----------------------------------
Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo
Peminat kajian sosial-politik
Terbit di harian cetak FAJAR SUMATERA, Selasa 1 Desember 2015.
----------------------------------------
Seorang siswi SMP bernama Mita Cahyati (14) ditemui dalam
kondisi meninggal dunia akibat hanyut terseret arus deras Sungai Cimanuk di wilayah
Cibatu, Garut, Jawa Barat. Ia terpeleset
saat sedang asyik berfoto bersama lima orang rekannya (Patroli Indosiar, 22/11).
Kehadiran berita duka ini semakin menggenapi berbagai fakta ironis lainnya dari trend
berfoto selfie, yang sebenarnya dimaksudkan
untuk tebar pesona namun justru berbalik menjadi bencana.
Tahun 2015 ini saja, di Indonesia sudah banyak tercatat, yakni
pada 20 Februari di Madiun, Jawa Timur, Tomi Luki Saputra (17) tewas tersambar
kereta api saat sedang selfie bersama
empat orang temannya tepat di sisi jalur rel aktif. Kemudian 16 Mei, Eri
Yunanto (21) tewas terperosok ke dalam kawah Gunung Merapi, Yogyakarta saat
berfoto di puncak batu Garuda. Terakhir 6 Oktober, Andreas Stefani (28) juga tewas
saat ber-selfie sambil terjun ke
Curug Grenjang, Banyumas, Jawa Tengah sedalam 8 meter akibat kram di kaki.
Data ini belum ditambah dengan berbagai aksi foto selfie merugikan lainnya. Seperti kasus
foto memamerkan hasil buruan hewan liar dilindungi yang diunggah ke media
sosial, hingga berujung penangkapan oleh pihak kepolisian. Ini dialami Ida Tri
Susanti (20) di Jember, dengan foto kucing hutan yang hendak dimasak sebagai
hidangan keluarga. Atau kasus tersebarnya foto telanjang ke ruang publik, seperti
dialami seorang Brigadir Polisi Wanita berinisial RS di Lampung tahun 2013
lalu.
Buah Narsistik-Individualisme
Bahkan salah satu media digital terpopuler di dunia, The Huffington Post pun melansir data
survey dari lembaga Conde Nast Traveler, ternyata di tahun ini insiden selfie lebih banyak menewaskan manusia
ketimbang serangan hewan buas liar ( Huffingtonpost.com, 23/9). Problem ini
memang sudah menjadi perhatian serius di mata dunia, semisal negeri Rusia yang
sejak awal Juli sudah aktif melakukan kampanye rambu-rambu khusus larangan
berfoto selfie di berbagai lokasi
keramaian publik.
Selfie atau swafoto
berarti penggunaan kamera untuk mengambil potret diri sendiri dengan
mengarahkan oada tubuh maupun cermin. Tahun 2013, istilah ini diumumkan sebagai
Word Of The Year dan resmi masuk
dalam Oxford English Dictionary versi
daring, yang semula dipergunakan di Australia untuk menyingkat perkataan self fotography. Kemudian dikenal juga istilah
groufie singkatan dari group selfies untuk aksi swafoto
berkelompok. Namun dalam perkembangannya di Indonesia, istilah selfie-lah yang lebih awam digunakan
untuk merangkum segala bentuk aktivitas berfoto narsistik.
Sebagai fenomena sosial, selfie
tak bisa disepelekan dalam budaya kontemporer bangsa kita. Selain mengandung
resiko, juga karena mulai menjadi bagian dari gaya hidup semua orang yang akrab
dengan parangkat teknologi. Terlebih di era komunikasi digital sekarang ini,
dunia sepertinya sudah tak lagi mengenal batasan apapun, dan manusia semakin
terpacu untuk terus saling terhubung lewat beragam fasilitas jejaring media
sosial yang serba memudahkan.
Padahal sesungguhnya fenomena ini merupakan buah nyata dari
budaya narsistik-individualisme yang telah merasuk begitu dalam. Di mana setiap
orang menjadi kecanduan untuk terus meng-update
eksistensi diri mereka di hadapan publik virtual. Padahal apa yang ditampilkan sebenarnya
nyaris selalu bersifat semu dan ilusif, jauh dari kenyataan. Tak lain, perilaku
selfie ini lebih banyak dimotivasi oleh
hasrat beradu gengsi inter-personal, yang juga diyakini sanggup turut
mendongkrak status sosialnya.
Sigmund Freud (1914) seorang pakar psikoanalisa yang
pertamakali mengemukakan narsisme sebagai rasa kagum yang berlebihan terhadap
diri sendiri, dilatari oleh egoisme akut yang haus kepuasan akan imajinasi
bahwa dirinyalah yang paling sempurna, dan bisa mengarah pada megalomania atau
malah psikopat. Jelaslah mengapa dalam kadar tertentu, perilaku selfie dapat menjadi sebuah personality disorder atau gangguan
kepribadian dan mental yang harus segera diatasi jika tak ingin berdampak buruk.
Sebagaimana teori dramaturgi yang dilontarkan sosiolog Erving
Goffman (1959) bahwa budaya individualisme memang mengarahkan interaksi sosial
manusia disesaki oleh sandiwara nyata. Realitas kehidupan hanyalah
panggung-panggung teatrikal dimana setiap orang yang mengisinya selalu berusaha
memainkan peran seideal mungkin di hadapan publik agar merasa diterima. Padahal
sangat memungkinkan bahwa itu semua tidak sesuai dengan kenyataan dirinya di
balik panggung, dengan demikian musnahlah sudah kejujuran dan kemanusiaan itu.
Berfoto Dengan
Kesadaran
Kecenderungan seperti inilah sebenarnya yang harus segera dipahami
bersama, dan tentu agar segera diwaspadai. Terutama bagi setiap orang dewasa
yang secara moral turut bertanggungjawab langsung terhadap masa pertumbuhan
mental anak-anak, remaja dan dewasa madya pada khususnya. Sebab pada rentang
usia itulah manusia masih begitu rentan dan mudah terlena, kurang mawas diri
terhadap segala potensi marabahaya di sekitarnya.
Tentu setiap orang berhak untuk mengejar dan menangkap momen
penting apa saja, sesuai keinginannya, selagi tidak mengusik orang lain. Namun,
hendaklah pula setiap orang Indonesia menyerap
prinsip eling lan waspodo yang sejak
lama diajarkan dalam masyarakat kita. Betapa hidup harus dipastikan berjalan
dalam keadaan sadar dan awas terhadap segala hal, dengan menghindari sikap abai
yang bisa menjerumuskan pada masalah.
Kesadaran sosial itulah yang mulai hilang memudar dari
perilaku keseharian orang Indonesia, lantaran individualisme yang sejak dahulu
diyakini sebagai musuh kebudayaan kini malah semakin diagungkan. Semestinya
sebagai bagian dari bangsa yang besar secara kuantitas, haruslah meningkatkan
kualitasnya, termasuk dengan cerdas menggunakan teknologi. Utamakanlah
publikasi foto yang bermanfaat bagi publik, sekalipun tetap berkisah seputar
diri dan pengalaman pribadi.
Maraknya jargon no pict
hoax di jagat maya pula, telah mendorong para netizen untuk aktif
mengunggah segala foto demi meraih predikat terpercaya, padahal motif kepalsuan
tetap saja merajalela. Padahal esensi kebenaran bukan hanya berkutat pada
pembuktian empiris yang berkacamata kuda, melainkan juga pada suatu kesepahaman
alam pikir karena kejujuran dan rasa saling mempercayai tumbuh sebagai etos
kehidupan.
Harus sangat disadari pula bahwa tidak semua hal itu harus dan
layak untuk dipamerkan, sebab tak semua orang pula berkenan memahami sesuai
dengan yang dimaksudkan. Ayo budayakan kembali kehidupan bangsa Indonesia yang berbijaksana,
dan mulailah tradisi berfoto dengan penuh kesadaran. Tabik!
----------------
Kamis, 3 Desember 2015 : http://koranopini.com/opini/bahaya-gagal-paham-budaya-selfie
Kamis, 3 Desember 2015 : http://www.berdikarionline.com/bahaya-gagal-paham-budaya-selfie/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar