Data
Buku:
Judul
: Senggol Kiri
Senggol Kanan
Genre : Novelet
Penulis : Dono
Penerbit : Jakarta, Gramedia, 2009
Halaman : Hlm 136 ; 11 x 18 cm
ISBN : 978-979-22-4894-4
Genre : Novelet
Penulis : Dono
Penerbit : Jakarta, Gramedia, 2009
Halaman : Hlm 136 ; 11 x 18 cm
ISBN : 978-979-22-4894-4
Menyesal rasanya saat sadar terlambat mengagumi sosok “Dono
Warkop”. Selama ini, ia hanya dikenal sebagai seorang aktor komedi yang bersama
dua rekannya, Kasino dan Indro, tergabung dalam group lawak: Warung
Kopi DKI. Puluhan film kocak mereka sangat rajin disiarkan televisi
berulang-ulang sampai hari ini. Dono lebih sering tampil sebagai tokoh paling
sial, menjadi bahan olok-olok karena berperan lugu, dan udik. Tapi seperti kata
pepatah tua: “Jangan menilai buku dari sampulnya”. Kehidupan nyata Dono justru
berbanding terbalik; boleh dibilang, dia orang yang paling serius dan intelek
antara mereka bertiga.
Nama lengkapnya Drs. Wahyu Sardono, alumnus Sosiologi FISIP
Universitas Indonesia, dan tercatat sebagai dosen di almamaternya itu. Ternyata
Dono gemar menggambar karikatur, fotografi, dan menulis, terutama strip
film dan novel. Tapi
dia memang lebih suka menulis novel-novel pendek yang hanya berkisar seratus
halaman karena lebih mudah diterima masyarakat. Dalam beberapa kali kesempatan
wawancara oleh majalah, Dono mengutip perkataan Pramoedya Ananta Toer, bahwa
menulis novel akan membuat dirinya abadi. Buku berjudul Senggol
Kanan Senggol Kiri ini
merupakan karya terakhirnya yang berhasil diselesaikan, tapi sayang baru bisa
terbit 8 tahun setelah kematiannya.
Jalan Cerita
Tokoh utamanya bernama Mas Gabus, lelaki berumur hampir kepala
empat yang sebenarnya bernama asli Bagus Antakusuma, tapi karena cukup sadar
diri memiliki ciri fisik yang bisa bikin ketawa orang lain setiap perkenalan,
maka dia buat nama populernya sendiri. Tubuhnya kerempeng, tulang pipi agak
menonjol, giginya berlomba dengan mulut, tapi masih bisa dipaksa mingkem di
hadapan wanita cantik. Sementara istrinya, ibarat puteri cantik yang menikahi
pangeran kodok, bernama Mbak Noni dengan perawakan yang masih ideal bagi
seorang Ibu dua anak, saat remaja ia sering ikut lomba cover
girl dan berkali-kali
masuk semi final. Dia suka membaca dan sangat berbakti.
Kemujuran Mas Gabus ini semakin lengkap dengan hadirnya dua anak
mereka: sulungnya seorang lelaki bernama Hidayat yang baru berusia 7 tahun,
sementara adik perempuannya Ineke. Mereka tinggal di komplek perumahan
sederhana bersama Mas Joko, kakak lelaki Mbak Noni yang belum kunjung menikah,
meskipun sebenarnya dia orang baik dan gigih bekerja di perusahaan iklan tapi
belum beruntung diberkahi kemakmuran dan pasangan hidup saja. Mas Gabus sendiri
seorang sarjana ekonomi dari Universitas Gajah Dipo Esa Umbul. Dia bekerja di
bidang pemasaran sebuah perusahaan farmasi dengan gaji yang lumayan. Sementara
Mbak Noni yang lulusan Akademi Sekretaris hanya menjadi Ibu Rumah Tangga yang
baik.
Suatu ketika, Mas Gabus baru saja pulang dari perjalanan kerjanya
ke luar kota. Saat baru keluar dari Bandara, sambil telingak-telinguk nyari
taksi gelap yang ongkosnya lebih murah, Mas Gabus melihat sesosok wanita cantik
berjalan di depannya. Pakaiannya yang ketat pas badan tak ayal menimbulkan
gerakan pinggul yang seolah berirama setiap melangkah. Belum sempat ia
menyusul, wanita itu tiba-tiba menjerit, tampak seorang pemuda muncul di antara
mobil di depannya sambil mencolek payudaranya yang padat dan tertawa ngakak.
Dari balik mobil muncul dua lelaki lainnya yang bertubuh kekar, satu berkaus
buntung dan satu lagi lengannya bertato tulisan surat
buat mama, mereka tampak ikut mendekati si gadis yang ketakutan
setengah mati.
“Stop! Berhenti di situ!” seketika Mas Gabus reflek berteriak sampai mereka menoleh ke
arahnya. Sebenarnya dia cukup menyesal, tapi sudah kepalang gengsi. Meski
sempat terpojok dan babak belur, Mas Gabus berhasil konsentrasi mengingat
pelajaran beladirinya dulu, dia berhasil mengimbangi mereka bertiga.
Pertarungan sengit dan melelahkan itu akhirnya dimenangkan Mas Gabus berkat
senjata rahasia berupa alat setrum kejut listrik yang selalu disimpan di balik
tasnya. Kejadian ini sangat berkesan bagi wanita cantik yang merasa telah
diselamatkan oleh seorang pahlawan sejati, namanya Kirana, ia bekerja sebagai
sekretaris di sebuah perusahaan minyak.
Setelah peristiwa itu, Mas Gabus yang selama ini menjalani
hidupnya normal-normal saja sebagai suami sekaligus ayah yang baik, tiba-tiba
terjebak dalam “keisengan” perselingkuhan. Si cantik Kirana telah jatuh hati
dan terbuai oleh rayuan gombal Mas Gabus yang mengaku bujang tua. Saking kesengsem-nya,
Kirana tidak pernah menuntut apa pun dari Mas Gabus, bahkan setiap kencan pun
selalu dia yang bayar. Tapi fantasi kesempurnaan Mas Gabus sebagai lelaki
paling beruntung sedunia segera terusik karena teman sekantornya yang bernama
John Suyat ternyata memergokinya. Sialnya, dia terus memeras uang Mas Gabus
dengan dalih kepepet ditagih debt collector yang kejam, tapi sambil mengancam akan
melaporkannya pada Mbak Noni. Alhasil, uang Mas Gabus tetap saja terkuras
karena keisengannya ini.
Kesialannya ternyata masih berlanjut. Suatu ketika kakak iparnya,
Mas Joko, sedang kepepet, tabungannya belum cukup sementara dia harus menebus
cincin emas yang dipesannya untuk kado ulang tahun sekaligus ajang melamar
Jubaedah pujaan hatinya. Beruntung Mas Joko diberi bantuan utang satu juta
rupiah oleh Mbak Noni untuk menggenapi biaya dua juta rupiah yang sedang
dibutuhkan. Sayang, saat perjalanan ke toko, Mas Joko bertemu si picik John
Suyat yang juga teman lamanya, dia cerita sedang tertimpa musibah, mertuanya
sakit keras dan istrinya baru kecelakaan, dia sangat butuh pinjaman dan memohon
pada Mas Joko. Akhirnya, dengan rasa iba dan niat baik, uang dua juta rupiahnya
itu ludes dipinjam John Suyat dengan perjanjian 10 hari saja akan lunas.
Setelah sepuluh hari resah menunggu, Mas Joko mendatangi langsung
rumah John Suyat, tetapi ternyata istri dan mertuanya tidak sakit sama sekali.
Mas Joko bingsal, tapi si John Suyat segera memberi alasan dan solusi ampuh: dia
sarankan Mas Joko untuk meminjamnya dulu dari adik iparnya, Mas Gabus, dengan
kode: “Saya tahu proyek besarmu dengan bankir di Café La Mondar-mandir”. Dengan
hati kesal tanpa hasil, Mas Joko meninggalkan rumah itu. Malamnya di rumah, dia
hampiri Mas Gabus sambil mencoba jurus dari John Suyat. Ternyata Mas gabus
langsung keringat dingin dan menurutinya. Mas Joko senang tapi agak bingung,
karena dia tidak tahu kalau kode itu punya makna krusial bagi Mas Gabus. Café
La Mondar-mandir adalah tempat kencannya dengan Kirana. Dan saat dipergoki John
Suyat, dia mengaku sedang ada urusan bisnis dengan seorang bankir cantik.
Beberapa hari kemudian, Mbak Noni sebagai ibu rumah tangga yang
baik memang rutin memantau rekening tabungan suaminya. Setelah ke Bank untuk mencetak
buku tabungan suaminya, dia kaget dan heran melihat penarikan tunai yang sangat
besar dan rutin sekali dalam satu bulan terakhir. Mbak Noni sangat resah dan
berpikiran macam-macam. Malamnya dia minta penjelasan dari suaminya. Mas Gabus
bilang, uang itu dipinjamkan untuk John Suyat yang terkena musibah dan Kakaknya
Mas Joko yang mau nebus cincin. Mbak Noni agak tenang, tapi sedikit kesal dan
berprasangka pada kakaknya sendiri yang sudah dipinjaminya uang lebih dulu.
Sampai di sini Mas Gabus masih sangat leluasa menikmati surga dunianya.
Beberapa waktu kemudian, Mbak Noni mendengar ada suara ketukan
pintu rumahnya, setelah dibuka, seorang wanita cantik berdiri, tersenyum
sumringah, lalu sedikit teriak, “Ini Noni Kan !”. Mbak Noni pangling, ternyata
wanita itu Dewi, teman SMA nya di Klaten dulu, sekarang Dewi bekerja di Jakarta
tapi belum mau menikah. Tak hanya itu, Dewi juga tampak semakin cantik dan
lebih muda dari usianya. Ia mengaku sudah menjalani operasi plastik di
sana-sini demi penampilan. Tapi setelah di ajak masuk, mendadak raut muka Dewi
berubah setelah melihat fotonya dengan Mas Gabus. Ia pun langsung mengaku punya
kemampuan paranormal. Dengan yakin dia bilang, bahwa garis wajah, bentuk mulut,
dan kumis suaminya itu menandakan watak playboy. Sontak perkataan
temannya ini membuat Mbak Noni tidak percaya, tapi cukup penasaran.
Berbekal keyakinan kalau suaminya selama ini orang baik dan setia,
dia memberanikan diri datang ke rumah Dewi untuk membuktikan. Dewi bilang punya
metode ritual khusus yang sangat terpercaya. Mbak Noni diminta masuk ke kamar,
dan duduk menghadap jendela, ia juga diminta untuk diam menunggu datangnya
suara Mas Gabus setelah lampu dipadamkan. Dengan perasaan deg-degan,
Mbak Noni diam mematung sendirian, sedangkan Dewi keluar setelah sebelumnya
menyiapkan makanan, sampanye, lilin, dan wewangian aromatik di meja belakang
Mbak Noni duduk. Sekitar pukul tujuh malam, tiba-tiba ada suara orang yang
masuk ke kamar dan membuatnya semakin tegang agak ketakutan.
“Halo sayang, kejutan apalagi ini? Suasana seperti ini sungguh tak
pernah kurasakan dalam hidupku, kau memang satu-satunya wanita yang
menggetarkan jiwaku..” Suara itu mengejutkan Mbak Noni karena sangat persis
dengan suaminya, Mas Gabus. Tapi ia masih bertahan hingga suara itu mendekat di
telinganya dan terdengar, “Oh Kirana, engkau wanita yang paling pantas
kucintai..” Sontak Mbak Noni berbalik badan, sehingga ia berhadapan dengan
pemilik suara itu. Mereka berdua sama-sama kaget dan menjerit keras. Mas Gabus
yang segera sadar kalau di depannya itu itu istrinya, langsung berkilah kalau
rayuannya tadi memang diperuntukkan untuk Mbak Noni. Tetapi, setelah ditanya
ini rumah siapa, Mas Gabus keringat dingingelagapan.
Lampu kamar mendadak terang, dan mereka bertiga saling menatap, sama-sama
kebingungan. Tapi Mbak Noni langsung kalap dan meninju muka Mas Gabus sampai
pingsan. Setelah itu, Dewi meminta maaf dan ingin semua ini selesai baik-baik.
Ternyata Dewi adalah Kirana, nama aslinya memang Dewi Djuariyah, tapi setelah
punya penampilan baru, dia ubah menjadi Dewi Kirana. Dan sejak itu tamatlah
riwayat keisengan Mas Gabus berselingkuh.
Kritik sosial
Sebagai seorang sosiolog, Dono memang getol menganalisis persoalan
sosial. Buku ini cukup padat menyisipkan kritik dan pesan sosial yang semuanya
berangkat dari realita patologis dalam masyarakat kita.
Barangkali, dengan
menyindirnya dalam nuansa komedi, Dono berharap kita semua mau sadar dan
berbenah diri. Semisal, saat mengurai makna lambang kampus Mas Gabus yang
berupa garis segi lima dengan gambar bawang, tengahnya buku terbuka dan pena,
samping kiri-kanannya sayap garuda, dan atasnya sinar matahari. “Filosofinya,
bawang berarti hidup memang pedas dan bahkan harus meneteskan air mata, tapi
kepedasan itu akan hilang melalui ilmu pengetahuan yang disimbolkan buku dan
pena, selanjutnya jika sudah berilmu orang bisa terbang menuju cita-cita yang
disimbolkan matahari bersinar” (hal 10).
Ada juga pesan untuk memberi pengertian pada anak-anak kenapa
makanan yang sudah diambil tidak boleh bersisa meski pun sedang tidak
berselera. Misalnya ketika Voni bilang: “Ayo, masakan Mama ini enak, dibeli
dengan duit, kalau gak dimakan dosa, banyak rakyat Indonesia yang nggak bisa
beli makan, ini harus disyukuri,” ajak Mbak Noni (hal 31). Juga pernyataan Mas
Joko: “angan memukul anak! Sekarang sudah ada hukum perlindungan buat mereka,
kamu bisa masuk penjara. “Aduh anak kampret, anak setan!” demikian makian Mas
Gabus dalam hati setelah dipukul kepalanya oleh Dayat. Ia tak berani
mengucapkan makian itu lewat mulut karena ia takut berbalik dirinya lah yang
kampret atau setan (hal 35).
Benang kusut praktik taksi gelap di bandara juga diusiknya.
Biasanya, mereka tidak berizin dan tidak membayar pajak sebagai alat
transportasi resmi tapi tetap terus ada karena mental masyarakat yang maunya
nawar murah tapi bergaya naek taksi dan perilaku oknum-oknum keamanan bandara
yang mudah disuap (hal 19). Sementara soal sogok-sogokan dan tilang-tilangan
juga disentil saat tokoh Kirana ngebut hampir menabrak nenek-nenek. Si Nenek berucap:
“Ooo, sopiiir siwalaaan, orang sudah nyebrang di zebra cross masih saja
disodok, pasti SIMnya nyogok polisi!” Kirana juga hampir menabrak Pak Polisi
yang lagi nyetop mobil angkot yang entah salahnya apa, tapi dia gak peduli,
polisi begitu gak berwibawa (hal 74).
Praktik jasa penagihan utang piutang itu juga ada. “Terus terang,
gua lagi dikejar debt collector, nyawa gua
ibarat di ujung tanduk, mereka lakukan pekerjaan dengan kekerasan dan terror!
Gua curiga kerusuhan di Ambon, Sampit, dan Jakarta itu provokatornya mereka ini
juga,” kata John Suyat saat ditagih Mas Joko (hal104). Soal perilaku paradoksal
pejabat yang suka berderma tapi menimbun harta korupsi juga ada. “Arisan di
rumah Bu Tutilawati, rumahnya palin besar, suaminya kerja di Pemda, Direktorat
Perizinan, Bagian perhubungan, tugasnya menghubungkan antara pengusaha dengan
pejabat pemda, kaya-nya bukan main, mobilnya empat, anaknya sekolah di
Australia, tapi dia dermawan, fakir miskin, yatim piatu, tempat ibadah, selalu
jadi target melemparkan sebagian harta yang berlimpah,” kata Mbak Noni (hal
111).
Nah, soal Film, Dono punya pendapat, lewat tokoh Mas Gabus yang
sedang merayu Kirana, “Aku salut padamu, kamu bisa menghayati cerita begitu
dalam, aku senang bisa diskusikan film yang kita tonton. Film itu gambaran
sosiologis masyarakat tertentu di zaman tertentu, sebab bagaimana pun si
pembuatnya akan sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologis mau pun sosiologis
di masa itu” (hal 90).
Kritik politik
Dono juga dikenal ikut andil dalam demonstrasi besar mahasiswa
pertama pasca Orde Baru berkuasa, yakni dalam peristiwa berdarah Malari 1974,
yang menentang masuknya modal asing. Ia cukup sering memberi dukungan moral
dengan mendatangi aksi-aksi protes mahasiswa yang menyongsong hadirnya
reformasi 1998. Dalam buku ini, dia juga menyentil persoalan politik di
sana-sini.
Perdebatan klasik dua ideologi politik besar, yakni kanan versus
kiri diparodikannya dalam petikan ini, “Sudahlah Pak, bicara saja yang
realistis dan substansial! Yaitu naik taksi saya, murah meriah.” Kata sopir
taksi gelap yang narik tangannya dari sebelah kiri. “Tidak Pak, naik taksi saya
saja, fasilitasnya lebih baik, AC dingin, anda bisa serasa di surga nonton VCD
film xxx”. Kata sopir taksi gelap yang menarik tangannya dari sebelah kanan (hal
17). Kritiknya soal campur tangan AS di perang Vietnam juga ada, yakni ketika
dua sopir taksi gelap itu semakin rebutan dan nyaris berantem, tokoh Mas Gabus
berucap “Lho saya kan orang luar, kebetulan mau pulang lewat sini, mana bisa
terlibat pertengkaran sampeyan berdua! Itu namanya Vietnam! Eeh, fitnah!” (hal
19).
Sementara di halaman 26 ada petikan begini, “Alat setrum listrik
yang jadi senjata ampuh melawan 3 preman itu pemberian teman Mas Gabus yang
jadi polisi, itu alat yang biasa digunakan waktu menghadapi demonstran. Waktu
Mas Gabus menerimanya dia sempat bertanya kok bisa inventaris negara gampang
dipindahtangankan begini, temannya itu menjawab, kalau dia sudah dua puluh
tahun kerja dan sudah tak jelas lagi mana barang milik negara, mana barang
milik pribadi”.
Rezim Orde baru sepertinya memang paling sering jadi inspirasi
sindiran, “Putar sana-sini selalu yang ditemukan hanya tulisan, Maaf ATM sedang
rusak, pokokya mulai hari ini gua mau pindah Bank! Masa ATM rusak semua? Kali
pemiliknya tersangkut BLBI! Orde Baru Kampungan! Kampret!” umpat Mas Gabus yang
kepepet (hal 68). Celetukan lainnya, “Jangan bikin bingung, iya kok tidak? Situ
kayak anggota parlemen saja suka membuat konstituennya bingung!” (hal 78).
“Polisi? nggak takut! Sekarang ini hukum sedang sakit, kalau Cuma
bohong saja saya nggak bakal masuk penjara! Polisi bisa disogok saja kok susah.
Ini kenyataan bukan oknum, lembaga itu kan kumpulan oknum, Lha kalo 99 persen
oknum bisa disogok apa nggak boleh dikatakan kalau polisi memang gampang
disogok?” (hal 80).
Ada juga ini, “Bus, sory ya saya belum punya uang melunasi uang
kamu, situasi ekonomi saya ini tak lebih dan tak kurang sama dengan situasi
ekonomi negara Republik Indonesia, tidak menentu, jadi saya tidak bisa
menjadwalkan dengan tegas kapan utang bisa dikembalikan.” (hal 91). “Dari zaman
Pak Harto ngerebut kekuasaan sampai Pak Harto ngejungkel dari kursi presiden, urusan mu
kan cuma kekurangan uang ato malah gak punya uang!.. Pinjam satu juta? Kalah
Orde Baru!” (hal 96).
“Benda yang dikiranya batu dan ia tendang sekuat tenaga, ternyata
bekas besi tiang rambu lalu lintas yang dipotong setinggi sepuluh sentimeter.
Ujung jarinya bengkak dan sol sepatunya copot! Uh, Pemda, kerja kayak gini kok
mau narik pajak tinggi-tinggi? Kampret busuk! Kadal bingung! Buaya ngepot! Ayam
ngangkang! ” (hal 107). “Udah jangan berlagak seperti politisi Indonesia, yang
senang cari kambing hitam!” (hal 133).
Baik Dono maupun Warkop DKI secara keseluruhan memang sudah punya
bekal mental kritis sejak awal. Ini bisa kita cermati dari gaya lawakan cerdas
yang sering mereka lontarkan saat manggung atau pun di film. Bahkan slogan
mereka; “Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang” merupakan sindirian bagi
pemerintah Orde Baru masa itu yang dikenal sangat otoriter dan anti kritik.
Kabarnya, Dono paling sering menggagas joke-joke bernuansa kritik sosial-politik yang
mereka mainkan.
Begitulah Dono, dia menulis sambil mengajak kita membuka jendela
hati dan akal pikiran untuk melihat dunia dari sisi yang tidak umum, dia mengajak
kita untuk ikut terusik oleh berbagai kekacauan yang terjadi dan dibuat oleh
kita sendiri, masyarakat luas, sampai penguasa politik. Sebelumnya, Dono sudah
menerbitkan beberapa buku yakni Balada Paijo, Dua
Batang Ilalang, Bila Satpam Bercinta, dan Cemara-Cemara Kampus, yang barangkali masih sangat mungkin
anda buru untuk dibaca. Resensi ini dibuat sebagai penghargaan bagi legenda
Indonesia yang lahir 30 September 1951 silam, meski sudah meninggal dunia pada
30 Desember 2001, nama dan karyanya akan senantiasa abadi bersama kita.
_____________
Saddam Cahyo,
Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Lampung (UNILA) dan juga aktif di LMND
(Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi) Wilayah Lampung.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/suluh/20140723/belajar-kritik-dari-dono-warkop.html#ixzz38GHONfJQ
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook