Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Kamis, 09 Januari 2014

Opini : Tahun Baru, Harga Baru, Penguasa Baru ?




Oleh : Saddam Cahyo*

Genap sudah tahun politik 2014 yang paradoksal kita masuki, konon istilah ini dilatari oleh besarnya harapan dan antusiasme rakyat Indonesia pada sistem demokrasi yang kita anut dan perjuangkan. Barangkali tahun ini memang patut dititipkan harapan klasik akan datangnya perubahan konkret dalam kehidupan berbangsa. Menurut rencana, akan terselenggara beberapa momentum pergantian kekuasaan vital, mulai dari Pemilu Legislatif DPR/MPR/DPD pada 9 April, lalu Pemilu Presiden RI pada bulan Juli, hingga secara khusus Pilkada Gubernur pun telah dijanjikan lebih serius lagi pada segenap masyarakat Lampung di tahun ini pula.

Krisis Berlapis

Namun atmosfer yang paling terasa sampai lapisan terbawah masyarakat justru masih dalam perkara lain yang jauh lebih klasik, yakni belitan biaya hidup. Kita memang dibekali banyak bibit masalah sebelum menginjak tahun ini, kenaikan BBM yang tarik ulur, kenaikan TDL yang berangsur diam-diam, kenaikan UMP yang rata-rata masih bertahan di bawah level 20%, lalu anjloknya nilai mata uang rupiah di level angka 12.000, dan sekarang kita dikejutkan dengan drama kenaikan harga LPG 12 kg yang selalu disertai kelangkaan stok LPG 3 kg di pasaran. Konsekuensi logis tapi pahit yang harus diterima adalah semua harga kebutuhan hidup melambung jauh dari kemampuan konsumsi masyarakat, termasuk mie instant yang menjadi andalan pangan kaum miskin. 

Indeks kesengsaraan rakyat (misery index) Indonesia pada tahun 2013 melonjak dari tahun sebelumnya 10,72 menjadi 15,04. Sementara jika mengacu pada kriteria miskin yang terintegrasi dalam program JKN terbaru, saat ini sekitar 97,4 juta jiwa rakyat Indonesia masuk dalam golongan paling menjadi korban belitan biaya hidup (Lampost, 6/1). Lebih jauh lagi, perkara kemiskinan yang terus mengancam ini akan selalu memantik krisis multi-dimensional yang kompleks dalam kehidupan masyarakat. Semisal krisis sosial kian menjadi karena desakan kebutuhan, ditandai munculnya letupan-letupan konflik horizontal maupun vertikal dari hal sepele merebutkan lahan parkir dan lapak dagang hingga yang lebih substansif merebutkan hak garap atas lahan perkebunan. 

Sayangnya negeri ini juga sedang dilanda krisis pemimpin yang tak kalah krusial. Di setiap level pemerintahan, kita nyaris hanya memiliki penguasa yang begitu pandai menguasai hajat hidup rakyatnya tanpa keseriusan itikad memimpin selain untuk kepentingan diri dan golonggannya. Padahal, sejatinya sistem politik demokrasi itu merupakan jalan bagi segenap rakyat untuk menitipkan amanat pada orang-orang terpilih agar memimpin mereka menggapai kemaslahatan bersama. Tak berhenti disitu, krisis idealisme untuk memosisikan rakyat sebagai penguasa yang hakiki ini juga telah menggerogoti moral jajaran birokrasi maupun penegak hukum yang pelayanannya makin tak bisa diandalkan. 

Paradoks Harapan

Maka tak salah jika menjelang  akhir tahun kemarin media massa maupun lembaga riset berlomba menyajikan data dengan trend yang miris, merosotnya kepercayaan publik pada penyelenggara negara. Tentu situasi ini tidaklah baik, sebab taraf kepercayaan publik akan sangat mempengaruhi angka partisipasi politik. Sementara demokrasi akan semakin kehilangan ruh nya jika rakyat sudah enggan berpartisipasi. Sangat disayangkan jika momentum tahun politik ini dibiarkan menjadi sebuah paradoks dengan kesenjangan yang begitu jauh antara harapan dan kenyataan, sebaliknya justru harus menjadi peluang untuk memilih pemimpin yang tepat, bukan lagi para penguasa yang bebal. 

Sebagai rakyat, kita harus berani tampil secara kolektif menjadi kesatria yang gigih mempertahankan benteng pertahanan terakhir. Indonesia harus diselamatkan, agar cita-cita kemerdekaan bukan sekedar teks mantra yang mandul. Sikap apatisme pada proses politik terutama rangkaian pemilu esok justru hanya akan semakin melegitimasi keterpurukan bangsa ini ke titik yang paling ekstrim. Kita harus membuktikan bahwa rakyat Indonesia memang cerdas, dengan sadar menggunakan hak suaranya, dan tak larut dalam guyuran serangan fajar politik transaksional. 2014 memang sungguh tahun yang penting bagi kita semua.
_______________
*) Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Wilayah Lampung
    Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila.

ARTIKEL INI TERBIT DI HARIAN CETAK LAMPUNG POST PADA 9 JANUARI 2014.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar