Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Minggu, 27 Juni 2021

OPINI : Jungkir Balik Kebangkitan Nalar Kolektif Manusia Indonesia

TELAH TERBIT ! Tulisan Saddam Cahyo dalam Buku
 " PANDEMI PASTI BERLALU: Mencatat Covid-19, Tragedi, dan Harapan Setelah Itu " 
dari PUSTAKA LABRAK 

Telah terbit sebuah buku yang menghimpun karya 60 orang penulis asal Lampung, besutan editor Yuli Nugrahani dan Direktur Pustaka Labrak, Zulkarnain Zubairi atau yang akrab disapa Udo Z. Karzi. Karya-karya ini merupakan refleksi pribadi para penulis selama menjalani kehidupan yang tidak bisa dengan mudah dikatakan baik-baik saja pasca pandemi virus corona turut menghantam Indonesia. 

Ada begitu banyak pengalaman dalam nuansa Tragedi dan Harapan yang tercatat, dan jauh lebih banyak lagi yang masih berserakan dan menggunung di luar sana, yang masih terus dialami jutaan rakyat negeri ini. Bersyukur, Saddam Cahyo mendapatkan kesempatan untuk ikut andil menulis dalam buku ini. Berikut sila disimak esai refleksinya.


Jungkir Balik Kebangkitan Nalar Kolektif Manusia Indonesia

Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo*

 

Menengok rentang satu tahun ke belakang, siapa yang berani bilang waktu berputar tanpa terasa? Ya, setidaknya sejak World Health Organization (WHO) resmi mengumumkan status pandemi global atas penyebaran corona viruses deseases 2019 alias Covid-19 di tanggal 11 Maret 2020, secara otomatis semua orang dari segala lapisan ikut terdampak secara langsung. Bayangkan saja, wabah yang bermula di Kota Wuhan, Hubei, RRC pada akhir tahun 2019 itu secara agresif telah menginfeksi lebih dari 126.000 manusia di 123 negara dalam empat benua hanya dalam waktu tiga bulan.

Mulanya, di Indonesia isu keberadaan virus SARS-CoV-2 ini menyebar tak ubahnya jutaan artikel berita hoaks lain yang sulit dipertanggungjawabkan. Menteri Kesehatan, dr. Terawan bahkan enteng menanggapi kecil kemungkinan wabah ini masuk di Indonesia jika kita selalu menjaga imunitas dengan menerapkan pola hidup bersih sehat, dan tak berhenti berdoa pada Tuhan. Beberapa narasi pongah juga muncul berseliweran menyebut virus ini hanya akan bereaksi aktif di negeri dengan iklim sub-tropis dan melemah di kawasan tropis.

Kepercayaan diri itupun segera rontok saat muncul fakta adanya pasien 01 dan 02 dari wilayah Depok, Jawa Barat, yang berinteraksi dengan orang asing dinyatakan positif terpapar pada tanggal 2 Maret 2020. Jumlah infeksi yang dilaporkan pun terus meningkat drastis, hingga lebih dari dua kali lipat dalam sehari, yakni menjadi 19 orang pasien positif Covid-19 hanya dalam satu pekan (Tirto.id, 10/3/2020).

40 hari kemudian, pemerintah Indonesia melaporkan data 3.512 kasus positif di hampir seluruh provinsi dengan kluster penularan yang beragam, mulai dari transportasi publik, perkantoran, ritual keagamaan, pesta, hingga keluarga. Sungguh angka yang patut disebut horor, sebab berarti juga ada teror kematian massal di depan mata seluruh warga. Virus kategori zoonosis ini sangat jitu menimbulkan gangguan pernapasan dan menyerang titik lemah dalam tubuh manusia.

Sialnya, karena ia varian dari jenis flu yang notabene sangat mudah ditularkan lewat cipratan droplet dari mulut dan hidung manusia, menjadi konsekuensi logis untuk dibatasinya interaksi sosial antar manusia. Lebih buruk lagi, ia melahirkan kepanikan dan prasangka massal. Secara ekstrim nalar hidup ditarik ke titik paling tak disukai, di mana setiap orang merasakan ancaman dari keberadaan orang lain di dekatnya. Keadaan yang berubah seketika ini sungguh sangat menyiksa batin sebagai makhluk sosial.

Presiden Jokowi bahkan merespon lewat Peraturan Pemerintah Nomor. 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tanggal 31 Maret 2020 yang diberlakukan hampir di seluruh penjuru negeri. Semua orang dipaksa berhenti beraktivitas di luar rumah dan diminta untuk berdiam diri selama kurang lebih tiga bulan. Roda kehidupan seakan berhenti total, denyut nadi kehidupan tak lagi menunjukkan tandanya, kota-kota menjadi sepi dan seolah mati, bahkan Jakarta sekalipun !

Buah pahit kebijakan ini adalah jutaan harapan warga negara harus ikut mati dibunuh. Pasalnya amanat UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan semestinya situasi ini sudah memenuhi syarat kedaruratan kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dan ditandai adanya penyakit menular, sehingga harus dierapkan prosedur karantina wilayah guna memutus mata rantai penyebaran pandemi corona. Aturan ini menekankan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah wajib memenuhi kebutuhan dasar hidup setiap warganya selama masa karantina.

Namun, tuntutan realitas objektif memang kerap tak bisa seirama dengan kehendak. Kenyataannya bahwa ketahanan nasional kita sama sekali belum siap, pun soal anggaran. Barangkali hanya beberapa negara maju saja di dunia ini yang di masa pandemi global mampu menerapkan skema lock down dengan jaminan sosial yang baik. Pada akhirnya, seperti pernah disinggung Sri Edi Swasono dalam bukunya berjudul Kembali Ke Pasal 33 UUD 1945 Menolak Neoliberalisme! terbitan tahun 2008 bahwa sekali lagi rakyat memang harus membuktikan kemampuan kolektifnya pada negara, mereka harus sanggup bertahan saling menopang meski dalam keadaan sangat tercekik sekalipun.

Keadaan paling rumit adalah fenomena panic buying harus dirasakan atas barang-barang kebutuhan di masa pandemi. Ketersediaan disinfektan, vitamin c, dan masker medis misalnya harus lenyap dari peredaran di pasar bertepatan dengan hilangnya pula sumber penghasilan rakyat. Ribuan pengusaha harus menghentikan aktivitas produksi usahanya. Ratusan ribu pekerja dirumahkan sementara dengan penangguhan upah, tak sedikit yang harus di-PHK. Jutaan pekerja informal yang serabutan dan berdagang kecil-kecilan harus mengalami kemandegan tanpa pemasukan.

Tetapi hebatnya, meski dalam keadaan genting ego manusia untuk menyelamatkan diri sendiri sulit dibendung, ada hikmah yang nyata bisa disaksikan. Nalar kolektif bangsa Indonesia yang sejak dulu kerap digaungkan dalam jargon gotong royong itu ternyata nyata adanya. Hal ini senada dengan perspektif yang ditawarkan teorikus sosial Slavoj Zizek dalam bukunya Pandemik: Covid-19 Mengguncang Dunia bahwa umat manusia harus menyadari urgensi mengembalikan solidaritas sebagai ruh kehidupan global.

Virus kebajikan untuk saling berbagi dan menguatkan seolah ikut menyebar sebagai tandingan. Terejawantah lewat menjamurnya dapur umum, meringankan mereka yang berada di tangga terbawah piramida sosial. Kreativitas pun bangkit karena dorongan kesadaran yang sama. Jutaan masker kain diproduksi dari bahan yang ada untuk dibagikan secara gratis dan cuma-cuma. Kepekaan terhadap aneka rempah dan racikan obat herbal sebagai suplemen tubuh non kimia semakin menguat. Meningkatnya kualitas udara bersih menjadi pertanda keselarasan dengan alam yang lama diabaikan.

Statistik menyebut angka 1.562.868 total kasus infeksi, dengan korban jiwa sebanyak 42.433. Sementara rerata laju infeksi per harinya bertambah sekitar 4.732 kasus baru. Kabar baiknya, peluang kesembuhan harian juga meningkat di angka 3.629 orang, atau berada dalam persentase 90,2%. Hal ini juga terus diiringi dengan laju perkembangan program vaksinasi Covid-19 yang telah mencapai jumlah 9.955.433 orang penerima (Covid19.go.id, 10/4/2021). Kita optimis berbekal spirit persatuan, bangsa ini bisa tampil menyintasi pandemi sebagai pemenang yang mewariskan sejarah terbaiknya bagi generasi mendatang. Tabik !

 


M. SADDAM SSD. CAHYO Tahun 2008 berkuliah di Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung. Masa studi Strata-1 nya terbilang lama, hingga menyentuh batas akhir tahun ketujuh. Selama itu ia aktif bergiat dalam banyak organisasi, baik kemahasiswaan maupun pergerakan. Persinggungan dengan advokasi konflik vertikal rakyat yang dirugikan negara maupun korporasi dalam kasus agraria, perburuhan, kaum miskin perkotaan, hingga politik elektoral menjadi bahan bakar produktivitasnya untuk menulis. Tulisannya berupa laporan berita, cerpen, resensi, opini, maupun esai kerap terbit di media massa pada level lokal dan nasional. Kini ia seorang pekerja urban di Ibukota negara.