Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Rabu, 24 Juni 2015

Opini : Rakyat Mem-"bully" Presiden


Oleh : Saddam Cahyo*

Sekarang ini memang zaman mutakhir, teknologi sudah di genggaman tangan, sekejap mata saja ruang dan waktu bebas ditembus. Setiap manusia kian dipermudah untuk saling terhubung langsung person to person tanpa harus jumpa. Jejaring media sosial di dunia maya yang kian pula beragam telah menyediakan begitu luas ruang bagi terjalinnya komunikasi lintas batas yang bahkan tak lagi terhalang tabu dan segan.

Pun kehidupan politik di negeri ini turut berkembang mengikuti arus teknologi komunikasi. Jika dahulu seorang presiden masih harus disebut paduka yang mulia, atau di-bapak-kan, dan sama sekali tak patut dicela. Sekarang kian luwes, tak selalu lagi rakyat merasa tertekan dan terancam hanya karena menulis, melawak, atau menyanyi sambil mengkritik kebijakan pemerintah. Bahkan sosok orang nomor satu pun seolah sudah dimaklumkan untuk menjadi sasaran bully oleh rakyatnya.

Hak Koreksi Rakyat
Begitulah yang tampak menguat setelah era reformasi, peralihan dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, hingga Soesilo Bambang Yudhoyono terus menunjukkan betapa mem-bully presiden tak lagi dianggap terlampau tabu bagi rakyat. Tentu bully yang dimaksud adalah hanya di ranah wacana, yang sesungguhnya tak lain daripada varian bentuk ekspresi kritik. Kepada sosok Joko Widodo, fenomena ini ternyata semakin massal dan menguat.

Semisal, kasus salah sebutnya Jokowi perihal tempat lahir Bung Karno di Blitar, saat mengunjungi kota tempat jasad proklamator itu dimakamkan dalam rangka peringatan lahirnya Pancasila awal Juni 2015 lalu. Inisiatif sebagian rakyat terutama di jejaring media sosial untuk segera membully habis sang presiden berlangsung begitu heboh dan kian menggenapi rangkaian bully kepada pribadi Jokowi sejak awal kemunculannya di kancah politik nasional.

Ini memang patut diberi perhatian seksama, mengingat latar parpol presiden Jokowi adalah PDI-Perjuangan, yang tak lain daripada partai yang turut mewarisi langsung gagasan politik mendiang Bung Karno. Sedikit kelewatan rasanya jika hal remeh yang semestinya sudah jadi pengetahuan dasar bagi setiap kader internal itu harus membuahkan kesalahan yang begitu konyol dan merugikan seperti ini.

Tapi penting juga dipahami, akan pula berlebihan jika “kecelakaan” pidato ini dituding sebagai upaya presiden untuk turut melanggengkan pembelokan sejarah bangsa. Sebagaimana telah dipahami bersama, kuat dugaan bahwa pernah ada upaya sistematis sejak era Orde Baru untuk menyusun sejarah nasional yang distorsif demi melegitimasi kelanggengan status quo, khususnya upaya de-Soekarnoisasi dengan mengaburkan profil dan segala hal yang berkaitan dengannya.

Mem-bully presiden memang bukan hal tabu apalagi menyimpang dalam kultur politik Indonesia kontemporer. Namun, tidak berarti kritik berlangsung bebas tanpa sama sekali memperhatikan etika politik yang sesuai dengan kepatutan moral orang Indonesia. Sebagai bangsa beradab, kita tentu selalu berusaha memastikan setiap kritik yang dilontarkan mempunyai landasan, korektif,  proporsional, dan konstruktif.

Lagi pula ini zaman baru, demokratisasi politik Indonesia yang kian beranjak dewasa terus menyadarkan betapa presiden bukanlah sosok un-touchable man, melainkan rekan bagi rakyat dalam rangka membangun negeri. Tradisi euphemisme politik yang hanya melahirkan pemimpin nir-prestasi dengan jejaring oportunisme jajarannya mutlak wajib dikikis habis. Karenanya kritik tak boleh dilarang, dan ruangnya harus difasilitasi, terlebih jika substansi masalah yang diusung begitu mengena.

Tapi soal ini juga masih menjadi PR besar bagi Indonesia. Kita ingat 23 Oktober 2014 lalu beberapa waktu setelah terpilihnya Jokowi-JK sebagai pasangan presiden dan wapres, pemuda MA (23) yang kesehariannya menjadi buruh tusuk sate di Jakarta Timur mendadak ditangkap Bareskrim Mabes Polri atas tuduhan penghinaan terhadap presiden, karena terlibat posting saling cibir antar pendukung capres di akun facebook tanpa diketahui siapa pelapornya. Ini menandakan bahwa yang disebut Zainuddin Maliki (2004)[1] sebagai the ruling elite masih bersikukuh membiaskan demokrasi.

Melawan Politik Citra
Jejaring kaum elit yang memiliki akses utama pada kekuasaan memang selalu tidak rela jika riak-riak protes rakyat mulai merongrong kenyamanannya. Namun karena tuntutan zaman yang harus serba terbuka dan legal inilah mereka kerap memainkan peran dan skenario ilusif bertajuk politik citra. Dengan segala cara, terutama memanfaatkan hukum legal yang berkacamata kuda, kaum elit masih sangat mudah mengintimidasi protes kalangan rakyat.

Dalam konteks inilah mem-bully presiden menemukan landasannya, yakni sebagai salah satu wujud daripada hak koreksi rakyat sekaligus meng-counter permainan politik citra kaum elit. Dengan cara ini pula elitisme politik di negeri ini bisa terkikis, jika memang ruang bagi lahirnya pemimpin dari kandungan sejati rahim rakyat jelata masih begitu sulit diraih, setidaknya kita juga berjuang menempa ulang paradigma kekuasaan dari kaum elit itu sendiri. Memberikan tekanan yang intensif sehingga membatasi ruang gerak mereka dalam menerbitkan kebijakan yang merugikan rakyat.

Setidaknya dari polemik ini pula kita kembali diingatkan, betapa mendesaknya kebutuhan pelurusan sejarah bangsa yang selama ini diabaikan oleh pemilik otoritas kekuasaan pasca reformasi. Pun diingatkan betapa gejala political decay alias pembusukan politik sungguh masih akut diidap kaum elite hingga membuahkan pula gejala zero trust society. Dimana sulit sekali bagi masyarakat untuk dapat sepenuhnya menaruh kepercayaan lantaran perilaku elitenya yang tak karuan.

Penting pula bagi personal Jokowi yang beberapa tahun terakhir sukses menjadi idola karena tampil sebagai antitesa dari model politikus mainstream untuk terus membuktikan dirinya. Lewat kritik atas “kecelakaan” yang sudah terjadi kesekian kali ini, ia harus serius berbenah diri. Ada ekspektasi harapan dari jutaan rakyat pendukungnya, sekaligus pesimisme jutaan rakyat lainnya yang menuntut dijawab oleh tindakan nyata yang prestisius, bukan lagi citra ilusif. Tabik!

------------                                                   
*) Peminat kajian sosial-politik, mantan sekretaris LMND Ekswil Lampung 2012 – 2014




[1] Zainuddin Maliki, sosiolog Universitas Muhammadiyah Surabaya dalam bukunya yang berjudul “Politikus Busuk; Fenomena Insesibilitas Moral Elite Politik” terbitan Galang Press Yogyakarta di tahun 2004, banyak menyebut istilah the ruling elite untuk merujuk pada perilaku politik kaum elite yang terus berupaya mengamankan posisi dan kepentingan pribadinya dengan mengabaikan suara arus bawah atau aspirasi rakyat.

Selasa, 23 Juni 2015

Opini : Mencari Solusi Bagi Celeng


Oleh : Saddam Cahyo*

Lagi-lagi diberitakan, aparat berwenang berhasil mencegat upaya penyelundupan daging celeng ilegal dari Sumatera menuju Jawa di Pelabuhan Bakauheni Lampung. Kali ini seberat 500 kg lebih ditemukan di dalam bagasi bus jurusan Medan-Jakarta (Lampost, 16/6). Menjadi sangat menarik, prestasi besar yang kuantitas sitaannya bisa sampai berton-ton ini anehnya hanya membias jadi sekedar rutinitias.
Ditambah mulai dijulukinya Lampung sebagai lumbung celeng nasional, meski sesungguhnya daerah ini hanya kunci bagi jalur perlintasan daging selundupan. Ini lantaran Balai Karantina Pertanian Kelas 1 Bandar Lampung mencatat jumlah tangkapan daging celeng ilegal selama tahun 2014 mencapai kisaran 53,3 ton atau meningkat 340 % dari tahun sebelumnya yang hanya 12 ton. Untuk 2015, sampai bulan Mei saja sudah tersita sekitar 20 ton (Lampost, 24/5).
Bukan Salah Celeng
Angka ini tentu fantastis, wajar jika berbuah keresahan publik. Bagaimana tidak, puluhan ton daging celeng itu beredar bebas secara ilegal entah hingga kemana saja. Problemnya adalah daging ini kerap dimanfaatkan secara tak bertanggungjawab oleh para spekulan picik yang juga menguasai pasar. Modusnya dioplos daging sapi yang sulit dibedakan oleh mata, atau dijadikan daging giling dan produk olahan yang mudah disamarkan dengan ekstrak perasa daging sapi.
Tapi bagaimana pun celeng alias babi hutan liar (Sus Scrofa) adalah mamalia omnivora yang habitat aslinya memang ada di seluruh penjuru Nusantara (Yong,etc, 2010)[1]. Sesungguhnya saat ini celeng masuk dalam golongan hewan liar yang kelestariannya memprihatinkan. Sebut saja pertama, celeng dan seluruh hewan liar lainnya menghadapi situasi pelik dimana habitat alami mereka terus menyusut signifikan secara tak seimbang.
Kedua, dianggap hama perusak lahan pertanian dan perkebunan hingga konfliknya dengan manusia sulit ditolak. Ketiga, celeng harus menghadapi kenyataan statusnya sebagai hewan yang diharamkan oleh agama mayoritas penduduk Indonesia. Keempat, tak lain harus marasakan langsung imbas dari hasrat keserakahan umat manusia yang kadang tak manusiawi.
Semuanya berkelindan menguatkan stigma buruk hingga dianggap tak patut jadi satwa primadona yang dilindungi. Padahal celeng tetaplah bagian dari keragaman hayati Nusantara yang butuh perlindungan. Lebih jujur lagi, kasus yang merugikan banyak pihak, terutama masyarakat konsumen, pedagang, dan usaha kecil ini adalah juga buah pahit dari sistem hidup kapitalisme yang telah merajalela.
Sebab tersirat pula akutnya problem ekologis yang diderita Indonesia. Beralih fungsinya kawasan hutan di sepanjang pulau Sumatera menjadi lahan perkebunan milik korporasi raksasa, membawa konsekuensi logis rusaknya keseimbangan ekosistem. Harimau dan hewan predator lain semakin terancam punah lantaran tak sanggup bertahan, sedangkan celeng lebih adaptif dan sangat mudah berkembang biak.
Populasi yang terus meledak dan locus hidupnya yang kini bertubrukan dengan kepentingan profit usaha perkebunan, ditambah adanya fakta krisis pasokan daging sapi segar sebagai sumber protein masyarakat, serta tingginya laju tekanan biaya hidup yang terus menuntut manusia sibuk mengejar kemakmuran meski mengabaikan moralitas, yang akhirnya membuahkan modus penyelundupan daging celeng.
Daging Untuk Rakyat
Lebih jauh, kasus ini juga mengungkap kekacauan alur distribusi daging sapi yang biasa diakses masyarakat. Dengan demikian akar masalahnya tak hanya pada eksploitasi lahan hutan yang berakibat over populasi celeng, atau sekedar keresahan masyarakat muslim yang takut tak sengaja memakannya. Tetapi juga terlalu abainya negara dalam rangka memenuhi hak rakyatnya untuk aman mengkonsumsi daging.
Konsumsi daging sapi nasional masih harus ditopang oleh impor karena peternakan lokal kita masih sangat minim dan penuh hambatan. Ini mengakibatkan labilnya pasokan dan fluktuasi harga daging sapi hingga membuka celah peluang bagi para spekulan. Sementara itu, fakta tingginya produksi daging celeng ini juga tak bisa terus diabaikan menjadi celah penyimpangan.
Jika problemnya hanya status yang ilegal, penting bagi negara selain menguatkan penegakkan hukum adalah segera menyusun aturan legalisasi serta teknis operasionalnya. Toh ini bermanfaat besar bagi sebagian rakyat yang memang boleh mengkonsumsinya. Pun umat muslim tak perlu was-was karena akan memberi jaminan distribusi yang sesuai peruntukan. Segeralah berbuat, temukan solusi terbaik bukan hanya untuk celeng, tetapi rakyat yang butuh tingkatkan kualitas hidup.
---------------
*) Peminat kajian sosial-politik, mantan sekretaris LMND Ekswil Lampung 2012 – 2014

Sumber:  harian cetak FAJAR SUMATERA, Selasa 23 Juni 2015.





[1] Dalam artikel jurnal yang berjudul “The Status on Singapore Island of the Eurasian Wild Pig Sus Scrofa” dan terbit di SIngapura tahun 2010, L E. Yong, H. Lee, A. Ang, dan H. Tan menulis bahwa daerah persebaran habitat alami hewan babi hutan yang akrab disebut celeng ini cukup luas menjamah dunia. Mulai Eropa Tengah, kawasan Mediterania, dan sebagian besar Asia. Khusus di Asia Tenggara, yakni wilayah Peninsular seperti Malaysia, Singapura, dan terutama Indonesia cenderung memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil.