Telah terbit sebuah buku yang menghimpun karya 60 orang penulis asal Lampung, besutan editor Yuli Nugrahani dan Direktur Pustaka Labrak, Zulkarnain Zubairi atau yang akrab disapa Udo Z. Karzi. Karya-karya ini merupakan refleksi pribadi para penulis selama menjalani kehidupan yang tidak bisa dengan mudah dikatakan baik-baik saja pasca pandemi virus corona turut menghantam Indonesia.
Ada begitu banyak pengalaman dalam nuansa Tragedi dan Harapan yang tercatat, dan jauh lebih banyak lagi yang masih berserakan dan menggunung di luar sana, yang masih terus dialami jutaan rakyat negeri ini. Bersyukur, Saddam Cahyo mendapatkan kesempatan untuk ikut andil menulis dalam buku ini. Berikut sila disimak esai refleksinya.
Jungkir
Balik Kebangkitan Nalar Kolektif Manusia Indonesia
Oleh : M. Saddam SSD.
Cahyo*
Menengok rentang satu
tahun ke belakang, siapa yang berani bilang waktu berputar tanpa terasa? Ya,
setidaknya sejak World Health Organization (WHO) resmi mengumumkan status
pandemi global atas penyebaran corona
viruses deseases 2019 alias Covid-19
di tanggal 11 Maret 2020, secara otomatis semua orang dari segala lapisan ikut
terdampak secara langsung. Bayangkan saja, wabah yang bermula di Kota Wuhan,
Hubei, RRC pada akhir tahun 2019 itu secara agresif telah menginfeksi lebih
dari 126.000 manusia di 123 negara dalam empat benua hanya dalam waktu tiga
bulan.
Mulanya, di Indonesia
isu keberadaan virus SARS-CoV-2 ini menyebar tak ubahnya jutaan artikel berita
hoaks lain yang sulit dipertanggungjawabkan. Menteri Kesehatan, dr. Terawan bahkan
enteng menanggapi kecil kemungkinan wabah ini masuk di Indonesia jika kita
selalu menjaga imunitas dengan menerapkan pola hidup bersih sehat, dan tak
berhenti berdoa pada Tuhan. Beberapa narasi pongah juga muncul berseliweran
menyebut virus ini hanya akan bereaksi aktif di negeri dengan iklim sub-tropis
dan melemah di kawasan tropis.
Kepercayaan diri itupun
segera rontok saat muncul fakta adanya pasien 01 dan 02 dari wilayah Depok,
Jawa Barat, yang berinteraksi dengan orang asing dinyatakan positif terpapar
pada tanggal 2 Maret 2020. Jumlah infeksi yang dilaporkan pun terus meningkat
drastis, hingga lebih dari dua kali lipat dalam sehari, yakni menjadi 19 orang
pasien positif Covid-19 hanya dalam satu pekan (Tirto.id, 10/3/2020).
40 hari kemudian, pemerintah
Indonesia melaporkan data 3.512 kasus positif di hampir seluruh provinsi dengan
kluster penularan yang beragam, mulai dari transportasi publik, perkantoran,
ritual keagamaan, pesta, hingga keluarga. Sungguh angka yang patut disebut
horor, sebab berarti juga ada teror kematian massal di depan mata seluruh
warga. Virus kategori zoonosis ini sangat jitu menimbulkan gangguan pernapasan
dan menyerang titik lemah dalam tubuh manusia.
Sialnya, karena ia
varian dari jenis flu yang notabene sangat mudah ditularkan lewat cipratan droplet
dari mulut dan hidung manusia, menjadi konsekuensi logis untuk dibatasinya
interaksi sosial antar manusia. Lebih buruk lagi, ia melahirkan kepanikan dan prasangka
massal. Secara ekstrim nalar hidup ditarik ke titik paling tak disukai, di mana
setiap orang merasakan ancaman dari keberadaan orang lain di dekatnya. Keadaan
yang berubah seketika ini sungguh sangat menyiksa batin sebagai makhluk sosial.
Presiden Jokowi bahkan
merespon lewat Peraturan Pemerintah Nomor. 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) tanggal 31 Maret 2020 yang diberlakukan hampir di
seluruh penjuru negeri. Semua orang dipaksa berhenti beraktivitas di luar rumah
dan diminta untuk berdiam diri selama kurang lebih tiga bulan. Roda kehidupan
seakan berhenti total, denyut nadi kehidupan tak lagi menunjukkan tandanya,
kota-kota menjadi sepi dan seolah mati, bahkan Jakarta sekalipun !
Buah pahit kebijakan
ini adalah jutaan harapan warga negara harus ikut mati dibunuh. Pasalnya amanat
UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan semestinya situasi ini
sudah memenuhi syarat kedaruratan kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa
dan ditandai adanya penyakit menular, sehingga harus dierapkan prosedur
karantina wilayah guna memutus mata rantai penyebaran pandemi corona. Aturan
ini menekankan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah wajib memenuhi
kebutuhan dasar hidup setiap warganya selama masa karantina.
Namun, tuntutan
realitas objektif memang kerap tak bisa seirama dengan kehendak. Kenyataannya
bahwa ketahanan nasional kita sama sekali belum siap, pun soal anggaran.
Barangkali hanya beberapa negara maju saja di dunia ini yang di masa pandemi
global mampu menerapkan skema lock down
dengan jaminan sosial yang baik. Pada akhirnya, seperti pernah disinggung Sri
Edi Swasono dalam bukunya berjudul Kembali
Ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Neoliberalisme! terbitan tahun 2008 bahwa
sekali lagi rakyat memang harus membuktikan kemampuan kolektifnya pada negara,
mereka harus sanggup bertahan saling menopang meski dalam keadaan sangat
tercekik sekalipun.
Keadaan paling rumit
adalah fenomena panic buying harus dirasakan
atas barang-barang kebutuhan di masa pandemi. Ketersediaan disinfektan, vitamin
c, dan masker medis misalnya harus lenyap dari peredaran di pasar bertepatan
dengan hilangnya pula sumber penghasilan rakyat. Ribuan pengusaha harus
menghentikan aktivitas produksi usahanya. Ratusan ribu pekerja dirumahkan
sementara dengan penangguhan upah, tak sedikit yang harus di-PHK. Jutaan pekerja
informal yang serabutan dan berdagang kecil-kecilan harus mengalami kemandegan
tanpa pemasukan.
Tetapi hebatnya, meski
dalam keadaan genting ego manusia untuk menyelamatkan diri sendiri sulit
dibendung, ada hikmah yang nyata bisa disaksikan. Nalar kolektif bangsa
Indonesia yang sejak dulu kerap digaungkan dalam jargon gotong royong itu
ternyata nyata adanya. Hal ini senada dengan perspektif yang ditawarkan
teorikus sosial Slavoj Zizek dalam bukunya Pandemik:
Covid-19 Mengguncang Dunia bahwa umat manusia harus menyadari urgensi
mengembalikan solidaritas sebagai ruh kehidupan global.
Virus kebajikan untuk
saling berbagi dan menguatkan seolah ikut menyebar sebagai tandingan. Terejawantah
lewat menjamurnya dapur umum, meringankan mereka yang berada di tangga terbawah
piramida sosial. Kreativitas pun bangkit karena dorongan kesadaran yang sama.
Jutaan masker kain diproduksi dari bahan yang ada untuk dibagikan secara gratis
dan cuma-cuma. Kepekaan terhadap aneka rempah dan racikan obat herbal sebagai
suplemen tubuh non kimia semakin menguat. Meningkatnya kualitas udara bersih
menjadi pertanda keselarasan dengan alam yang lama diabaikan.
Statistik menyebut
angka 1.562.868 total kasus infeksi, dengan korban jiwa sebanyak 42.433.
Sementara rerata laju infeksi per harinya bertambah sekitar 4.732 kasus baru. Kabar
baiknya, peluang kesembuhan harian juga meningkat di angka 3.629 orang, atau
berada dalam persentase 90,2%. Hal ini juga terus diiringi dengan laju perkembangan
program vaksinasi Covid-19 yang telah mencapai jumlah 9.955.433 orang penerima
(Covid19.go.id, 10/4/2021). Kita optimis berbekal spirit persatuan, bangsa ini
bisa tampil menyintasi pandemi sebagai pemenang yang mewariskan sejarah terbaiknya
bagi generasi mendatang. Tabik !
M. SADDAM SSD. CAHYO Tahun 2008 berkuliah di Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung. Masa studi Strata-1 nya terbilang lama, hingga menyentuh batas akhir tahun ketujuh. Selama itu ia aktif bergiat dalam banyak organisasi, baik kemahasiswaan maupun pergerakan. Persinggungan dengan advokasi konflik vertikal rakyat yang dirugikan negara maupun korporasi dalam kasus agraria, perburuhan, kaum miskin perkotaan, hingga politik elektoral menjadi bahan bakar produktivitasnya untuk menulis. Tulisannya berupa laporan berita, cerpen, resensi, opini, maupun esai kerap terbit di media massa pada level lokal dan nasional. Kini ia seorang pekerja urban di Ibukota negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar