Oleh
: Saddam Cahyo*
Genap sudah tahun
politik 2014 yang paradoksal kita masuki, konon istilah ini dilatari oleh
besarnya harapan dan antusiasme rakyat Indonesia pada sistem demokrasi yang kita
anut dan perjuangkan. Barangkali tahun ini memang patut dititipkan harapan
klasik akan datangnya perubahan konkret dalam kehidupan berbangsa. Menurut
rencana, akan terselenggara beberapa momentum pergantian kekuasaan vital, mulai
dari Pemilu Legislatif DPR/MPR/DPD pada 9 April, lalu Pemilu Presiden RI pada bulan
Juli, hingga secara khusus Pilkada Gubernur pun telah dijanjikan lebih serius
lagi pada segenap masyarakat Lampung di tahun ini pula.
Krisis
Berlapis
Namun atmosfer yang paling
terasa sampai lapisan terbawah masyarakat justru masih dalam perkara lain yang
jauh lebih klasik, yakni belitan biaya hidup. Kita memang dibekali banyak bibit
masalah sebelum menginjak tahun ini, kenaikan BBM yang tarik ulur, kenaikan TDL
yang berangsur diam-diam, kenaikan UMP yang rata-rata masih bertahan di bawah
level 20%, lalu anjloknya nilai mata uang rupiah di level angka 12.000, dan
sekarang kita dikejutkan dengan drama kenaikan harga LPG 12 kg yang selalu
disertai kelangkaan stok LPG 3 kg di pasaran. Konsekuensi logis tapi pahit yang
harus diterima adalah semua harga kebutuhan hidup melambung jauh dari kemampuan
konsumsi masyarakat, termasuk mie instant
yang menjadi andalan pangan kaum miskin.
Indeks kesengsaraan
rakyat (misery index) Indonesia pada
tahun 2013 melonjak dari tahun sebelumnya 10,72 menjadi 15,04. Sementara jika
mengacu pada kriteria miskin yang terintegrasi dalam program JKN terbaru, saat
ini sekitar 97,4 juta jiwa rakyat Indonesia masuk dalam golongan paling menjadi
korban belitan biaya hidup (Lampost, 6/1). Lebih jauh lagi, perkara kemiskinan
yang terus mengancam ini akan selalu memantik krisis multi-dimensional yang
kompleks dalam kehidupan masyarakat. Semisal krisis sosial kian menjadi karena
desakan kebutuhan, ditandai munculnya letupan-letupan konflik horizontal maupun
vertikal dari hal sepele merebutkan lahan parkir dan lapak dagang hingga yang
lebih substansif merebutkan hak garap atas lahan perkebunan.
Sayangnya negeri ini
juga sedang dilanda krisis pemimpin yang tak kalah krusial. Di setiap level
pemerintahan, kita nyaris hanya memiliki penguasa yang begitu pandai menguasai
hajat hidup rakyatnya tanpa keseriusan itikad memimpin selain untuk kepentingan
diri dan golonggannya. Padahal, sejatinya sistem politik demokrasi itu merupakan
jalan bagi segenap rakyat untuk menitipkan amanat pada orang-orang terpilih agar
memimpin mereka menggapai kemaslahatan bersama. Tak berhenti disitu, krisis
idealisme untuk memosisikan rakyat sebagai penguasa yang hakiki ini juga telah menggerogoti
moral jajaran birokrasi maupun penegak hukum yang pelayanannya makin tak bisa
diandalkan.
Paradoks
Harapan
Maka tak salah jika
menjelang akhir tahun kemarin media
massa maupun lembaga riset berlomba menyajikan data dengan trend yang miris, merosotnya kepercayaan publik pada penyelenggara
negara. Tentu situasi ini tidaklah baik, sebab taraf kepercayaan publik akan
sangat mempengaruhi angka partisipasi politik. Sementara demokrasi akan semakin
kehilangan ruh nya jika rakyat sudah enggan berpartisipasi. Sangat disayangkan
jika momentum tahun politik ini dibiarkan menjadi sebuah paradoks dengan
kesenjangan yang begitu jauh antara harapan dan kenyataan, sebaliknya justru harus
menjadi peluang untuk memilih pemimpin yang tepat, bukan lagi para penguasa
yang bebal.
Sebagai rakyat, kita
harus berani tampil secara kolektif menjadi kesatria yang gigih mempertahankan
benteng pertahanan terakhir. Indonesia harus diselamatkan, agar cita-cita
kemerdekaan bukan sekedar teks mantra yang mandul. Sikap apatisme pada proses
politik terutama rangkaian pemilu esok justru hanya akan semakin melegitimasi keterpurukan
bangsa ini ke titik yang paling ekstrim. Kita harus membuktikan bahwa rakyat
Indonesia memang cerdas, dengan sadar menggunakan hak suaranya, dan tak larut
dalam guyuran serangan fajar politik transaksional. 2014 memang sungguh tahun
yang penting bagi kita semua.
_______________
*) Sekretaris Liga Mahasiswa
Nasional untuk Demokrasi (LMND) Wilayah Lampung
Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar