Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo*
Riuh rendah masih kerap terdengar sayup perdebatan di
tengah masyarakat Indonesia tentang kapan sesungguhnya ideologi Pancasila
dilahirkan. Di satu pihak, ada yang berkeras menghitungnya per tanggal 18
Agustus 1945. Persisnya usai sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) mengesahkan konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945,
yang di akhir alinea keempat dalam naskah Pembukaannya tercantum isi dari Pancasila
sebagai dasar negara.
Pendapat lain menyatakan tanggal 22 Juni 1945 sebagai
momen kelahiran Pancasila. Melalui
dokumen yang dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta rampung disusun oleh Panitia
Kecil yang berisi sembilan orang pemegang
amanat sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK)
untuk merampungkan konsepsi dasar negara. Namun, dokumen yang diadopsi sebagai preambule ini harus mengalami perubahan
dengan pertimbangan persatuan bangsa, yakni dihapusnya tujuh frasa dari sila pertama.
Sementara pendapat terakhir yang menjadi arus utama
yaitu tanggal 1 Juni 1945, bertepatan dengan Pidato Bung Karno di hari ketiga
sidang pertama BPUPK. Pidato yang di kemudian hari populer dengan judul
“Lahirnja Pantjasila!” itu memang momen kali pertama istilah Pancasila disebut,
sebagai jawaban bagi ketua sidang Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat tentang
apa yang akan menjadi dasar berdirinya negara Indonesia kelak.
Autentisitas
Pancasila
Polemik ini memang teramat klasik dalam narasi sejarah
nasional bangsa Indonesia. Masing-masing pihak pendukungnya sama keras dan
cenderung berdebat dengan dalilnya sendiri. Ibarat berkacamata kuda, semuanya tinggi
mendongak merasa paling lurus dan tak mau saling terbuka. Padahal jika mau
belajar merunduk dan meluaskan pandangan, ada benang merah yang saling
terhubung dan bisa ditarik dari semua versi tersebut.
Penulis sering menyimak Wakil Kepala Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Hariyono yang juga sejarawan, di berbagai
kesempatan selalu menerangkan bahwa sejarah kelahiran Pancasila yang autentik
itu justru jika ketiga pendapat tadi dipandang sama sekali tak terpisah sebagai
kesatuan utuh. Sebagai analogi rangkaian kelahiran manusia, Pancasila diibaratkan
lahir pada 1 Juni, melepas tali pusar pada 22 Juni, dan diterbitkan akta lahir
pada 18 Agustus Tahun 1945.
Pernyataan ini tak hanya menyejukkan, tapi juga
memiliki landasan data riset sejarah yang valid dan objektif. Di masa hampir 25
tahun pemerintahan Presiden Soekarno, setiap tahunnya peringatan hari kelahiran
Pancasila pada tanggal 1 Juni selalu semarak dirayakan. Namun, di era
pemerintahan Presiden Soeharto perayaan pun surut. Tahun 1970 sempat timbul
polemik. Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib) sempat
melarang perayaan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila dalam bentuk apapun, dan
lebih mengarahkan aktivitas peringatan lebih kepada Hari Kesaktian Pancasila
tanggal 1 Oktober sesuai kebutuhan politik masa itu.
Sebagaimana diketahui bersama, itu adalah periode
transisi politik nasional pasca peralihan kekuasaan usai tragedi Crack ’65. Terjadi perubahan paradigma
besar-besaran dan suasana pun menjadi sangat sensitif. Ahli sejarah Prof.
Nugroho Notosusanto melalui bukunya yang berjudul “Naskah Proklamasi jang
Otentik dan Rumusan Pancasila jang Otentik” adalah tokoh yang pertama kali
mempersoalkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Namun, sayangnya riset itu
hanya merujuk pada satu data primer yang juga masih debatable yaitu tulisan-tulisan
Muhammad Yamin.
Awal tahun 1975, Presiden Soeharto pernah meminta para
tokoh angkatan ’45 untuk menyusun tafsiran atau rumusan Pancasila yang baku agar
dapat diresapi oleh seluruh rakyat Indonesia. Dibentuklah Panitia Lima yang
diketuai oleh Dr. Mohammad Hatta dan beranggotakan Mr. Ahmad Soebardjo
Djojodisoerjo, Prof. Mr. Sunario, Prof. Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo, Drs.
Pratignyo, dan A.A. Maramis. Setelah melakukan kajian sejarah dan rapat-rapat,
Panitia Lima itu merampungkan naskah yang diberi judul “Uraian Pancasila” dan
diterima oleh Presiden Soeharto pada tanggal 23 Juni 1975.
Naskah ini dijanjikan Presiden akan diteruskan kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI untuk diturunkan dalam suatu kebijakan
tentang pengamalan Pancasila oleh seluruh rakyat Indonesia. Perlu khalayak
ketahui pula, naskah itu kemudian terbit sebagai buku dengan judul yang sama
oleh Penerbit Mutiara di Jakarta pada tahun 1977. Jika anda tertarik memburunya
di pasaran buku langka, mungkin anda bisa jadi satu dari sedikit orang yang
beruntung untuk mendapatkannya.
Menariknya dalam kajian yang digawangi para pelaku
sejarah itu justru menyangsikan akurasi kesaksian Pak Yamin dalam risalah utamanya
yang berjudul “Naskah Persiapan UUD 1945”, dan mereka justru melegitimasi
pidato Bung Karno di tanggal 1 Juni sebagai momen kelahiran Pancasila. Para
tokoh ’45 itu bersepakat bahwa spirit dari kelima sila yang diuraikan Bung
Karno sama sekali tidak berbeda dengan makna yang terkandung dalam redaksional
terpilih sebagaimana teks Pancasila yang kini kita hapalkan.
Pertengahan tahun 1978, polemik pun mereda melalui
Sidang Dewan Politik dan Keamanan yang dipimpin oleh Menko Polkam Jenderal M.
Panggabean memutuskan bahwa sebagai negara demokrasi, Pemerintah Indonesia
tidak melarang aktivitas peringatan hari lahir Pancasila di tanggal 1 Juni oleh
sebagian elemen masyarakat. Namun, peringatan secara resmi tidak dilakukan oleh
Pemerintah hingga beberapa dekade kemudian.
Namun, saat ini kedewasaan demokrasi Indonesia sudah cukup
jauh berkembang. Patut diapresiasi, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan
Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila. Isi
dokumen itu dibunyikan dalam poin (e) pertimbangan: “bahwa rumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir.
Soekarno, rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, hingga rumusan final
tanggal 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai
Dasar Negara.”
Tanggal 1 Juni kemudian secara resmi ditetapkan
sebagai hari libur nasional untuk memperingati kelahiran Pancasila. Terlebih
lagi kedewasaan demokrasi itu juga tercermin semisal dari dua momentum di tahun
2019 yang lalu. Presiden Jokowi tampak hadir sebagai Pembina Upacara di dua
giat upacara kenegaraan yang berkaitan erat dengan sejarah ketatanegaraan
seputar Pancasila, yaitu pada tanggal 1 Juni 2019 di Gedung Pancasila, Jakarta
Pusat, dan 1 Oktober di Museum Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Api Gotong
Royong
Begitu kiranya sedikit ulasan lika-liku perjalanan
sejarah Pancasila, yang dari setiap prosesnya bisa dipetik pelajaran. Bila
pembaca ingin lebih dalam mengkaji tema sejarah konstitusi ini, bisa merujuk
pada buku berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” terbitan tahun 2004,
serta “Menggugat Arsip Nasional Tentang Arsip Otentik Badan Penyelidik dan
PPKI” terbitan tahun 2017. Keduanya merupakan karya R.M. Ananda B. Kusuma,
pakar hukum tata negara Universitas Indonesia yang sudah melewati masa riset dengan
segala kerumitan dan penuh misteri selama lebih dari 20 tahun.
Pada prinsipnya, ketimbang sibuk bergerak mundur
memperdebatkan semua hal ihwal riwayat Pancasila yang malah akan menjebak kita
semua ke ranah kontra-produktif, akan lebih bermanfaat jika kita mengarahkan
semua daya upaya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap
sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kerap kita kenang dalam
bahasa Bung Karno sendiri sebagai penggali utamanya yakni, “Warisi Apinya,
Jangan Abunya!.”
Mengutip Tan Swie Ling dalam bukunya yang berjudul
“Masa Gelap Pancasila” (2014: 67), betapa sesungguhnya Pancasila itu laksana
pahatan wajah nasionalisme Indonesia yang diukir dalam semangat serta cita-cita
perjuangan pembebasan dan memerdekakan diri sebagai sebuah bangsa yang setara
dengan bangsa lainnya di dunia. Hal ini
menegaskan watak utama dari Pancasila sebagai leitstar dinamis yang spiritnya dapat hidup sepanjang masa karena
selalu menjumpai kontekstualitasnya di setiap zaman.
Dirujuk dari riwayatnya pula, bukanlah bangsa
Indonesia itu yang lebih dulu ada baru kemudian Pancasila disusun. Sebaliknya,
Bung Karno berkali-kali menegaskan jika nilai-nilai kebajikan universal dalam
Pancasila itu ibarat mutiara yang digali dari nafas hidup seluruh suku bangsa
yang ada di bumi Nusantara ini sejak lama, bahkan jauh sebelum ide tentang
kebangsaan itu sendiri muncul. Itulah mengapa sepatutnya kita menerima
Pancasila sebagai warisan yang niscaya untuktak hanya dilestarikan tetapi juga
dilekatkan dengan kehidupan.
Kembali pada perkara api dan abu, patut ditegaskan
bahwa yang dirujuk sebagai abu dalam sejarah Pancasila tak lain ialah ego
sektoral antar golongan, yang menjadi bahan bakar bagi perpecahan bangsa. Oleh
karenanya, meski perbedaan selalu diakui di negeri yang berbhinneka tunggal ika
ini, persatuan adalah semangat yang harus diutamakan. Bersatu dalam membangun
dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan, bukan bersatu untuk menyakiti ia yang
dianggap berbeda golongan.
Sementara apinya ialah Gotong Royong sebagai nafas
kehidupan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, setiap perbedaan
justru akan menjadi bahan bakar yang positif bagi tumbuhnya solidaritas organik
dari setiap unsur dan golongan masyarakat Indonesia, dimana kehadiran yang satu
adalah untuk melengkapi dan menguatkan yang lain
. Semangat gotong royong yang merupakan intisari dari kelima sila Pancasila ini nyatanya masih kerap diabaikan. Disitulah tugas utama kita sebagai pewaris peradaban bangsa, yang harus diusung dengan penuh kesadaran.
Meski terlambat, seruan ini penulis kira masih relevan
diucapkan kepada sidang pembaca setelah kita melewati masa peringatan lahirnya
Pancasila Ke 75 Tahun! Ayo warisi api semangat para pendiri bangsa, untuk
mewujudkan cita-cita kemerdekaan Negara Republik
Indonesia tercinta, demi kemaslahatan hidup seluruh rakyat. Mari ramaikan perbincangan
di negeri ini dengan jutaan narasi kebajikan dan persatuan, khususnya sebagai
obat hati menyongsong New Normal Indonesia di tengah pandemi yang belum
berakhir ini.
Salam Pancasila!
--------------
*) Bergiat
di forum PERHIMPUNAN PANCASILA. Alumni Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung.
Terbit Tangal 5 Juli 2020. di Portal PEDOMAN BENGKULU.COM dan MONOLOGIS.ID
6 Juli di Portal PodiumNews.Com
7 Juli di Portal DiksiMerdeka.Com
https://pedomanbengkulu.com/2020/07/mewarisi-api-semangat-pancasila/
http://monologis.id/kopilogis/mewarisi-api-semangat-pancasila
https://podiumnews.com/view/6266-Mewarisi-Api-Semangat-Pancasila.php
https://diksimerdeka.com/2020/07/07/mewarisi-api-semangat-pancasila/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar