Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Sabtu, 05 Oktober 2013

Opini : Akil Mochtar, Babak Baru Pemberantasan Korupsi di Indonesia




Oleh : Saddam Cahyo*

Siapa yang tidak terkejut mendengar kabar bahwa Dr. M. Akil Mochtar, yang menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi sejak Bulan April 2013 tersebut tertangkap tangan di rumah dinasnya sendiri oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus dugaan suap sengketa Pilkada sekitar pukul 21.45 WIB tadi malam (2/10). Seperti yang diberitakan, Akil ditangkap bersama beberapa orang lainnya yakni Anggota DPR RI Chairun Nisa dan pengusaha berinisial CHN, kemudian Bupati Gunung Mas Kalimantan Tengah, Hambit Bintih dan seorang pengusaha berinisial DH ditangkap di sebuah hotel, saat ini mereka sedang dalam pemeriksaan ketat oleh KPK dengan sitaan barang bukti berbentuk uang tunai dolar Singapura bernilai sekitar 2 – 3 miliar rupiah (Lampung Post, 3/10).

Sebuah Babak Baru 

Menurut Indeks Persepsi Korupsi (CPI) yang dirilis oleh Transparency International pada Desember 2012 menyebut Indonesia menempati urutan ke 11 dari 176 negara. Tentu ini bukan prestasi, karena CPI hanyalah penampakan puncak dari gunung es raksasa. Sosiolog UGM, Prof. Sunyoto Usman pernah menjelaskan bahwa tindakan korupsi sedikitnya melibatkan empat komponen penting yakni: birokrat, politisi, pelaku bisnis, dan masyarakat umum. Mereka melakukannya secara terencana dan sistematis untuk memindahkan harta publik menjadi harta privat, biasanya dengan memanfaatkan kelemahan regulasi dan prosedur administrasi, atau dengan tegas melanggar aturan yang berlaku, dan menyiasatinya melalui perantara atau broker. Pada intinya, korupsi cenderung disebabkan oleh penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

Kita ketahui bersama bahwa Akil Mochtar bukanlah orang awam dalam dunia politik, dia pernah menjabat anggota DPR RI selama dua periode sejak 1999. Pun bukan orang awam dalam dunia hukum, ia penyandang gelar doktoral ilmu hukum, berpengalaman sebagai advokat, dan menjadi hakim konstitusi di MK sejak 2009. Terlebih, dirinya pun sempat dikenal melalui berbagai pernyataan kerasnya tentang korupsi, seperti dengan yakin ia menyatakan siap dipenjara kalau terbukti bersalah saat issue jual beli putusan di MK mengemuka pada tahun 2010 lalu. Akil juga pernah mengusulkan sebaiknya pelaku korupsi tak perlu dihukum mati, tapi dimiskinkan dan dipotong salah satu jari tangannya guna memberi efek jera dan peringatan bagi publik.

Meski fenomena tertangkapnya aparat penegak hukum dalam kasus korupsi bukan hal baru, namun peristiwa ini seharusnya mampu menjadi babak baru yang mencerahkan bagi semangat pemberantasan korupsi. Mengingat yang tertangkap kali ini adalah orang nomor satu di lembaga hukum tertinggi seperti MK, yang paling berwenang dan berkewajiban menegakkan amanat Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Sebelumnya, KPK baru sebatas mampu menyentuh pelaku tindak pidana korupsi di tingkatan pegawai biasa seperti Gayus Tambunan, aparat jaksa, Urip Tri Gunawan, pengusaha seperti Ahmad Fathonah, pejabat menengah seperti Nazaruddin, ketua partai politik seperti Lutfi Hasan Ishaq, dan ketua lembaga negara, Rudi Rubiandini. Sementara sudah menjadi rahasia umum bahwa persoalan korupsi di negeri ini memang menggurita secara sistemik dan menjadi penyakit laten di berbagai lembaga negara.

Menguji Komitmen

KPK selama ini memang secara bertahap terus menunjukkan peningkatan kinerjanya, meski kelemahannya pun tetap nampak nyata, seperti pada proses pengusutan kasus Bank Century yang mandeg. Namun, perlu disadari pula bahwa perjuangan panjang untuk memberantas wabah korupsi di negeri ini bukanlah domain monopolinya KPK saja, melainkan secara simultan menjadi tanggung jawab dan kewajiban bagi banyak pihak, sebab lembaga ini sejatinya dibentuk untuk membantu fungsi lembaga penegak hukum yang lebih utama seperti Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan yang telah dibekali amanat UU Tipikor.

Barangkali ini momentum yang tepat untuk menguji komitmen para punggawa kuasa untuk menyudahi praktek korupsi yang telah menjadi persoalan pokok penghambat kemajuan negara ini. Sebagai pejabat negara di lembaga yang paling diharapkan kemurniannya oleh publik, dan dengan nominal uang suap yang begitu besar, jika terbutki bersalah nantinya Akil Mochtar tentu patut diberi vonis hukuman yang paling berat agar efek jera benar-benar bisa terwujud. Selama ini baru ada 9 orang terpidana korupsi yang divonis secara maksimal berbentuk penjara 20 tahun dan penjara seumur hidup, sementara ratusan terpidana lainnya kerap melenggang bebas dengan berbagai perlakuan khusus dan keringanannya.

Sebagai masyarakat, kita pun harus memberi perhatian lebih dan menanggapinya secara serius, pun harus bijaksana dan berani menginstropeksi diri. Kenyataannya masyarakat kita kerap kali berlaku permisif dengan mengaggap adanya biaya ekstra yang terselubung demi melancarkan segala kebutuhann sebagai suatu kewajaran, tentu kebiasaan umum ini turut pula menjadi andil penyebab korupsi merajalela di negeri kita ini. Sekarang mari kita berharap bersama bahwa keadilan memang mungkin ditegakkan.
______________
*) Sekretaris LMND Lampung, mahasiswa FISIP Sosiologi Unila.
    Dimuat pada harian cetak SENATOR Jumat 4 Oktober 2013. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar