Selamat membaca !
"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."
Kamis, 14 Agustus 2014
Opini : Solusi Kusut Seputar Subsidi BBM
Saddam Cahyo
Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung
_________
DI pengujung waktu pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberlakukan metode baru pengendalian bahan bakar minyak (BBM) dengan membatasi penjualan minyak jenis solar bersubsidi hanya dari pukul 08.00—18.00 serta pelarangan penjualan minyak premium bersubsidi di seluruh SPBU di jalan tol. Ini berlaku di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali terhitung sejak 6 Agustus 2014 (Lampost, 7/8). Sontak kebijakan ini menuai protes dari banyak kalangan karena dianggap tidak efektif dan malah menyusahkan jalannya roda perekonomian masyarakat.
Jalan Buntu Subsidi
Pemerintah telah mengurai alasan rasionalnya yang menilai subsidi energi khususnya BBM sangat membebani APBN, terlebih manfaatnya pun tak tepat sasaran. Data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) pada 2013 menunjukkan total anggaran subsidi BBM mencapai Rp210 triliun, 92%-nya dipakai untuk transportasi darat, dan 53% atau sekitar Rp100 triliunnya justru dinikmati pengguna kendaraan pribadi yang notabene kalangan masyarakat menengah atas.
Konsumsi BBM tahun ini juga dianggap makin berlebihan. Sampai 31 Juli dari 15,16 juta kiloliter kuota solar sudah terpakai sekitar 60% dan premium dari kuota 29,29 juta kiloliter sudah terpakai 58%. Karena itu, tanpa skenario, pembatasan ini dikhawatirkan habis sebelum akhir tahun.
Alasan lainnya seperti beban cicilan bunga utang yang terus membengkak, sampai pada minimnya porsi anggaran untuk program yang lebih produktif seperti pembangunan infrastruktur, pengentasan kemiskinan, dan jaminan sosial.
Kebijakan populis subsidi BBM tampak akan menemui jalan buntu, sudah final dilabeli sebagai benalu APBN dan nyaris tak ada logika alternatif selain menghapuskannya secara bertahap atas nama keadilan dan prioritas pembangunan. Begitupun capres terpilih Joko Widodo dengan yakin sudah sering melontarkan argumen senada sejak musim kampanye lalu.
Namun, banyak keganjilan serupa benang kusut seputar kebijakan subsidi BBM ini. Pemerintah tampak selalu kelimpungan dan membuat solusi parsial yang tak efektif yang justru semakin memperkeruh situasi. Belum lagi persoalan ini hampir tak pernah diselesaikan secara holistik dari hulu ke hilir.
Indonesia sudah di ambang krisis minyak, cadangan minyak bumi kita hanya tersisa sekitar 14% karena sumur-sumurnya sudah terlalu tua dan tidak produktif. Sementara 75% proyek migas masih didominasi perusahaan asing karena banyaknya keterbatasan PT Pertamina (Katadata.co.id, 28/5).
Negara kita juga masih terlalu menggantungkan harap pada solusi impor dan utang yang kini mencapai Rp2.507,52 triliun setiap ada problem dan sangat disayangkan satu dasawarsa kepemimpinan SBY ini belum terbangun satu pun kilang minyak dalam negeri.
Kian membengkaknya konsumsi BBM juga jelas disebabkan menggilanya laju kepemilikan kendaraaan pribadi, apalagi pemerintah malah sempat meresmikan penjualan mobil murah LCGC (low cost green car). Tahun lalu saja penjualan mobil baru mencapai 1,2 juta unit dan sepeda motor baru mencapai 7,7 juta unit.
Komitmen Mengubah Sistem
BBM sejatinya persoalan vital bagi kehidupan rakyat. Instabilitas harga dan pasokannya akan begitu cepat dan besar memengaruhi perekonomian mereka. Sedikit saja isu ini dimainkan, harga barang dan jasa kebutuhan pokok bakal segera melonjak, padahal tidak selalu diiringi laju kenaikan pendapatan masyarakatnya. Barangkali itu juga sebabnya mengapa isu ini sering dijadikan strategi kampanye pengundang simpati bagi Pemerintah SBY dan parpol-parpol selama ini.
Joko Widodo dalam beberapa tahun terakhir debutnya sebagai kepala daerah sudah dielu-elukan ibarat oasis menyegarkan. Sosoknya diplot sebagai tipe pemimpin pekerja nyata yang dibutuhkan zaman ini. Karena itu, kita inginkan lebih dari sekadar komitmen untuk menuntaskan persoalan bangsa secara utuh. Sebagaimana janji kampanyenya, perubahan nyata akan terwujud jika pemerintah punya iktikad baik untuk membangun sistem baru dan itulah yang kita butuhkan.
Mengubah sistem tentu tugas besar nan berat bagi siapa pun presiden terpilih. Namun, dengan besarnya simpati publik yang ada, menjadi modal sosial bagi pemerintahan baru lima tahun mendatang. Setidaknya, ada beberapa hal yang wajib dilakukan selain pencabutan subsidi BBM yang sudah terlanjur final, yakni upaya serius memberantas mafia migas, modernisasi teknologi dan sumber daya Pertamina, optimalisasi produksi lifting minyak, pembangunan sumber energi alternatif (biogas, biodiesel, panas bumi), konversi bertahap minyak ke gas, dan mencicil pembangunan kilang dalam negeri.
Lalu memastikan juga adanya skema pengendalian kendaraan pribadi semisal dengan menaikkan pajak atau membatasi penjualan dan pengalihan anggaran pada pembangunan infrastruktur seperti jalan raya dan moda transportasi massal. Penting juga untuk mendorong pemerintah baru agar mampu menemukan jalan untuk melipatgandakan pendapatan negara yang selama ini hanya mengandalkan pajak agar problem keterbatasan anggaran bisa turut terjawab.
____________
Terbit di harian cetak LAMPUNG POST, 14 AGustus 2014. http://lampost.co/berita/solusi-kusut-seputar-subsidi-bbm
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar