Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Senin, 14 November 2011

Opini : Menggugat Kemiskinan !


Tulisan ini dibuat tidak hanya untuk merespon momentum hari Pemberantasan Kemiskinan Internasional pada 17 oktober lalu, dimana hampir tidak ada peringatan sama sekali oleh gerakan sosial, pemerintah, dan elemen masyarakat lainnya. Lebih dari itu, tulisan ini juga berangkat dari kejenuhan penulis melihat ribuan kali celotehan panjang tentang kemiskinan: seolah-olah kemiskinan hanya sebagai sebuah fakta sosial yang cukup dilihat, dihitung, dicatat,dilaporkan, dianalisa, diprogramkan, diprihatinkan dan disumbang.
Data BPS per Maret 2010 menyebutkan, jumlah penduduk miskin masih berkisar 12,5 persen atau sekitar 29,7 juta jiwa. Sekali lagi dalam hitungan “angka”: Pemerintah mengklaim berhasil menurunkan kemiskinan. Bahkan, dalam rapat paripurna RAPBN 2012 pada 28/10 yang lalu, DPR memberi target kepada Pemerintah untuk melakukan pengentasan kemiskinan hingga 5 juta penduduk.
Dengan penuh percaya diri, Pemerintah dan DPR pun sepakat bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun 2012 akan mencapai 6,7 % dengan penyerapan tenaga kerja berkisar 450.000 orang per 1% pertumbuhan. Meskipun proyeksi itu sedang dihadapkan pada ancaman krisis global seperti sekarang. Hal ini didukung penuh oleh pernyataan Nouriel Roubini, seorang guru besar New York University yang sukses meramalkan krisis financial yang di alami AS, bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 8-9 persen jika Pemerintah mau menggenjot pembangunan infrastruktur agar aliran penanaman modal asing dapat masuk dengan deras (Kompas,29/10).
Boleh jadi ini sebuah motivasi besar bagi kita sebagai Negara berkembang, tapi akan lebih bijak bila pujian ini disaring dengan benar. Mengingat bahwa bujukan seperti ini sudah cukup sering mengaburkan dan menyesatkan mindset pemerintah dalam menyusun program pengentasan kemiskinan yang menelusuri akar penyebab kemiskinan itu sendiri. Sebaliknya, anjuran seperti diatas justru sering mengarahkan pemerintah berorientasi mengejar pertumbuhan ekonomi makro saja, tapi mengabaikan pertumbuhan ekonomi yang sejati, yani peningkatan taraf hidup rakyat.
Salah urus
Satu hal yang harus dengan jujur dan berani kita akui: fenomena kemiskinan yang pahit di negeri ini bukanlah sebuah gejala alamiah yang wajar dan identik dengan perkembangan peradaban modern industrial seperti ini, apalagi yang masih teguh menganggap kemiskinan itu fungsional demi terwujudnya keteraturan sosial (social order) dalam sebuah tatanan masyarakat tertentu. Melainkan murni sebagai dampak buruk dari salah urusnya penyelenggaraan Negara.
Secara ideal, Bung Hatta pernah menjelaskan sejatinya fungsi Negara ialah seperti koperasi yang menaungi dan mensejahterakan anggotanya. Begitu banyak amanat visioner akan penyelenggaraan Negara yang dituangkan para founding father Bangsa ini, khususnya dalam UUD 1945 naskah asli, tetapi justru dikangkangi dengan empat kali amandemen. Hal itu tak hanya merombak sistem politik dan ekonomi menjadi semakin liberal (pro swasta dan modal asing), namun juga membuka celah-celah privatisasi besar-besaran di berbagai sektor publik.
Konsekuensi logis dari seluruh penyimpangan ini adalah tumbuh-merebaknya “bahaya laten” kemiskinan struktural dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Yakni kemiskinan yang “dibuat” secara sadar maupun tidak oleh pemilik kekuasaan, dan secara sistemik dalam periode tertentu telah membuat kondisinya semakin parah karena telah menciptakan fenomena lainnya, yakni kemiskinan kultural, yang melumpuhkan sendi-sendi keberdayaan hidup dari kelompok masyarakat miskin itu sendiri (Eko Prasetyo; 2006).
Dengan kata lain, hal ini telah mengindikasikan fakta kegagalan pembangunan yang selama ini kerap di elu-elukan, baik melalui kebijakan otonomi daerah yang menjanjikan peluang percepatan dan efisiensi pembangunan maupun kebijakan perekonomian yang pro market. Negara justru seolah-olah “memelihara” fakir miskin dan anak terlantar sehingga semakin tahun semakin berlipat-lipat jumlahnya. Terlebih lagi, sampai saat ini BPS masih bersikukuh dengan 14 kriteria miskin yang sudah sangat tidak proporsional dan objektif.
Saatnya banting stir
Secara makro, hal semestinya yang harus banyak-banyak diperdebatkan dalam paripurna maupun rapat-rapat pengambilan keputusan oleh para penampuk kekuasaan adalah bagaimana arah, bentuk dan pelaksanaan kebijakan pembangunan yang tepat sasaran. Kemiskinan akut yang semakin menggerogoti rakyat Indonesia harus segera dijawab dengan tindakan tegas yang berani dan visioner, yakni kembali kepada haluan dasar perekonomian kita yang telah terangkum dalam pasal 33 UUD’45.
Di dalamnya tersirat amanah untuk memajukan perekonomian rakyat yang berorientasi pada kemandirian nasional. Namun tidaklah serupa dengan konsepwelfare state atau Negara kesejahteraan yang dirumuskan dan diterapkan oleh Negara-negara maju di Eropa sebagai bentuk upaya preventif dari dampak buruk sistem ekonomi kapitalisme global. Pasal 33 merupakan antitesa dari sistem akumulasi dan penguasaan profit dalam tangan segelintir orang seperti yang terjadi saat ini dan hanya memperlebar jurang kesenjangan sosial.
Tidak cukup juga bila hanya menggantungkan harapan akan  sebuah gerakan banting stir yang heroik dari pemerintah sebagai pengendali sistem. Lebih dari itu, masyarakat Indonesia harus pula pro aktif mendorong laju perubahan dengan berbagai cara, semisal mulai mengorganisir diri dan lingkungan sekitar, mempelopori usaha kreatif yang mengangkat potensi kearifan lokal, membangun kolektif-kolektif pemberdayaan ekonomi kreatif, sebagai upaya swadaya pengentasan kemiskinan sambil memperluas dan memperkukuh semangat kesadaran nasionalisme yang anti penjajahan asing demi terwujudnya kemakmuran rakyat.
*) Anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD) Wilayah Lampung
Dimuat di media massa berdikarionline.com pada 10 November 2011
http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/telusuri/20111110/menggugat-kemiskinan.html 
Dimuat pada KORAN EDITOR dengan judul "Kebijakan Yang Memiskinkan", 7 Desember 2011.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Opini : Bangsa Kita Terserang Disleksia Akut !


Oleh : Saddam Cahyo*)


Disleksia, sebuah istilah yang mungkin jarang kita dengar, berasal dari bahasa Yunani:  Dys berarti kesulitan, sedang lexis berarti bahasa. Istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi gangguan kesehatan akan ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan orang tersebut untuk melakukan aktifitas literasi, seperti membaca, menulis, menghafal dan menganalisa teks.

Tentunya kita tak pernah menginginkan sanak keluarga kita mengalami gangguan kesehatan semacam ini. Namun, sangat memprihatinkan karena tanpa disadari bangsa kita mengidap penyakit ini pada stadium cukup tinggi. Berdasarkan ata Kemendiknas tahun 2009,  tercatat  8,5 juta (5,03%) penduduk  Indonesia pada usia 15 tahun ke atas yang masih buta aksara, dan sebagian besar didominasi perempuan. Sedangkan penelitian Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP untuk melek huruf di tahun yang sama menempatkan Indonesia di urutan 111 dari 173 negara.

Sangat memprihatinkan, memang. Selain itu, kita dapat menangkap gejala buruk ini dari merosotnya kualitas pemimpin di negeri ini. Coba kita telaah bersama para founding father bangsa seperti Bung Karno, Syahrir, Tan Malaka, Moh Hatta, dll, yang hidup di masa-masa pendidikan masih sangat langka, dan hidup dalam periode perjuangan yang sangat berat, belum lagi ditambah berbagai hukuman pembuangan maupun penjara, tetapi masih bisa melahirkan ide-ide progressif. Hingga saat ini kita masih dapat mempelajari beragam ide-ide segar dan progresif dalam beribu lembar karya tulis.

Mungkin, inilah yang dimaksud oleh Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan terbesar Indonesia,  saat mengatakan  bahwa “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Sedangkan di era pasca kemerdekaan, terutama sejak Orde baru dibawah naungan Soeharto hingga era Reformasi kini, kita selalu saja disuguhi pemimpin-pemimpin disleksia yang “mati selagi hidup”. Mereka begitu mudah melupakan janji dan tanggung jawabnya. Mereka pun sulit menelurkan gagasan progress sebagai jalan keluar dari kemelut kemiskinan dan penjajahan gaya baru saat ini, apa lagi jika kita berharap mereka mampu melahirkan karya tulis agung seperti para pendahulunya.

Kondisi tak jauh berbeda pun dialami oleh jutaan jiwa anak bangsa yang tumbuh dalam dunia pendidikan. Ini nampak pada perilaku contek-mencontek yang sudah dianggap sebagai tradisi lumrah, yang secara sadar dilakukan secara turun temurun. Gejala buruk ini tak hanya dapat kita temui dari perilaku anak usia SD hingga SMA saja, tapi intelektual setaraf mahasiswa hingga professor pun kerap terjangkit penyakit mental yang sama. Seperti beberapa waktu lalu di media massa terungkap seorang professor yang sempat mendapat penghargaan rekor atas produktifitas karyanya namun ternyata hasil plagiat.

Ironis sekali, padahal bagi saya, anak Nusantara ini sangatlah berpotensi menjadi bangsa yang produktif menuangkan beragam gagasan cemerlangnya ke dalam bentuk tulisan sebagai jembatan yang akan menghubungkan dan menyebarluaskannya kepada orang lain hingga dapat dimaknai dan membuahkan perubahan di negerinya. Mengingat bahwa negeri ini dianugerahi keberagaman budaya maupun alam dan fenomenanya yang muncul sebagai lumbung subur bagi lahirnya ide-ide progresif.

Benang Kusut Sistem Pendidikan

Saya tidak mau menyalahkan masyarakat Indonesia yang budaya membacanya sangat rendah. Menurut penelitian CSM di 13 negara, pelajar setingkat SMA rata-rata membaca 0 buku per tahun. Bandingkan dengan Brunei Darussalam yang mencapai 7 buku minimal. Bagaimanapun, masyarakat hidup dan beregenerasi serta membangun budayanya dibawah naungan sistem kekuasaan negaranya.

Dengan demikian, buruknya budaya literasi yang kita alami saat ini merupakan hutang besar yang tertumpuk bagi pemerintah sebagai hasil “salah urus” dari sistem pendidikan nasional yang diterapkan selama ini. Pergantian kurikulum yang terus menerus berlangsung beberapa tahun terakhir menunjukkan ketidak seriusan pemerintah dalam merumuskan sistem pendidikan jangka panjang. Belum lagi dengan menjamurnya sekolah-sekolah swasta yang memiliki kurikulum tersendiri, membuat anak bangsa ini semakin terombang-ambing dalam ketidakpastian.

Selain itu, konsentrasi berlebihan pada ujian nasional membuat sebagian besar anak sekolah tidak berani bereksperimen membaca dan menulis. Mereka dipaksa berkutat dengan buku, banku, soal dan lembaga-lembaga kursus yang sangat terampil mendidik anak sebagai penjawab soal yang pintar namun miskin gagasan. Begitu pula yang terjadi di bangku perkuliahan, semua hal ini terutama  harus difahami sebagai konsekuensi logis dari penerapan liberalisasi pendidikan oleh pemerintah.

Saat ini kita dapat kita amati perguruan tinggi tumbuh subur hingga ke pelosok. Tetapi, yang terasa  ganjil adalah munculnya dominasi jurusan-jurusan popular yang sangat akrab dengan industri pasar tenaga kerja, dan mayoritas jurusan tersebut bukanlah jurusan yang menekankan pada aspek pembelajaran teoritik yang cukup banyak aktifitas baca-tulisnya, melainkan pembelajaran aplikatif yang harus  berkesesuaian dengan kebutuhan industri. Hal ini semakin memperburuk keadaan karena melahirkan budaya “serba instant” di kalangan generasi muda.

Celah Perubahan

Analogi sepele yang saya fikir bisa memperkuat analisa ini adalah: mari kita lihat seberapa aktifnya masyarakat Indonesia dari segala usia dalam konteks rutinitas komunikasi melalui pesan singkat ataupun jejaring social di internet; mulai dari membuat status hingga saling komentar. Meski kualitas komunikasi dalam hal ini terbilang sepele, bagi saya, ini adalah bukti kuantitatif  yang nyata bahwa masih ada titik cerah sebagai harapan kita bersama untuk terbebas dari penyakit disleksia akut yang selama puluhan tahun kita idap.

Berangkat dari analisa bahwa sumber kegagalan budaya literasi yang baik di negeri ini adalah buruknya sistem pendidikan nasional. Masih dalam kerangka memperingati Hari Literasi Internasional pada 8 September lalu, saya berusaha mengusulkan gagasan sederhana, sebagai berikut ;

Pertama, sangat dibutuhkan munculnya komitmen serius dari pemerintah melalui perombakan sistem pendidikan yang benar-benar memberi ruang kreatifitas dan menempa anak didik dalam budaya Literasi yang intensif. Hal ini sangat berkaitan erat dengan kurikulum pendidikan yang dipilih untuk pula disesuaikan dengan kondisi objektif pendidikan di tiap daerah masing-masing.

Kemudian pula berkaitan dengan kualitas SDM pendidik yang selama beberapa generasi ini cenderung dipenuhi oleh guru-guru yang terbiasa mengajar dengan pola monolog dan kurang interaktif apalagi memantik minat baca-tulis siswanya. Mengingat belakangan ini sekolah tinggi keguruan sedang pula menjamur dan diserbu banyak calon mahasiswa, ini menjadi momentum baik untuk memutus generasi pendidik yang kolot dengan sistem pendidikan yang juga belum tepat, para calon guru yang akan membludak pada beberapa tahun mendatang ini harus pula terlahir sebagai insan pendidik yang kaya wawasan dan produktif menulis.

Kedua, masih berkaitan dengan komitmen pemerintah, seharusnya ada gerakan memassalkan budaya baca-tulis melalui berbagai program, semisal membuka peluang-peluang prestasi Literasi melalui berbagai perlombaan dan penghargaan, memassalkan program membaca nasional dengan membuka perpustakaan keliling sampai ke desa-desa atau RT-RT, juga secara rutin membuka ruang bazaar buku yang juga sudah tersubsidi di kawasan pendidikan agar lebih mudah dijangkau masyarakat.

Ketiga, yang pula penting adalah segera mencanangkan subsidi kertas sebagai kebijkan pro rakyat demi menopang penempaan Sumber Daya Manusia Indonesia. Hal ini mengingat masih banyaknya anak bangsa yang produktif menulis dan berwawasan segar, tetapi kesulitan mengakses sumber daya. Belum lagi banyaknya penerbit dan toko buku yang terancam gulung tikar karena minat baca yang menurun.  Subsidi kertas dari pemerintah dan kebijakan hak cipta yang jelas akan mampu menengahi persoalan ini.

Keempat Sebagi bagian dari masyarakat, kita, gerakan mahasiswa, harus mulai mempelopori tumbuh berkembangnya budaya baca-tulis, dan secara pro aktif membongkar paradigma lama soal budaya literasi hanya milik anak sekolahan. Melalui berbagai cara hal ini dapat dilakukan, semisal gencarkan gerakan citizen journalism juga dapat menjadi contoh baik yang harus dilakukan saat ini. Sekali lagi saya tegaskan disini, yang terutama dari semua gagasan sederhana ini adalah mulai saat ini juga kita harus muncul sebagai pelopor di lingkungan terdekat. Dengan begitu, cita-cita bangsa ini untuk Berdaulat dan Mandiri serta mencapai Revolusi kemerdekaan yang seutuhnya bukanlah omong kosong seperti yang selama ini kita alami.
________________
*) Anggota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Lampung
    Dimuat di media massa berdikarionline.com pada 20 September 2011.
    dan media massa amperanews.com pada 22 September 2011.
    Meraih juara III dalam "Sayembara Menulis Nurani Soyomukti" pada 
    peringatan Hari Literasi Internasional 2011
http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20110920/bangsa-kita-terserang-disleksia-akut.html 

Senin, 05 September 2011

Liga : Kabar Dari Kongres V LMND,,


Oleh : Saddam Cahyo*

Salam Pembebasan !!

Setelah tertunda berbulan-bulan, akhirnya KONGRES NASIONAL V LMND sukses dilaksanakan pada tanggal 14-16 Desember 2010 di Denpasar Bali. Sejak  didirikan 11 tahun lalu pada Kongres I / 9-11 Juli 1999 di Bogor Jawa Barat, Organisasi Mahasiswa tingkat nasional bernama Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi atau yang akrab disebut LMND ini telah mengalami dialektika proses yang cukup panjang dan berwarna dalam meniti anak tangga cita-cita kemandirian Negeri dan Bangsa Indonesia.

Kongres Nasional LMND ke-V kali ini dihadiri oleh sekitar 80an delegasi dari 21 propinsi se-Indonesia yang menjadi landasan forum dalam pengambilan keputusan-keputusan tertinggi tingkat nasional. Sedangkan agenda yang dibahas dalam forum Kongres meliputi pelaporan dan evaluasi seluruh hasil dan proses kerja Eksekutif Nasional dan organisasi secara nasional, menetapkan program umum dan program tuntutan, merumuskan strategi perjuangan, perubahan hal-hal pokok dalam AD/ART serta menetapkan Pimpinan Nasional Organisasi untuk periode berikutnya.

Dari keseluruhan proses forum Kongres Nasional LMND ke-V yang berlangsung selama tiga hari penuh ini dihasilkan beberapa keputusan penting organisasi secara nasional, diantaranya ;

Akar problematika mendasar masyarakat Indonesia yang kini terasa sangat kompleks dan menyesakkan adalah dipertahankannya sistem Kapitalisme Neoliberal (penjajahan gaya baru/ modal asing) oleh Rezim boneka imperialisme di Indonesia (SBY-Boediono dan segelintir penguasa komprador lainnya), serta sisa-sisa watak feodalisme dan militerisme serta nasionalisme sempit yang kontra produktif dan melahirkan sistem demokrasi borjuis yang hanya dapat diakses oleh kelas bermodal kuat saja dan berdampak pada mengakarnya budaya korupsi sebagai dampak kehancuran tenaga produktif Bangsa Indonesia.

Kehancuran berbagai persoalan mendasar Bangsa kita semakin meluas tak hanya dalam aspek basic strukturnya/ ekonomi saja, namun juga dalam aspek politik, budaya, sosial,penguasaan kekayaan Sumber Daya Alam yang didonimasi modal asing, bahkan komersialisasi brutal yang mencakup segala aspek kebutuhan pokok masyarakat Indonesia seperti kebutuhan pangan, kesehatan, jaminan sosial dan bahkan pendidikan yang sangat vital sebagai mesin pendorong perubahan dan kemajuan negeri dan bangsa ini.

Untuk itu LMND secara nasional menyerukan kepada seluruh mahasiswa dan rakyat Indonesia untuk Membangun Front Persatuan Nasional yang luas dari Gerakan Berbagai berbagai sektor masyarakat untuk Pemerintahan Demokrasi Kerakyatan. Sebagai organisasi mahasiswa nasional yang berasaskan Pancasila, LMND bertujuan untuk menghentikan sistem penindas hak rakyat, dan mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia yang berdulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian dalam bidang budaya.  

*) Dimuat dalam ”SUARA PELOPOR” News Letter LMND Ekswil Lampung  Edisi Maret 2011


Liga : Nyaris Seribu Mahasiswa Unila di Drop Out


Kabar Buruk !!
Sekali lagi Hak anak Indonesia untuk mengenyam ilmu pengetahuan di Perguruan Tinggi Negeri dirampas oleh kampusnya sendiri !

Perlu diketahui, SK Rektor Unila No ; 464/H26/DT/2010 tertanggal 25 Oktober 2010 Tentang Pemutusan Studi Mahasiswa telah dikeluarkan tanpa mekanisme sosialisasi yang jelas. Hampir 900 orang mahasiswa Unila dari seluruh Fakultas yang ada kali ini harus menelan telak pil pahit DROP OUT / Pemutusan Studi, diantaranya ; 179 Fak Ekonomi, 128 Fak Hukum, 35 Fak KIP, 89 Fak Pertanian, 178 Fak Teknik, 158 Fak ISIP, dan 140an Fak MIPA.

Ditengah badai krisis kualitas SDM di negeri yang makin hari semakin menyesakkan kehidupan masyarakat ini, justru Unila kembali mengeluarkan Surat Keputusan Pemutusan Studi kepada ratusan mahasiswa yang masih memiliki semangat kuliah. Yang amat disayangkan dari terbitnya SK Rektor kali ini adalah tidak adanya mekanisme sosialisasi yang adil merata, dan bertanggung jawab. Sebagai Perguruan Tinggi Negeri seharusnya Unila menganut mekanisme yang lebih manusiawi karena secara langsung mengemban amanat UUD untuk menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban mencerdaskan Bangsa melalui institusinya.

Semestinya pihak birokrasi kampus maupun birokrasi mahasiswa mampu lebih pro-aktif memperhatikan permasalahan ini, karena persoalan DO adalah persoalan hidup dan matinya masa depan seseorang. Kondisi ini diperburuk dengan tidak pernah / minimnya sosialisasi Peringatan Pra DO di Fakultas masing-masing apa lagi mengharapkan disediakannya ruang untuk melakukan proses banding bagi mahasiswa yang sudah dinyatakan Drop Out dengan syarat tertentu yang menguatkan dikembalikannya status kuliah mereka ataupun pemberian kompensasi yang adil dan tepat bagi mereka yang terlanjur di DO.

Untuk itu kami Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi menyerukan kepada seluruh pihak terkait untuk bersama-sama membuka ruang demokrasi dalam Institusi Pendidikan Negeri yang semestinya Humanistik ini, dan kepada seluruh kawan-kawan mahasiswa untuk memajukan wacana ini menjadi sebuah upaya konkret dalam bentuk gerakan persatuan, Karena kegagalan sistem seperti ini adalah ancaman yang akan menjadi momok berkepanjangan bagi seluruh mahasiswa Universitas Lampung ini.






Teosos : Mari Fahami Teori Sosiologi Modern


Oleh : Saddam Cahyo*

Tulisan kali ini berusaha mengajak kita mulai memahami teori sosiologi modern yang sebenarnya sangat fundamental untuk kita fahami sebagai mahasiswa jurusan sosiologi.  Jika pada tulisan sebelumnya saya sedikit mengupas pemahaman akan teori klasik, kini coba dijelaskan perbedaan mendasarnya dengan teori modern yang akan kita bahas lebih lanjut.

Berbeda dengan teori-teori klasik sosiologi yang identik dengan pemikiran-pemikiran perorangan para pakar, teori sosiologi modern memiliki corak yang berlainan, yakni memusatkan analisanya pada aliran-aliran pemikiran sosial. Hal ini bermakna bahwa teori sosiologi pun mengalami perubahan dari fase awal perkembangannya mengikuti dinamika perubahan sosial masyarakatnya karena setiap ilmu pengetahuan merupakan hasil konstruksi zamannya.

Sedangkan yang melatar belakangi berkembangnya teori-teori sosial modern adalah dinamika yang muncul dari banyak pakar sosiologi terutama di Amerika awal abad ke-20 yang ditandai dengan munculnya bebrapa mazhab teori sosial seperti Universitas Chicago sebagai poros dengan aliran teori interaksionisme simboliknya. Kemudian Universitas Harvard di Inggris menggeser dominasi Chicago dengan aliran teori fungsionalisme strukturalnya dan beriringan dengan itu berkembang pula teori-teori kritis di Universitas Frankfurt.

Selain beberapa mazhab yang disebut di atas, kita akan mengulas teori-teori yang pokok dalam sosiologi modern, yakni teori konflik, teori pertukaran, teori dramaturgi, dan teori-teori kritis. Dan penjelasannya masing masing, sebagai berikut ;

Teori Fungsionalisme Struktural
Beberapa tokohnya adalah Talcott Parsons, Robert K Merton, dan Kingsley Davis. Asumsi dasar teori ini memandang masyarakat sebagai suatu system yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan secara alamiah dan masing-masing elemen harus berfungsi normal untuk menjamin keberlangsungannya. Pandangannya terhadap fenomena stratifikasi sosial adalah pembedaan peran, posisi dan perlakuan yang muncul dalam kehidupan masyarakat adalah suatu kewajaran dan keharusan sebagai kenyataan universal yang bersifat fungsional untuk mempertahankan eksistensi masyarakat itu sendiri. Teori ini tak luput dari beragam kritik karena dianggap sangat linier positifistik dan melanggengkan perlakuan dan posisi khusus bagi segelintir orang dalam masyarakat.

Teori Interaksionisme Simbolik
Beberapa tokohnya adalah Robert Park, CH. Cooley, Herbert Mead, A. Strauss, H Blumer, dan Thomas Kuhn. Teori ini menganalisa hubungan proses-proses interaksi sosial dan dampaknya bagi individu maupun masyarakat. Dengan memegang prinsip bahwa fenomena sosial selalu dipengaruhi oleh kemampuan berfikir, berinteraksi dan memaknai simbol-simbol dalam interaksi sosial.

Teori Konflik
Beberapa tokohnya adalah Ralf Dahrendorf, Jonathan Turner dan Randall Collins. Berangkat sebagai reaksi alternatif atas teori fungsionalisme struktural yang mengesampingkan fenomena konflik dalam masyarakat, teori ini memandang masyarakat sebagai suatu sistem sosial yang terdiri dari berbagai bagian yang memiliki kepentingan berbeda dan saling berusaha mendominasi. Teori yang berakar dari pemikiran klasik Karl Marx ini memandang hakekat kenyataan sosial adalah konflik, dimana konflik sosial adalah konsekuensi logis dari perbedaan kepentingan yang tegas dari dua kelas social yang akan menimbulkan beberapa dampak, yakni keterasingan, kesadaran palsu, konsensus dan hingga pada pandangan akan manfaat konflik sebagai pendorong terjadinya perubahan sosial secara kualitatif dengan jalan keluar yang revolusioner.  

Teori Pertukaran
Beberapa tokohnya George Homans, Peter Blau dan Richard Emerson. Teori ini menyimpulkan bahwa tingkah laku manusia selalu dilandasi oleh pertimbangan untung-rugi, dimana motivasi yang mendorong setiap orang untuk berinteraksi dengan orang lain adalah untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu dan kontak sosial itu akan terus berlangsung selama kedua belah pihak masih mendapatkan keuntungan dari pertukaran tingkah laku itu. Karenanya teori ini kerap disamakan dengan watak pragmatisme.

Teori Dramaturgi
Tokohnya adalah Erving Goffman. Teori ini menganalogikan perbandingan pertunjukan panggung dengan tingkah laku manusia dalam dunia sosial nyata, dimana terdapat perbedaan mencolok antara perilaku depan panggung yang selalu berusaha mengemas penampilan sebaik mungkin dengan  perilaku belakang panggung dimana proses interaksi social berjalan apa adanya sesuai dengan karakter kepribadiannya sendiri tanpa kemasan.

Teori kritis dan Post Modernisme
Berapa tokohnya adalah Jurgen Habermas, Erich Fromm, dan Baudlirard. Teori kritik berkembang saat munculnya gejolak disparitas dan anomali yang muncul ditengah modernisme yang kian massif dalam berbagai aspek kehidupan manusia sebagai konsekuensi dari hegemoni kapitalisme dunia. Dalam pandangannya, teori ini cukup cermat mengkritisi berbagai celah kesalahan dari sistem yang berlaku baik itu ilmu sosial, kebudayaan, birokrasi ataupun teknologi yang secara implisit berpotensi menjerumuskan manusia dala keterasingan individu yang menindas. 

Perlu diingat bahwa teori sosiologi akan terus berkembang sejauh peradaban manusia berlangsung, untuk itu kita sebagai calon sosiolog dan  pemikir sosial harus memulai membentuk diri menjadi sosok intelektual organik yang terus produktif berkarya membangun bangsa.

Referensi  :
·        Raho, Bernard SVD. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prestasi Publisher, 2007.
·        Maliki, Zainuddin. Narasi Agung Teori Sosial Hegemonik. Surabaya : LPAM, 2003.

**) Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila
      Dimuat dalam ”SOCIETAS” Buletin HMJ Sosiologi Unila Edisi Februari 2011