Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Jumat, 22 Agustus 2014

Sastra : Puisi Gendut #2



# 2  
Puisi Gendut

Ah gendut, siapa sih kamu
Kok biar pun gak kenal pasti diperhatikan banyak orang.

Ih gendut, apa sih kamu
Kok ngaku manusia tapi selalu dibedakan perlakuannya.

Uh gendut, kenapa sih kamu
Kok biar pun tidak jahat tetap dianggap mengusik.

Eh gendut, ngapain sih kamu
Kok biar pun tidak salah tetap boleh dihina sesukanya.

Oh gendut, harus gimana sih kamu
Yasudah itu resiko mu menjadi gendut.

Aduh gendut, seharusnya kamu bisa tetap hidup sebagai manusia.
_______
Bandar Lampung, 22 Agustus 2014
Saddam Cahyo_

Kamis, 14 Agustus 2014

Opini : Solusi Kusut Seputar Subsidi BBM


Saddam Cahyo
Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung 
_________
DI pengujung waktu pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberlakukan metode baru pengendalian bahan bakar minyak (BBM) dengan membatasi penjualan minyak jenis solar bersubsidi hanya dari pukul 08.00—18.00 serta pelarangan penjualan minyak premium bersubsidi di seluruh SPBU di jalan tol. Ini berlaku di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali terhitung sejak 6 Agustus 2014 (Lampost, 7/8). Sontak kebijakan ini menuai protes dari banyak kalangan karena dianggap tidak efektif dan malah menyusahkan jalannya roda perekonomian masyarakat.

Jalan Buntu Subsidi
Pemerintah telah mengurai alasan rasionalnya yang menilai subsidi energi khususnya BBM sangat membebani APBN, terlebih manfaatnya pun tak tepat sasaran. Data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) pada 2013 menunjukkan total anggaran subsidi BBM mencapai Rp210 triliun, 92%-nya dipakai untuk transportasi darat, dan 53% atau sekitar Rp100 triliunnya justru dinikmati pengguna kendaraan pribadi yang notabene kalangan masyarakat menengah atas. 

Konsumsi BBM tahun ini juga dianggap makin berlebihan. Sampai 31 Juli dari 15,16 juta kiloliter kuota solar sudah terpakai sekitar 60% dan premium dari kuota 29,29 juta kiloliter sudah terpakai 58%. Karena itu, tanpa skenario, pembatasan ini dikhawatirkan habis sebelum akhir tahun. 

Alasan lainnya seperti beban cicilan bunga utang yang terus membengkak, sampai pada minimnya porsi anggaran untuk program yang lebih produktif seperti pembangunan infrastruktur, pengentasan kemiskinan, dan jaminan sosial. 
Kebijakan populis subsidi BBM tampak akan menemui jalan buntu, sudah final dilabeli sebagai benalu APBN dan nyaris tak ada logika alternatif selain menghapuskannya secara bertahap atas nama keadilan dan prioritas pembangunan. Begitupun capres terpilih Joko Widodo dengan yakin sudah sering melontarkan argumen senada sejak musim kampanye lalu.

Namun, banyak keganjilan serupa benang kusut seputar kebijakan subsidi BBM ini. Pemerintah tampak selalu kelimpungan dan membuat solusi parsial yang tak efektif yang justru semakin memperkeruh situasi. Belum lagi persoalan ini hampir tak pernah diselesaikan secara holistik dari hulu ke hilir. 

Indonesia sudah di ambang krisis minyak, cadangan minyak bumi kita hanya tersisa sekitar 14% karena sumur-sumurnya sudah terlalu tua dan tidak produktif. Sementara 75% proyek migas masih didominasi perusahaan asing karena banyaknya keterbatasan PT Pertamina (Katadata.co.id, 28/5).

Negara kita juga masih terlalu menggantungkan harap pada solusi impor dan utang yang kini mencapai Rp2.507,52 triliun setiap ada problem dan sangat disayangkan satu dasawarsa kepemimpinan SBY ini belum terbangun satu pun kilang minyak dalam negeri. 

Kian membengkaknya konsumsi BBM juga jelas disebabkan menggilanya laju kepemilikan kendaraaan pribadi, apalagi pemerintah malah sempat meresmikan penjualan mobil murah LCGC (low cost green car). Tahun lalu saja penjualan mobil baru mencapai 1,2 juta unit dan sepeda motor baru mencapai 7,7 juta unit. 

Komitmen Mengubah Sistem
BBM sejatinya persoalan vital bagi kehidupan rakyat. Instabilitas harga dan pasokannya akan begitu cepat dan besar memengaruhi perekonomian mereka. Sedikit saja isu ini dimainkan, harga barang dan jasa kebutuhan pokok bakal segera melonjak, padahal tidak selalu diiringi laju kenaikan pendapatan masyarakatnya. Barangkali itu juga sebabnya mengapa isu ini sering dijadikan strategi kampanye pengundang simpati bagi Pemerintah SBY dan parpol-parpol selama ini.

Joko Widodo dalam beberapa tahun terakhir debutnya sebagai kepala daerah sudah dielu-elukan ibarat oasis menyegarkan. Sosoknya diplot sebagai tipe pemimpin pekerja nyata yang dibutuhkan zaman ini. Karena itu, kita inginkan lebih dari sekadar komitmen untuk menuntaskan persoalan bangsa secara utuh. Sebagaimana janji kampanyenya, perubahan nyata akan terwujud jika pemerintah punya iktikad baik untuk membangun sistem baru dan itulah yang kita butuhkan.

Mengubah sistem tentu tugas besar nan berat bagi siapa pun presiden terpilih. Namun, dengan besarnya simpati publik yang ada, menjadi modal sosial bagi pemerintahan baru lima tahun mendatang. Setidaknya, ada beberapa hal yang wajib dilakukan selain pencabutan subsidi BBM yang sudah terlanjur final, yakni upaya serius memberantas mafia migas, modernisasi teknologi dan sumber daya Pertamina, optimalisasi produksi lifting minyak, pembangunan sumber energi alternatif (biogas, biodiesel, panas bumi), konversi bertahap minyak ke gas, dan mencicil pembangunan kilang dalam negeri.

Lalu memastikan juga adanya skema pengendalian kendaraan pribadi semisal dengan menaikkan pajak atau membatasi penjualan dan pengalihan anggaran pada pembangunan infrastruktur seperti jalan raya dan moda transportasi massal. Penting juga untuk mendorong pemerintah baru agar mampu menemukan jalan untuk melipatgandakan pendapatan negara yang selama ini hanya mengandalkan pajak agar problem keterbatasan anggaran bisa turut terjawab.
____________
Terbit di harian cetak LAMPUNG POST, 14 AGustus 2014. http://lampost.co/berita/solusi-kusut-seputar-subsidi-bbm 

Senin, 11 Agustus 2014

Cerpen : Kita Miskin, Salahkan Bala' Nak !


Jumat, ya..mungkin benar omongan tetangga-tetanggaku disela obrolan harian kami:Jumat itu hari yang pendek, kalo tak hujan pasti panasnya terik dan tidak memberi kenyamanan bagi banyak orang. Juga ada yang punya pandangan, hari jumat itu sangat membawa potensi buruk bagi segala aktifitas yang akan kita lakukan, tapi dikatakan juga kalo sebenarnya itu waktu yang baik untuk beribadah.
“Jangan keluyuran ! ini hari jumat, jangan cari bala’' ! ” Terngiang sepintas peringatan yang sering diteriakkan orangtuaku saat masa kanak-kanak dulu, dan itu pun menjadi kebiasaan yang aku tularkan pada anak-anakku sekarang.

Aku orang yang percaya adanya bala’. Dalam bahasa daerah asalku Jaseng (Jawa-Serang), itu istilah untuk menyebut berbagai hal buruk, cobaan berupa kesialan, yang akan muncul mengancam ketenangan hidup apalagi jika kita melakukan hal-hal diluar kewajaran. Entah kenapa, aku sangat percaya itu, mungkin karena aku tak pernah punya kesempatan dan kemauan memikirkan alasan-alasan keterkaitan satu hal dengan hal lain yang ditimbulkan. Ah, aku tak mau ambil pusing soal itu.

***

“Mak, ngapa sih lampu rumah kita redup-redup bae?” tanya anak sulungku hampir tiap malam saat ia sedang menyempatkan waktu untuk belajar, mengerjakan PR ataupun hanya menyiapkan keperluan sekolahnya esok pagi.

Banyak sekali alasan yang aku dan suamiku berikan untuk menjawab runtutan pertanyaan anak sulungku itu. Tidak jarang kami sekeluarga harus rela menonton acara kontes dangdut favorit di sebuah stasiun TV dengan kondisi redup-redup karena daya listrik sedang menurun, ini bukan pertama kali atau malah sudah jadi kebiasaan yang tak asing bagi kami, padahal banyak kekhawatiran yang sebenarnya memenuhi benak masing-masing anggota keluargaku.

“Kang, mau kemana?” tanyaku melihat suamiku tergesa-gesa pergi sepagi ini.

“Diem bae lah, jangan lupa beliin susu si Anis, itu duitnya di bawah bantal,” jawabnya tergesa sambil melangkah keluar rumah.

Namaku Asri. Aku menjual koran harian cetak di sudut perempatan lampu merah manapun yang cukup strategis untuk berjualan koran di Kota ini. Aku sudah menikah dan beranak dua. Suamiku, Rohali, seorang buruh serabutan yang ulet dan bertanggung jawab. Aku tidak tahu persis tanggal lahirku, tap taksiran Emakku barangkali usiaku sekitar 30 tahun.

Kami bukan penduduk urban yang baru datang mengadu nasib di Kota ini. Sudah 3 generasi lalu keluarga besarku ikut migrasi swadaya ke sini dan membuka hutan di wilayah pesisir, tapi Bapakku sudah memutuskan menjual tanah bagiannya dan memilih tinggal menetap di Kota ini sejak awal 70-an. Sebenarnya aku anak bungsu dari dua bersaudara, namun kakakku meninggal diusia 9 tahun, hingga setelah wafatnya kedua orang tuaku, akulah yang mewarisi sepetak lahan dimana rumah keluarga kami berdiri sekarang. Awalnya Bapak punya tanah yang cukup luas, tapi hanya lahan seukuran 6×7 meter persegi ini saja yang tersisa karena himpitan ekonomi terus mendesak kehidupan kami sejak dulu.

***

“Di, beliin emak garem sebungkus ama kopi juga ke warung ya,” pintaku.

“Ya, Mak,” jawab anak sulungku yang sedang main kelereng di belakang rumah.

Hari ini aku terlambat menyiapkan sarapan untuk keluarga, bukan karena bangun kesiangan, tapi karena aku sedang terlalu khawatir menunggu suamiku yang belum  pulang sejak kemarin pagi.

“Ini Mak,” ucap Adi memecah lamunanku.

“Oh ya, Jangan maen jauh-jauh ya, kamu belom nyarap (baca: sarapan)!”kataku.

“Iya – iya,” jawabnya setengah acuh sambil berlari ketempat bermainnya tadi.

Adi, anak sulungku yang berumur 10 tahun itu, memang belum mengerti keresahan yang sedangku rasakan. Bapaknya belum pulang seperti ini pun belum mampu menggugahnya bertanya, padahal biasanya ia anak yang paling cerewet menanyakan berbagai hal yang dirasa ganjil sampai kadang kewalahan meladeni omongannya. Kata orang-orang, Adi anak yang cerdas.

Siang itu sekitar pukul 11.00, aku baru selesai dengan masakanku; tumis bayam dan tahu goreng menu hari ini. Tapi suamiku belum juga pulang, aku makin resah dibuatnya. Belum pernah Ia pergi lama tanpa memberi tahu tujuannya. Keluarga kami memang masuk masyarakat kelas bawah, dimana kaum bapak yang sama-sama buruh serabutan kerap mencari hiburan dengan main kartu, minum tuak murah, atau berkunjung kerumah kawan berhari-hari sambil mencari celah rezeki. Tetapi tidak biasanya sampai seperti ini, pergi selama ini tanpa bilang.

”Kemana sih, udah jam dua siang masih juga belum pulang,” keresahanku dalam hati makin mengganggu.

Hari ini aku tidak jualan koran, karena masih resah sejak semalam. Aku menyukai pekerjaanku meski tidak banyak rezeki kudapat darinya, sebenarnya aku bisa saja paksakan diri mencari nafkah dengan cara yang lain seperti berdagang asongan atau warung kecil, tapi masih terkendala modal dan suamiku sangat keras menghindari jebakan utang. Kurang lazim memang seorang wanita berjualan koran di jalanan, tapi bagiku ini sangat menyenangkan, sejalan dengan hobi membacaku sejak kecil.

***

“Assalamualaikum, salamualaikum, Bu? Assalamualaikum,” suara salam yang beruntut membangunkanku yang tertidur.

“Ya, tunggu !” sahut ku, wah pasti itu suamiku, mengkin Ia dengan temannya, lega dibuatnya.
Buru-buru aku berbenah dan membuka pintu.

“Maaf bu, kami dari PLN, karena Ibu udah nunggak bayar 4 bulan, kami sudah cukup ngasih toleransi, jadi hari ini akan kami putus sementara, biar nanti diselesaikan di kantor,” Sambut salah seorang pria yang berdiri di depan pintu rumahku.

Sontak aku tercengang mendengar omongan si petugas tanpa basa-basi sebelumnya.
“Aduh Pak, maaf, tapi Bapaknya lagi gak ada, saya harus bilang dulu ke dia,” jawab ku sambil menahan getar di bibir.

“Oh, ya gak apa-apa Bu, kami cuma sebentar kok, ini surat pemutusannya,” jawab si petugas dengan wajah tenang.

Aku tidak tahu harus menjawab atau berbuat apa saat itu, yang kurasakan juga tak bisat aku jelaskan, terlalu mendadak kabar buruk ini datang dan kenapa selalu diwaktu yang kita paling tidak siap.

Aku menangis, kulihat air muka dua orang petugas tadi berubah khawatir.

“Gak papa bu, ini cuma pemutusan sementara, nanti kalo udah diselesain di kantor, pasti di sambung lagi alirannya,” kata petugas itu menenangkan.

Aku agak sulit menahan diri saat itu, dan bingung harus berbuat apa.

“Gak bisa besok ya pak ? saya mau berunding dulu sama suami,” pintaku agak tersengal, lalu melepas bendungan tangis.

“Maaf Bu, kami cuma jalani prosedur, Ibu udah kelamaan nunggak bayar,” jawabnya melemas.

Tanpa ku sadari, tangisku makin sulit tertahan, dan anak sulungku sudah berdiri di belakangku sambil menyusul tangis. Semakin meragu kulihat mimik muka dua orang petugas yang masih berdiri dihadapanku ini.

“Ada apa ini ?” suara itu memecah tangisanku.

“Kenapa Dek As? Ada apa ini ?” rupanya seorang tetangga yang khawatir mendengar tangisku.

“Begini Pak, kami dari PLN mau memutuskan sementara listrik rumah ini, karena Ibu ini sudah lama nunggak, ini surat pemutusannya dari kantor,” sambut seorang petugas itu agak khawatir.

Entah apa yang dirundingkan oleh mereka saat itu. Aku tak cukup sanggup berkonsentrasi menanggapi semua kejadian tak mengenakan yang sangat mendadak itu. Yang aku tahu, tak lama perundingan yang diwarnai perdebatan antara tetanggaku dengan dua petugas tadi selesai.

“Udah teteh, nanti kabarin aja ke Kang Roh, listrik ini harus dibayar akhir minggu ini,” sambut tetanggaku tadi menenangkan tangisku.

Aku tidak menjawab.

***

“Jangan lupa siapin buku buat besok, Di,” kataku mengingatkan anak sulungku yang serius menonton TV.

“Ya Mak, bentar aja,” sahutnya santai, seolah tidak ingat lagi peristiwa tadi siang.
Anak kecil memang mudah teralihkan. Tapi aku yakin, bukan berarti mereka tidak sama sekali merasakan kesulitan-kesulitan yang keluarganya alami. Gundah, mungkin itu yang kurasakan saat ini.

“Abah kemana sih Mak?” baru disadari keganjilan olehnya.

“Lagi gawe, bentar lagi juga pulang,” jawabku.

Kututup malam itu dengan mengeloni Anis anak bungsuku yang masih balita.

***

“Diii,,  bangun ! nanti kesiangan !” kataku membangunkan.

Kulihat Adi terhuyung melangkah mengambil segelas air putih untuk minum paginya. Kusibukkan diriku dengan menyiapkan sarapan untuk anak sulungku itu di dapur.

“Mak! itu Abah udah pulang langsung masuk kamar,” teriak anakku Adi.

Buru-buru aku mendatangi suamiku yang sudah dua malam tidak pulang.

“Kang, dari mana gak pulang, gak ngasih kabar !” kataku sewot.

“Cari duit, maaf gak bilang, kemaren diajak Kang Idrus ngunduh kelapa di kebonnya di kampong Trimurjo,” jawabnya sambil rebahan melepas lelah.

“Ya bilang kalo mau gak pulang, aku ini tegang! ” jawabku menegas. Ternyata aku langsung menangis.

“Loh, kenapa sih? Kok nangis segala,” sahut suamiku terbangun heran.

“Listrik kita mau dicabut Kang! udah kelamaan gak bayar, uang buku si Adi juga belum dibayar,” jawabku agak tersengal.

“Yaudah, nanti kita bayar, sekarang belum cukup duitnya,” tutup suamiku.

***

Aku menjajakan koran lebih banyak dari biasanya pagi ini. Aku putuskan memaksakan diri mengutang  pada bos koranku siang ini, ia pasti percaya, dan tanpa sepengetahuan suamiku tentunya.

Sekitar jam 11 aku sudah kembali kerumah. Aku berhasil meminjam uang seratus ribu rupiah tadi. Buru-
buru aku mencari rekening listrik tiga bulan yang lalu. Beruntung rekening itu kutemukan jadi aku bisa memperkirakan tunggakan plus denda yang harus kami bayar akhir minggu ini.

“Tiga ratus enam limaan Kang,” ucapku .

“Kapan batasnya, Mak ?” tanya suamiku.

“Minggu ini mesti lunas, ini udah kamis, berarti besok terakhir,” jawabku.

“Aduh, bisa di putus ini, belum kekumpul duitnya, kemaren langsung aku beliin beras ama bayar buku si Adi kan,” kata suamiku.

“Coba usahain cari hari ini Kang,” pintaku.

Khawatirku agak terobati karena sudah punya pegangan uang seratus ribu yang tanpa sepengetahuan suamiku tadi.

***

Akhirnya jumat itu pun datang.

“Belum cukup Mak, gajiannya minggu, udah senen aja kita bayarnya tanggung hari ini mah, jumat, hari pendek,” kata suamiku.

Pagi itu aku sangat kesal mendengar perkataannya, aku bergumam begitu mudahnya suamiku menyepelekan masalah ini, listrik itu sudah jadi kebutuhan pokok saat ini, anak-anakku bisa makin terganggu proses tumbuh kembangnya tanpa listrik di tengah kota besar seperti ini. 

Belajarnya keganggu ditambah lagi omongan temennya yang pasti suka saling ejek. Kuputuskan akan tetap mendatangi Kantor pelayanan listirk di kecamatanku.

Belum pukul sepuluh pagi aku sudah menyelesaikan dagangan koranku. Harus secepatnya aku ke kantor PLN, ini hari jumat, pasti ramai antriannya, dan tutupnya lebih cepat.

Sedikit lega karena antrian yang kubayangkan akan cukup panjang justru lengang. Kugendong putri kecilku sambil menyiapkan rekening terakhir dan menghampiri loket pembayaran.

“Bisa di bantu?” ucap seorang petugas ramah.

“Saya mau bayar listrik, Mbak, tapi udah lama tunggakkannya,” ucapku meragu.

“Oh ya gak papa, mana rekening terakhirnya?” sambut petugas itu ramah.

“Tiga ratus delapan puluh tujuh ribu Bu?” ucap si petugas.

“Kalo bayar separo dulu bisa nggak, Mbak?” tanyaku.

“Maaf Ibu, ini harusnya sudah diputus, jadi harus dibayar lunas hari ini, gak bisa diundur lagi,” jawabnya masih ramah.

Aku tidak bisa banyak berfikir saat itu, hati dan fikiran ku sudah terlalu terasa gemuruh, aku langsung tergesa meninggalkan Kantor layanan itu.

Sesampainya dirumah aku tak menemukan suamiku, tadi ia memang berkata akan ada kerjaan hari ini, anak sulungku pun belum pulang dari sekolahnya. Aku duduk termangu sambil menggendong si kecil dikamar.

“Mak, ini surat apa ?” suara anak sulungku yang baru pulang sekolah.

Betapa terkejutnya aku, tak kusadari listrik rumah ini sudah di putus, surat pemberitahuan itu yang mengatakannya, tergesa aku menekan-nekan saklar lampu rumah, dan memang sudah mati.

Ingin rasanya aku menangis, namun kufikir tidak ada baiknya menangisi keadaan. Sebisa mungkin aku jelaskan pada anak sulungku itu perihal pemutusan listrik di rumahnya ini. Sambil membatinkan beragam problema hidup yang kami jalani, sempat terfikir oleh ku tentang ketidakadilan, ketidakpedulian pemerintah dan kesejahteraan palsu yang terus dielu-elukan saat musim kampanye.
Namun segera semua prasangka buruk dan kecurigaanku pada pemerintahan ini aku tepis jauh-jauh. Hidup itu memang sudah susah, mau nyaman ya harus bayar, itu sudah jadi kelumrahan dalam hidup. Batinku yang berusaha nerimo meski terpaksa.

***

“Dasar! mana janji-janjinya! katanya mau makmurin rakyat! saya ini bukan gak mau bayar listrik, tapi emang belum cukup kekumpul uangnya!” umpatan kesal terus terlontar dari mulut suamiku saat ia tahu listrik dirumahnya sudah di putus.

“kalo udah di putus gini mau gimana! pasti lebih mahal lagi pasangnya, ribet lagi urusannya!”tambahnya.

“Udah Kang, gak bakal selesai kalo cuma emosi mah, emang kita yang salah. Tadi aku  udah ke PLN, emang kudu bayar lunas hari ini juga, salah emak juga, ini hari jumat, malah nyari bala’ datengin PLN,” ucapku menanggapi.

Aku tak banyak bicara malam itu. Ku hidupkan lilin-lilin yang biasanya kami nyalakan ketika terjadi pemadaman listrik bergilir.

“Nanti Adi mau jadi Direktur Listrik aja, Mak, biar gak ngaco kayak gini, Adi kan mau  belajar, mau nonton juga,” ucap anak sulungku dengan polos yang mungkin terprovokasi perkataan bapaknya.

“Gak ngaco, Di, emang udah mestinya gitu, kita yang salah gak bisa bayar. Emak yang cari bala’, hari jumat gini tapi malah maksain diri ke PLN minta tempo. Belajar yang bener biar jadi orang, gak kayak emak sama abah,” jawabku meluruskan.

Semua perkataanku itu sebenarnya penuh pertentangan dalam batin, meski tak tamat SMA, aku ini pedagang koran yang juga sangat suka membaca, cukup banyak informasi yang kudapat tentang kebijakan listrik maupun kebijakan pemerintah lainnya yang menyentuh langsung dengan kepentingan masyarakat bawah seperti kami. Malah katanya, tariff dasar listrik (TDL) bakal naik terus, ditambah lagi BBM juga bakal ikut naek siapa pun yang jadi Presiden tahun ini, karena katanya, subsidi energi cuma membebani APBN dan nambahin utang luar negeri saja.

Ah, Entah apa sumber masalahnya, entah pula bagaimana menjawab semuanya,  Pemerintah selalu benar kan ? yang penting keluargaku masih mampu bertahan hidup dan berharap anak-anak kelak akan bernasib lebih baik. Aku tak mau ambil pusing soal Negara, pemerintah apalagi kebijakan-kebijakannya yang ngejelimet. Aku mengaku salah, salah karena miskin dan malah mencari bala’ yang bikin hidupkami  jadi lebih berat.
__________
Saddam CahyoSekretaris LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi) Wilayah Lampung dan mahasiswa sosiologi FISIP Unila


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/suluh/20140811/cerpen-kita-miskin-salahkan-bala-nak.html#ixzz3A5cFCVV3


Minggu, 10 Agustus 2014

Resensi : Kapten Kolor, Petualangan Bocah Nakal yang "Mendidik"


Oleh : Saddam Cahyo

PETUALANGAN KAPTEN KOLOR, bacaan jenaka yang seru dibaca buat remaja awal karena selalu ada makna positif yang bisa dipetik, orang dewasa juga boleh selagi dia gak mau membatasi diri soal bacaan. Buku cerita bergambar setebal 121 halaman karya Dav Pilkey yang diterbitkan Gramedia ini, isinya sama sekali tidak mengandung unsur "cabul" meski memakai kata kolor. Ada juga yang menyebut jenis buku seperti ini sebagai novel grafis tapi penulisnya sendiri lebih suka menyebutnya sebagai novel epik yang bergenre "humor gila-gilaan".Kabarnya, juga, cerita fiksi ini terinspirasi dari pengalaman masa kecil penulisnya sendiri yang sangat badung di sekolah sampai sering dihukum, dan ia justru menikmatinya sambil mengarang cerita-cerita jenaka seperti ini.
Diceritakan ada dua bocah bersahabat yang dikenal paling nakal di sekolah bernama George Beard dan Harold Hutcins. Mereka adalah anak-anak yang bertanggung jawab, maksudnya setiap terjadi sesuatu masalah merekalah biasanya yang harus bertanggung jawab. Tapi sesungguhnya mereka ini anak-anak cerdas yang kreatif bukan cuma dalam hal mengusili dan bikin onar di sekolah, tapi juga berkarya. Harold suka menggambar sementara George suka mengarang, dan ide-ide konyol yang liar telah mempersatukan tekad mereka untuk rutin membuat serial komik superheronya sendiri. 

Mereka menciptakan karakter superhero terhebat sepanjang masa yakni "Kapten Kolor Pahlawan Superheboh" karena mereka anggap semua pahlawan tampil bersayap dan pamer kolor, bahkan jurus rahasianya pun dijuluki "Kekuatan Karet Kolor". Komik itu mereka cetak sendiri dengan secara diam-diam memakai mesin fotokopi sekolah hingga ratusan eksemplar, dan cukup laris diedarkan di taman bermain siswa seharga 50 sen. Tapi sayang, selalu ada Mr. Krupp sang kepala sekolah memang sejak empat tahun terakhir sudah sangat membenci dan mengincar mereka. 

Suatu hari, saat pertandingan football paling seru di sekolah sedang berlangsung, dimana tribun penonton sangat penuh dan para penari sorak pun mulai beraksi mengayunkan pom pom. Tiba-tiba mereka malah bersin-bersin karena ternyata ada yang menaburkan lada hitam, akhirnya mereka berlarian keluar lapangan sambil tersandung-sandung dan ingus yang meler. Lalu saat marching band mulai bermain tiba-tiba tersembur gelembung sabun dari alat musik mereka sampai pada terguling-guling kepeleset. Tak lama kemudian saat pertandingan antar kedua tim berlangsung, bola yang ditendang justru  melesat semakin tinggi ke awan sampai sulit terlihat, ternyata ada yang mengisinya dengan gas helium.Dan kekacauan hari itu terus berlanjut, losion pemanas otot para atlet ternyata berisikan krim gatal, semua pintu WC di lem, dan seterusnya. Puncaknya pertandingan itu dibatalkan. Semua warga sekolah sangat kecewa dan kesal hari itu, kecuali dua sahabat nakal Harold dan George yang terpingkal puas bersembunyi di bawah kursi penonton. 

Esoknya, terdengar pengeras suara yang memanggil mereka berdua untuk menghadap kepala sekolah. Wajah Mr Krupp tampak menyeringai jauh lebih puas, ia tunjukkan bukti kuat berupa rekaman video CCTV yang menampilkan merekalah yang melakukan semua kekacauan itu sebelum pertandingan. Akhirnya dua sahabat nakal itu menyerah, sambil berlutut mereka harus menyepakati perjanjian hukuman. Selama 6 minggu aktivitas mereka sangat padat dan lain dari biasanya, pukul 6 pagi mereka bangun dan segera ke rumah Mr. Krupp untuk mencuci mobil, mencabut rumput, membersihkan halaman, saluran air, dsb. selama di sekolah mereka duduk tegap dan serius menyimak pelajaran, jam makan siang diisi dengan membersihkan debu di kantor kepala sekolah. jam istirahat main diisi dengan menyetrika dasi dan memotong kuku Mr.Krupp, dan setiap hari mereka mendapatkan PR ekstra dari gurunya.

Sampai akhirnya muncul secarik kertas sobekan majalah, isinya iklan penjualan "cincin hipnotis 3 dimensi" tanpa ragu mereka pesan barang yang akan merubah sejarah hidup mereka itu seharga 4 dolar. Pagi harinya mereka sengaja datang terlambat ke rumah Mr.Krupp, ia tampak akan marah besar. Tapi sebelum itu, George menunjukkan cincin berpola aneh itu persis di depan wajahnya, sambil menggoyang-goyangkan dan memaju-mundurkannya mereka berkata "tidur lebih dalam.. lebih dalam.. lebih dalam.. dan anda mulai mengantuk". Sesaat kemudian Mr Krupp menguap dan terpejam, lalu sambil menjentikkan jari mereka memberi sugesti agar Mr.Krupp patuh memberikan video bukti tindak kenakalannya. Sugesti selanjutnya yang diberikan adalah sejatinya dia itu Sang Kapten Kolor, sontak saja Mr.Krupp melepas semua pakaian hingga cuma tersisa kolornya saja dan menarik tirai merah kantornya untuk menjadi sayap, mereka pun terpingkal puas sekali lagi.

Tapi yang mengejutkan adalah Mr. Krupp yang kini sudah menjadi Kapten Kolor sang pahlawan super sudah berlarian keluar entah kemana. George dan Harold sangat panik dan mengejarnya sampai keliling kota. Ternyata sang Kapten Kolor ditemukan saat sedang menantang pencuri yang malah terpingkal-pingkal menertawakannya, tak lama polisi pun datang dan segera mengamankan pencuri yang sudah lemas tertawa, tapi Kapten Kolor segera mereka bawa lari untuk disadarkan. Sayangnya ada persitiwa mengejutkan, terdengar ledakan keras dari Toko Kristal Langka dan keluar mobil van tua ngebut berisi dua robot yang mengangktu kristal curian, tentu sang kapten langsung melesat dan kebetulan sayapnya tersangkut sampai ia terseret mobil itu sampai ke markas besar penjahat. Disitulah Kapten Kolor beraksi dengan jurus ampuh "kekuatan karet kolor"nya yang berhasil membuat para penjahat tumbang.

Setelah semua berakhir, Harold dan George bergegas membawa paksa pahlawan super heboh itu kembali ke sekolah untuk menyadarkannya, sayangnya mereka lupa caranya dan kertas petunjuknya pun hilang. George berinisiatif menyiram wajah Kapten Kolor dengan air vas bunga di kantornya, dan ia pun tersadar kembali menjadi Mr. Krupp, kepala sekolah yang galak. Ia langsung marah-marah, tapi mereka berdua justru tersenyum lega dan puas sambil berjalan keluar kantor. Tapi satu hal yang belum disadari adalah aturan penting dalam ilmu hipnotis, yaitu dilarang menyadarkan orang dengan cara menyiram air, sebab itu akan membuat sugesti menjadi permanen dan akan kambuh setiap mendengar jentikan jari. Dan itulah yang terjadi pada Mr. Kropp, saat sedang patroli mengawasi proses belajar mengajar di setiap kelas, tanpa sengaja ia mendengar jentikan jari Ibu guru yang sedang mengajar, lantas kembalilah ia menjadi seorang Kapten Kolor Sang Pahlawan Super Heboh !
Buku ini merupakan seri pertama dari paket cerita Kapten Kolor (Captain Underpants) berisi 8 judul buku : ((2. Kapten Kolor dan Pertarungan Seru Lawan Cowok Upil Bionik Bagian 1: Malam Bola-Bola Upil Menjijikkan, 3. Kapten Kolor dan Pertarungan Seru Lawan Cowok Upil Bionik Bagian 2: Pembalasan Dendam Robo-Upil Superkonyol, 4. Kapten Kolor dan Amukan Wanita Supercapit yang Sangat Jahat, 5. Kapten Kolor dan Penerbangan Gila-gilaan Manusia-Manusia Toilet Ungu, 6. Kapten Kolor dan serangan Profesor Pupipet, 7. Kapten Kolor dan Penyerbuan Ibu-ibu Kafeteria Luar Angkasa yang Sangat Nakal (dan Serangan Lanjutan oleh Zombie Kutu Buku Kafeteria yang Sama Jahatnya), 8. Kapten Kolor dan Serangan Toilet Cerewet)). 

Dan, ah mudah-mudahan kamu semua bisa beruntung sempat baca paket buku jenaka ini, anda boleh tertawa sesukanya kelak.. :)

__________
Bandar Lampung, 10 Agustus 2014.

Referensi tambahan:
http://www.pilkey.com/
http://www.tempo.co/read/news/2010/08/12/161270806/Pencipta-Kapten-Kolor-Bikin-Novel-Grafis
http://www.bukabuku.com/browse/bookdetail/87278/box-set-kapten-kolor.html



Sabtu, 02 Agustus 2014

Opini : Revisi UU MD3 yang Menodai Harapan Rakyat


Oleh : Saddam Cahyo*

 Republik Indonesia sudah punya Presiden baru, pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla selasa malam (22/7) lalu resmi ditetapkan oleh KPU sebagai peraih suara terbanyak, yakni 70.633.576 atau 53,15% dari 33 provinsi. Sedikit melirik ke belakang, ada sebuah ganjalan yang sudah siap menghalau pencapaian kerja pemerintahan baru tersebut, yakni disahkannya revisi UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD) lewat Rapat Paripurna DPR RI (8/7) meski 3 dari 9 fraksi parpol yakni PDI-P, Hanura, dan PKB melakukan walk out. Tentu bukan suatu masalah jika di ujung masa jabatannya para wakil rakyat ini mengebut kerja prolegnas yang memang selalu gagal mecapai target, tapi akan menjadi perkara serius jika UU yang digarap ternyata tidak menyentuh substansi kepentingan rakyat umum, melainkan karena konflik kepentingan elit politiknya semata.

Begitulah nuansa yang terasa dalam proses penggantian UU MD3 tersebut. Pembahasan utama dalam revisi UU ini berkutat soal  perebutan hak terpilih sebagai ketua. Sebelumnya diatur ketua DPR RI menjadi hak bagi parpol pemenang Pileg yang meraih kursi terbanyak, sementara kali ini diganti, pimpinan akan dipilih secara paket oleh seluruh anggota legislatif yang baru. Putusan inilah yang menjadi titik tekan dari perselisihan pendapat antar fraksi, khususnya PDI-P yang merasa haknya terzalimi karena sudah berhasil memenangkan pemilu dengan raihan suara 18,95%. Gugatan juga terus bermunculan dari berbagai pihak semisal Koalisi Masyarakat Sipil yang merupakan gabungan beragam LSM/NGO tingkat nasional.

Lupa Hakekat

Memang terasa sekali tingginya suhu perebutan kekuasaan dalam revisi UU MD3, terlebih prosesnya kurang transparan dan pengesahannya yang terburu-buru yakni sehari sebelum Pilpres 9 Juli. Maka wajar jika banyak kalangan beranggapan ini sebagai upaya menghindari konsumsi publik yang sedang fokus pada penyelenggaraan pemilu, dan sudah tentu ada keganjilan yang patut dicurigai bersama. Penyusunan UU memang sepenuhnya hak Pemerintah dan DPR, namun hakekatnya tetap harus terbuka kepada publik, agar aspirasi rakyat juga bisa terus tersampaikan dan dijadikan pertimbangan, karena mubazir jadinya jika UU yang telah disahkan ternyata lebih banyak mudharatnya sampai harus digugat rakyat dan dibatalkan MK. 

Nyatanya memang banyak persoalan, terutama Pasal 84 ketentuan pemilihan pimpinan DPR RI dengan sistem paket jelas telah mengabaikan prinsip keterwakilan rakyat, dan malah bisa menjadi celah kian suburnya praktek politik dagang sapi yang vulgar antara berbagai kelompok kepentingan yang ada. Hal lain yang perlu disoroti dari hasil revisi UU MD3 ialah: pertama, ketentuan kuorum untuk hak menyatakan pendapat dirubah dari 3/4 menjadi hanya 2/3. Seperti diketahui, absensi yang bolong adalah persoalan klasik yang dibudayakan oleh para anggota dewan. Berkurangnya syarat kuorum akan semakin melegitimasi hobi bolos mereka, bahkan juga bisa digunakan untuk memenangkan kebijakan yang tidak pro rakyat oleh kelompok kepentingan tertentu.

Kedua, dihapusnya ketentuan yang menekankan pentingnya keterwakilan perempuan secara proporsional dalam alat kelengkapan DPR, ini merupakan suatu kemunduran dalam proses transisi demokrasi kita, dan bisa menjadi preseden buruk bagi semangat peningkatan partisipasi politik perempuan, yang berdampak pada lemahnya capaian pemenangan kebijakan yang pro pada pemenuhan hak-hak dasar kaum perempuan itu sendiri.

Ketiga, dilemahkannya fungsi pengawasan anggaran negara dengan dihapuskan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) sebagai alat kelengkapan DPR yang bertugas menindaklanjuti hasil audit BPK. Ditambah pula dengan dihapusnya kewajiban pelaporan anggaran DPR pada publik lewat laporan kinerja tahunan, padahal ada penambahan pasal 80 (j) dimana anggota dewan berhak mengajukan usul pembangunan di daerah pemilihannya serta memperoleh anggaran khusus. Ini gawat, harapan akan transparansi dan kepastian anggaran negara yang pro poor semakin sulit dicapai, sementara celah penyalahgunaan dan potensi korupsi kian terbuka lebar.

Berkelindan dengan itu, muncul persoalan kelima yakni ketentuan yang semakin melemahkan semangat pemberantasan korupsi, penegakkan hukum, dan secara berlebihan meningkatkan superioritas DPR yang kredibilitasnya pun tengah tergugat. Mahkamah Kehormatan dibentuk untuk menggantikan Badan Kehormatan (BK), dan tak hanya mengurusi pelanggaran kode etik, tapi sampai pada pelanggaran pidana. Padahal BK selama ini dianggap tidak tegas dan objektif dalam menindak berbagai perilaku menyimpang yang sempat dilakukan oknum-oknum anggota dewan.

Sebagaimana dalam Pasal 224 tentang hak imunitas dan Pasal 245 tentang penyidikan menyebut, pemanggilan permintaan keterangan pada anggota dewan yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan yang dikeluarkan paling lama 30 hari setelah permohonan diterima, namun jika tidak disetujui maka surat itu batal demi hukum. Padahal Mahkamah Kehormatan sebagai sesama anggota dewan tentu sangat potensial  terikat konflik kepentingan dan penilaian subjektif, salah-salah ini jadi ruang untuk  menghialngkan barang bukti atau malah melarikan diri.

Bertabur Ironi

Sepertinya para anggota dewan kita memang sudah melupakan hakekat jabatannya . kita tahu betul bahwa UU sebagai suatu aturan hukum akan sangat mengikat untuk diamalkan setiap warga negara, tapi sayang, mereka yang punya kuasa menyusunnya justru suka bermain-main, membuat celah untuk mengamankan kepentingannya sendiri. Jabatan para wakil rakyat ini akan resmi berakhir pada 1 Oktober 2014 mendatang, selama ini  mereka memang langganan menjadi sorotan bukan karena prestasinya, melainkan ironi yang bertaburan di sekitarnya.

Kita juga masih ingat Entah berapa banyak UU “titipan asing” terbit meski menambah beban keterpurukan bangsa, berapa banyak oknum yang terjerat korupsi dan penyimpangan kode etik hingga rasa malu pun nyaris punah. Para wakil rakyat di Senayan yang bergaji terbesar keempat di dunia itu sudah lupa hakekat jabatan. Memang tak bisa kita bersikap pars pro toto, ulah sebagian dianggap sebagai keseluruhan, barangkali kepada DPR baru kita bisa menaruh harap lebih, karena komposisi wajah baru dengan latar yang lebih terpercaya pun cukup dominan, karena pasti tidak semua anggota DPR kita tak punya kompetensi dan komitmen yang teguh untuk bekerja demi kepentingan rakyat.

Mengingat betapa strategisnya fungsi UU ini tentu sangat rentan diselewengkan agar tidak terbangun suatu pemerintahan baru yang kuat dengan didukung oleh kekuatan legislatif. Jelas jika prasangka rakyat terbukti benar adanya, ini namanya abuse of power sebuah penyelewengan kekuasaan. Sangat disayangkan setelah momentum tahun politik 2014 ini berhasil melipatgandakan ekspektasi dan partisipasi politik rakyat, justru harus dinodai oleh wali amanahnya sendiri. Semoga Mahkamah Konstitusi (MK) mau mencabut revisi UU MD3 demi tegaknya kedaulatan rakyat !

____________
*)  Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung  

     Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila.   
http://www.rajabasanews.com/20140802/revisi-uu-md3-yang-menodai-harapan-rakyat/  


Opini : UKT Wajah Nyata Pendidikan Komersil !

 

Perhatian publik sempat tersita pada berita bahagia yang tersiar dari Kota Semarang, Jawa Tengah: Raeni, anak seorang tukang becak, menjadi wisudawan terbaik di Universitas Negeri Semarang (Unnes) dengan raihan IPK 3,96—nyaris sempurna—dan langsung diantar dengan kayuhan becak oleh ayahandanya. Prestasi ini memang membanggakan kita semua.Karenanya, wajar jika Rektor Unnes Prof. Faturrokhman menyatakan langsung apresiasinya, bahkan ia menyebut akan ada kebangkitan anak-anak kaum miskin di negeri ini karena pemerintah telah memberi beasiswa penuh Bidik Misi kepada sekitar 50.000 anak Indonesia per tahunnya agar bisa mengenyam pendidikan tinggi (Kompas.com,10/6). Apresiasi untuk Raeni pun kian bermunculan dari banyak pihak, termasuk Presiden SBY.

Namun, ada baiknya juga tidak hanyut dalam berita inspiratif ini saja. Mengingat sekarang, sudah memasuki medio Juni–Agustus yang merupakan musim penerimaan mahasiswa baru di seantero negeri. Hal menarik yang perlu juga diperhatikan bersama adalah Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013 Tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi Negeri. BKT ialah akumulasi seluruh biaya pendidikan yang dibutuhkan oleh setiap mahasiswa selama 8 semester dan dibagi rata untuk menentukan tarif iuran per semester. BKT terdiri dari BOPTN (Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri) yang bersumber dari APBN ditambah UKT yang dibayar oleh mahasiswa setiap semesternya.

Sekilas, kebijakan ini terkesan sangat positif karena meniadakan beban biaya pangkal yang biasanya sampai puluhan juta rupiah.  Sejak tahun lalu kebijakan ini sudah diterapkan untuk mahasiswa angkatan 2013/2014 di seluruh PTN se-Indonesia.Umumnya, mahasiswa dibagi dalam beberapa golongan berdasar latar belakang kemampuan ekonomi keluarga. Diamanatkan juga, wajib terpenuhinya kuota masing-masing minimal 5% untuk golongan yang digratiskan dan golongan yang membayar di bawah Rp. 1 juta. Hal ini bisa dilakukan dengan mekanisme subsidi silang atas nama keadilan antara si mampu kepada yang tidak.

Pendidikan Komersil
Di Universitas Lampung, misalnya, terdapat lima golongan UKT mahasiswa yang nominalnya berbeda sesuai dengan beban studi jurusannya: kelompok I gratis; kelompok II bayar Rp. 1 juta; kelompok III kisaran Rp. 2,08 juta – 3,87 juta; kelompok IV kisaran Rp. 3,1 juta – 6,4 juta; dan kelompok V kisaran Rp. 3,8 juta – 8,62 juta. Tercatat paling murah di FKIP dan termahal di Fakultas Teknik, sementara Fakultas Kedokteran memang jauh lebih mahal; kelompok III Rp. 10,78 juta; kelompok IV Rp. 11,75 juta; dan kelompok V Rp. 12,38 juta (unila.ac.id). Tarif iuran UKT mahasiswa Unila ini, khususnya Kelompok III yang non subsidi silang, terbilang melonjak naik rata-rata 100% dari yang dibayarkan mahasiswa reguler angkatan sebelumnya.

Namun, pelaksanaan UKT di Unila tidaklah berjalan mulus, banyak persoalan yang terjadi di lapangan sebagaimana terungkap dalam reportase khusus tabloid kampus. Terutama banyaknya mahasiswa yang merasa sangat keberatan dengan status UKT yang ditanggungnya karena memang sangat tidak sesuai dengan kemampuan. Sayangnya, kesempatan sidang banding pun tidak cukup efektif sebagai solusi karena berbagai masalah teknis seperti minimnya informasi sampai kepasrahan. Selain itu, juga diketahui mayoritas mahasiswa yang lolos seleksi penerimaan belum memahami sistem baru ini dan terlalu khawatir batal menjadi mahasiswa, sehingga mereka terjebak mengisi formulir UKT yang tidak sesuai (Teknokra, April 2014).

Sistem UKT ini memang menuai banyak protes, khususnya dari kalangan mahasiswa. Di Lampung saja, misalnya, ratusan mahasiswa kampus IAIN Radin Intan sempat melakukan aksi massa menuntut rektornya untuk membatalkan pemberlakuan UKT karena dianggap memberatkan. Tetapi sayang upaya mereka belum menuai hasil karena pihak rektorat menerangkan posisinya sebagai pelaksana tugas kementerian pendidikan yang tak bisa membantah (14/1). Gejala otonomisasi kampus negeri seperti ini memang sangat bertentangan dengan kemampuan mahasiswa Indonesia pada umumnya, di seluruh daerah sebenarnya sudah terjadi protes, hanya saja masih sporadik, belum terorganisir, serentak, dan massif. Hal ini dikarenakan watak mahasiswa sebagai kelas menengah yang kurang percaya diri dan cenderung pasrah pada status quo, padahal selalu ada kesempatan untuk menciptakan perubahan.

Tapi diluar itu, sistem UKT ini memang punya masalah prinsipil, yakni sarat ideologi bisnis. Sebuah penelitian yang mengamati kecenderungan komersialisasi menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia memang nyaris tidak lagi diposisikan sebagai public goods, melainkan cenderung mengarah ke private goods. Pendidikan nasional telah berubah menjadi lahan pemasaran produk industri maupun kebijakan, sehingga membuat suasana sekolah berubah fungsi menjadi pasar. Masalah ini berakar dari turutnya pemerintah kita dalam kesepakatan GATS (General Agreement of Trade and Services) tahun 2005 di WTO, yang menetapkan pendidikan sebagai satu dari 12 komoditi sektor jasa (Rizqy Umami, 2014).

Secara bertahap dan pasti, pemerintah kita memang selalu mengupayakan berlangsungnya liberalisasi pendidikan, dengan berbagai produk kebijakan telah disusun untuk melegitimasinya secara halus. Sebut saja :UU Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 dan UU Pendidikan Tinggi No 12 Tahun 2012 yang merupakan penyempurnaan dari UU BHP No.9 Tahun 2009 yang telah dicabut MK karena wataknya yang komersil pada tahun 2010. Sekarang dilengkapi lagi dengan lahirnya kebijakan UKT. Alasan yang kerap dimunculkan adalah desakan arus global agar kita bisa bertahan, yakni negara harus melakukan efisiensi anggaran, melakukan privatisasi dan liberalisasi berbagai sektor publik, serta meminimalisir intervensinya atas pasar. Semua ini sungguh makin melekatkan identitas neoliberalisme kepada pemerintah kita.

UKT sejatinya bukanlah strategi jitu untuk mewujudkan perluasan akses pendidikan yang berkeadilan. UKT tidak sama sekali mengurangi beban biaya pendidikan yang ditanggung masyarakat, ia juga tidak menghapuskan pungutan uang pangkal, sebaliknya justru memukul rata semua mahasiswa wajib membayar uang pangkal yang sudah terakumulasikan, padahal sebelumnya uang pangkal tidak dikenakan bagi mahasiswa jalur reguler. UKT juga jelas memberatkan masyarakat karena beban biaya yang melambung itu harus ditanggung sendiri, bahkan subsidi silang pun sangat memberatkan, sebaliknya negara justru menarik diri alias kebijakan ini sebagai upaya pencabutan subsidi pendidikan.

Sistem UKT juga punya potensi besar melenceng dari amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa karena bisa saja dimanfaatkan sebagai celah komersialisasi demi mencari keuntungan yang illegal. Terutama karena lemahnya transparansi pengelolaan anggaran, juga tentang apakah kuota kelompok UKT 1 dan 2 sesuai jumlahnya dengan penanggung UKT kelompok 4 dan 5 sebagaimana skema subsidi silang. Salah-salah, karena kita selalu menyorot persoalan terpenuhinya kuota minimal 5% mahasiswa miskin, kita jadi khilaf menyadari kalau siswa yang dibebankan biaya tinggi melebihi kuota tersebut.

Hak Bangsa Untuk Cerdas
Perlu disadari era pasar bebas sudah menjadi hari esok, perjanjian AFTA (Asean Free Trade Area) akan mulai berlangsung tahun 2015. Sementara kita tahu betul itu pertanda level persaingan hidup akan semakin berat dan tajam. Salah-salah pameo “Bangsa kuli di negeri sendiri” akan menjadi kenyataan yang harus diterima kelak. Salah satu siasat mencegah mimpi buruk seperti itu terjadi memang dengan melakukan lompatan kuantitas dan kualitas SDM melalui pendidikan tinggi. Angka Partisipasi Kasar (APK) tahun 2012 anak Indonesia usia produktif 19-24 yang mengenyam kuliah baru mencapai kisaran 28%, padahal pendidikan adalah lokomotif utama mobilitas sosial masyarakat.

Perlu diakui juga, mayoritas rakyat kita sejatinya masih terjebak dalam status miskin terselubung yang kerap diperhalus dengan sebutan kelas menengah. Biaya hidup terus naik sementara trend penghasilan tidak mengikuti. Tentu kita tidak cuma butuh beasiswa penuh bagi segelintir anak saja, melainkan jaminan biaya kuliah yang murah terjangkau bagi semua kalangan, karena hal ini sudah diamanatkan UUD sebagai tujuan kemerdekaan nasional.  Kita butuh komitmen bersama dari para decision maker, yakni Presiden, Jajaran Kementrian,  serta DPR RI dalam pemerintahan yang baru mendatang untuk berani melakukan koreksi dan revisi radikal mengembalikan hakekat pendidikan nasional yang inklusif dan prioritas.
_____________
Saddam Cahyo, Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung dan mahasiswa Sosiologi FISIP Unila


Sumber Artikel: 
http://www.berdikarionline.com/opini/20140719/ukt-wajah-nyata-pendidikan-komersil.html#ixzz37tthNTWy