Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Rabu, 02 Desember 2015

Opini : Bahaya Gagal Paham Budaya Selfie


----------------------------------
Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo
Peminat kajian sosial-politik
Terbit di harian cetak FAJAR SUMATERA, Selasa 1 Desember 2015.
----------------------------------------

Seorang siswi SMP bernama Mita Cahyati (14) ditemui dalam kondisi meninggal dunia akibat hanyut terseret arus deras Sungai Cimanuk di wilayah Cibatu, Garut,  Jawa Barat. Ia terpeleset saat sedang asyik berfoto bersama lima orang rekannya (Patroli Indosiar, 22/11). Kehadiran berita duka ini semakin  menggenapi berbagai fakta ironis lainnya dari trend berfoto selfie, yang sebenarnya dimaksudkan untuk tebar pesona namun justru berbalik menjadi bencana.

Tahun 2015 ini saja, di Indonesia sudah banyak tercatat, yakni pada 20 Februari di Madiun, Jawa Timur, Tomi Luki Saputra (17) tewas tersambar kereta api saat sedang selfie bersama empat orang temannya tepat di sisi jalur rel aktif. Kemudian 16 Mei, Eri Yunanto (21) tewas terperosok ke dalam kawah Gunung Merapi, Yogyakarta saat berfoto di puncak batu Garuda. Terakhir 6 Oktober, Andreas Stefani (28) juga tewas saat ber-selfie sambil terjun ke Curug Grenjang, Banyumas, Jawa Tengah sedalam 8 meter akibat kram di kaki.

Data ini belum ditambah dengan berbagai aksi foto selfie merugikan lainnya. Seperti kasus foto memamerkan hasil buruan hewan liar dilindungi yang diunggah ke media sosial, hingga berujung penangkapan oleh pihak kepolisian. Ini dialami Ida Tri Susanti (20) di Jember, dengan foto kucing hutan yang hendak dimasak sebagai hidangan keluarga. Atau kasus tersebarnya foto telanjang ke ruang publik, seperti dialami seorang Brigadir Polisi Wanita berinisial RS di Lampung tahun 2013 lalu.

Buah Narsistik-Individualisme

Bahkan salah satu media digital terpopuler di dunia, The Huffington Post pun melansir data survey dari lembaga Conde Nast Traveler, ternyata di tahun ini insiden selfie lebih banyak menewaskan manusia ketimbang serangan hewan buas liar ( Huffingtonpost.com, 23/9). Problem ini memang sudah menjadi perhatian serius di mata dunia, semisal negeri Rusia yang sejak awal Juli sudah aktif melakukan kampanye rambu-rambu khusus larangan berfoto selfie di berbagai lokasi keramaian publik.

Selfie atau swafoto berarti penggunaan kamera untuk mengambil potret diri sendiri dengan mengarahkan oada tubuh maupun cermin. Tahun 2013, istilah ini diumumkan sebagai Word Of The Year dan resmi masuk dalam Oxford English Dictionary versi daring, yang semula dipergunakan di Australia untuk menyingkat perkataan self fotography. Kemudian dikenal juga istilah groufie singkatan dari group selfies untuk aksi swafoto berkelompok. Namun dalam perkembangannya di Indonesia, istilah selfie-lah yang lebih awam digunakan untuk merangkum segala bentuk aktivitas berfoto narsistik.

Sebagai fenomena sosial,  selfie tak bisa disepelekan dalam budaya kontemporer bangsa kita. Selain mengandung resiko, juga karena mulai menjadi bagian dari gaya hidup semua orang yang akrab dengan parangkat teknologi. Terlebih di era komunikasi digital sekarang ini, dunia sepertinya sudah tak lagi mengenal batasan apapun, dan manusia semakin terpacu untuk terus saling terhubung lewat beragam fasilitas jejaring media sosial yang serba memudahkan.

Padahal sesungguhnya fenomena ini merupakan buah nyata dari budaya narsistik-individualisme yang telah merasuk begitu dalam. Di mana setiap orang menjadi kecanduan untuk terus meng-update eksistensi diri mereka di hadapan publik virtual. Padahal apa yang ditampilkan sebenarnya nyaris selalu bersifat semu dan ilusif, jauh dari kenyataan. Tak lain, perilaku selfie ini lebih banyak dimotivasi oleh hasrat beradu gengsi inter-personal, yang juga diyakini sanggup turut mendongkrak status sosialnya.

Sigmund Freud (1914) seorang pakar psikoanalisa yang pertamakali mengemukakan narsisme sebagai rasa kagum yang berlebihan terhadap diri sendiri, dilatari oleh egoisme akut yang haus kepuasan akan imajinasi bahwa dirinyalah yang paling sempurna, dan bisa mengarah pada megalomania atau malah psikopat. Jelaslah mengapa dalam kadar tertentu, perilaku selfie dapat menjadi sebuah personality disorder atau gangguan kepribadian dan mental yang harus segera diatasi jika tak ingin berdampak buruk.

Sebagaimana teori dramaturgi yang dilontarkan sosiolog Erving Goffman (1959) bahwa budaya individualisme memang mengarahkan interaksi sosial manusia disesaki oleh sandiwara nyata. Realitas kehidupan hanyalah panggung-panggung teatrikal dimana setiap orang yang mengisinya selalu berusaha memainkan peran seideal mungkin di hadapan publik agar merasa diterima. Padahal sangat memungkinkan bahwa itu semua tidak sesuai dengan kenyataan dirinya di balik panggung, dengan demikian musnahlah sudah kejujuran dan kemanusiaan itu.

Berfoto Dengan Kesadaran

Kecenderungan seperti inilah sebenarnya yang harus segera dipahami bersama, dan tentu agar segera diwaspadai. Terutama bagi setiap orang dewasa yang secara moral turut bertanggungjawab langsung terhadap masa pertumbuhan mental anak-anak, remaja dan dewasa madya pada khususnya. Sebab pada rentang usia itulah manusia masih begitu rentan dan mudah terlena, kurang mawas diri terhadap segala potensi marabahaya di sekitarnya.

Tentu setiap orang berhak untuk mengejar dan menangkap momen penting apa saja, sesuai keinginannya, selagi tidak mengusik orang lain. Namun, hendaklah pula  setiap orang Indonesia menyerap prinsip eling lan waspodo yang sejak lama diajarkan dalam masyarakat kita. Betapa hidup harus dipastikan berjalan dalam keadaan sadar dan awas terhadap segala hal, dengan menghindari sikap abai yang bisa menjerumuskan pada masalah.

Kesadaran sosial itulah yang mulai hilang memudar dari perilaku keseharian orang Indonesia, lantaran individualisme yang sejak dahulu diyakini sebagai musuh kebudayaan kini malah semakin diagungkan. Semestinya sebagai bagian dari bangsa yang besar secara kuantitas, haruslah meningkatkan kualitasnya, termasuk dengan cerdas menggunakan teknologi. Utamakanlah publikasi foto yang bermanfaat bagi publik, sekalipun tetap berkisah seputar diri dan pengalaman pribadi.

Maraknya jargon no pict hoax di jagat maya pula, telah mendorong para netizen untuk aktif mengunggah segala foto demi meraih predikat terpercaya, padahal motif kepalsuan tetap saja merajalela. Padahal esensi kebenaran bukan hanya berkutat pada pembuktian empiris yang berkacamata kuda, melainkan juga pada suatu kesepahaman alam pikir karena kejujuran dan rasa saling mempercayai tumbuh sebagai etos kehidupan.

Harus sangat disadari pula bahwa tidak semua hal itu harus dan layak untuk dipamerkan, sebab tak semua orang pula berkenan memahami sesuai dengan yang dimaksudkan. Ayo budayakan kembali kehidupan bangsa Indonesia yang berbijaksana, dan mulailah tradisi berfoto dengan penuh kesadaran. Tabik!

----------------


Kamis, 26 November 2015

Opini : Persimpangan Jokowi, Negara, dan Anak Dalam



----------------------------------
Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo
Peminat kajian sosial-politik
Terbit di portal SATU HARAPAN, Senin 23 November 2015.
----------------------------------------
SATUHARAPAN.COM - Terasa indah sekali melihat foto-foto yang merekam aktivitas Presiden Joko Widodo yang, dengan bersahaja, bercengkrama bersama beberapa warga Suku Anak Dalam. Begitulah adanya, Pak Jokowi pada Jumat 30 Oktober 2015 lalu menorehkan rekor sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama kali mengunjungi langsung warga SAD di tempat tinggalnya di pedalaman Jambi, tepatnya wilayah Air Hitam Kabupaten Surolangun. Bahkan untuk tujuan itu, ia harus menaiki helikopter Super Puma dilanjut perjalanan darat dengan mobil Landcruiser.
Inilah alasan yang memadai untuk menaruh hormat pada sosok Jokowi. Sejak awal karir politiknya, kepribadiannya nyaris tak berubah kecuali berkembang. Darinya kita bisa menatap sikap sahaja yang alami, berbeda dengan gaya mainstream elit-elit politik lainnya yang penuh kesan rekayasa dan dramatikal. Caranya yang lebih suka melakukan kerja lapangan untuk menatap realitas sedekat mungkin memang patut diapresiasi, sebab kita semua juga percaya itu salah satu trik jitu untuk memahami kenyataan.
Namun, bukan berarti Jokowi telah sukses menjelma pemimpin yang tanpa cacat dan bercela. Toh dalam satu tahun memimpin, muncul banyak kebijakan yang bukan hanya tidak populis dan disenangi rakyat, melainkan tidak dikehendaki dan malah memberatkan kehidupan rakyatnya. Fakta ini semestinya menyadarkan kita semua, betapa menjadi pribadi yang baik saja tidaklah cukup untuk mewujudkan kepemimpinan ideal bagi bangsa Indonesia yang sebesar ini.
Orang – Orang Kalah
Kembali ke pokok, informasi yang disiarkan oleh media massa menyebut bahasan utama dalam pertemuan singkat presiden dengan warga SAD, ialah tawaran rumah gratis dari negara agar mereka bisa hidup menetap. Ini memang bukan ide baru, sejak pemerintahan sebelumnya program pembangunan rumah tinggal bagi komunitas adat terpencil sudah bergulir. Tetapi justru di sinilah letak persoalannya, sepertinya dibutuhkan sebuah upaya peninjauan kembali yang lebih reflektif atas kebijakan ini.
Mirisnya, kedatangan Presiden kemarin ternyata bukan di pedalaman hutan alami, melainkan lahan perkebunan sawit milik korporasi. Diketahui bahwa sebelumnya Jokowi mendengar selentingan kabar adanya beberapa kelompok SAD yang melakukan tradisiMelangun, berpindah dalam waktu lama, namun karena areanya sudah berubah homogen, mereka menghadapi kesulitan bahan pangan dan air bersih hingga berakibat 11 orang diantaranya tewas. Sebab itulah negara menunjukkan itikadnya untuk hadir dan menjawab serta menuntaskan persoalan.
Tapi dalam perspektif James C. Scott (1985), apa yang sebenarnya dilakukan oleh warga SAD bukanlah sekedar berangkat dari naluri kehidupan nomadennya. Lebih dari itu harus dipahami sebagai bentuk perlawanan teramat nyata, yang disebut sebagai senjatanya orang-orang kalah. Cukup eksplisit rasanya bahwa memilih tinggal menetap di areal perkebunan sawit adalah ekspresi protes yang paling mungkin dilakukan, sekalipun bertanggung resiko kematian.
Harus disadari, sesungguhnya warga SAD adalah orang-orang yang telah dikalahkan. Kalah bukan hanya karena budayanya dikategorikan primitif yang penuh konotasi keterbelakangan bagi zaman modern yang berprinsip serba percepatan ini. Mereka kalah karena dipandang sebagai “the other” yang secara sengaja telah diabaikan eksistensi dan hak hidupnya. Sejak ratusan tahun lalu, ruang hidup sejatinya adalah belantara hutan rimba, yang kekayaan hayatinya selalu memadai kebutuhan berburu dan meramu.  
Sedangkan saat ini, ruang hidup itu sudah nyaris habis dikoyak oleh beringasnya ekspansi korporasi perkebunan. Bahkan jika masih ada yang sudi mengingat, dalam beberapa tahun belakangan tercatat sudah dua kali perwakilan dari beberapa kelompok SAD nekat melakukan aksi jalan kaki sampai Ibukota Negara, hanya untuk menuntut keadilan atas hak atas tanah ulayat mereka yang dikuasai oleh PT. Asiatic Persada. Seorang warganya yang bernama Puji bahkan harus tewas dalam keadaan terborgol sesaat setelah “diculik” pamswakarsa perusahaan yang dibekingi aparat (Tempo.co 6/5/2014).
Apakah semua perjuangan itu berhasil? Sayangnya tidak, dengan pergantian kepemimpinan nasional dan tumpang tindihnya koordinasi pemerintah di daerah, yang terang benderang hanyalah fakta ironis sebagaimana terungkap dalam laporan Mongabay-Indonesia tahun lalu. Bahwa dari kisaran luas perkebunan kelapa sawit di Jambi yang mencapai 574.514 hektare, 40% nya adalah area jelajah ulayat warga SAD yang telah dialihkan secara legal meski hanya sepihak.
Pembangunan Emansipatoris
Sudah jadi rahasia umum bahwa kelapa sawit adalah jenis tanaman perkebunan yang layak disebut sebagai “predator air” dan tentu saja jika proses peralihan hutan alami menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) semakin homogen pada komoditas ini, hanya akan berujung pada kerusakan parah ekosistem. Sayangnya pemerintah kita, baik di pusat, daerah, kementerian dan departemen, legislatif, bahkan yudikatif pun terlampau mudah khilaf dan hanyut dalam logika investasi tanpa mempertimbangkan konsekuensi terburuknya.
Inilah potret buram yang sialnya pun hanya secuil dari kenyataan kelu, bahwa situasi tak jauh berbeda dialami juga oleh ratusan komunitas adat terpencil di belahan lain bumi Nusantara. Seolah merekalah yang bersalah karena tak mau tunduk pada hukum besi modernitas yang menyilaukan. Jika memang sense of humanity yang dimiliki rezim hari ini tak seilusif sebelumnya, ia harus berani merubah paradigma dalam membangun bangsa ini.
Semangat pembangunan semestinya berwatak emansipatoris alias memerdekakan, dengan begitu ia selalu bervisi pembebasan dari segala belenggu penindasan agar dapat menggapai kebahagiaan material dan spiritual. Dalam konteks inilah, Negara kembali mendapatkan momentum ujian dari rakyat, bisakah ia berpikir dan bertindak adil dengan pendekatan kebudayaan yang tepat, atau malah bersikukuh memakai logika korporasi yang hanya menginginkan solusi instant mengusir hama penghambat akumulasi profit?
Penulis adalah alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung, atif di Liga Mahasiswa National untuk Demokrasi (LMND)
Editor : Trisno S Sutanto

Jumat, 13 November 2015

Resensi : Analisa Materialisme Sejarah Peristiwa G30S 1965



Dalam acara bedah buku Ketika Sejarah Berseragam di kampus Universitas Lampung, Rabu 30 September 2015 lalu, saya termenung mendengar pernyataan seorang pembicaranya, Soeyanto,Ph.D. Kurang lebih begini: “Sebenarnya saya sudah lelah menjelaskan peristiwa G30S, saking terlalu kentalnya pembodohan Orde Baru, capek menjelaskan pada banyak orang dableg yang cuma mau mendengar kisah versi negara dan kakek-neneknya yang kepalang anti PKI karena cari selamat. Makanya sekarang ini memang tak tepat kalau pemerintah RI terburu-buru minta maaf pada korban penumpasan PKI oleh Soeharto Cs yang brutal itu, karena sebaiknya yang diutamakan itu memperbanyak dulu kebenaran di dalam buku-buku sejarah kita yang penuh kebohongan.”

DATA BUKU Judul : MATERIALISME SEJARAH PERISTIWA GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965 Penulis : Harsa Permata Penerbit : Yogyakarta, Elpueblo Tritama Mandiri, 2015 Halaman : v + 95; 15 x 20 cm ISBN : 978-602-14327-5-4
DATA BUKU
Judul : MATERIALISME SEJARAH PERISTIWA GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965
Penulis : Harsa Permata
Penerbit : Yogyakarta, Elpueblo Tritama Mandiri, 2015
Halaman : v + 95; 15 x 20 cm
ISBN : 978-602-14327-5-4
Sedikit banyak saya bersepakat dengan pendapat itu, dan beruntungnya gayung pun bersambut. Sepulang acara, saya mendapat informasi terbitnya sebuah buku baru yang temanya masih sama, ya seputar peristiwa sejarah Gerakan 30 September 1965 itu lagi. Mungkin bagi sebagian orang yang mengikuti tema ini dengan antusias pada awalnya, kini juga mulai merasa lelah dan putus asa, saking melulu dimentahkannya semua upaya pelurusan sejarah oleh negara dan aparaturnya, juga oleh sebagian besar masyarakatnya yang ngotot mempertahankan pembodohan.

Ironi memang, bagaimana bangsa ini bisa bangkit dan berjaya jika kejujuran pada sejarah pun sama sekali tidak mau diupayakan. Kembali ke perkara buku yang baru terbit tadi, penulisnya adalah Harsa Permata, seorang dosen filsafat yang juga pernah ikut berenang dalam lautan pergerakan mahasiswa era  awal Reformasi. Bukunya ini tidak lain daripada hasil penelitian tesis pascasarjananya di jurusan filsafat Universitas Gadjah Mada tahun 2013 yang lalu.

Sebuah Analisa Filsafat Sejarah
Buku setebal 95 halaman ini mungkin terbilang tipis penampakannya, tapi setelah dibaca, ketebalan kualitasnya sangat terasa. Sebagaimana dijelaskan oleh penulisnya dalam pengantar, buku ini tidak berusaha menemukan fakta-fakta baru terkait  peristiwa berdarah itu, ia berfokus pada penggunaan filsafat materialisme dialektika historis (MDH) ala Marxisme sebagai pisau analisa untuk membedah dan menemukan simpulan-simpulan baru. Ini juga merupakan jawaban atas tantangan Max R. Lane, seorang Indonesianis yang dalam orasi ilmiahnya di tahun 2012 menyebut belum ada satu pun evaluasi sejarah G30S dari perspektif Marxisme (Hal. iii).

Logika kunci buku ini adalah pernyataan eksplisit Marx dan Engels dalam naskah legendarisnya yang berjudul Manifesto Komunis di abad ke-19, bahwa sejarah adalah perjuangan kelas. Sejarah tak hanya berkisah tentang para tokohnya, melainkan berisikan proses konflik yang terus menerus dari kelas sosial tertindas melawan kelas sosial penindasnya. Sementara penindasan dan ketertindasan itu sendiri bersifat material bagi filsafat Marxisme. Pergerakan materi itu sendiri bersifat dialektis, yang tak lain dilandasi oleh kontradiksi atau pertentangan unsur-unsur yang ada di dalamnya. (Hal. 7-8).

Marxisme memandang bahwa segala perubahan sosial terwujud karena kontradiksi internal suatu masyarakat itu sendiri, yakni antara tenaga produktif dengan hubungan produktif dalam corak produksi yang dianutnya. Atau antara kelas sosial satu dengan yang lainnya, antara kontradiksi yang baru dengan yang lama, dan sebagainya. Hukum dialektikanya adalah: 1) Perubahan kuantitas menuju kualitas; 2) Interpenetrasi/ kesalingpengaruhan antar pihak yang berlawanan/ A=Non-A; 3) Negasi dari negasi (Hal. 14-15).

Mengutip Mao Tse Tung, penulis menyebut dalam proses perkembangan kenyataan, terdapat banyak sekali kontradiksi. Namun, hanya terdapat satu kontradiksi yang paling pokok, ialah yang paling mendesak karena menentukan atau mempengaruhi keberadaan kontradiksi yang lainnya. Semisal dalam masyarakat kapitalisme, kontradiksi pokoknya adalah antara borjuasi dan proletariat, sementara yang lainnya bersifat determinan (Hal. 17).

Filsafat Marxisme mengikuti pemikiran Hegel dalam memandang proses dialektika sejarah, layaknya spiral yang terus bergerak ke taraf yang lebih tinggi dari sebelumnya. Proses itu mengalami tiga tahapan utama, yakni tesis, yang segera menemui anti-tesis sebagai lawannya, dan kontradiksi dari keduanya memunculkan suatu perdamaian dalam rupa sintesis (Hal.63).

Catatan Sejarah G30S 1965
Keunggulan buku ini juga terletak pada Bab III nya yang meringkas berbagai versi catatan dan analisa sejarah peristiwa kontroversial G30S 1965 yang selama ini telah banyak dikaji, hingga bagi pelajar pemula akan lebih mudah mendapatkan gambarannya ketimbang membaca sendiri dari literatur-literatur aslinya yang tebal dan mulai langka di pasaran. Setidaknya tercatat ada enam versi yang memiliki dasar logikanya masing-masing.

Pertama, adalah versi Orde Baru (Hal.21-25), dalam versi ini pun ternyata ada dua otoritas sejarah di dalamnya, yakni menurut pandangan Soeharto dan menurut TNI/ABRI, namun keduanya memiliki kesamaan pandangan bahwa PKI secara organisasional adalah pihak yang paling mutlak bersalah sebagai pelaku tunggal yang bertanggung jawab atas tewasnya enam jenderal Angkatan Darat, sehingga rezim ini resmi menamai persitiwa sejarah itu dengan akronim stigmatif, G30S/PKI 1965.

Soeharto dalam biografi Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989) mengatakan bahwa keterlibatan PKI sebagai dalang peristiwa G30S 1965 berdasar pada peranan sentral Letkol Untung, yang dalam ingatannya sejak awal kemerdekaan Untung adalah anak didik Alimin, salah satu tokoh PKI. Sedangkan TNI/ABRI sebagaimana tertulis dalam buku Bahaya Laten Komunisme di Indonesia (1995) memandang D.N. Aidit sebagai ketua CC PKI lah figur sentral atau pimpinan tertinggi gerakan ini. Dalam tugasnya ia dibantu oleh Iskandar Subekti, Pono, Kusno, Mayor Udara Sujono, dan bermarkas di lapangan udara Halim Perdana Kusumah dari tanggal 30 September malam sampai 1 Oktober dini hari.

Rezim Orde Baru meyakini G30S 1965 adalah sebuah gerakan ideologis yang sistematis, bahwa PKI bertujuan mengubah negara Indonesia yang berhaluan Pancasila menjadi negara komunis dan mengikuti tujuan internasionalnya Uni Soviet. Pembunuhan para jenderal yang disebut Dewan Jenderal bertujuan memudahkan pembentukan Dewan Revolusi yang akan dimanfaatkan untuk menciptakan berbagai perubahan, dan berujung pada naiknya PKI ke puncak kekuasaan di Indonesia.

Kedua, adalah versi Ben Anderson dan Ruth T. McVey (Hal. 25-28). Analisis keduanya terangkum dalam buku berjudul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia (2009) atau kerap disebut sebagai Cornell Paper, yang fokusnya berangkat dari Divisi Diponegoro di Jawa Tengah sebagai wahana bersama tumbuhnya beberapa tokoh kunci dalam peristiwa ini.

Mereka berpandangan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa G30S 1965, sebaliknya ini merupakan pemberontakan para perwira muda yang berasal dari divisi ini, tampak dari komposisi tim intinya seperti Latief, Untung, Supardjo, dan Sujono sekalipun saat peristiwa berlangsung mereka sudah tidak bertugas di teritori itu.

Alasan pmberontakan mereka terutama dilandasi oleh idealism, yang tergambarkan dari: 1) Ketidakpuasan terhadap Staf Umum dan pimpinan militer di Jakarta yang bergelimang kemewahan dan korup; 2) Perang dingin antara Soekarno dan para jenderal yang diketahui sering kontak dengan CIA, membuat mereka meragukan patriotism pimpinannya dan mewaspadai kemungkinan kudeta oleh apa yang marak diisukan sebagai Dewan Jenderal; 3) Kemungkinan juga para perwira muda ini ingin mengembalikan semangat revolusioner 1945 dalam sistem politik Indonesia.

Ketiga, adalah versi Harold Crouch (Hal.29-33). Dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia (2007) menyebut bahwa ada indikasi yang meskipun masih samar, bahwa PKI terlibat dalam G30S 1965. Kehadiran Aidit di Bandara Halim pada 1 Oktober adalah salah satu indikasinya, kemudian dukungan dari Gerwani dan Pemuda Rakyat terhadap gerakan ini, dan juga dari editorial Harian Rakjat yang terbit berisikan pujian terhadap G30S. Crouch juga menganggap pengakuan Njoto, salah satu pimpinan PKI di Harian Angkatan Bersenjata yang dipublikasikan oleh pers Jepang Februari 1966.

Crouch juga meyakini bahwa PKI bukanlah dalang peristiwa ini. Pasalnya sama sekali tidak ada bukti bahwa para perwira pelakunya itu adalah agen PKI. Mereka semua bertindak bukan atas perintah Sjam (agen PKI) dan lebih karena kehendak sendiri. Baginya, PKI memang punya alasan logis untuk menyatakan dukungan pada G30S 1965, yakni karena ketakutannya atas potensi kudeta Dewan Jenderal terhadap pemerintahan Soekarno, yang diyakini akan membawa bencana bagi mereka. Namun, PKI tidaklah memiliki sumber daya yang memadai untuk melawan kekuatan militer dalam konfrontasi langsung.

PKI lebih memilih solusi kup dalam bentuk konflik internal angkatan bersenjata hingga keterlibatannya tidak kentara. Ini diperkuat oleh pernyataan Njoto yang mendukung para perwira progresif pelaksana G30S dengan merencanakan pelatihan militer bagi anggota ormas hingga terlatih menjadi pasukan cadangan yang siap menopang. Namun, Njoto membantah jika PKI terlibat secara organisasional, pendapat ini juga senada dengan pimpinan PKI lainnya seperti Sudisma dan Paris Pardede.

Namun, kesaksian Sjam Kamaruzaman paling berbeda, ia mengaku dipanggil Aidit pada 12 Agustus ke rumahnya untuk mendiskusikan memburuknya kesehatan Soekarno dan langkah yang kemungkinan akan diambil oleh Dewan Jenderal. Informasi tentang ini diakuinya diperoleh dari Sakirman, seorang Politbiro PKI yang juga kakak dari Mayjend S. Parman. Pertemuan itu mengerucut pada rencana penyusunan kekuatan dan sebuah gerakan. Esoknya Sjam bersama anggota Biro Khusus lain memutuskan mendekati perwira yang bersimpati, yakni  Kolonel Latief dari brigade infanteri, Letkol Untung dari batalyon Cakrabirawa, dan Mayor Sujono komandan pertahanan udara Halim.

Dengan demikian Crouch menyimpulkan bahwa G30S 1965 merupakan persekutuan rahasia yang setara antara para perwira progresif dengan biri khusus PKI. Keterlibatan PKI hanya tersinyalir sebagai konspirator, bukan eksekutor dan bahkan tak punya kuasa instruktif karena jelasa bahwa para perwira progresif itu memiliki tujuannya sendiri.

Keempat, adalah versi W.F. Wertheim (Hal. 33-35). Dengan gamblang menyebut para perwira pimpinan G 30 S 1965 adalah kenalan dekat Jenderal Soeharto sendiri. Untung adalah bawahannya saat menjadi komandan Divisi Diponegoro Jawa Tengah, pun Latief yang bahkan juga pernah semarkas di perang perebutan Irian Barat. Sedangkan Supardjo adalah bawahannya saat menjabat komandan Divisi Mandala Siaga di Kalimantan.

Selain itu, aneh rasanya bahwa Soeharto tidaklah masuk dalam daftar Jenderal yang menjadi target penculikan. Ia bahkan bisa leluasa bergerak di Jakarta saat malam berlangsungnya operasi militer itu. Ia juga bisa dengan sangat mudah, cepat, dan detail meringkus gerakan ini, padahal para perwira lainnya yang berada di Jakarta tidak paham harus mengambil tindakan apa saat itu.

Wertheim bahkan meyakini bahwa Sjam sesungguhnya adalah intel tentara yang ditugaskan menyusup ke dalam PKI, dengan tujuan provokasi agar PKI terlibat dalam sebuah aksi yang memang direncanakan untuk gagal tersebut. Asumsi ini dikarenakan sikap kooperatif Sjam terhadap militer selama masa interogasi, ia tidak disiksa dan malah mendapat perlakuan istimewa dari para interrogator. Dengan demikian menurut Wertheim, G30S 1965 adalah konspirasi besar yang diotaki langsung oleh Soeharto.

Kelima, adalah versi John Roosa (Hal. 35-41). Analisanya di buku Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (2008) meniadakan konsep “dalang” dalam peristiwa G30S 1965 karena ia bukanlah sebuah aksi yang direncanakan oleh seseorang maupun sekelompok. Sebelum meletusnya peristiwa itu perpolitikan Indonesia dilatari oleh tiga kekuatan utama: 1) PKI yang punya basis politik sipil yang dominan; 2) TNI AD yang punya ratusan ribu prajurit bersenjata; 3) Soekarno yang berada di tengah kedua kubu yang saling bertentangan itu. Sokearno memainkan politik keseimbangan untuk melanggengkan kekuasannya.

Namun, memang dalam beberapa waktu terakhir keseimbangan Soekarno mulai berantakan karena kcondongannya pada PKI. Sebenarnya saat itu ia sedang sangat membutuhkan PKI dan kekuatan massanya untuk menaikkan posisi tawar terhadap Angkatan Darat. Sementara PKI sendiri sesungguhnya merasa tidak puas dengan kondisi politik pemerintahan Soekarno. Terutama fakta bahwa PKI tidak mendapatkan jatah kursi menteri yang penting dan memiliki anggaran besar. Sebaliknya kekuatan politik yang anti PKI justru tetap leluasa menjabat dan mulai mengkonsolidasikan kekuatan.

Lalu beredarlah desas-desus yang bersumber dari dugaan bocornya sebuah telegram Duta Besar Inggris yang menyebut keberadaan sekelompok jenderal sayap kanan di bawah pimpinan Ahmad Yani sedang mempersiapkan satu aksi konspiratif terhadap pemerintah Indonesia. Ini membuat Aidit harus menimbang dua pilihan sikap, yaitu didahului atau mendahului. Maka Aidit meminta Sjam dan jaringan Biro Khususnya untuk mengajak para perwira progresif untuk bertindak melawan Dewan Jenderal. Tapi karena tak ada kepastian rencana, Sjam memimpin sendiri aksi itu, dan inilah yang melatari mengapa hanya ada segelintir perwira saja yang bersepakat terlibat.

Celakanya, terjadi banyak keraguan atas kelemahan rencana yang telah disusun itu. Sjam yang tak ingin mengecewakan Aidit bersikeras untuk tetap melaksanakannya karena yakin terhadap kekuatan pendukung Soekarno dan massa PKI yang dominan saat itu. Tetapi ketidakrapihan rencana dan ketidakjelasan rantai komando dalam aksi itu menimbulkan banyak kegagalan saat dilancarkan, yakni ternyata mereka tak bisa menculik para jenderal tersebut dalam keadaan hidup. Awalnya mereka hanya ingin menghadapkan mereka secara paksa kepada Soekarno.

Ditambah, ternyata Soekarno pun tidak mau mendukung aksi sepihak ini, terutama setelah ia mengetahui bahwa para jenderal yang diculik sudah tewas. Kepada Supardjo yang sempat menghadap, Soekarno memerintahkan untuk segera menghentikan aksi ini dan para perwira itu pun segera menyetujuinya. Namun Sjam dan Aidit justru memutuskan untuk melanjutkannya tanpa persetujuan Soekarno, dengan menyerukan dibentuknya Dewan-Dewan Revolusi melalui siaran radio.

Gagal meyakinkan para perwira progresif yang peragu, Sjam dan Aidit dengan prinsip kepeloporannya akhirnya merubah rencana semula yang ingin melindungi pemerintahan Soekarno yang sedang di ujung tanduk, menjadi berbalik untuk menggantikannya. Landasan ilmiah Aidit adalah pengalaman kudeta militer di Aljazair bersifat progresif yang dipimpin oleh Kolonel Boumedienne terhadap pemerintahan Ben Bella, dan mendapat dukungan rakyat. Karenanya Aidit memandang jika kudeta militer didukung oleh 30% rakyat, maka bisa diubah sekaligus dimajukan menjadi revolusi rakyat.

Keenam, adalah versi Rex Mortimer (Hal. 42-46). Lebih jauh lagi, analisanya dalam buku Indonesian Communism Under Sukarno, Ideology and Politics 1959-1965 (2006) menyebut bahwa G30S 1965 adalah sebuah hasil manipulasi terhadap pimpinan PKI oleh lawan politiknya. Alasanya: Satu, transkrip rekaman interograsi dan pengumpulan bukti terkait plot peristiwa yang disusun oleh Nugroho Notosusanto dari pihak TNI/ABRI, tertulis tujuan PKI bukan untuk merebut kekuasaan politik, melainkan mencegah pelenyapan PKI oleh TNI AD pasca wafatnya Soekarno yang sedang sakit keras. Namun transkrip ini tak pernah dipublikasikan karena perbedaannya yang signifikan dengan versi resmi AD; dua, persidangan para pelaku yang tidak adil, eksekusi mati tanpa proses pengadilan terhadap pimpinan PKI, serta tudingan-tudingan ambigu tanpa bukti bahwa PKI lah yang merekayasa isu Dewan Jenderal; tiga, pendapat AD bahwa pelatihan sukarelawan PKI di Halim terkait dengan G30S. Padahal komposisi sukarelawan yang mendapat pelatihan semi-militer di sana tak hanya dari PKI, melainkan juga Pemuda Marhaenis, Perti, Pertindo, GP Anshor juga telah dijadwalkan; empat, isi pengumuman G30S pada 1 Oktober pagi hari berbeda dengan sikap politik PKI dan pemerintahan Soekarno, yakni seruan untuk mempertahankan kebijakan luar negeri yang bebas aktif, padahal saat itu PKI dan Soekarno sedang gencar mendukung NEFOS, RRC, dan Konfrontasi atas Malaysia; lima, komposisi Dewan Revolusi justru diisi oleh tokoh yang berseberangan dengan PKI, ada 19 dari 45 tokoh; enam, tuduhan yang mengaitkan empat perwira pimpinan G30S dengan organisasi PKI adalah keliru. Semisal yang menyebut bahwa Untung pernah terlibat dalam pemberontakan Madiun 1948, padahal saat itu ia masih buta politik dan jadi pengikut setia komandannya yang anti komunis. Supardjo yang cemerlang karir militernya itu adalah loyalis Soekarno yang tegas anti PKI. Pun dengan Latief yang jabatan strukturalnya cukup vital sebagai salah satu komandan di Jakarta, tentu telah melalui seleksi ketat di tubuh TNI AD yang anti PKI; tujuh, keterkaitan Sjam dengan TNI diketahui bahwa ia telah bekerja sebagai informan Seksi I (Intelejen) Resimen Jakarta Raya sejak tahun 1955.

Penulis buku ini menambahkan bahwa sejak sebelum peristiwa G30S 1965, Militer khususnya TNI AD sebenarnya sudah sangat kesal dan ingin menggulingkan Soekarno dan mendelegitimasi PKI, namun popularitas Soekarno dan besarnya massa PKI telah memaksa TNI bersikap menunggu pihak mana yang bertindak agresif lebih dulu. Peristiwa G30S itu sendiri hanyalah dalih bagi TNI yang dipimpin Soeharto untuk bisa mengambil langkah pembasmian terbuka PKI dan pembungkaman Soekarno.

Pasalnya, sikap tanggap TNI untuk membasmi G30S justru dipelintir menjadi pembasmian sistematis terhadap massa dan organisasi PKI, bahkan gerakan kiri pada umumnya. Akademisi Barat mencatat ada sekitar 500 ribu sampai 1 juta orang rakyat Indonesia yang dibunuh dalam operasi penumpasan itu. Bahkan dalam pengakuan Sarwo Edhie Wibowo sebagai komandan RPKAD yang memimpin eksekusi massal itu mencapai 3 juta nyawa melayang dicabut paksa.

Tanggal 11 Maret 1966, melalui dokumen yang di sebut Supersemar, TNI dan Soehartonya berhasil mendapatkan legitimasi penuh untuk mengambil alih kekuasaan. Lalu dimulailah babak baru sejarah bangsa Indonesia sebagai negara yang terbuka pada investasi modal asing, yang ditandai oleh terbitnya Undang-Undang Penanaman Modal serta dicaploknya wilayah pegunungan Papua yang kaya akan mineral tambang oleh PT Freeport dari Amerika Serikat.

Latar Historis Peristiwa
Dalam perspektif Marxisme, peristiwa G30S 1965 tidaklah terjadi begitu saja tanpa dilatari kondisi ekonomi politik tertentu. Ditinjau sejak Revolusi Agustus  1945 adalah perjuangan awal untuk memperoleh kemerdekaan bangsa. Baru di tahun 1949 pasca Konferensi Meja Bundar lah kemerdekaan politik kita tercapai. Sementara kemerdekaan ekonomi baru diperoleh tahun 1957, yang ditandai oleh terbitnya program nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik colonial Belanda, dan sekitar 46.000 orang dideportasi ke negeri asalnya.

Sayangnya, pengelolaan semua perusahaan yang telah dinasionalisasi itu diserahkan ke tangan para perwira militer (TNI AD), inilah yang kemudian hari menguatkan posisi militer dalam perpolitikan Indonesia. Dominasi kelompok militer dalam perekonomian inilah yang memicu lahirnya kelas sosial baru dalam masyarakat kita, yakni borjuis militer (Hal. 53).

Bahkan penerbitan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah solusi yang dikehendaki kelompok militer yang ingin mendapat jaminan atas kenyamanan posisinya. Dekrit ini berisikan pembubaran Dewan Konstituante (pelemahan terhadap parlemen sipil/ wakil parpol) dan menetapkan kembalinya ke UUD 1945 yang sangat memperkuat posisi presiden dalam pemerintahan (Hal.54).

Menguatnya pengaruh dan posisi militer dalam pemerintahan sipil itu ditandingi oleh besarnya dukungan rakyat bawah kepada PKI. Tampak dari perolehan suara pada Pemilu 1955 sebesar 6.176.914 dan berhak atas 39 kursi di parlemen. Terjalin juga simbiosis mutualisme, PKI merupakan pendukung setia ide-ide nasionalisme radikal Soekarno, yang digunakannya untuk meningkatkan daya tawar terhadap militer.

Sebenarnya, kelompok militer sudah pernah melakukan upaya nyata mengguncang pemerintahan (Hal. 56-58). Tanggal 17 Oktober 1952, TNI AD di bawah kepemimpinan Nasution memobilisasi massa dengan dikawal tank dan berbagai artileri untuk memaksa Soekarno membubarkan parlemen. Namun meski Soekarno sendiri kurang menyenangi gaya berpolitik para politikus di parlemen, ia menolak tuntutan itu karena keteguhannya untuk tidak tampak mudah ditekan. Tanggal 15 Februari 1958, faksi militer sayap kanan yang di dukung AS  melancarkan pemberontakan PRRI di Sumatera Barat, yang segera dilibas karena ternyata ada banyak perwira militer yang juga loyalis Soekarno. Kegagalan itulah yang membuat mereka sadar bahwa konfrontasi langsung terhadap Soekarno tidaklah akan menuai dukungan rakyat.

Tahun 1961 hingga 1964, perekonomian nasional mengalami hiper-inflasi yang memicu peningkatan radikalisme rakyat. PKI secara jeli berhasil mengelola momentum ini hingga pertambahan anggotanya begitu pesat, Ricklefs mencatat di bulan Agustus 1965 setidaknya ada 27 juta orang. PKI melancarkan aksi kampanye anti-regulasi IMF yang menjerat itu, hingga akhirnya Soekarno pun berani lantang memilih jalan berat ekonomi berdikari tanpa belas kasihan asing. PKI juga menggencarkan aksi di pedesaan untuk mendorong ditegakkannya program land reform yang sesuai dengan amanat UU Pokok Agararia tahun 1960. Unjuk kekuatan PKI berlanjut hingga ia mengusulkan pada Presiden untuk membentuk Angkatan Kelima sebagai persiapan menghadapi potensi serangan militer Inggris, sebagai konsekuensi kebijakan konfrontasi terhadap Malaysia. Bahkan juga mendorong program NASAKOM-isasi di tubuh Angkatan Bersenjata (Hal. 59-62).

Tinjauan Marxisme Atas G30S 1965
Buku ini juga menyebut masyarakat Indonesia di masa pemerintahan Soekarno tak lain daripada masyarakat kapitalis, meskipun masih jauh dari sempurna sebagaimana perspektif Barat. Kontradiksi pokok saat itu dalam perspektif Marxisnya adalah juga  pertentangan kaum borjuis yang diwakili oleh Militer, yang telah begitu jauh menguasai perekonomian nasional. Sementara kaum proletar yang menjadi lawannya diwakili oleh PKI dengan massa buruh dan taninya yang telah banyak dirugikan.

Dalam proses dialektika sejarah masyarakat Indonesia di masa pemerintahan Soekarno, yang menjadi tesis, adalah kelas proletariat yang mewujud dalam kelompok politik PKI. Kemudian yang menjadi antitesisnya, adalah kelas borjuis yang mewujud dalam kelompok militer. Kemudian yang pada akhirnya menjadi sintesis, adalah naiknya Jenderal Soeharto ke puncak kekuasaan, sekaligus menjadi tonggak awal berdirinya rezim Orde Baru yang tunduk pada interupsi kapitalisme global (Hal.63-64).

Tentu ini berbeda dengan postulat Marxisme bahwa kontradiksi kelas antara borjuis dan proletariat akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas atau komunisme. Pasalnya, kapitalisme Indonesia di masa itu sama sekali belum matang tahapannya, tampak dari suprastruktur atau sistem politiknya yang meniadakan pemilu sebagai perwujudan demokrasi.

Sekuat apapun kehendak Soekarno yang memainkan politik keseimbangan di antara dua kepentingan kelas sosial yang saling berkontradiksi itu, pada akhirnya konflik tetap menajam dan bahkan meledakkan darah yang tak sedikit di dalam bangsa kita sendiri. Naiknya Soeharto dan rezim militeristiknya inilah yang dipandang sebagai proses penyempurnaan sistem kapitalisme dalam masyarakat kita.

Secara jernih pula seharusnya kita bisa mengevaluasi bahwa membicarakan peristiwa sejarah G30S 1965 tidak melulu harus mengangkat kisah tragis, pedih, dan pilu yang dialami para korban, dari pihak manapun. Kepada gerakan kiri di Indonesia pada umumnya, plot sejarah ini sesungguhnya menyerukan agar kita tetap gigih memperjuangkan terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dalam sistem hidup sosialisme. Agar kita sudi mengoreksi diri demi mengembangkannya, dengan jalan mempelajari kegagalan generasi pendahulu.

Kelelahan Yang Harus Dilawan
Tentu saja buku ini tidak bersih dari penilaian plus-minus yang patut dicatat dan diperhatikan oleh setiap pembacanya, setidaknya dari aspek teknis redaksional: Pertama, penerbitan naskah ini menjadi buku terkesan agak buru-buru. Tampak dari kurang telitinya editor dalam memperhatikan susunan kata yang masih cukup banyak kesalahan pengetikannya. Seperti penggunaan tanda strip (-) sebagai penghubung kata yang ditempatkan tidak semestinya, dan lain sebagainya. Kecerobohan editing paling fatal adalah penulisan nama Njoto (salah satu pimpinan PKI) yang kerap dimunculkan malah tertulis sebagai “Njono”.

Kedua, sebagai sebuah naskah yang awalnya ditulis untuk kepentingan akademis, tentu saja perlu dilakukan dulu penyesuaian ketika diputuskan untuk terbit sebagai buku yang dilempar ke publik. Mengingat dalam konteks akademis, tentu kaidah-kaidah formal penulisan dan metodologi berlaku sangat ketat. Sementara dalam konteks buku yang dikonsumsi oleh publik dengan segmetasi variatif, sajiannya harus lebih lugas dan eye catching. Susunan buku ini mungkin terlampau sistematis khas naskah akademik, jadi bagi pembaca awam akan terasa nuansa tautologisnya, ada banyak pengulangan yang terkesan mengeja dan bertele-tele.

Tapi bagaimanapun juga, penerbitan buku ini sangatlah luar biasa bagi saya pribadi. Ia hadir tepat di tengah jenuh-jenuhnya orang pada kebuntuan isu keadilan bagi peristiwa G30S 1965. Padahal sesungguhnya tahun 2015 ini adalah momentum besar, persis 50 tahun sudah kebohongan negara dipelihara sebagai kebenaran mutlak. Tapi faktanya keadilan dan kebenaran yang telah banyak dibongkar serta dituntut ini masih belum juga berhasil merobohkan kokohnya tembok kekuasaan yang biadab.

Perkara kurang populernya buku ini, mungkin lantaran menggunakan penerbit lokal, bukan yang bonafit. Tapi justru ini membuatnya lebih menarik, karena: Pertama, semakin menegaskan betapa tema ini masih dianggap kurang “aman” dan “menjanjikan” bagi penerbit besar yang profit oriented dan tunduk pada status quo. Kedua, menunjukkan betapa masih banyak pihak yang mengupayakan perjuangan maksimal dalam isu ini meski dengan segala keterbatasan. Ketiga, ini jelas sebuah bentuk perlawanan atas kesewenangan, dengan menciptakan ruang-ruang alternatif dari skema mainstream yang represif dan  mengekang.

Akhir kata, saya berharap banyak bahwa pembaca sekalian akan berupaya mendapatkan buku ini, dan menjadikannya sebagai referensi andalan untuk mengantarkan pemahaman atas salah satu episode sejarah bangsa Indonesia yang paling krusial untuk direkonstruksi. Jangan biarkan rasa lelah membicarakan kebenaran dan menuntut keadilan itu menguasai akal pikiran dan hati nurani kita, sebab hanya dengan bermodal itulah cita-cita kemerdekaan yang hakiki bisa kita wujudkan suatu saat nanti.  Tabik!

---------------------------
Saddam SSD. Cahyo, Penikmat buku dan pernah aktif di Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung.

Terbit tanggal 13 November 2015 di : http://www.berdikarionline.com/resensi-buku-analisa-materialisme-sejarah-tentang-g30s-1965/#ixzz3rKvvFyCc

Kamis, 12 November 2015

Opini : Jokowi, Negara, dan Anak Dalam


Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo*
--------------
*)Peminat kajian sosial politik.
Terbit di harian cetak FAJAR SUMATERA, Kamis 12 November 2015.
http://www.harianfajarsumatera.com/2015/11/jokowi-negara-dan-anak-dalam.html 
 ------------
TERASA indah sekali melihat foto-foto yang merekam aktivitas Presiden Joko Widodo sahaja bercengkrama dengan beberapa warga Suku Anak Dalam. Begitulah adanya, Pak Jokowi pada Jumat 30 Oktober 2015 lalu menorehkan rekor sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama kali mengunjungi langsung warga SAD di tempat tinggalnya di pedalaman Jambi, tepatnya wilayah Air Hitam Kabupaten Surolangun. Bahkan untuk tujuan itu, ia harus menaiki helikopter Super Puma dilanjut perjalanan darat dengan mobil Landcruiser. 

Inilah alasan yang memadai untuk menaruh hormat pada sosok Jokowi. Sejak awal karir politiknya, kepribadiannya nyaris tak berubah kecuali berkembang. Darinya kita bisa menatap sikap sahaja yang alami, berbeda dengan gaya mainstream elit-elit politik lainnya yang penuh kesan rekayasa dan dramatikal. Caranya yang lebih suka melakukan kerja lapangan untuk menatap realitas sedekat mungkin memang patut diapresiasi, sebab kita semua juga percaya itu salah satu trik jitu untuk memahami kenyataan.

Namun, bukan berarti Jokowi telah sukses menjelma pemimpin yang tanpa cacat dan bercela. Toh dalam satu tahun memimpin, muncul banyak kebijakan yang bukan hanya tidak populis dan disenangi rakyat, melainkan tidak dikehendaki dan malah memberatkan kehidupan rakyatnya. Fakta ini semestinya menyadarkan kita semua, betapa menjadi pribadi yang baik saja tidaklah cukup untuk mewujudkan kepemimpinan ideal bagi bangsa Indonesia yang sebesar ini. 

Orang-Orang Kalah

Kembali ke pokok, informasi yang disiarkan oleh media massa menyebut bahasan utama dalam pertemuan singkat presiden dengan warga SAD, ialah tawaran rumah gratis dari negara agar mereka bisa hidup menetap. Ini memang bukan ide baru, sejak pemerintahan sebelumnya program pembangunan rumah tinggal bagi komunitas adat terpencil sudah bergulir. Tetapi justru di sinilah letak persoalannya, sepertinya dibutuhkan sebuah upaya peninjauan kembali yang lebih reflektif atas kebijakan ini.

Mirisnya, kedatangan Presiden kemarin ternyata bukan di pedalaman hutan alami, melainkan lahan perkebunan sawit milik korporasi. Diketahui bahwa sebelumnya Jokowi mendengar selentingan kabar adanya beberapa kelompok SAD yang melakukan tradisi Melangun, berpindah dalam waktu lama, namun karena areanya sudah berubah homogen, mereka menghadapi kesulitan bahan pangan dan air bersih hingga berakibat 11 orang diantaranya tewas. Sebab itulah negara menunjukkan itikadnya untuk hadir dan menjawab serta menuntaskan persoalan.

Tapi dalam perspektif James C. Scott (1985), apa yang sebenarnya dilakukan oleh warga SAD bukanlah sekedar berangkat dari naluri kehidupan nomadennya. Lebih dari itu harus dipahami sebagai bentuk perlawanan teramat nyata, yang disebut sebagai senjatanya orang-orang kalah. Cukup eksplisit rasanya bahwa memilih tinggal menetap di areal perkebunan sawit adalah ekspresi protes yang paling mungkin dilakukan, sekalipun bertanggung resiko kematian.

Harus disadari, sesungguhnya warga SAD adalah orang-orang yang telah dikalahkan. Kalah bukan hanya karena budayanya dikategorikan primitif yang penuh konotasi keterbelakangan bagi zaman modern yang berprinsip serba percepatan ini. Mereka kalah karena dipandang sebagai “the other” yang secara sengaja telah diabaikan eksistensi dan hak hidupnya. Sejak ratusan tahun lalu, ruang hidup sejatinya adalah belantara hutan rimba, yang kekayaan hayatinya selalu memadai kebutuhan berburu dan meramu. 

Sedangkan saat ini, ruang hidup itu sudah nyaris habis dikoyak oleh beringasnya ekspansi korporasi perkebunan. Bahkan jika masih ada yang sudi mengingat, dalam beberapa tahun belakangan tercatat sudah dua kali perwakilan dari beberapa kelompok SAD nekat melakukan aksi jalan kaki sampai Ibukota Negara, hanya untuk menuntut keadilan atas hak atas tanah ulayat mereka yang dikuasai oleh PT. Asiatic Persada. 

Berhasil? Sayangnya tidak, dengan pergantian kepemimpinan nasional dan tumpang tindihnya koordinasi pemerintah di daerah, yang terang benderang hanyalah fakta ironis sebagaimana terungkap dalam laporan Mongabay-Indonesia tahun lalu. Bahwa dari kisaran luas perkebunan kelapa sawit di Jambi yang mencapai 574.514 hektare, 40% nya adalah area jelajah ulayat warga SAD yang telah dialihkan secara legal meski hanya sepihak.

Pembangunan Emansipatoris

Inilah potret buram yang sialnya pun hanya secuil dari kenyataan kelu, bahwa situasi tak jauh berbeda dialami juga oleh ratusan komunitas adat terpencil di belahan lain bumi Nusantara. Seolah merekalah yang bersalah karena tak mau tunduk pada hukum besi modernitas yang menyilaukan. Jika memang sense of humanity yang dimiliki rezim hari ini tak seilusif sebelumnya, ia harus berani merubah paradigma dalam membangun bangsa ini.

Semangat pembangunan semestinya berwatak emansipatoris alias memerdekakan, yang selalu bervisi pembebasan dari segala belenggu penindasan agar dapat menggapai kebahagiaan material dan spiritual. Dalam konteks inilah, Negara kembali mendapatkan momentum ujian dari rakyat, bisakah ia berpikir dan bertindak adil dengan pendekatan kebudayaan yang tepat, atau malah bersikukuh memakai logika korporasi yang hanya menginginkan solusi instant mengusir hama penghambat akumulasi profit? 

Selasa, 20 Oktober 2015

Opini : Pesan Simbolik Gayus Yang Sukses Mengakali Hukum



Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo*

*) Peminat Kajian Sosial-Politik, Mantan Sekretaris Ekswil LMND Lampung 2012-2014.

Terbit di portal KORAN OPINI.COM, Kamis 15 Oktober 2015.
--------------

Luar biasa memang yang terjadi pada seorang Gayus Halomoan Tambunan. Setelah lama tak terdengar pasca divonis total 30 tahun hukuman penjara atas beberapa kasus, ia kembali muncul secara sensasional. Publik di dunia maya mendadak heboh usai terpostingnya sebuah foto yang menggambarkan sosok pria yang cukup terkenal sedang berada di tempat yang tak semestinya. Ialah Gayus yang senyum sumringah bersama dua orang perempuan di rumah makan.
Wajar jika foto itu mengundang protes, mengingat statusnya sebagai narapidana kelas kakap yang seharusnya mendekam di balik jeruji besi Lapas Sukamiskin Jawa Barat, malah tampak bebas keluyuran di ibu kota. Meski sempat disanggah beberapa pihak, akhirnya Gayus sendiri mengakui foto itu bukanlah rekayasa, dirinya memang berada di Jakarta pada tanggal 9 September 2015 karena menghadiri sidang perdata gugatan cerai sang istri.
Namun untuk seorang Gayus, alasan normatif begini tentu sangat sulit diterima sebagai sekedar penyalahgunaan izin yang bisa dimaklumi. Pasalnya jelas, ia punya catatan buruk yang tak bisa disepelekan. Tanggal 5 November 2010 lalu, aksi penyamarannya pernah tertangkap basah oleh bidikan kamera seorang wartawan di sebuah arena pertandingan tenis internasional di Bali, padahal ia sudah resmi menjadi tersangka kasus korupsi dan suap puluhan milyar rupiah.
Hebatnya, ia selalu kooperatif dan mengakui perbuatannya, bahkan terbongkar pula itu bukan kali pertamanya berhasil melobi dan menyuap petugas. Selama tahun 2010 itu, sang oknum mafia pajak ini diketahui berhasil kabur dari Rutan Mako Brimob selama tiga hari di bulan Juli, kembali keluar bebas selama 19 hari di bulan Agustus, dan 21 hari di bulan September, bahkan selama bulan Oktober dirinya hanya satu hari berada di dalam penjara.
Gayus pun tak tanggung mengolah kesempatan emas itu, berbekal identitas palsu dan penyamaran, ia sukses pelesiran bersama keluarga terkasih ke Singapura, Malaysia, hingga main judi di Makau. Ini yang menjadikannya bak “selebriti” di Indonesia, semisal ketokohannya di iklan TV produk rokok bertema lomba keajaiban para jin, atau halte bus di depan kantor Dirjen Pajak dijuluki “Halte Gayus” oleh masyarakat, hingga rilisnya lagu “Andai Aku Gayus Tambunan” karya seorang mantan napi biasa di Gorontalo.
Kuasa Kepedulian Publik
Namun kali ini, boleh dibilang Gayus melakukan aksi bunuh diri. Tak hanya publik yang bereaksi keras, bahkan menkumham pun sampai melontarkan makian. Akhirnya pada 22 September lalu sang mafia pajak resmi dipindah ke Lapas Gunung Sindur di Bogor yang punya standar keamanan ekstra ketat, dengan harapan ia tidak akan lagi berhasil keluyuran sesuka hati. Dua petugas lapas dan seorang polisi yang mengawalnya pun dikenakan sanksi indisipliner sedang.
Hal yang patut kita apresiasi dari kasus berkali-kalinya Gayus sukses berpelesir menghindari siksaan dingin dan sepinya bilik penjara adalah betapa besar kepedulian publik. Ini luar biasa, dalam suatu negeri demokrasi yang modern memang mensyaratkan partisipasi aktif masyarakatnya sebagai agent of social control, terutama dalam kerangka mengantisipasi munculnya penyimpangan dan penyelewengan kekuasaan seperti ini.
Apa jadinya jika tak ada unsur publik yang peka dan berinisiatif mengambil peranan, barangkali tak akan pernah terbuka mata kita bahwa cita-cita keadilan memang masih menjadi sekedar mimpi di negeri ini. Teringat adagium vox populi vox dei, setidaknya masih terbuktikan, jika rakyat sudah menjerit berontak, sejatinya itulah suara keadilan dari Tuhan yang wajib di dengarkan oleh kenaifan dunia manusia.
Inilah mengapa setiap warga negara harus memelihara kesadaran kritis dan konstruktif. Jangan pernah merasa terasing dari kehidupan politik hanya karena seorang rakyat jelata yang tak punya kekuasaan. Konstitusi dasar negeri ini lugas menyebut rakyatlah penguasa yang sejati. Kasus ini menunjukkan betapa sekecil-kecilnya partisipasi rakyat biasa yang sadar adanya ketidakadilan, meski hanya di jejaring media sosial yang kerap dicibir pun, bisa berbuah manis.
Pesan Simbolik Gayus
Andai kita melihat Gayus sebagai fenomena, semestinya akan dapat dimaknai lebih dalam lagi, ada apa sesungguhnya di balik ulah nyentriknya itu. Dari foto kali ini, ia tak lagi tampak tegang menutupi identitas, sebaliknya justru terlihat sangat rileks. Apalagi berdasar pengakuan bahwa dua wanita yang mengajak berfoto itu bukanlah orang yang telah dikenal, Tak mungkin rasanya ia dan pengacara yang mendampingi itu buta resiko.
Bahkan belakangan ini juga kembali terpublikasi sebuah foto yang merekam pelesiran terakhir seorang Gayus. Jika di foto sebelumnya ia tampak seperti memiliki akses privat pada sebuah perangkat telepon genggam, kali ini malah Gayus tampak sangat leluasa mengemudikan sebuah mobil, lengkap dengan senyum khasnya itu. Dari jaket dan topi yang dikenakan, hampir bisa dipastikan foto ini masih dalam satu momen yang sama.
Barangkali ini bahasa simbolik yang disengaja untuk sekali lagi membukakan mata hati rakyat Indonesia akan penegakkan hukum yang masih sangat lucu dan ironis, persis seperti lirik lagu Bona Paputungan tentang dirinya itu. Entah kepalang tanggung, Gayus mungkin hanya ingin berkata: “Hey sadarlah saudara sebangsaku, tak cuma aku yang bisa membeli hukum, buka mata kalian selebar-lebarnya, temukanlah mereka yang saat ini juga sedang bebas berkeliaran di sekitarmu!”.
Andai masih rela menggunakan hati nurani dan akal sehat untuk merenungkan fenomena Gayus yang sukses berkali-kali mengakali hukum, tentu kita akan terdorong untuk mempertanyakan kenyataan. Bagaimana dengan para narapidana bermodal besar lain yang wajahnya tidak sefamiliar Gayus? Bukankah sudah berkali-kali pula terbongkar adanya perlakuan khusus yang nyaman dan berbayar bagi golongan ini di dalam sel, sementara bagi mereka yang tak berpunya, penjara adalah hukuman dunia paling nyata.
Sudah sejak lama hukum disimbolkan dalam sosok dewi keadilan yang agung dengan mata terutup karena tak pandang bulu dalam menimbang kesalahan dan menyabet pedang hukuman. Namun, jika benar demikian adanya maksud dari aksi nekat Gayus kali ini, maka marilah kita manusia Indonesia bersungguh-sungguh mendengarkan dan menjawab pesan kegelisahan dari seorang Gayus yang sedang menuntut keadilan itu. Tabik!

 ----------
Terbit di harian cetak FAJAR SUMATERA, Selasa 20 Oktober 2015.


Jumat, 02 Oktober 2015

Opini : Mengabaikan Bencana Asap, Membunuh Peradaban



Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo*
------------------
*) Peminat kajian sosial-politik, tinggal di Bandar Lampung.

Terbit di portal SATU HARAPAN.COM, Kamis 1 Oktober 2015.
---------------

Secara beruntun berita di televisi menayangkan, ditemukannya seekor ular piton berukuran tujuh meter yang memasuki perkampungan warga dalam keadaan lemas dan kulit gosong di Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah. Seekor bayi orangutan ditemukan dalam keadaan dehidrasi akut di Pontianak Kalimantan Barat, dan ratusan warga di kaki Gunung Dempo Sumatera Selatan harus bersiaga menghalau masuknya hewan buas-liar seperti harimau, beruang, dan babi hutan ke perkampungan.

Asap Adalah Bencana

Tak lain daripada asaplah yang telah menimbulkan semua kekacauan ini dalam kurun hampir dua bulan terakhir. Ribuan hektare lahan dan hutan di Indonesia setiap tahunnya habis terbakar, yang tentu menimbulkan kerusakan ekologis yang sangat fatal. Lantas apalagi sebenarnya yang masih dirasa kurang untuk meneguhkan pikiran kita semua, bahwa kabut asap adalah sebuah bencana nasional? Sampai harus terus berulang selama 18 tahun terakhir.
  
Tahun 2015 ini, luas areal yang terbakar di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan belakangan mulai merambat ke pegunungan di Sulawesi. Setidaknya sudah tercatat 33.977,25 hektare dengan lebih dari seribu titik api, dan 131 kasus dengan 27 tersangka korporasi dan perorangan yang disidik Kepolisian, ini jauh berlipat ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Begitupun kerugian material yang diprediksi akan jauh melampaui angka 20 triliun rupiah di tahun 2014 yang lalu. Maklum, kabut asap yang berlarut seperti ini memang sangat ampuh memacetkan roda perekonomian di berbagai lini.

Kerugian pada kualitas hidup manusia jauh lebih berat lagi. Wilayah Riau saja, Dinas Kesehatan mencatat peningkatan 100% dari tahun sebelumnya, yakni 43.386 orang terkena ISPA yang berdampak buruk dalam jangka panjang, berupa kanker dan kelainan paru-paru, hingga resiko melahirkan anak down syndrome. Sedang pencemaran udara yang batas angka konsentrasi partikulatnya dibawah 150, bahkan berada di kisaran 300-750 dengan jarak pandang terparah hanya 5 meter.

Bencana asap di Indonesia pada akhirnya juga menimbulkan keresahan bagi negeri-negeri tetangga yang ikut terpapar, seperti Singapura dan Malaysia. Perang gambar meme dan tagar #TerimaKasihIndonesia vs #SamasamaMalaysia di dunia maya bisa menjadi cerminan yang buruk. Terlepas dari adanya fakta korporasi asal negeri tersebut yang terlibat sebagai pelaku pembakaran lahan, tetap saja tidaklah semestinya mempekeruh hubungan regional antar negara yang saling membutuhkan ini.

Lebih dari itu, hutan Indonesia telah dikenal sebagai paru-paru dunia, sebagai salah satu penyumbang terbesar oksigen yang menyehatkan udara sedunia. Sementara saat ini, lewat bencana asap kita justru rutin melepas 1,5 hingga 2 ton gas karbon ke atmosfer, yang memacu efek rumah kaca untuk terus meningkatkan suhu bumi ke arah yang destruktif.

Kejahatan Luar Biasa

Tentu kita wajib angkat topi dan berterimakasih sepenuh hati pada segenap pihak yang bekerja keras memadamkan api. Tapi dalam konteks kebakaran hutan, kita tak boleh cukup berpuas hati, salah-salah ini malah menjadi pekerjaan rutin tambahan yang sama sekali tidak pernah menyentuh akar masalah. Karena sudah nyaris benderang bahwa masalah ini lebih dilatari motif ekonomi dari manusia yang picik.

Tim ahli dari LIPI pun sudah sering menerangkan bahwa tipikal hutan tropik seperti di Indonesia tidaklah memungkinkan terjadinya kebakaran ekosistem secara alamiah, kecuali jika ada unsur ketidaksengajaan atau justru kesengajaan untuk menyulut api. Problemnya, di tahun ini memang sedang berlangsung musim kemarau ditambah fenomena El Nino yang menimbulkan kekeringan panjang telah semakin memudahkan penyebaran titik api.

Hal yang paling wajib untuk lebih dulu disepakati adalah bahwa tindakan membakar lahan apalagi hutan secara teroganisir hingga mengakibatkan bencana adalah bentuk extraordinary crime, yang patut diganjar hukuman seberat mungkin. Tapi apa daya, perangkat hukum terkait seperti UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No.32/2009, UU Kehutanan No.41/1999, UU Perkebunan No.39/2014, dan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya No.5/1990 masih sangat dirasa kurang efektif, karena tak diimbangi komitmen penegakannya di lapangan.

Indonesia membutuhkan komitmen yang jauh lebih besar dari para pemimpinnya untuk menyudahi bencana asap. Mau tak mau, untuk masalah ini pendekatan top-down lah yang harus diutamakan, terlalu sulit rasanya jika kita hanya menaruh harapan bahwa oknum masyarakat, baik perorangan dan terlebih korporasi akan begitu saja tersadarkan dan berhenti melakukan pembakaran lahan, terbukti dari angkanya yang malah terus meningkat setiap tahun.

Aturan hukum terkait tindak pidana dan perdata atas bencana asap sudah semestinya dibuat kokoh dan lengkap, mulai dari UU, Peraturan-Peraturan Daerah, Kementerian, hingga ke tingkat Desa pun semestinya didorong untuk turut memberikan ancaman yang serius. Lebih dari itu, kembali juga ke persoalan klasik soal prakteknya yang selama ini terlalu mudah dicari celah yang tersiasati oleh jejaring mafia hutan dan perkebunan. Seluruh aparat dan instansi terkait wajib bekerja dalam satu irama gerak, jangan lagi saling bertumpang tindih dan malah berpangku tangan jika sudah menjadi perkara.

Efek jera hanya akan berhasil jika pemerintahan saat ini berani melompati langkah-langkah minimalis yang sudah dipraktekkan rezim sebelumnya. Jika poin per poin aturan yang ada  tentang hal ini dirasa sudah cukup kuat dan tak perlu dievaluasi, maka segeralah bertindak tegas, konkret, dan cepat. Namun alangkah baiknya jika pengalaman pahit di tahun ini sungguh-sungguh dijadikan bekal bagi semua pihak yang berwenang untuk bertindak lebih preventif. Karena menyudahi bencana asap berarti menyelamatkan peradaban. Sebaliknya jika mengabaikan, itu berarti kita ikut membunuh peradaban. Tabik!

_________________________
Terbit di harian cetak FAJAR SUMATERA, Rabu 7 Oktober 2015.
http://www.harianfajarsumatera.com/2015/10/mengabaikan-bencana-asap-membunuh.html?m=1