Oleh
: Saddam Cahyo*
Masyarakat dengan
segala kemajemukan dan kompleksitas kehidupannya barangkali memang tempat ideal
bagi lahirnya berbagai anomali. Namun, jika penyimpangan selalu tidak diacuhkan
dan diluruskan maka akan semakin mewabah, lama kelamaan bisa kita amini sebagai
kewajaran meski sudah begitu jelas keburukannya. Setiap harinya selalu mudah
ditemukan berita penyimpangan perilaku seksual yang sangat memprihatinkan kita
karena melibatkan anak-anak sebagai korban atau bahkan pelakunya. Terbaru
adalah beberapa orang siswa SD di Kemiling Bandar Lampung bermain menirukan Goyang
Caesar yang sedang popular itu sambil membuka resleting celananya di hadapan
teman perempuan sekelasnya (Kompas, 27/10).
Buah
Kuasa Pasar
Sekarang ini, logika
sistem hidup kapitalisme memang kian menggerogoti peradaban kita, semua benteng
nilai ajaran agama dan etika sudah runtuh dijebol nafsu picik duniawi. Theodore
W. Adorno, teorikus kritis mazhab Frankfurt menyebut fenomena ini sebagai commodity society, dimana kita sedang
hidup dalam dunia yang tak lagi berproduksi memenuhi kebutuhan dan kepuasan
dasar manusia, tetapi menciptakan kebutuhan dan konsumsi yang tak berbatas demi
pelipatgandaan profit material bagi segelintir pihak. Dalam hal ini, seluruh
aspek kehidupan dipandang sebagai komoditas atau barang jualan, meski ia
menyangkut hal-hal sensitif dan privasi termasuk aktivitas seksual dan tanpa
mempedulikan dampak sosialnya.
Seperti dalam fenomena
siswa SD tadi, Goyang Caesar memang sedang begitu populer menjadi salah satu produk
hiburan yang paling digemari masyarakat segala usia. Penampilan komedian Caesar
yang konyol dan energik memang terasa sangat menghibur di tengah kepenantan
rutinitas kerja dan tekanan kebutuhan hidup yang kian menghimpit. Tapi sayang
kita nyaris melupakan substansinya bahwa dibalik semua sensasi yang nampak di
permukaan, hiburan ini sesungguhnya diiringi oleh lagu Buka Dikit Jos yang berlirik erotis. Menjadi paradoks rasanya,
ketika kita beramai-ramai berjoget riang di muka publik ternyata sambil
melantunkan nyanyian yang tak senonoh, terlebih lagi semua ini bisa dengan
mudah dikonsumsi anak-anak dan remaja yang sangat labil dalam mencerna
informasi.
Mirisnya lagi ini
hanyalah contoh kecil, sebut saja lagu-lagu berjudul Hamil Tiga Bulan, Kucing Garong, Satu Jam Saja, Mari Bercinta, Belah
Duren, Paling Suka 69, dan banyak sekali lagu berlirik erotis lain, belum
lagi tontonan, bacaan, dan akses internet bernuansa cabul yang dengan leluasa bisa
diakses siapapun. Semua perangkat informasi seperti ini secara simultan
sangatlah efektif merusak nalar sebagian masyarakat, tak hanya bocah bahkan akal
sehat manusia dewasa pun bisa semakin tidak tahu batasan etik dari naluri
seksual yang dimiliki. Perselingkuhan, seks bebas, pemerkosaan, bahkan terhadap
balita dan hewan terus menggenapi fenomena anomalis yang fatal di negeri ini.
Sementara pemerintah melalui kuasa kebijakannya pun seakan lupa dan setengah
hati menganggapnya sebagai tanggung jawab. Kecaman sensor dari Komisi Penyiaran
di beberapa daerah saja tidaklah cukup, sanksi tegas dan penegakkan hukum di
bidang inilah yang kita butuhkan.
Kembalikan
Hak Anak
Barangkali kita semua
memang tahu persis betapa anak semestinya dipandang sebagai aset berharga yang
harus dididik sebaik mungkin demi terwujudnya masa depan yang lebih baik bagi bangsa
maupun peradaban manusia itu sendiri. Namun, sayangnya pengetahuan kita ini
sebatas kesadaran etik yang tak mampu diejawantahkan dalam kehidupan nyata.
Sistem hidup yang kita lakoni sekarang sama sekali tak ramah dan adil kepada
anak, segala fasilitas yang baik bagi pertumbuhan fisik dan psikisnya terus
dipelintir menjadi komoditas eksklusif yang tak terjangkau. Anak seakan tidak
punya pilihan selain turut menelan hiburan orang dewasa sebagai bahan imajinasi
saat bermain dan belajar. Tengok saja hilangnya lagu dan program TV anak yang
kontennya sesuai dengan perkembangan usia mereka, belum lagi fasilitas publik
untuk bermain pun terus tergusur. Kalaupun ada acara hiburan yang dikemas untuk
anak, isi kontennya tetap saja memakai perkataan atau lagu populer orang
dewasa.
Cukup sudah menganggap
perilaku anak yang berpotensi menyimpang sebagai hal sepele, wajar, atau malah
kelucuan belaka, sebagai orang dewasa kita semua turut bertanggung jawab atas perkembangan
kepribadian mereka. Sudah saatnya kita bertindak untuk mengembalikan hak
anak-anak dengan melindungi dan mengayomi kehidupannya sewajar mungkin. Kita juga
harus menyudahi tuduhan miring sebagai bangsa permisif, yang mudah memaafkan
menerima keadaan sekalipun pahit, seperti melumrahkan perilaku menyimpang para public figure (selebritis dan tokoh
politik) yang mau tak mau dijadikan panutan. Negeri ini memang bukan didirikan
di atas fondasi agamis dan konservatifisme, namun sejak merdeka, membangun
bangsa yang berkarakter dan berkepribadian merupakan salah satu cita-cita utama
yang wajib diperjuangkan.
______________
*) Sekretaris Liga Mahasiswa
Nasional untuk Demokrasi (LMND) Wilayah Lampung, Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila.
Diterbitkan portal berita Berdikari Online (BO) 31 Oktober 2013. http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20131031/anak-indonesia-dalam-kepungan-erotisme.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar