur akademisi dan mahasiswa tersebut ia juga memperagakan langsung dan menerangkan maknanya yang diadaptasi dari Salam Nasional dengan pekik “Merdeka!” (Tempo.co, 12/8/17).

Saat peresmian Baileo rumah adat Maluku, Monumen Bung Karno, dan penamaan jalan di Masohi, Maluku Tengah secara daring pada 21 Juni 2021, Presiden Republik Indonesia Ke-5 itu pun kembali menegaskan misinya sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk konsisten memopulerkan Salam Pancasila sebagai Salam Nasional. Menurutnya jika ucapan salam ini menjadi kebiasaan dalam interaksi masyarakat, maka nilai inti dari Pancasila yakni gotong royong tidak hanya akan selesai di mulut, melainkan benar-benar tumbuh di hati, dan terwujud dalam laku hidup sehari-hari (Republika.co.id, 21/6/21).

Urgensi menggelorakan Salam Pancasila ini juga selalu diutarakan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Ke-6 Try Sutrisno yang turut mengemban amanah sebagai Wakil Ketua Dewan Pengarah BPIP. Semisal dalam Simposium “Penataan Wilayah Pertahanan RI Dalam Rangka Mewujudkan Pertahanan Negara Yang Tangguh” yang diselenggarakan oleh Kemhan di Jakarta, 9 Juli 2019, disampaikannya untuk terus mengenalkan angkat lima jari dan teriakkan Salam Pancasila! agar menjadi penangkal dari pengaruh buruk dari konten atau isu yang bisa menggerus Pancasila (Antaranews.com, 9/7/19).

Presiden Jokowi dalam pengarahannya saat pengukuhan Purna Paskibraka Tahun 2021 sebagai Duta Pancasila di halaman Istana Negara juga penuh semangat mengucap Salam Pancasila. Ia mengingatkan putra-putri terbaik bangsa itu akan realitas negeri yang penuh keberagaman namun dipersatukan oleh ideologi Pancasila. Diharapkan agar mereka mampu menjadi motivator bagi pemuda lain di seluruh penjuru Indonesia untuk berprestasi sebagai pelopor perubahan dan kemajuan (Setkab.go.id, 18/8/21).

Meminjam analogi Yudi Latif, Ph.D. mantan Kepala UKP-PIP hingga masa awal beralih menjadi BPIP dalam beberapa kesempatan ceramahnya, diibaratkan protokol sabuk pengaman yang selalu diingatkan berulang-ulang oleh pramugari di dalam kabin pesawat. Barangkali pesannya akan terdengar menjenuhkan, tapi sesungguhnya ia justru menjadi pengingat yang akan sangat menentukan keselamatan diri kita dalam keadaan darurat yang tak terduga datangnya. Salam ini kiranya akan berguna untuk memupuk jiwa nasionalisme rakyat Indonesia.

Terobosan gagasan metamorfosis Salam Pancasila sebagai Salam Nasional ini pun senafas dengan Presiden Soekarno sendiri yang dapat dijumpai dalam buku otobiografi Sukarno An Autobiography: As Told To Cindy Adams (1966: Hal.224) atau mungkin lebih dikenal versi terjemahan Bahasa Indonesianya yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Dikutipkan, "..As the Prophet invented the Salam to unify his followers, so the inspiration descended from God Almighty to proclaim one national greeting for the Indonesian people. The first of September I decreed every citizen of the Republic should greet another by raising his hand, spreading fingers wide in token of our five principles and shouting, "MERDEKA!..".

Prof. KH. Yudian Wahyudi usai dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Kepala BPIP pada tanggal 5 Februari 2020 juga cukup concern pada upaya pembumian Salam Pancasila sebagai Salam Nasional. Sayangnya dalam video wawancara eksklusif bersama Detik.com pada 12 Februari 2020, ikhtiar itu sempat direspon begitu riuh khususnya oleh sebagian elemen masyarakat di ruang maya dengan semakin dikeruhi oleh framing yang kontra produktif dan bernada hoaks.

Padahal jika utuh disimak, saat itu ia sedang merespon pertanyaan jurnalis tentang ekspresi nilai kebinekaan dari mantan Mendikbud Prof. Daoed Jusuf yang tak pernah membuka percakapan formal dengan salam agama tertentu sebagai panutan. Hal ini dihadapkan pada kasus adanya kecenderungan abai terhadap toleransi dengan hanya mengucap salam agama tertentu saja, sementara banyak umat beragama lain yang turut hadir. Dalam konteks inilah, Prof. Yudian mengajukan Salam Pancasila sebagai alternatif kebinekaan yang dapat dipakai untuk menghargai perbedaan dan menjaga persatuan, semisal di berbagai momen pembukaan acara formal di ruang publik (Tempo.co, 21/2/20).

Patut disyukuri kedewasaan rakyat Indonesia memang sudah teruji dalam banyak aral-rintang. Secara berangsur, kini maksud baik dari upaya membangkitkan ingatan kolektif pada Salam Nasional yang lama terabaikan itu kian pulih. Pun demikian penerimaan pada gagasan Salam Pancasila ini tampak semakin bersambut, seiring dengan meningkatnya kesadaran bersama akan pentingnya lebur merawat harmoni dan mengeratkan persatuan ketimbang hancur dalam pertikaian tak berujung. Akhir kata, izinkan saya menutup tulisan ini dengan mengucapkan salam yang mempersatukan kita semua, “Salam Pancasila!”.

--------------

*)Alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung. Peminat  Kajian Sosial-Budaya-Politik.

Saat ini bekerja sebagai Analis Kelembagaan di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Terbit di:

https://diksimerdeka.com/2022/02/11/menggelorakan-salam-nasional-salam-pancasila/  

https://monologis.id/kopilogis/menggelorakan-salam-pancasila  

https://www.silanews.com/ruang-publik/pr-2092638142/menggelorakan-salam-nasional-salam-pancasila-begini-sejarahnya 

MAJALAH SILAPEDIA Edisi Kedua, Maret 2022, Halaman 164.


--------------

Rujukan Buku:

“Api Sejarah Jilid Kedua Edisi Revisi” oleh Ahmad Mansur Suryanegara. Penerbit Surya Dinasti. Bandung. 2016.

“Ensiklopedi Politik” oleh Tatang Sastrawira dan Haksa Wirasutisna. Penerbit Perpustakaan Perguruan Kementerian PP dan K. Jakarta.1955.

“Sukarno An Autobiography: As told to Cindy Adams” oleh Cindy Adams.Penerbit Gunung Agung. Jakarta.1966.

 

Rujukan Daring:

http://munasprok.go.id/Web/baca/464

https://historia.id/politik/articles/pekik-merdeka-gaya-soeharto-P3om4/page/2

https://cekfakta.tempo.co/fakta/632/fakta-atau-hoaks-benarkah-kepala-bpip-usulkan-ganti-assalamualaikum-dengan-salam-pancasila

https://www.antaranews.com/berita/947721/try-sutrisno-ayo-gelorakan-salam-pancasila#.YedZRcpNUX8.whatsapp

https://nasional.tempo.co/read/899362/megawati-perkenalkan-salam-pancasila-ajaran-soekarno

https://www.republika.co.id/berita/qv1ox5430/megawati-ingin-populerkan-salam-pancasila

https://setkab.go.id/pengarahan-presiden-ri-kepada-purnapaskibraka-tahun-2021-18-agustus-2021-di-halaman-tengah-istana-merdeka-provinsi-dki-jakarta/