Oleh : Hidayatur Rohman*
Maraknya pemberitaan di media massa
terkait dengan kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah, nampaknya semakin
melegitamasi tuduhan miring soal gagalnya sistem pendidikan di Indonesia. Kekerasan
yang terjadi bukan hanya yang kasat mata bisa diamati seperti tawuran antar
pelajar saja. Melainkan, ada bentuk kekerasan lain yang bersifat laten dengan dampak
buruk yang jangka panjang namun terus terjadi secara terselubung, yakni bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku
agresi berulang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap pihak lain hingga
mengakibatkan keadaan tidak nyaman bahkan terluka secara fisik maupun psikis
(Ahmad Prasetyo, 2011).
Bahaya Bullying
Bullying
bisa terjadi kapan pun, dimana pun, terhadap siapa pun selagi terdapat proses
interaksi sosial antar manusia, khususnya di periode kanak-kanak yang memang belum
mengerti tata pemilahan dalam bersikap. Terlebih di lingkungan sekolah yang
notabene merupakan ruang menimba ilmu bagi begitu banyaknya siswa dengan latar
belakang dann jenjang pendikan yang majemuk. Sekolah yang seharusnya menjadi
tempat belajar yang nyaman dan aman bagi anak, seringkali menjadi momok yang
menakutkan karena hadirnya fenomena bullying.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) sejak Januari-Maret 2014 menemukan 19 kasus bullying terjadi di sekolah. Jumlah ini terkesan sedikit karena
hanya berdasarkan laporan langsung yang mereka terima. Kasus bullying sesungguhnya hampir setiap hari
terjadi baik dalam bentuk kontak fisik langsung (memukul, mendorong) ataupun
kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan). Bentuk terakhir ini justru
lebih berbahaya meski terkesan lebih lunak sebab dampak negatif yang
ditimbulkan sangat mendalam, selain itu bentuk ini juga akan sulit
diidentifikasi dan dicegah karena minimnya bukti perbuatan.
Kasus teranyar yang menelan korban
jiwa adalah meninggalnya Renggo Khadafi (11), siswa kelas V SD di Jakarta Timur
tewas setelah dianiaya kakak kelasnya lantaran korban tak sengaja menyenggol
pelaku hingga jajanannya jatuh (2/5). Akhir Maret lalu kita juga sempat dikejutkan
dengan tewasnya Muhammad Syukur (6), bocah kelas 1 SD di Makassar yang tewas
akibat dikeroyok tiga orang teman sekelasnya saat pulang sekolah. Tak hanya di
usia kanak-kanak, kasus bullying yang
lebih terstruktur juga terjadi di berbagai sekolah kedinasan yang selalu
mengedepankan disiplin dan hierarki, contohnya Dimas Dikita Handoko (19) taruna
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) di Jakarta Timur tewas dengan luka lebam
sekujur tubuh akibat dianiaya seniornya lantaran dianggap bersikap kurang
hormat (25/4).
Mirisnya, fenomena bullying dalam segala macamnya ini masih
belum dianggap serius oleh kebanyakan orangtua
maupun tenaga pendidik. Perilaku seperti mengolok-olok masih sering dipandang
sebagai hal wajar dari dinamika interaksi sosial anak. Padahal dari peristiwa
pelecehan kepribadian yang sederhana seperti itulah kelak akan terakumulasi
menjadi konflik fisik atau setidaknya akan sangat mengguncang psikis anak,
tentu hal ini sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan yang ingin
menciptakan insan berbudi pekerti luhur yang kelak bermanfaat bagi bangsa.
Perspektif Interaksionisme Simbolik
Dalam ilmu sosiologi, dikenal teori
interaksionisme simbolik yang bisa digunakan untuk menguraikan fenomena bullying. Teori ini berusaha
menjelaskan bahwa interaksi antar individu selalu melibatkan penggunaan
simbol-simbol untuk saling memahami. Ketika berinteraksi dengan orang lain, kita
selalu berusaha mencari simbol yang cocok untuk menyampaikan makna tertentu
padanya. Pun sebaliknya, kita akan menginterpretasikan apa yang dimaksud orang
lain melalui simbolisasi yang ia bangun (Paramawati, 2013).
Dalam perspektif ini, bullying merupakan bentuk interaksi kekuasaan
(power) yang dibangun antar siswa
dengan menggunakan simbol-simbol kekerasan. Saat praktek bullying berlangsung, para pelaku memberikan simbol pada korban
seperti mengancam, mempermalukan, hingga melukai untuk menunjukan kekuatan yang
dimilikinya. Motifnya agar eksistensi dirinya sebagai sosok yang patut disegani
akan tertanam dalam benak korban yang dianggap lebih lemah. Korban biasanya
memberi reaksi berupa perasaan terintimidasi, takut, malu, hingga merasa rendah
diri terhadap pelaku. Meski reaksinya malah berbalik berontak pun, akan tetap menimbulkan
situasi social disorder atau
ketidakharmonisan dalam relasi sosial mereka.
Fenomena
ini ibarat duri dalam daging dunia pendidikan kita, alih-alih dirasa sepele,
secara perlahan tapi pasti bullying
terus menggerogoti kualitas pendidikan. Semestinya masalah ini dihentikan
secara serius, tentu kita tak rela jika kelak di iklim globalisasi yang ganas,
putra-putri Indonesia justru tumbuh dengan kepribadian yang minder, apalagi
jika harus banyak yang tewas sia-sia. Diperlukan komitmen bersama untuk memutus
mata rantai budaya kekerasan ini, terutama dengan digalakkannya pemahaman
tentang budaya bangsa kita yang ramah, guyub, dan toleran sejak dini.
*) Bergiat di Komunitas Sosiolog
Muda Lampung.
Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila.
Terbit di tabloid TEKNOKRA Universitas Lampung, No 136 Tahun XIV edisi Mei 2014.