Jumat, ya..mungkin benar omongan tetangga-tetanggaku disela obrolan harian kami:Jumat itu hari yang pendek, kalo tak hujan pasti panasnya terik dan tidak memberi kenyamanan bagi banyak orang. Juga ada yang punya pandangan, hari jumat itu sangat membawa potensi buruk bagi segala aktifitas yang akan kita lakukan, tapi dikatakan juga kalo sebenarnya itu waktu yang baik untuk beribadah.
“Jangan keluyuran ! ini hari jumat, jangan cari bala’' ! ” Terngiang sepintas peringatan yang sering diteriakkan orangtuaku saat masa kanak-kanak dulu, dan itu pun menjadi kebiasaan yang aku tularkan pada anak-anakku sekarang.
Aku orang yang percaya adanya bala’. Dalam bahasa daerah asalku Jaseng (Jawa-Serang), itu istilah untuk menyebut berbagai hal buruk, cobaan berupa kesialan, yang akan muncul mengancam ketenangan hidup apalagi jika kita melakukan hal-hal diluar kewajaran. Entah kenapa, aku sangat percaya itu, mungkin karena aku tak pernah punya kesempatan dan kemauan memikirkan alasan-alasan keterkaitan satu hal dengan hal lain yang ditimbulkan. Ah, aku tak mau ambil pusing soal itu.
***
“Mak, ngapa sih lampu rumah kita redup-redup bae?” tanya anak sulungku hampir tiap malam saat ia sedang menyempatkan waktu untuk belajar, mengerjakan PR ataupun hanya menyiapkan keperluan sekolahnya esok pagi.
Banyak sekali alasan yang aku dan suamiku berikan untuk menjawab runtutan pertanyaan anak sulungku itu. Tidak jarang kami sekeluarga harus rela menonton acara kontes dangdut favorit di sebuah stasiun TV dengan kondisi redup-redup karena daya listrik sedang menurun, ini bukan pertama kali atau malah sudah jadi kebiasaan yang tak asing bagi kami, padahal banyak kekhawatiran yang sebenarnya memenuhi benak masing-masing anggota keluargaku.
“Kang, mau kemana?” tanyaku melihat suamiku tergesa-gesa pergi sepagi ini.
“Diem bae lah, jangan lupa beliin susu si Anis, itu duitnya di bawah bantal,” jawabnya tergesa sambil melangkah keluar rumah.
Namaku Asri. Aku menjual koran harian cetak di sudut perempatan lampu merah manapun yang cukup strategis untuk berjualan koran di Kota ini. Aku sudah menikah dan beranak dua. Suamiku, Rohali, seorang buruh serabutan yang ulet dan bertanggung jawab. Aku tidak tahu persis tanggal lahirku, tap taksiran Emakku barangkali usiaku sekitar 30 tahun.
Kami bukan penduduk urban yang baru datang mengadu nasib di Kota ini. Sudah 3 generasi lalu keluarga besarku ikut migrasi swadaya ke sini dan membuka hutan di wilayah pesisir, tapi Bapakku sudah memutuskan menjual tanah bagiannya dan memilih tinggal menetap di Kota ini sejak awal 70-an. Sebenarnya aku anak bungsu dari dua bersaudara, namun kakakku meninggal diusia 9 tahun, hingga setelah wafatnya kedua orang tuaku, akulah yang mewarisi sepetak lahan dimana rumah keluarga kami berdiri sekarang. Awalnya Bapak punya tanah yang cukup luas, tapi hanya lahan seukuran 6×7 meter persegi ini saja yang tersisa karena himpitan ekonomi terus mendesak kehidupan kami sejak dulu.
***
“Di, beliin emak garem sebungkus ama kopi juga ke warung ya,” pintaku.
“Ya, Mak,” jawab anak sulungku yang sedang main kelereng di belakang rumah.
Hari ini aku terlambat menyiapkan sarapan untuk keluarga, bukan karena bangun kesiangan, tapi karena aku sedang terlalu khawatir menunggu suamiku yang belum pulang sejak kemarin pagi.
“Ini Mak,” ucap Adi memecah lamunanku.
“Oh ya, Jangan maen jauh-jauh ya, kamu belom nyarap (baca: sarapan)!”kataku.
“Iya – iya,” jawabnya setengah acuh sambil berlari ketempat bermainnya tadi.
Adi, anak sulungku yang berumur 10 tahun itu, memang belum mengerti keresahan yang sedangku rasakan. Bapaknya belum pulang seperti ini pun belum mampu menggugahnya bertanya, padahal biasanya ia anak yang paling cerewet menanyakan berbagai hal yang dirasa ganjil sampai kadang kewalahan meladeni omongannya. Kata orang-orang, Adi anak yang cerdas.
Siang itu sekitar pukul 11.00, aku baru selesai dengan masakanku; tumis bayam dan tahu goreng menu hari ini. Tapi suamiku belum juga pulang, aku makin resah dibuatnya. Belum pernah Ia pergi lama tanpa memberi tahu tujuannya. Keluarga kami memang masuk masyarakat kelas bawah, dimana kaum bapak yang sama-sama buruh serabutan kerap mencari hiburan dengan main kartu, minum tuak murah, atau berkunjung kerumah kawan berhari-hari sambil mencari celah rezeki. Tetapi tidak biasanya sampai seperti ini, pergi selama ini tanpa bilang.
”Kemana sih, udah jam dua siang masih juga belum pulang,” keresahanku dalam hati makin mengganggu.
Hari ini aku tidak jualan koran, karena masih resah sejak semalam. Aku menyukai pekerjaanku meski tidak banyak rezeki kudapat darinya, sebenarnya aku bisa saja paksakan diri mencari nafkah dengan cara yang lain seperti berdagang asongan atau warung kecil, tapi masih terkendala modal dan suamiku sangat keras menghindari jebakan utang. Kurang lazim memang seorang wanita berjualan koran di jalanan, tapi bagiku ini sangat menyenangkan, sejalan dengan hobi membacaku sejak kecil.
***
“Assalamualaikum, salamualaikum, Bu? Assalamualaikum,” suara salam yang beruntut membangunkanku yang tertidur.
“Ya, tunggu !” sahut ku, wah pasti itu suamiku, mengkin Ia dengan temannya, lega dibuatnya.
Buru-buru aku berbenah dan membuka pintu.
“Maaf bu, kami dari PLN, karena Ibu udah nunggak bayar 4 bulan, kami sudah cukup ngasih toleransi, jadi hari ini akan kami putus sementara, biar nanti diselesaikan di kantor,” Sambut salah seorang pria yang berdiri di depan pintu rumahku.
Sontak aku tercengang mendengar omongan si petugas tanpa basa-basi sebelumnya.
“Aduh Pak, maaf, tapi Bapaknya lagi gak ada, saya harus bilang dulu ke dia,” jawab ku sambil menahan getar di bibir.
“Oh, ya gak apa-apa Bu, kami cuma sebentar kok, ini surat pemutusannya,” jawab si petugas dengan wajah tenang.
Aku tidak tahu harus menjawab atau berbuat apa saat itu, yang kurasakan juga tak bisat aku jelaskan, terlalu mendadak kabar buruk ini datang dan kenapa selalu diwaktu yang kita paling tidak siap.
Aku menangis, kulihat air muka dua orang petugas tadi berubah khawatir.
“Gak papa bu, ini cuma pemutusan sementara, nanti kalo udah diselesain di kantor, pasti di sambung lagi alirannya,” kata petugas itu menenangkan.
Aku agak sulit menahan diri saat itu, dan bingung harus berbuat apa.
“Gak bisa besok ya pak ? saya mau berunding dulu sama suami,” pintaku agak tersengal, lalu melepas bendungan tangis.
“Maaf Bu, kami cuma jalani prosedur, Ibu udah kelamaan nunggak bayar,” jawabnya melemas.
Tanpa ku sadari, tangisku makin sulit tertahan, dan anak sulungku sudah berdiri di belakangku sambil menyusul tangis. Semakin meragu kulihat mimik muka dua orang petugas yang masih berdiri dihadapanku ini.
“Ada apa ini ?” suara itu memecah tangisanku.
“Kenapa Dek As? Ada apa ini ?” rupanya seorang tetangga yang khawatir mendengar tangisku.
“Begini Pak, kami dari PLN mau memutuskan sementara listrik rumah ini, karena Ibu ini sudah lama nunggak, ini surat pemutusannya dari kantor,” sambut seorang petugas itu agak khawatir.
Entah apa yang dirundingkan oleh mereka saat itu. Aku tak cukup sanggup berkonsentrasi menanggapi semua kejadian tak mengenakan yang sangat mendadak itu. Yang aku tahu, tak lama perundingan yang diwarnai perdebatan antara tetanggaku dengan dua petugas tadi selesai.
“Udah teteh, nanti kabarin aja ke Kang Roh, listrik ini harus dibayar akhir minggu ini,” sambut tetanggaku tadi menenangkan tangisku.
Aku tidak menjawab.
***
“Jangan lupa siapin buku buat besok, Di,” kataku mengingatkan anak sulungku yang serius menonton TV.
“Ya Mak, bentar aja,” sahutnya santai, seolah tidak ingat lagi peristiwa tadi siang.
Anak kecil memang mudah teralihkan. Tapi aku yakin, bukan berarti mereka tidak sama sekali merasakan kesulitan-kesulitan yang keluarganya alami. Gundah, mungkin itu yang kurasakan saat ini.
“Abah kemana sih Mak?” baru disadari keganjilan olehnya.
“Lagi gawe, bentar lagi juga pulang,” jawabku.
Kututup malam itu dengan mengeloni Anis anak bungsuku yang masih balita.
***
“Diii,, bangun ! nanti kesiangan !” kataku membangunkan.
Kulihat Adi terhuyung melangkah mengambil segelas air putih untuk minum paginya. Kusibukkan diriku dengan menyiapkan sarapan untuk anak sulungku itu di dapur.
“Mak! itu Abah udah pulang langsung masuk kamar,” teriak anakku Adi.
Buru-buru aku mendatangi suamiku yang sudah dua malam tidak pulang.
“Kang, dari mana gak pulang, gak ngasih kabar !” kataku sewot.
“Cari duit, maaf gak bilang, kemaren diajak Kang Idrus ngunduh kelapa di kebonnya di kampong Trimurjo,” jawabnya sambil rebahan melepas lelah.
“Ya bilang kalo mau gak pulang, aku ini tegang! ” jawabku menegas. Ternyata aku langsung menangis.
“Loh, kenapa sih? Kok nangis segala,” sahut suamiku terbangun heran.
“Listrik kita mau dicabut Kang! udah kelamaan gak bayar, uang buku si Adi juga belum dibayar,” jawabku agak tersengal.
“Yaudah, nanti kita bayar, sekarang belum cukup duitnya,” tutup suamiku.
***
Aku menjajakan koran lebih banyak dari biasanya pagi ini. Aku putuskan memaksakan diri mengutang pada bos koranku siang ini, ia pasti percaya, dan tanpa sepengetahuan suamiku tentunya.
Sekitar jam 11 aku sudah kembali kerumah. Aku berhasil meminjam uang seratus ribu rupiah tadi. Buru-
buru aku mencari rekening listrik tiga bulan yang lalu. Beruntung rekening itu kutemukan jadi aku bisa memperkirakan tunggakan plus denda yang harus kami bayar akhir minggu ini.
“Tiga ratus enam limaan Kang,” ucapku .
“Kapan batasnya, Mak ?” tanya suamiku.
“Minggu ini mesti lunas, ini udah kamis, berarti besok terakhir,” jawabku.
“Aduh, bisa di putus ini, belum kekumpul duitnya, kemaren langsung aku beliin beras ama bayar buku si Adi kan,” kata suamiku.
“Coba usahain cari hari ini Kang,” pintaku.
Khawatirku agak terobati karena sudah punya pegangan uang seratus ribu yang tanpa sepengetahuan suamiku tadi.
***
Akhirnya jumat itu pun datang.
“Belum cukup Mak, gajiannya minggu, udah senen aja kita bayarnya tanggung hari ini mah, jumat, hari pendek,” kata suamiku.
Pagi itu aku sangat kesal mendengar perkataannya, aku bergumam begitu mudahnya suamiku menyepelekan masalah ini, listrik itu sudah jadi kebutuhan pokok saat ini, anak-anakku bisa makin terganggu proses tumbuh kembangnya tanpa listrik di tengah kota besar seperti ini.
Belajarnya keganggu ditambah lagi omongan temennya yang pasti suka saling ejek. Kuputuskan akan tetap mendatangi Kantor pelayanan listirk di kecamatanku.
Belum pukul sepuluh pagi aku sudah menyelesaikan dagangan koranku. Harus secepatnya aku ke kantor PLN, ini hari jumat, pasti ramai antriannya, dan tutupnya lebih cepat.
Sedikit lega karena antrian yang kubayangkan akan cukup panjang justru lengang. Kugendong putri kecilku sambil menyiapkan rekening terakhir dan menghampiri loket pembayaran.
“Bisa di bantu?” ucap seorang petugas ramah.
“Saya mau bayar listrik, Mbak, tapi udah lama tunggakkannya,” ucapku meragu.
“Oh ya gak papa, mana rekening terakhirnya?” sambut petugas itu ramah.
“Tiga ratus delapan puluh tujuh ribu Bu?” ucap si petugas.
“Kalo bayar separo dulu bisa nggak, Mbak?” tanyaku.
“Maaf Ibu, ini harusnya sudah diputus, jadi harus dibayar lunas hari ini, gak bisa diundur lagi,” jawabnya masih ramah.
Aku tidak bisa banyak berfikir saat itu, hati dan fikiran ku sudah terlalu terasa gemuruh, aku langsung tergesa meninggalkan Kantor layanan itu.
Sesampainya dirumah aku tak menemukan suamiku, tadi ia memang berkata akan ada kerjaan hari ini, anak sulungku pun belum pulang dari sekolahnya. Aku duduk termangu sambil menggendong si kecil dikamar.
“Mak, ini surat apa ?” suara anak sulungku yang baru pulang sekolah.
Betapa terkejutnya aku, tak kusadari listrik rumah ini sudah di putus, surat pemberitahuan itu yang mengatakannya, tergesa aku menekan-nekan saklar lampu rumah, dan memang sudah mati.
Ingin rasanya aku menangis, namun kufikir tidak ada baiknya menangisi keadaan. Sebisa mungkin aku jelaskan pada anak sulungku itu perihal pemutusan listrik di rumahnya ini. Sambil membatinkan beragam problema hidup yang kami jalani, sempat terfikir oleh ku tentang ketidakadilan, ketidakpedulian pemerintah dan kesejahteraan palsu yang terus dielu-elukan saat musim kampanye.
Namun segera semua prasangka buruk dan kecurigaanku pada pemerintahan ini aku tepis jauh-jauh. Hidup itu memang sudah susah, mau nyaman ya harus bayar, itu sudah jadi kelumrahan dalam hidup. Batinku yang berusaha nerimo meski terpaksa.
***
“Dasar! mana janji-janjinya! katanya mau makmurin rakyat! saya ini bukan gak mau bayar listrik, tapi emang belum cukup kekumpul uangnya!” umpatan kesal terus terlontar dari mulut suamiku saat ia tahu listrik dirumahnya sudah di putus.
“kalo udah di putus gini mau gimana! pasti lebih mahal lagi pasangnya, ribet lagi urusannya!”tambahnya.
“Udah Kang, gak bakal selesai kalo cuma emosi mah, emang kita yang salah. Tadi aku udah ke PLN, emang kudu bayar lunas hari ini juga, salah emak juga, ini hari jumat, malah nyari bala’ datengin PLN,” ucapku menanggapi.
Aku tak banyak bicara malam itu. Ku hidupkan lilin-lilin yang biasanya kami nyalakan ketika terjadi pemadaman listrik bergilir.
“Nanti Adi mau jadi Direktur Listrik aja, Mak, biar gak ngaco kayak gini, Adi kan mau belajar, mau nonton juga,” ucap anak sulungku dengan polos yang mungkin terprovokasi perkataan bapaknya.
“Gak ngaco, Di, emang udah mestinya gitu, kita yang salah gak bisa bayar. Emak yang cari bala’, hari jumat gini tapi malah maksain diri ke PLN minta tempo. Belajar yang bener biar jadi orang, gak kayak emak sama abah,” jawabku meluruskan.
Semua perkataanku itu sebenarnya penuh pertentangan dalam batin, meski tak tamat SMA, aku ini pedagang koran yang juga sangat suka membaca, cukup banyak informasi yang kudapat tentang kebijakan listrik maupun kebijakan pemerintah lainnya yang menyentuh langsung dengan kepentingan masyarakat bawah seperti kami. Malah katanya, tariff dasar listrik (TDL) bakal naik terus, ditambah lagi BBM juga bakal ikut naek siapa pun yang jadi Presiden tahun ini, karena katanya, subsidi energi cuma membebani APBN dan nambahin utang luar negeri saja.
Ah, Entah apa sumber masalahnya, entah pula bagaimana menjawab semuanya, Pemerintah selalu benar kan ? yang penting keluargaku masih mampu bertahan hidup dan berharap anak-anak kelak akan bernasib lebih baik. Aku tak mau ambil pusing soal Negara, pemerintah apalagi kebijakan-kebijakannya yang ngejelimet. Aku mengaku salah, salah karena miskin dan malah mencari bala’ yang bikin hidupkami jadi lebih berat.
__________
Saddam Cahyo, Sekretaris LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi) Wilayah Lampung dan mahasiswa sosiologi FISIP Unila
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/suluh/20140811/cerpen-kita-miskin-salahkan-bala-nak.html#ixzz3A5cFCVV3