Oleh : Hidayaturrohman*
Terhitung
1 Januari 2014 lalu, secara resmi Pemerintah RI menetapkan pelaksanaan program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi seluruh rakyatnya. Program ini cukup
menarik, karena merupakan transformasi dua lapis kebijakan, pertama dari program
yang terpecah seperti jamkesmas, jamkesda, dan askes dilebur ke dalam JKN,
kemudian lembaga penyelenggara yang sebelumnya juga terpecah yakni Pemerintah
Pusat, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan PT Askes kini diamanatkan hanya pada BPJS
Kesehatan. Menurut rencana, Pemerintah menargetkan program ini mampu men-cover hingga 140an juta jiwa dengan
menggelontorkan anggaran hingga 35 triliun rupiah untuk menopang pelaksanaannya
pada tahap awal ini.
Semangat Jaminan
Sosial
Program
JKN melalui BPJS Kesehatan sendiri merupakan buah kedua dari amanat UU SJSN dan
UU BPJS selain BPJS Ketenagakerjaan yang akan berlaku pada Juli 2015 mendatang.
Keduanya lahir didasari oleh semangat perlindungan Negara atas hajat hidup rakyatnya
melalui pemberian serangkaian jaminan sosial. Terdapat tiga kategori fasilitas
pelayanan kesehatan yang bisa dipilih oleh setiap peserta sesuai dengan
kemampuannya membayar iuran, yakni rawat inap kelas 3 dengan premi per bulan
sebesar Rp. 25.500, rawat inap kelas 2 dengan premi per bulan sebesar Rp. 42.500, dan rawat inap kelas 1 dengan
premi per bulan sebesar Rp. 59.500.
Sosialisasi
tentang pelaksanaan program ini memang terasa kurang optimal dilakukan,
sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengerti mekanismenya, mulai dari
pendaftaran, pembayaran iuran, hingga pemanfaatannya. Dikabarkan bahwa sejumlah
116,1 juta jiwa akan secara otomatis terdaftar sebagai peserta JKN karena
pengalihan berbagai program sebelumnya. Dari jumlah itu sekitar 97,4 juta jiwa merupakan
golongan rakyat miskin yang iuran premi bulanan per orang ditanggung APBN sebesar
Rp. 19.225,- dan masih harus membayar Rp. 6.275 untuk mendapatkan fasilitas
rawat inap kelas 3 sesuai PP No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran/PBI
(Lampost, 6/1).
Namun
sesungguhnya terdapat keganjilan dalam substansi kebijakan terbaru ini, disatu
sisi wajah humanisme Pemerintah memang nampak begitu hangat merangkul
masyarakat. Di sisi lain, kita seakan digiring untuk melupakan amanat dasar
cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam UUD 1945 khususnya pasal 28H ayat 1
dan pasal 34. Pada dasarnya, Negara dibentuk dan pemerintah dipilih untuk
menjamin kehidupan yang layak bagi rakyat agar bisa berkembang ke arah
kemajuan. Bukan sebaliknya, yang terjadi justru Negara menjadi alat legitimasi
agar seluruh rakyat mau melayani kehendak Pemerintah yang kerap tak bijaksana.
Tanggung Jawab
Negara
Jika
mau lebih jujur, nuansa program jaminan sosial di bawah naungan BPJS ini sangat
kental diwarnai motif finance corporation
dan semakin membenarkan tudingan miring tentang faham neoliberalisme yang terus
dilekatkan pada kepemimpinan SBY – Boediono. Kewajiban negara untuk mengabdi
dan melindungi kehidupan rakyat telah dipelintir sedemikian rupa hingga negara hanya
beroperasi selayaknya perusahaan asuransi, pemerintah beserta jajaran adalah pimpinan
dan pekerjanya, sementara rakyat berjumlah lebih dari 250 juta ini akan menjadi
peserta potensial yang rutin membayar premi. Situs Bloomberg bahkan melansir bahwa BPJS Kesehatan Indonesia adalah
program asuransi kesehatan dengan jumlah peserta terbesar di dunia (Kompas.com,
7/1).
Ciri
neoliberalisme seperti privatisasi sektor publik, deregulasi kebijakan dari UUD
sampai Perda, pencabutan subsidi, hingga mewabahnya logika mekanisme pasar
secara berangsur tapi pasti memang terus digulirkan Pemerintah kita. Pelepasan
tanggung jawab negara seperti ini sangatlah tidak populis dan justru semakin
membebani kehidupan rakyat. Saat ini biaya pemenuhan segala kebutuhan hidup pokok
sedang meroket tingi, sementara kesempatan kerja dan penghasilan malah makin
mengecil, apalagi ditambah dengan kewajiban mambayar premi bulanan.
apa
mau dikata kalau ketidakbijakan sudah diketuk palu, negara kita memang sedang
bangkrut. Kekayaan alam dari energi, mineral, dan migas yang kita punya sudah
makin habis dikeruk perusahaan asing. Pertumbuhan industri nasional kembang
kempis tergerus globalisasi, dan utang pun sudah menggunung melampaui 2000
triliun rupiah. APBN kita pun nyaris hanya mengandalkan topangan dari pajak yang
juga dipungut dari rakyat sendiri. Sesungguhnya modus asuransi dalam jaminan
sosial seperti ini tidaklah menjadi soal asalkan rakyat diberi jaminan perlindungan
yang lebih substansial, yakni kesejahteraan. Sedikit harapan yang muncul ada di
pemilu 2014 nanti, kita harus bekerja keras memilah dan memilih caleg maupun
capres yang punya integritas untuk mensejahterakan kehidupan bangsa.
_____________
*) Komunitas Sosiolog Muda Lampung.
Mahasiswa
Jurusan Sosiologi FISIP Unila.
e-mail : hidayat.quic@gmail.comEDITOR : SADDAM CAHYO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar