Tahun 2013 ini, genap tercapai usia ke-50 kalau memang
fisiknya masih hidup, tapi sayangnya sampai sekarang kita tidak bisa mengetahui
kabar tentang keberadaannya. Bahkan istri dan kedua anaknya pun masih dihantui
rasa penasaran yang tak kunjung terjawab. Widji Widodo atau lebih populer
dengan nama Wiji Thukul lahir di kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah pada 26
Agustus 1963 dengan latar belakang keluarga kurang mampu. Namun kondisi itu
justru menempanya bukan menjadi manusia yang lemah, menurut orang-orang yang
pernah berkenalan langsung dengannya, Thukul adalah pribadi yang sederhana tapi
penuh percaya diri, berprinsip, bersemangat tinggi dan sangat cerdas, meski
hanya lulusan SMP.
Wiji Thukul adalah seorang seniman cum aktivis yang turut dihilangkan secara paksa oleh rezim Orde
Baru Soeharto karena aktifitas seni kerakyatannya dianggap provokatif, subversif
dan mengancam stabilitas negara. Sejak masa remaja ia sudah aktif menggeluti
dunia seni teater dan sastra. Karya-karya ciptaannya terkesan nyeleneh, karena
tidak membicarakan keindahan, justru cenderung penuh dengan nada-nada protes
akan kenyataan hidup kaum pinggiran yang begitu sulit dijalani. Berbeda dari
kebanyakan seniman di masanya yang alergi pada politik, Wiji Thukul dengan
tegas melibatkan diri dalam aktivitas politik pergerakan dan menentang keras
rezim militeristik Orba yang telah menciptakan keterpurukan Bangsa dengan
menghamba pada kepentingan imperium modal asing.
Wiji Thukul kini telah menjadi salah satu legenda dalam sejarah
politik pergerakan di Indonesia. “Hanya
Ada Satu Kata : Lawan !” merupakan penggalan larik salah satu puisinya yang berjudul
“Peringatan” telah menjelma ibarat kredo magis yang mampu membakar semangat bagi
kaum aktivis pergerakan rakyat. Hingga sekarang, Ide dan cita-citanya masih
terus hidup disuarakan lewat mulut-mulut manusia yang kian banyak membacai
sajak-sajak miliknya. Bahkan sketsa gambar wajahnya pun telah menjadi simbol
perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan para penguasa yang
menyengsarakan rakyatnya.
Dalam surat puisi yang dibuat untuk ulang tahun ke-90
Sosiolog ternama Belanda yang punya perhatian besar bagi emansipasi rakyat
Indonesia, WF Wertheim pada November 1997, Wiji Thukul menegaskan posisinya
dengan berkata ;
Waktu mataku ditendang tentara dalam
pemogokan buruh, dalam hati aku bilang mereka lebih ganas dari serigala.. Waktu
aku jadi buronan politik karena bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik,
namaku diumumkan di Koran, rumahku digrebek, biniku diteror..
diinterogasi..diintimidasi, anakku 4 tahun melihatnya!, masihkah kau
membutuhkan perumpamaan untuk mengatakan : AKU TIDAK MERDEKA.
Spiral Kekerasan
Fenomena dihilangkannya Wiji Thukul beserta pahlawan
reformasi lainnya, barangkali bisa terjelaskan melalui teori spiral kekerasan,
dimana kekerasan akan terus melahirkan kekerasan lainnya yang dicetuskan oleh
tokoh kemanusiaan Dom Helder Camara (Resist Book, 2005). Ia menerangkan bahwa dalam
peradaban manusia selama ini, persoalan terbesar yang selalu memicu konflik
adalah ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan tingkatannya. Di negara dunia
ketiga seperti Indonesia, ketidakadilan yang paling nyata dan mempengaruhi
jutaan manusia adalah rendahnya taraf hidup yang tergolong dalam kondisi sub-human. Kondisi ini tidak lain adalah
kemiskinan struktural, yang punya kemampuan membunuh massal sama efektifnya
dengan perang, bahkan lebih dari itu kemiskinan menyebabkan kerusakan fisik,
psikologis, dan moral yang sangat akut dan berkepanjangan.
Fenomena ketidakadilan seperti inilah yang menurut Camara
merupakan bentuk kekerasan paling utama dan mendasar. Kekerasan ini semakin terpelihara
dan dimapankan oleh sistem hidup kapitalisme yang memberi privillage atau hak istimewa kepada segelintir golongan saja, sementara
mayoritas orang akan bertahan hidup hanya jika mereka bekerja sekeras mungkin. Dalam
proses berikutnya, situasi ini kian memburuk dan akan menciptakan kekerasan
yang berikutnya yakni pemberontakan.
Pemberontakan nyaris selalu menjadi keniscayaan yang tercipta
atas dasar ledakan harapan memenangkan masa depan dunia yang lebih adil dan
manusiawi. Pemberontakan paling potensial dilakukan oleh kaum tertindas itu
sendiri karena mereka yang paling merasakan sakitnya, namun jika rakyat sudah
jatuh dalam fatalisme karena putus harapan setelah coba berjuang, maka kaum
muda lah yang akan bangkit membuat pemberontakan. Kaum muda adalah kekuatan
dari idealisme yang lapar akan keadilan dan haus akan otentisitas, mereka
cenderung mengadopsi ideologi-ideologi radikal dan berani melakukan protes
keras.
Ketika konflik meletus dan semakin meluas sampai ke
jalan-jalan, para penguasa akan menganggap dirinya wajib menjaga dan memulihkan
ketertiban umum. Sayangnya upaya mereka justru menciptakan kekerasan
berikutnya, yakni represi penguasa. Logika kekerasan yang dianut pemerintah selalu
merenggut korban yang tidak sedikit dan memilukan. Begitulah yang terjadi di
Indonesia saat itu, dimana rasa penat rakyat tertindas berpadu dengan keresahan
kaum muda telah menjelma menjadi sebuah pemberontakan terhadap penguasa lalim
yang berdarah dingin, hingga akhirnya dobrakan reformasi negeri harus dibayar mahal
dengan dihilangkannya Wiji Thukul serta pahlawan lainnya.
Melanjutkan Perjuangan
Tentu saya tak bermaksud mengajak kita menerima begitu saja
keadaan ini, justru saya mencoba mengajak kita semua untuk tidak sekedar rutin
mengenang mereka yang tewas atau hilang sebagai martir perubahan. Lebih jauh,
saya begitu mengagumi, terinspirasi dan berharap lebih dari semua perjuangan
penuh pengorbanan ini, tapi saya yang berasal dari generasi pasca reformasi 98,
tentu punya jarak cukup jauh untuk mengetahui persis situasi heroik masa itu,
hingga menjadi sulit untuk memiliki perasaan duka yang begitu dalam dan nyata
atas kehilangan kawan seperjuangan seperti para pahlawan tersebut.
Dalam hal ini saya bermaksud mengapresiasi sekaligus
menanggapi berbagai upaya serius dari banyak kalangan yang semakin berani
terbuka menyatakan solidaritasnya menolak lupa pada sejarah kelam negeri dan
menuntut pertanggungjawaban penguasa. Harus diakui bahwa kita yang peduli
dengan persoalan ini tak boleh menyerah dan berhenti berjuang, mengingat
penguasa masih bergeming dan masyarakat pun semakin lupa tak acuh. Belakangan
semakin banyak dan mudah kita temui karya intelektual berupa buku maupun film
dokumenter yang mengusung tema ini, khususnya kisah Wiji Thukul sebagai zoom in utama dalam menyoroti persoalan
sejarah yang lebih luas dan kompleks.
Yang terbaru di tahun ini adalah liputan khusus majalah TEMPO
edisi Mei 2013 yang sudah dibukukan oleh penerbit KPG dengan judul “WIJI THUKUL
; Teka Teki Orang Hilang”, bahkan juga sudah disiarkan berupa film drama
dokumenter di channel TV One. Hanya saja, saya sedikit kecewa karena menangkap
ada pergeseran semangat dalam berbagai upaya cemerlang pemberitaan Wiji Thukul
yang tak pernah pulang ini. Sebagai penerima informasi, saya merasa semuanya
ini seolah hanya bicara soal empati kemanusiaan (HAM) an sich, dan telah mencerabut substansinya, yakni perlawanan pada
kesewenangan kekuasaan.
Bahkan dengan agak curiga, saya merasa telah terjadi
penyelewengan makna dimana ada kepentingan media industrial sebagai pemilik hak
siar untuk menggiring persepsi publik ke efek jera, bahwa fenomena sejarah
pergerakan politik kaum tertindas sebagaimana yang Wiji Thukul lakukan ini
adalah sebuah kesalahan besar yang patut disesalkan karena hanya akan
melahirkan kesia-siaan bahkan kerugian yang tak ternilai harganya. Sedangkan
bagi saya, ada tujuan lain yang sama urgensinya dengan tujuan mengingatkan
sejarah kepada masyarakat, menuntut pertanggungjawaban negara, mendukung
keluarga korban, dan menghormati serta mengenang mereka yang tewas dan hilang.
Tujuan lain yang seharusnya tersampaikan itu adalah agar kita
sadar betul bahwa cita-cita mereka belum sepenuhnya tercapai, dan perjuangan
mereka pun harus terus kita lanjutkan hingga tuntas terwujud. Barangkali itu
pula yang menjadi harapan dari Wiji Thukul terhadap kita semua, sebab dari
karya puisi-puisinya selama menjadi pelarian buronan penguasa sejak akhir tahun
1996, tersirat bahwa ia sadar penuh akan
setiap ancaman dan konsekuensi dari perjuangannya menentang arus deras kesewenangan
dan ketidakadilan. Seperti dalam puisi berjudul “Habis Cemasku” ia menulis ;
Habis cemasku kau gilas, habis
takutku kau tindas, kini padaku tinggal tenaga mendidih ! segala telah kau
rampas, kau paksa aku tetap bodoh, miskin dan nelan ampas, kini padaku tinggal
tenaga mengepal-ngepal di jalan-jalan… aku masih tetap waras !
Sementara dalam puisinya berjudul “Ketika Datang Malam” ia
menulis ;
Aku rakyatmu, hidup di delapan
penjuru, kau tak bisa menangkapku, karena kau tak mengenalku, kau tak bisa
mendengarkanku karena ka uterus berbicara.. dengan mulut senapan.. kau tak bisa
menguburkanku, kau tak bisa menyembuhkan lukaku, karena ka uterus berbicara,
dengan tembakan dan ancaman, dan penjara.
Bahkan dalam puisinya yang dibuat pada 18 Juni 1997 ia
menulis ;
Puisiku bukan puisi, tapi kata-kata
gelap, yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan, ia tak mati-mati, meski
bola mataku diganti.. meski bercerai dengan rumah.. telah kubayar yang dia minta,
umur-tenaga-luka, kata-kata itu selalu menagih, padaku ia berkata, kau masih
hidup, aku memang masih utuh, dan kata-kata belum binasa.
Menarik Pelajaran
Wiji Thukul memang harus mampu kita apresiasi lebih dari
sekedar sebagai seorang martir perubahan, apalagi sekedar korban pelanggaran
HAM berat oleh negara otoriter yang tak tahu malu. Ia adalah manusia pembebas
zaman, perjuangannya yang begitu keras telah dibaktikan untuk negeri dan
bangsanya. Kita yang masih beruntung dan menikmati buah perjuangannya ini
haruslah malu kalau tak mampu mempelajari ilmunya, ya meski Wiji Thukul bukan
seorang intelektual kampus dengan sederet gelar akademik, tapi ia patut
dianggap sebagai cendekianya kaum melarat Indonesia.
Buah fikirnya yang terwujud dalam bait-bait sajak telah mampu
menggugah dan mencerahkan banyak orang, bahkan menginspirasi terciptanya
perlawanan rakyat. Upayanya mengamen puisi keliling di sekitar tahun 1986an telah
memupuk kepekaannya terhadap realitas penindasan, sejak saat itu ia meyakini
bahwa “Sastra punya kekuatan politik yang tak disadari dan dioptimalkan
pekerjanya, sastra itu berbahaya, dengan tidak tahu soal politik, kita mudah
saja dipermainkan, kita harus jadi pelaku, bukan objek, dan seniman harus
memperjuangkan gagasannya ini.” Tegas seniman kerakyatan dalam sebuah majalah.
Wiji Thukul hidup dalam tempaan belenggu kemiskinan dan hanya
bekerja jadi tukang pelitur meubel, tapi ia tidak pernah tinggal diam, mewakili
kaumnya ia merasa tersadarkan bahwa kemiskinan yang dideritanya disebabkan oleh
sistem hidup yang dikuasai oleh keserakahan segelintir kaum elit, dan kenyataan
pahit itu bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan rekayasa penguasa yang harus
didobrak. Untuk memahami gagasannya dengan baik, tak ada cara lain selain
mempelajari karya-karyanya serta perjalanan hidupnya. Kita bisa mencobanya
dengan membacai puisinya yang telah dibukukan, seperti dalam “Aku Ingin Jadi
Peluru” terbitan Indonesia Tera 2000/2004, atau “Para Jenderal Marah-marah”
terbitan TEMPO 2013.
Wiji Thukul dianugerahi penghargaan Wertheim Encourage Award
oleh Wertheim Stichting Belanda pada tahun 1991 di bidang sastra dan seni
teater sosial untuk jasa emansipasi rakyat Indonesia. Sejak itu ia makin menunjukkan loyalitasnya
pada perjuangan kaum tertindas, tahun 1992 pertama kali turut mengorganisir
masyarakat di kampungnya, Jagalan-Pucangsawit untuk memprotes pencemaran
lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo. Namanya semakin menggema
di jagat pergerakan, tahun 1994 diundang sebagai peserta Konferensi Serikat
Buruh Asia Pasifik di Perth, Australia, disana ia mementaskan drama perjuangan
buruh. Maka dimulailah petualangannya memperjuangkan kebebasan sipil melalui
demonstrasi jalanan di berbagai kota, hingga ia bersentuhan dengan beragam
sektor gerakan rakyat seperti kaum buruh, tani, dan mahasiswa yang semakin
memajukan kualitasnya.
Wiji Thukul menyadari akan pentingnya sebuah organisasi yang
solid sebagai alat perjuangan yang efektif, termasuk bagi para seniman. Karena
itu pada tahun 1994 bersama para seniman progresif lainnya seperti Semsar
Siahaan, Linda Christanty, Rahardja Waluya Jati, Hilmar Farid, Danial
Indrakusumah dan Moelyono, mendirikan organisasi Jaringan Kerja Kesenian Rakyat
(JAKKER) dan ia diminta menjadi ketuanya. Jakker mencoba membangun jaringan
yang dapat menghimpun para seniman progresif kerakyatan dari berbagai kota
untuk berposisi tegas sebagai oposan pemerintah. Selanjutnya ia turut aktif
berperan dalam pembentukan maupun perjuangan organisasi massa tingkat nasional
lainnya seperti Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Solidaritas Mahasiswa
Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Serikat Tani Nasional (STN).
Tahun 1995 Wiji Thukul harus menerima kebutaan mata sebelah
kirinya karena ditangkap, dipukuli dan dipopor oleh tentara setelah memimpin
demonstrasi pemogokan 14.000 buruh PT Sritex. Aksi massa ini boleh terbilang
fenomenal bagi gerakan protes di masa Orba, mengingat pemilik sahamnya adalah
Harmoko dan sederet jenderal Angkatan Darat yang tak pernah digugat sebelumnya.
Namun seperti dalam puisi yang ditulis pada November 1996 ia berkata ;
Kau lempar aku dalam gelap, hingga
hidupku menjadi gelap, kau siksa aku sangat keras, hingga aku semakin mengeras,
kau paksa aku terus menunduk, tapi keputusan tambah tegak, darah sudah kau
teteskan dari bibirku, luka sudah kau bilurkan ke sekujur tubuhku, cahaya sudah
kau rampas dari biji mataku, derita sudah naik seleher, kau menindas, sampai
luar batas.
Wiji Thukul memang tidak menyerah dan putus harapan, bersama
organisasi massa yang dipimpin kaum muda oposan rezim otoritarian Soeharto
lainnya, ia justru membangun organisasi payung lintas sektoral berbentuk partai
politik, yakni Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dideklarasikan pada 22 Juli
1996 di Jakarta. Namun sayangnya, lima hari setelah itu Pemerintah bereaksi semakin represif dan
mengkambinghitamkan organisasinya sebagai dalang kerusuhan, bahkan dicap
sebagai organisasi terlarang dan secara resmi dibubarkan paksa, para aktivisnya
diburu, ditangkap, dan disiksa.
Tapi sekali lagi, Wiji Thukul yang sudah resmi menjadi
buronan politik, bersama teman-teman PRDnya tetap terus bergerak melawan meski
harus dilakukan secara klandestin, dengan alur koordinasi yang disiplin dan
penuh penyamaran, serta dengan memunculkan komite-komite aksi spontan dan taktis.
Hingga akhirnya mereka mampu menyulut protes rakyat yang lebih luas dan
berujung pada tergulingnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan pada Mei
1998. Tapi ternyata hilangnya Wiji Thukul barulah disadari betul pada tahun
2000, setelah berbagai usaha pencarian dengan bantuan berbagai pihak bahkan
solidaritas internasional menghadapi jalan buntu.
Dari riwayat perjuangannya yang begitu pahit, kita semestinya
menangkap betapa ia merupakan pejuang rakyat melarat yang cita-citanya begitu
besar dan indah, perjuangannya begitu gigih dan tak kenal menyerah. Wiji Thukul
bukanlah sekedar korban pelanggaran HAM, dia merupakan cendekia pembebas
kaumnya, lewat puisi-puisinya kita bisa melihat betapa luas pengetahuannya,
betapa besar perhatiannya kepada berbagai persoalan penindasan yang dialami
mayoritas rakyat di negerinya, tentu ia bukanlah manusia terbaik yang Bangsa
ini miliki, tapi ia adalah sebuah lembaran penting dalam pelajaran sejarah
Indonesia kontemporer.
Barangkali inilah saatnya saya menyimpulkan, bahwa yang
terpenting dari mengetahui sosok Wiji Thukul sekarang ini adalah dengan terus
menghidupkannya dalam dunia kita, mempelajari gagasannya, dan menuntaskan
perjuangannya. Indonesia yang ia cita-citakan belumlah terwujud, Bangsa ini
masih terbelenggu oleh ekonomi politik gaya baru yang berjuluk
Imperialisme-neoliberal, para penguasa kita sibuk memperkaya diri dan
menggadaikan negeri kepada investor modal asing, anak-anak kita masih sulit
mengakses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, lapangan pekerjaan yang
layak pun masih menjadi misteri yang tak bisa dijawab.
Sebagai penutup, petikan
puisinya ini semestinya patut kita renungkan untuk menghargai Wiji Thukul lebih
besar lagi ;
Kutundukkan kepalaku, bersama
rakyatmu yang berkabung, bagimu yang bertahan di hutan dan terbunuh di gunung..
aku penyair mendirikan tugu, meneruskan pekik salammu, a luta continua..
Kutundukkan kepalaku, kepadamu kawan
yang dijebloskan ke penjara negara.. kepadamu ibu-ibu, hukum yang bisu telah
merampas hak anakmu.. Kita tidak sendirian, Kita satu jalan, Tujuan kita satu
ibu : Pembebasan !
Kutundukkan kepalaku, kepada semua
kalian para korban, sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk, Kepada penindas, tak
pernah aku membungkuk, aku selalu tegak.
(4 Juli 1997)
_________________
Bandar Lampung, 28 Agustus 2013.
*) Aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Lampung
Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila.
Dimuat di portal tikusmerah.com pada Jumat 6 September 2013
Sumber artikel : http://tikusmerah.com/?p=927
Dimuat di portal tikusmerah.com pada Jumat 6 September 2013
Sumber artikel : http://tikusmerah.com/?p=927
Tidak ada komentar:
Posting Komentar