Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Minggu, 17 April 2016

Opini : Tamparan Sosial Kasus Dwiki Sopian


Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo*

Persisnya Senin, 7 Maret bulan lalu, Dwiki Dwi Sopian remaja 16 tahun yang masih mengenyam bangku kelas 2 SMK di Kota Bandar Lampung ditemukan tewas bersimbah darah di sisi Jalan Raden Imba Kesuma, Sumur Putri, Teluk Betung Selatan. Pihak kepolisian menangkap lima orang pelaku yang mirisnya masih sekisaran usia, bahkan motifnya pun sangatlah sederhana, tersinggung dalam pusaran kesalahpahaman.
Darah Muda, Darah Dingin
Pameo klasik memang menerangkan, darah orang muda terlalu mudah memanas, tetapi darinya juga kerap muncul kecerobohan dan kenakalan yang kelak ikut mendewasakan. Namun, apakah dalam kasus Dwiki, simplifikasi ini layak diberlakukan? Mari ketuk lebih dalam lagi hati nurani dan akal sehat yang ada untuk bisa menjawabnya.
Berdasar uraian kronologis kepolisian atas bukti-bukti dan pengakuan para tersangka, dapat dipahami betapa peristiwa memilukan ini bukan kasus kriminal biasa, bahkan juga tak semata tindakan spontan, apalagi kekhilafan yang bisa dimaklumi begitu saja. Ini jauh lebih buruk, dan boleh jadi hanyalah sepucuk penampakan fenomena gunung es yang tak akan mungkin terukur jika terus diabaikan.
Dengan total 107 luka tusukan benda tajam, dan runtutan adegan pembunuhan yang terjadi, peristiwa ini sangat pantas disebut sadistis. Menghujamkan benda asing ke tubuh seseorang sekali saja, dengan alasan apapun, semestinya langsung menimbulkan keguncangan batin dan rasa bersalah yang teramat sangat. Sebaliknya, pelaku justru kehilangan akal dan nurani kemanusiaannya sama sekali, entah apa yang ada di benak mereka saat itu.
Prinsipnya ini sama sekali tak boleh direspon hambar, terlebih dilakukan oleh anak-anak remaja yang dipundaknya terdapat masa depan kehidupan bangsa. Semoga tercapailah rehabilitasi mental para tersangka selama terhukum nanti. Tapi yang pasti jangan biarkan ini terus terduplikasi, menggejala hingga menggusur pandangan umum bahwa darah muda yang sekedar berdarah panas, menjadi darah muda yang juga berarti penjahat berdarah dingin.
Sepenuh jiwa harus diyakini bahwa di luar sana, jutaan remaja Indonesia menjalani hidup dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. Tetapi harus diakui tak sedikit yang terjerembab dalam kehidupan yang menanggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Banyak diantaranya yang tak menyadari batas-batas kenakalan, atau justru menjadi korban orang-orang dewasa yang biadab. Kepada merekalah kepedulian harus dicurahkan dengan tegas.
Kita Bertanggung Jawab?
Para tersangka mutlak bersalah dan pantas menghadapi tuntutan 10 tahun penjara, karena perilaku sadistis tak pernah boleh ditolerir. Tetapi mereka juga remaja yang sebagian besar imajinasinya dibentuk secara sosial oleh masyarakat. Segala fenomena patologis atau penyimpangan adalah juga tanggung jawab kolektif segenap entitas di lingkungan sosialnya. Entah mengapa di zaman yang serba tanpa sekat komunikasi ini, justru semakin sering kebobolan, dan lumpuh menjalankan fungsi kontrol sosial.
Tentu saja ini bukanlah kasus sadisme yang pertama  atau satu-satunya, baik di kota ini maupun wilayah Indonesia lainnya. Justru karena sudah terlalu banyak rentetan kasus kekejaman manusia terhadap sesamanya yang terkuak di negeri ini. Maka sudah seharusnya kasus ini menjadi gelegar bunyi gong bagi kita semua, yang menandakan peringatan betapa harus diakhirinya semua tragedi ini demi cita-cita peradaban yang mulia.
Tewasnya Dwiki, semestinya pula diposisikan sebagai tamparan yang menunjukkan telah nyaris musnahnya ikatan kolektif masyarakat Kota Bandar Lampung. Benar memang secara teoritis kecenderungan watak sosial masyarakat perkotaan ialah terfragmentasi. Terbelah-belah menjadi ikatan dalam komunitas-komunitas terkecil, seperti hanya di lingkaran keluarga intinya, atau justru hanya terhadap dirinya sendiri, di luar itu semua pintu kepedulian ditutup rapat.
Namun, itu bukanlah sebuah postulat yang tak perlu diuji lagi kebenarannya secara empiris. Ingatlah bahwa sudah menjadi hakekat dari umat manusia, untuk bisa mempertahankan hidupnya, hanya jika ia sadar akan pentingnya membangun relasi dan ikatan sosial yang saling menguntungkan. Maka bukanlah hal mutlak jika kehidupan masyarakat kota itu harus berasaskan individualisme dan melunturkan semua karakter kolektifnya.
Sebagai bangsa yang mengaku dirinya beradab, maka kita semua harus tegas menghidupkan api kepribadian dalam berkebudayaan. Indonesia bukanlah bangsa penganut azas kebebasan yang kebablasan. Sejak awal pembentukan identitasnya, telah diserap nilai-nilai luhur dari segala ragam budaya lokal di negeri ini, bahwa kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi azas kemerdekaan, yakni kebebasan yang bertanggung jawab.
Cukup sudah, mulai saat ini jangan lagi kita saling mengabaikan, tak peduli hidup di pedesaan apalagi perkotaan. Kematian Dwiki dan manusia Indonesia lainnya oleh tangan keji saudara sebangsanya sendiri hanya bisa diakhiri jika kita kembali memperkuat ikatan sosial. Kepedulian dan solidaritas adalah hukum kehidupan yang mutlak harus kita jalani kembali dengan penuh kesadaran. Tabik!
Terbit di portal SATU HARAPAN.Com, Rabu, 13 April 2016.

Sabtu, 19 Maret 2016

Friksi : Malas Membaca itu Memalukan, Sungguh!

Semakin berusaha agar dapat sebanyak mungkin melahab bacaan, justru malah dihantarkan pada rasa malu yang teramat sangat. Betapa cetek dan malasnya diri ini, hingga menapaki usia lebih dari seperempat abad, masih saja dirundung kedunguan. Segala kemudahan sudah diberikan oleh zaman, tapi persoalannya tetap berkisar pada pribadi yang tak tahu diuntung.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang melegenda itu mengisahkan pengalamannya yang pilu di masa awal menempa diri sebagai seorang penulis. Ini dituangkan pada naskah catatannya semasa menjadi korban kebiadaban Rezim Orde Baru Indonesia sebagai tahanan politik sekitar 14 tahun lamanya. Kumpulan seluruh naskahnya itu kemudian terbit sebagai buku memoar sejarah Pulau Buru dalam dua jilid berjudul “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”.
Dalam buku jilid kedua, bab 5 yang berjudul “Antek Jepang”, Pram mengisahkan dirinya yang masih menginjak usia 17 tahun. Ketika itu balatentara Jepang sudah menduduki wilayah jajahan berjuluk Hindia Belanda alias Indonesia ini. Pram yang baru saja lulus dari sekolah perakitan radio di Surabaya tanpa pernah menerima ijazah itu juga baru kehilangan ibunya yang wafat karena TBC.
Anak sulung keluarga Toer ini akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menumbuhkan kembali harapan hidupnya yang nyaris pupus. Untuk pertama kalinya, Pram dan adiknya Prawito menginjakkan kaki ke pusat peradaban negeri, Jakarta. Sekali lagi ia pergi meninggalkan tanah kelahirannya, blora Jawa Tengah untuk menimba pengetahuan juga pengalaman dalam kehidupan.
Pram yang ikut tinggal bersama keluarga pamannya Moedigdo itu beruntung bisa mendapatkan pekerjaan sebagai juru ketik di kantor berita Domei milik Jepang, dengan hanya bermodal keterampilan mengetik dua ratus huruf dalam waktu semenit. Keterampilannya itu diraih secara otodidak tiga minggu sebelumnya, dengan menggunakan mesin tulis telegram milik Taman Siswa.
Di Jakarta, Pram yang pernah dinyatakan bodoh semasa pendidikan dasar di kota kelahirannya itu akhirnya juga punya harapan untuk bisa kembali mengenyam pendidikan lebih tinggi, ia terdaftar sebagai siswa Sekolah Menengah Pertama Taman Siswa. Meski kemudian ternyata sekolah ini pun dibubarkan oleh pihak Jepang saat dirinya baru duduk di bangku kelas dua, dan itulah pula jenjang pendidikan formal tertinggi yang dicapainya semasa hidup.
Keluarga Pram memang termasuk kalangan yang berpendidikan lagi terhormat secara sosial. Ayah dan Ibunya keturunan priyayi, dan aktivitas menulis, membaca, menimba ilmu pengetahuan bahkan melekat sebagai identitas dari keluarga Toer yang dikenal sebagai pendiri dan pengurus sekolah Boedi Oetomo yang berwawasan anti kolonial di wilayah Blora.
Tetapi latar belakangnya itu nyaris tidak serta merta berguna sebagai bekal hidup di kota sebesar Jakarta kala itu. Pram harus menghadapi keadaan betapa dungunya ia yang tak banyak tahu tentang apapun. Secara berangsur, Jakarta menempa Pram untuk mulai meninggalkan pengaruh kebudayaan Jawa dan menjadikannya seorang Indonesia sepenuhnya.
Pram mengagumi guru bahasa Indonesianya yang sudah sepuh bernama Mara Soetan, gurunya yang juga penulis itulah yang pertamakali mengenalkan wawasan kebangsaan dan banyak rujukan bacaan yang bagus. Selain itu ada pula Darmawidjaja, redaktur Koran Asia Raya yang mengajar sejarah di sekolahnya, guru yang ini telah menggerakkan minat untuk mengetahui lebih banyak lipatan riwayat perjalanan bangsanya.
Lantaran pengaruh kedua guru inilah Pram merasa wajib meninggalkan rumah di setiap datangnya hari minggu. Ia datangi Perpustakaan Museum untuk dapat membacai buku-buku lama, meski ia harus memaksakan diri karena terbatasnya kemampuan berbahasa Belanda.
Kantor berita Domei tempatnya bekerja juga banyak membantunya, hidupnya mulai menyatu dengan persebaran pengetahuan. Pram menyebut pengalamannya itu ibarat tamasya ke sebuah negeri asing yang menyenangkan, dimana setiap orang yang ditanyai akan memberikan jawaban sebagai sesama, ia dapatkan banyak pengetahuan yang tak ada pada teman-teman, guru, maupun buku-buku kamus.
Setelah bulan keempat bekerja dan digaji penuh, ia paksakan dirinya untuk membeli empat macam kamus terbitan Wolters, itupun masih harus ditambah dengan uang dari penjualan cincin pemberian mendiang ibunya. Tapi dengan lugunya ia bangga dan merasa bagaikan orang penting dan pandai karena dapat membawa pulang kamus-kamus yang indah itu untuk memperpanjang rak perpustakaannya di rumah.
Kemudian Pram sepenuhnya menyadari sesuatu: “Semakin banyak orang membaca, semakin tahu bahwa terlalu banyak yang belum dibaca, makin banyak aku ketahui bahwa terlalu banyak yang tidak aku ketahui.” Katanya.
Dalam diskusi-diskusi sastra di hari libur sekolah, diketahuinya betapa teman-temannya punya pengetahuan yang sama sekali tidak pernah ia ketahui, Pram hanya bisa membuka kuping selebarnya dan mulut ternganga-nganga ketika mendengarkan Sandjaja bicara tentang Victor Hugo, Asrul Sani tentang Heinrich Heine dan Stylistika.
Pram memang masih terlalu banyak tertinggal saat itu, Asrul Sani pernah terbahak-bahak menertawai tulisannya yang menggunakan kata ‘padang’ sementara yang dimaksudkan adalah ‘terang’. Begitupun ketika ia beberapa kali mencoba menulis feature, orang-orang dewasa di tempatnya bekerja hanya melontarkan senyuman yang dirasa meremehkan.
Tapi Pram tak mau semakin terpuruk, ia melawan dengan melahab buku-buku Moh. Hatta tentang Filsafat, Koperasi, dan tentang Kapitalisme. Ini membuatnya merasa lebih unggul dari teman-temannya itu, juga dari wacana pengetahuan di tempat asalnya yang masih sangat berbalut kegaib-gaiban.
Akses bacaan Pram saat itu sangatlah terbatas, tentu ini jauh berbalik dengan keadaan kita saat ini yang berhamburan tak termanfaatkan. Ia hanya dapat membaca buku yang dibeli dari toko Balai Pustaka dan dari toko buku bekas yang bernama Indonesia Sekarang, atau mengunjungi Perpustakaan Museum. Tapi itu semua tidaklah sederhana jika kita mau membayangkan situasinya.
Begini Pram mengenangkan kisahnya:
… Bila pergi ke toko buku Balai Pustaka, dan melewati gedung Konkordia, yang kemudian jadi gedung parlemen, dari ruji-ruji besi ruangan bawah tanahnya selalu terdengar suara tawa cekikikan dari wanita-wanita muda dalam pelukan serdadu Jepang.
Bila membaca di ruangan Perpustakaan Museum, yang terdengar adalah rantai besi yang dikerek, dan raungan orang yang dianiaya Kampeitai. Di sebelah kanan Museum adalah Markas Besar kapeitai-polisi militer Jepang. Setiap raungan demikian semua pembaca mengangkat kepala, dan orang pun pada berpandang-pandangan, dan bila pekikan “ampun, Tuan” mereda, orang mulai membaca lagi, dan begitu seterusnya …
Maka, kita anak bangsa Indonesia yang sudah mencapai kemerdekaan politik selama 70 tahun lebih ini, sepatutnya malu, semalu-malunya jika masih saja menyibuki diri untuk menolak membaca ilmu pengetahuan.
--------
Bandar Lampung, 19 Maret 2016.
Dari buku “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” Edisi Pembebasan, terbitan Hasta Mitra, Jakarta, September 2000.