Saddam Cahyo*
Sebuah kasus
pahit ternyata harus muncul sebagai katalisator yang cukup berhasil memancing
kembali hadirnya simpati masyarakat luas tentang mendesaknya penanggulangan bahaya
kejahatan seksual. AK (5) seorang siswa TK di Jakarta International School
(JIS) diketahui telah menjadi korban sodomi yang ironisnya positif tertular
herpes. Kasus ini cukup istimewa barangkali karena terjadi di lingkungan
sekolah elit yang seharusnya memiliki manajemen pengawasan lingkungan belajar
yang lebih mapan. Presiden SBY dan Ibu negara pun cukup responsif dengan
memberi dukungan moril kepada keluarga korban dan menyatakan keprihatinannya
atas peristiwa ini.
Bahaya Nyata
Kejahatan
seksual bukanlah fenomena sepele, ini mutlak persoalan serius yang menjadi
ancaman bagi masa depan bangsa, terutama jika yang terlibat di dalamnya adalah
anak-anak. Menurut Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR, untuk wilayah Lampung saja
selama tahun 2013 tercatat ada 474 kasus kekerasan seksual baik pencabulan
maupun perkosaan yang terjadi di sekitar kita. Dari jumlah yang mengerikan ini
korban terbesarnya adalah anak-anak di rentang usia 4-17 tahun, dan pelaku
terbanyak adalah orang dewasa yang tinggal di lingkungan sekitarnya. Sementara
Polda Lampung menyebut dari 10 wilayah hukum Polres selama tahun 2013 juga
terdapat belasan anak remaja usia 15-18 tahun yang menjadi tersangka kasus
serupa dengan rata-rata usia korban di bawah 10 tahun.
Kasus terakhir sebagai
pukulan telak bagi kita, semisal remaja putri (14) dari Lampung Timur yang
diperkosa berkali-kali oleh belasan orang, dan seorang diantaranya disinyalir
sebagai anggota DPRD yang menjanjikan bantuan. Berikutnya beberapa orang remaja
pria yang masih duduk di SMP berkomplot menyewa kamar hotel dan menodai teman
sebayanya di Kota Bandar Lampung. Sebagaimana sudah diketahui bersama, betapa
banyaknya anak balita yang jelas-jelas belum mengerti dunia apalagi punya daya
tarik seksual sekali pun harus menerima nasib buruk sebagai korban pencabulan
orang dekat. Betapa banyak pula putri-putri kita yang harus rela mengandung
benih insest karena diperkosa anggota keluarga. Bahkan tak terhitung lagi
jumlah bocah lelaki yang tak luput dikorbankan.
Kejahatan
seksual bukan lagi sebuah issue tanpa wujud, fenomena ini sudah menjelma bak
sebuah wabah marabahaya yang begitu nyata dan bisa terjadi dimana saja,
terhadap siapa saja, karenanya ia sangat mengancam kohesifitas kehidupan
masyarakat kita. Secara makro, akar persoalan ini cukup kompleks mulai dari lunturnya
keteguhan pemahaman akan nilai-nilai religius, lemahnya penegakkan hukum,
memudarnya kontrol sosial, perubahan situasi perekonomian masyarakat yang
semakin banyak memberi tekanan hingga orang tak lagi bisa menyeimbangkan
kesadaran sosial, pergeseran posisi nilai-nilai gender, dorongan massifnya konsumsi
budaya liberal yang tak sesuai dengan kemampuan pribadi, hingga perkembangan
teknologi komunikasi yang semakin meniadakan batas. Secara simultan keseluruhan
faktor ini sangat berpotensi memicu lahirnya imajinasi seksual yang sangat liar
dalam benak seseorang.
Hukuman Berat
Anak-anak
menjadi sasaran empuk penjahat tak bernurani ini karena dianggap cenderung tak
punya kemampuan fisik dan mental yang memadai untuk berontak, juga belum
mengerti fungsi organ seksual dan norma sosial tentangnya. Bagaimana pun
fenomena ini adalah bentuk kejahatan kelas berat yang tak pantas diberi ruang
toleransi. Kejahatan seksual terhadap anak pasti menimbulkan dampak buruk dalam
jangka yang sangat panjang, baik pada fisik maupun psikisnya. Pengalaman
traumatis yang dideritanya akan lebih sulit diatasi dan dalam banyak kasus,
pengalaman pahit ini akan merusak proses pembentukan karakter di masa transisi
dan mengakibatkan penyimpangan perilaku yang sangat mengganggu proses
sosialisasi mereka.
Selama ini
ancaman hukuman untuk masalah ini masih terlalu lemah, pasal 292 KUHP tentang
pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dan UU Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak sebatas memberi ancaman hukuman maksimal 15 tahun
penjara. Persoalannya ungkapan kuno bahwa masa depan bangsa berada di pundak
setiap anaknya bukanlah omong kosong, melainkan sebuah kepastian. Perlu serius difahami
sebagai orang dewasa ialah sudah semestinya kita menjadikan seluruh anak
Indonesia sebagai tanggung jawab bersama. Kita tak boleh sekedar bersikap
prihatin, atau hanya sibuk mengurusi penanganan hukum dan rehabilitasi fisik serta
mentalnya saja. Lebih dari itu semua, didasari kesadaran moral sebagai sebuah
bangsa merdeka yang punya cita-cita luhur memajukan peradaban manusia, secara
kolektif kita harus segera menyatakan perang untuk menghentikan segala bentuk
kejahatan seksual.
__________
*) Sekretaris
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekuti Wilayah Lampung.
Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila.