Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Selasa, 24 Juni 2014

Makalah ; Problematika Pekerja Migran Indonesia



BAB  I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pekerja migran merupakan sebutan bagi masyarakat yang bekerja di luar negara asalnya. Negara yang masuk dalam kategori dunia ketiga seperti Indonesia, memang belum memiliki kemampuan yang cukup kuat untuk memberikan jaminan kehidupan yang layak dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang mencukupi. Biasanya kita memberi sebutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau untuk yang lebih spesifik Tenaga Kerja Wanita (TKW) karena memang lapangan kerja bagi kaum perempuan lebih besar peluangnya untuk direkrut di sektor informal khususnya pekerja rumah tangga. Keberadaan mereka sering menjadi bahan pemberitaan media massa terkait perlakuan buruk yang mereka terima di luar negeri. Meski tidak semua buruh migran mengalami hal yang sama, namun tidak dipungkiri, sebagian besar masih berada dalam situasi rentan karena rendahnya perlindungan dan jaminan keamanan di negeri tujuan.
Saat ini ada lebih dari empat setengah juta warga Indonesia mengadu nasib sebagai tenaga kerja di luar negeri dalam berbagai sektor formal maupun informal di negara-negara Asia, Australia, Amerika, dan Eropa. Setiap tahun ada sekitar 600-700 ribu tenaga kerja asli Indonesia diberangkatkan ke luar negeri baik lewat jalur resmi mau pun ilegal.  Jumlah buruh migran terbesar terpusat di sektor-sektor berpenghasilan rendah dengan regulasi yang sangat buruk seperti pekerjaan rumah tangga, pertanian, dan konstruksi di Malaysia, Arab Saudi, dan Kuwait.
Dari sekitar 4,5 juta TKI di luar negeri itu, jumlah yang terbesar adalah kaum perempuan, sekitar 70% bekerja di sektor domestik (PRT) dan manufaktur. Sedangkan sekitar 30% lainnya adalah kaum laki-laki yang bekerja sebagai buruh perkebunan, konstruksi, transportasi, dan jasa. Jumlah pekerja migran yang berangkat melalui jalur tidak resmi (ilegal) diperkirakan melampaui jumlah pekerja migran yang melalui jalur resmi. Setiap tahunnya juga diperkirakan jumlah TKI di luar negeri terus bertambah seiring dengan "situasi sulit" yang kian melanda warga masyarakat miskin di dalam negeri.

Kian bertambahnya arus migrasi TKI ke luar negeri ini makin memperberat persoalan. Ini karena para TKI umumnya tidak memiliki keahlian bahasa dan kedewasaan diri. Mereka dalam kondisi finansial yang minim, tanpa pengetahuan hukum dan perundang-undangan terkait dengan posisinya. Akibatnya, banyak di antara mereka yang terlibat pemalsuan identitas dokumen perjalanan dan sebagainya. Fenomena TKI ini menjadi tambah rumit dan ironis karena banyaknya kasus penganiayaan yang terjadi pada diri mereka. 

Kendati pekerja migran Indonesia merupakan penyumbang kedua terbesar terhadap pendapatan devisa Indonesia, yakni mencapai 2,4 miliar US dolar per tahunnya, banyak di antara "pahlawan devisa" ini yang mengalami eksploitasi dan penganiayaan di sepanjang proses migrasi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Kerumitan persoalan TKI dimulai dari tahap awalnya, yaitu pada saat rekrutmen tenaga kerja migran dilakukan, hingga tahap akhir, sekembali mereka dari tempat kerja di luar negeri. Persoalan mendasar yang dihadapi para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Tenaga Kerja Wanita (TKW) kita yang paling menonjol dan perlu diperhatikan adalah menyangkut peran mereka dalam kehidupan keluarganya. Diantaranya yaitu kehidupan pasangan dan anak-anaknya (bagi yang sudah berkeluarga) tidak terurus dan kurang perhatian. Perceraian juga sering menjadi ancaman yang sangat serius meskipun itu bukanlah dampak mutlak dari profesi buruh migran tersebut.

Keruwetan  persoalan pekerja migrant ini memang selalu bermula dari persoalan lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of abject poverty) yang dialami keluarga TKI kita, yang umumnya telah turun-temurun berada dalam kondisi miskin. Rangkaian persoalan kemiskinan ini semestinya dapat diputus, sehingga generasi baru yang terberdayakan akan tampil dan merangkai sejarah peradaban baru yang lebih sejahtera dan bermartabat bagi keluarganya. 

Tanpa bermaksud menyederhanakan persoalan yang rumit ini, Pemerintah Indonesia semestinya dapat mengalokasikan sebuah kawasan (daerah) yang potensial ekonomis atau memiliki sumber daya alam yang kaya sebagai tempat pengembangan potensi ekonomi dan kapasitas dari mereka yang semula berprofesi sebagai tenaga kerja migran Indonesia. Pengembangan kawasan tersebut harus mengandung berbagai program pemberdayaan yang produktif dan memiliki nilai jual produk yang tinggi, dalam sebuah skema pemberdayaan komunitas yang komprehensif terpadu.

Model pengembangan kawasan yang mengandung pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) tersebut diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan anak-anak bangsa ini. Tidak sepatutnya mereka terus-menerus mengais rezeki di negara lain sebagai pembantu rumah tangga hanya untuk sekadar mempertahankan hidup dan harkat mereka sebagai manusia Indonesia yang mulia. Karena itu, Pemerintah Indonesia harus mengupayakan terbentuknya lahan kehidupan bagi mereka


B.     Contoh Kasus
Dari sekitar 4,5 juta tenaga migran Indonesia yang ada di luar negeri, terdapat sekitar 138.000 TKI legal asal Indonesia yang terlibat dalam berbagai kasus. Diperkirakan, di Malaysia terdapat sekitar 2 juta TKI, yang 1,2 juta di antaranya legal dan 800 ribu TKI lainnya ilegal dalam rentang waktu tahun 2007-2008. Memang, permasalahan TKI di Malaysia ibarat fenomena gunung es yang menimbulkan persoalan besar dan rumit bagi kedua negara. Dalam waktu satu tahun, KBRI Kuala Lumpur harus menampung sekitar 1.000 kasus TKI yang lari dari majikan dan sekitar 600 kasus kematian TKI di Malaysia. Itu belum termasuk data di keempat Konsulat Jenderal RI di Penang, Johor Bahru, Kota Kinabalu, dan Kuching yang juga menerima kasus-kasus yang sama terkait permasalahan TKI. 

Pada tahun 2007 saja terdapat 71 orang (35%) mendapat vonis mati dari pengadilan di Malaysia atas beragam tuduhan kasus. Jumlah ini merupakan kasus terbesar pada masa tahun tersebut dibandingkan dengan jumlah kasus yang terjadi pada tenaga kerja migran Indonesia di negara lain. Vonis mati yang menimpa TKI pada 2007 mencapai 206 orang. Dari jumlah tersebut, yang menimpa kaum perempuan mencapai 114 kasus (55%). Contoh kasus penganiayaan TKI di Malaysia misalkan yang dialami oleh Siti Hajar yang dianiaya oleh majikannya pada 2009. TKI Muntik Hani juga disiksa majikannya hingga tewas. Namun, kasus penganiayaan TKI paling heboh menimpa diri TKW Nirmala Bonat asal NTT yang disiksa oleh majikannya pada awal Januari 2004.
  
Di Timur Tengah tidak sedikit tenaga kerja migran asal Indonesia dianggap seperti budak atau diperlakukan sebagai budak. Sebagian masyarakat Timur Tengah secara populer mengenali Indonesia sebagai "negeri pembantu". Bahkan dii negeri Singapura yang kecil malah pernah diberitakan ada majikan yang melecehkan kemanusiaan TKI dengan memaksa TKI itu memakan kotoran binatang piaraan tertentu. 

Kasus terbaru yang menarik dari pekerja migran Indonesia adalah kepulangan TKI asal Sragen Jawa Tengah, Erwiana Sulistyaningsih (23) dalam kondisi tubuh penuh luka siksaan setelah kurang lebih delapan bulan dianiaya majikannya di Hongkong. Padahal sebelumnya, Hongkong dipandang sebagai negara sasaran penerima jasa TKI yang paling aman dan stabil. Bahkan sudah sangat dikenal bahwa negara ini memberlakukan sistem kerja manusiawi dengan memberi hari libur, kebebasan membangun serikat, kebebasan beraktifitas, termasuk melakukan demonstrasi.

Upaya Pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan yang lebih baik kepada para tenaga kerja migran Indonesia di luar negeri, di antaranya lewat pengesahan UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun, itu belum memadai. Bahkan belum genap usia 100 hari kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II pada awal tahun 2010 lalu, dilaporkan tujuh buruh migran asal Indonesia mengalami kematian dalam waktu satu hari di berbagai negara. Gambaran ini menyiratkan betapa rumit dan pedihnya persoalan tenaga kerja migran Indonesia, yang sejauh ini belum banyak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Ditambah lagi, adanya oknum yang merusak idealisme yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan tenaga kerja migran asal Indonesia. 


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Peran Pemerintah
Pemerintah Indonesia selama ini memang kerap dituding tidak terlalu serius memperdulikan nasib warganya yang menjadi pekerja migrant di luar negeri. Namun, bukan berarti pemerintah tidak melakukan tindakan apa pun apalagi tidak mengeluarkan kebijakan sebagai upaya resminya. Ratifikasi Konvensi Buruh Migran oleh Pemerintah RI dan DPR pada 12 April 2012 memberi secercah harapan bagi perbaikan hidup para buruh migran Indonesia di luar negeri. Meskipun demikian, masih tingginya angka pengangguran di dalam negeri dan krisis ekonomi dunia tetap menjadi faktor tingginya angka buruh migran Indonesia di luar negeri. Sudah ada pula Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menjadi patokan hukum bagi penyelenggaraan hubungan kerja lintas negara.

Sayangnya atas dasar hukum ini pemerintah seringkali menjadikan pengiriman TKI ke luar negeri menjadi lahan eksploitatif. Pemerintah seolah-olah telah melakukan hal yang benar dengan melakukan pengiriman rutin TKI yang setiap tahunnya terus bertambah. Sayangnya pula pemerintah tidak melengkapinya dengan jaminan perlindungan selama bekerja, serta tidak mau menyadari apakah warganya itu dengan sukarela menjadi TKI. Pasalnya menjadi TKI lebih banyak dilatari oleh tuntutan keadaan, semisal belenggu kemiskinan, lemahnya kualitas sumber daya manusia, hingga minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia di dalam negeri, pertumbuhan penduduk yang tinggi, beralihnya lahan-lahan pertanian menjadi bangunan tinggal maupun usaha, dan seterusnya. Semua kondisi buruk ini secara simultan telah memaksa warga Indonesia untuk berlomba-lomba mencari peruntungan demi peningkatan mobilitas hidupnya ke luar negeri sekali pun hanya menjadi pekerja rumah tangga dan pekerja kasar, bahkan banyak yang nekat dengan status imigran gelap tanpa izin.

Organisasi PBB, International Labour Organization (ILO) pernah memberikan rekomendasi untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia. Laporan tersebut terkait dengan program Poverty Reduction Strategy Paper (PRSP) untuk Indonesia. Laporan tersebut merupakan bentuk kepedulian ILO untuk menanggulangi kemiskinan diIndonesia. Sehubungan dengan laporan itu, ILO membuat 12 paparan teknis singkat, salah satu paparannya menyoroti masalah buruh migran. Menurut laporan ILO atas PRSP Indonesia, ILO membahas masalah buruh migran dalam sub migrasi sebagai peluang dan tantangan bagi pengentasan kemiskinan.

Direktur ILO untuk Indonesia, Alan Boulton pernah  mengatakan masalah buruh migran menjadi hal yang sangat berpengaruh bagi kondisi ekonomi di Indonesia. Keadaan di Indonesia membuat banyak orang memutuskan untuk memilih bekerja di luar negeri. Dengan adanya proses migrasi tenaga kerja, maka dengan sendirinya masalah pengangguran akan berkurang. Pendapatan yang masuk bagi buruh akan mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Namun, dengan banyaknya kasus-kasus yang melibatkan buruh migran, ILO merasa perlunya diberikan perlindungan yang lebih serius dan konkret terhadap buruh migran tersebut.

Pemerintah Indonesia pernah kalang-kabut menyikapi tuntutan keluarga tiga buruh migran asal Nusa Tenggara Barat yang jadi korban penembakan polisi Malaysia tahun 2012 lalu. Upaya Kementerian Luar Negeri mengirim tim ke Malaysia untuk mengumpulkan informasi, padahal Kedubes RI di Kuala Lumpur sejak 3 April sudah menerima informasi kematian tiga buruh migran tersebut, ditambah proses otopsi yang lambat, kian menunjukkan sikap pemerintah yang reaktif, sporadis, dan selalu tak tuntas dalam menghadapi persoalan buruh migran.
Kalau tidak ada tuntutan keluarga, mungkin saja Pemerintah Indonesia tidak mengupayakan protes kepada Malaysia, apalagi mengusut penembakan tiga warga negaranya. Sungguh ini sebuah kelalaian fatal yang tidak hanya berdampak pada hilangnya penghormatan negara lain terhadap buruh migran Indonesia, tetapi juga melecehkan martabat dan kedaulatan bangsa. Ironis memang, kematian buruh migran selalu saja dilihat sebagai musibah semata. Padahal, dalam ketentuan UU No 39/2004 Pasal 73 Ayat (2) tentang penempatan dan perlindungan TKI, aturan tentang prosedur tetap penanganan buruh migran yang meninggal di luar negeri sangat jelas.
Pertama, kewajiban untuk memberitahukan kematian TKI kepada keluarganya paling lambat 3 x 24 jam sejak kematiannya diketahui. Kedua, mencari informasi tentang sebab-sebab kematian. Ketiga, memulangkan jenazah TKI ke tempat asal secara layak serta menanggung semua biaya, termasuk biaya penguburan. Keempat, memberikan perlindungan terhadap seluruh harta TKI untuk kepentingan anggota keluarga. Kelima, mengurus pemenuhan hak-hak TKI yang seharusnya diterima.
Untuk kasus Malaysia, Kepolisian Diraja Malaysia telah berulang kali bertindak represif terhadap buruh migran Indonesia. Tindakan tersebut adalah kelanjutan dari stigmatisasi Malaysia terhadap buruh migran Indonesia sebagai kriminal dan terus-menerus menyebut buruh migran Indonesia dengan sebutan ”indon”. Sikap Pemerintah Indonesia yang terlalu lembek dan toleran sesungguhnya menjadi akar dari terus berulangnya kejadian yang sama.
Penanganan persoalan buruh migran yang masih berlangsung seperti sekarang akan kontraproduktif terhadap komitmen Pemerintah Indonesia yang baru saja meratifikasi International Convention 1990 on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families pada Sidang Paripurna DPR, 12 April 2012. Konvensi tersebut sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip dasar penegakan HAM buruh migran, yakni tanggung jawab negara, nondiskriminasi, kesamaan di hadapan hukum, dan kesetaraan dalam penerimaan hak. Dengan demikian, tidak relevan mempersoalkan status keimigrasian ketiga buruh migran yang tidak berdokumen.
Komitmen ratifikasi harus segera ditindaklanjuti dengan implementasi konkret untuk perlindungan hak-hak buruh migran. Setidaknya ada tiga langkah penting yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, mengkaji ulang dan mengevaluasi seluruh kebijakan yang ada di Indonesia terkait perlindungan buruh migran. Kebijakan yang tidak selaras harus diganti kebijakan baru, termasuk UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. UU adalah regulasi paling utama yang isinya harus disesuaikan dengan konvensi karena UU ini merupakan payung hukum dalam penempatan dan perlindungan buruh migran.
Kedua, meninjau ulang semua kelembagaan yang relevan dengan tugas pokok dan fungsi perlindungan buruh migran, terutama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Salah satu ketentuan dalam konvensi: negara pihak harus membentuk badan-badan yang layak untuk memastikan implementasi konvensi. Ketiga, membangun mekanisme perlindungan bagi buruh migran pada keseluruhan tahapan migrasi dari pra-, selama bekerja, hingga purnamigrasi.
Pemerintah juga harus memperbaiki sumber daya manusia. Sebaik apa pun aturan dan sistemnya, tanpa sumber daya manusia yang jujur dan berdedikasi, nasib buruh migran tidak akan pernah menjadi lebih baik. Presiden perlu berani mengevaluasi kinerja birokrasi secara fundamental. Hal ini penting untuk mengurangi beban dan derita masyarakat karena birokrasi yang tidak mendukung. Mengutamakan pembenahan kehidupan rakyat di dalam negeri adalah solusi mendasar yang akan memutus rantai masalah buruh migrant Indonesia.

B.     Peran Organisasi Sosial
Berdasarkan kenyataan bahwa Pemerintah Indonesia masih belum berhasil melakukan kerja-kerja serius dan konkret untuk mengatasi berbagai persoalan dan melindungi nasib pekerja migrannya di luar negeri yang berjumlah jutaan jiwa, maka partisipasi aktif dari masyarakat sangatlah diperlukan untuk memperhatikan dan turut memperjuangkan hal ini. di situlah organisasi sosial, khususnya yang fokus di bidang pekerja migrant sangat dibutuhkan pernanannya. Ada banyak sekali fungsi organisasi sosial dalam membantu melindungi kaum buruh migran ini, semisal saja mereka bisa melakukan pencatatan, pengumpulan data kasus sebagai bahan kajian dan pertimbangan bagi pembuat kebijakan.

Dalam banyak kasus, organisasi sosial malah tampak lebih pro aktif dalam memantau perkembangan buruh migrant Indonesia, mulai dari fluktuasi jumlah pemberangkatan per tahun, jalur-jalur pemberangkatan, sektor pekerjaan yang menyerapnya, keterampilan dasar yang mereka miliki, kesepakatan kerja dan upah yang diterima, jaminan keselamatan kerja, pendampingan masalah, hingga proses pemulangan ke tanah air. Apalagi jika ada kasus kekerasan, tuntutan hukum, atau bahkan kematian yang menimpa TKI kita, organisasi sosial lah yang paling sering muncul melalui berbagai cara, terutama media massa guna menekan pemerintah agar memperhatikan dan bertindak, serta menggalang solidaritas dari kalangan luas baik masyarakat Indonesia mau pun internasional.

Semisal apa yang telah dilakukan oleh organisasi Migrant Care, yang mencatat bahwa selama pemerintahan SBY terjadi tiga peristiwa penembakan terhadap buruh migran yang proses penegakan hukumnya tidak tuntas.Pada 9 Maret 2005, polisi Diraja Malaysia menembak empat buruh migran, yakni Gaspar, Dedi, Markus, dan Reni di Sungai Buloh, Selangor, atas dugaan kriminalitas. Lima tahun berikutnya, 16 Maret 2010, tiga buruh migran asal Sampang, yakni Musdi, Abdul Sanu, dan Muklis, ditembak polisi Malaysia di Danau Putri dengan dugaan serupa. Lalu, pada 24 Maret 2012, tiga buruh migran asal NTB, yakni Herman, Abdul Kadir Jaelani, dan Mad Noor juga ditembak.

Selain itu, organisasi sosial juga kerap melakukan layanan-layanan khusus bagi buruh migrant, seperti; Pengaduan dan Pendampingan Kasus, Pendidikan Kritis, dan Pemberdayaan Ekonomi. Mereka menerima pengaduan dan pendampingan kepada buruh migran dan atau keluarganya yang mengalami permasalahan, baik pada pra penempatan, masa penempatan maupun purna penempatan. Pengaduan yang masuk juga disampaikan kepada pihak yang bertanggungjawab dalam hal perlindungan buruh migran, baik pemerintah ataupun swasta. Dalam melakukan kerja-kerja organisasi, mereka melakukan kaderisasi berupa pelatihan-pelatihan yang membangun kesadaran buruh migran untuk mendapatkan segala hak-haknya, seperti training paralegal tentang advokasi dan hukum, comunity organizer tentang organisasi dan kepemimpinan, serta membuat panduan praktis yang mudah diaplikasikan oleh buruh migran dan keluarganya. Sementara dalam hal pemberdayaan ekonomi biasanya membangun koperasi, pengembangan kelompok ternak untuk mantan buruh migran, usaha kecil dan menengah.


BAB III
PENUTUP

Mendiskusikan persoalan buruh migran di luar negeri saja tidak cukup, mesti juga melihat permasalahan sejak pemberangkatan dari Indonesia, atau hanya dari satu aspeknya saja, tapi harus melihatnya secara utuh. Setidaknya bisa disimpulkan ada empat persoalan utama yang selalu dihadapi buruh migran Indonesia di luar negeri, diantaranya :
1.      Pola hubungan kerja (buruh-majikan). Pola kerja antara buruh migran dan majikannya masih dibangun secara sepihak oleh majikan tanpa memperhatikan hak dan suara buruh. Diperlukan upaya untuk memperkuat posisi buruh sehingga memiliki kekuatan yang sama dalam kontrak/kesepakatan kerja.
2.      Hak berserikat. Para buruh migran tidak menggunakan haknya untuk ikut dalam perserikatan buruh di negeri setempat, sehingga bila sewaktu-waktu ada masalah tidak ada dukungan dari yang lain.
3.      Standar minimal upah. Buruh migran rata-rata belum mengikuti standar upah negara setempat dan belum mendapatkan hak-hak yang sama dengan buruh/pekerja di negara tersebut.
4.      Konflik. Ketika terjadi konflik dengan majikan, rata-rata buruh migran belum memiliki kekuatan untuk menyelesaikannya secara hukum melalui pengadilan atau mediasi pihak ketiga.
Keempatnya ini harus menjadi perhatian utama bagi pemerintah dalam rangka mengatasi persoalan, tapi jika ingin lebih serius lagi, semestinya fokus pada peningkatan kemakmuran rakyat di dalam negeri sebagai solusi yang lebih mengakar.


DAFTAR PUSTAKA

·         Nasution, M. Arief. 2001. Orang Indonesia di Malaysia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
·         http://www.dw.de/
·         http://www.migrantcare.net/
·         http://buruhmigran.or.id/
·         http://sbmi.or.id/
·         www.academia.edu/
·         www.ilo.org/
·         www.komnasperempuan.or.id/



Rabu, 11 Juni 2014

Opini : Memenangkan Cita-Cita Kemerdekaan Nasional

jokowivsprabowo.jpg  
Secara resmi KPU sudah menetapkan nomor urut dua pasang calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang siap bertarung merebut simpati rakyat dalam momentum puncak tahun politik 2014, yakni Pilpres pada 9 Juli  mendatang.

Dua pasangan itu adalah Prabowo Subianto – Hatta Rajasa di nomor urut 1 dan Joko Widodo – Jusuf Kalla di nomor urut 2. Keempat orang itu merupakan tokoh politik nasional yang sudah sangat dikenal track record nya selama ini. Uniknya, kedua pasangan ini merupakan representasi kekuatan politik oposisi yang berbaur dengan unsur kekuatan politik petahana. Semisal, Jokowi dari PDI-P berpasangan dengan mantan wakil Presiden, Jusuf Kallan, yang juga mantan ketua umum partai Golkar dan wapres periode 2004-2009. Sementara Prabowo dari Gerindra berpasangan dengan Hatta Rajasa yang menjabat menteri di dua periode kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Duel Nasionalis

Terlepas dari itu semua, tahun ini memang telah menjadi momentum kemenangan bagi kekuatan politik baru yang punya kecenderungan membangkitkan kembali semangat ideologi nasionalisme ala Bung Karno. Hasil Pileg bulan Juli kemarin menunjukkannya dengan perolehan suara yang diraih oleh PDI Perjuangan di posisi pertama dengan jumlah 18,95 %, Gerindra di posisi ketiga dengan jumlah 11, 81 %, sementara pendatang baru Nasdem bertengger di posisi 8 dengan jumlah 6,72 %. Ketiga partai politik ini cukup getol menyatakan diri sebagai oposisi dan menghidupkan kembali nuansa politik ideologis yang kental dengan jargon dan retorika nasionalisme, semisal semangat restorasi bangsa, trisakti, kebangkitan bangsa, dan sebagainya. Sementara partai-partai politik lainnya cenderung selalu mengambil langkah moderat demi menjaga eksistensinya di dalam pemerintahan.

Persoalannya memang, selama lebih satu dasawarsa terakhir, bangsa kita menghadapi situasi pelik yang kian menjauhi cita-cita kemerdekaan. Alih-alih memenangkan demokrasi politik, reformasi malah melahirkan gegar kebebasan politik yang membuat para elit sibuk berebut kursi kekuasaan demi mengamankan posisi kelompok masing-masing. Situasi ini telah begitu melemahkan bangsa kita hingga cengkraman penjajahan asing gaya baru yang kerap disebut neoliberalisme semakin kokoh meluas.

Kemudian, soal sumber daya alam kita yang begitu kaya telah dikuasai oleh berbagai perusahan raksasa asing. Juga betapa kuasanya produk impor yang membuat kita ketergantungan. Betapa besarnya pula lonjakan kenaikan utang luar negeri yang harus kita tanggung sekarang. Ditambah banyaknya regulasi dan Undang-Undang yang diterbitkan untuk memuluskan semuanya. Karenanya, tak salah jika banyak pihak berpendapat bahwa bangsa ini belum mencapai kemerdekaan yang seutuhnya.

Indonesia Menang

Jika kita merujuk pada dokumen resmi Visi Misi dan Program kedua capres yang dipublikasikan oleh KPU RI, sejatinya visi-misi kedua capres bernuansa selaras dengan mengusung tema kemandirian nasional. Tampaknya mereka cukup memiliki kesadaran yang sefaham tentang persoalan pokok yang paling mendesak untuk diatasi bangsa ini, yakni praktik neoliberalisme dan penegakkan konsep clean and good government.
Namun, agak disayangkan ketika secara programatik kedua kekuatan capres nasionalis ini relatif sama, amunisi yang digunakan untuk bertarung justru masalah-masalah personal dan rekam jejak. Akibatnya, rakyat bukan disuguhi gambaran konkret mengenai aplikasi program kemandirian nasionalnya itu, malah hidangan isu-isu kampanye negatif sampai hitamyang muncul berjejalan. Tentu situasi ini sangat kontra-produktif bagi semangat kemandirian bangsa itu sendiri.

Kemerdekaan nasional seharusnya menjadi jalan bagi kita untuk membangun bangsa yang berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya. Itu pula yang akan menjadi landasan bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita nasionalnya: masyarakat adil dan makmur. Penting bagi kita semua, seluruh kalangan rakyat Indonesia, baik yang sudah menentukan pilihan mau pun tidak, agar memahami betul esensi momentum Pilpres ini sebagai penentu arah masa depan Bangsa.

Kemenangan parpol nasionalis ini harus dikerucutkan menjadi kemenangan sejati Bangsa Indonesia, siapa pun yang terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presidennya. Jika tidak, momentum pemilu ini hanya akan kembali berlangsung hampa sekadar sebagai prosedur suksesi kepemimpinan yang tidak sungguh-sungguh membawa perubahan. Hanya dengan mengusung kampanye positif yang kental nuansa programatik dan ideologis, seraya menempatkan semangat persatuan nasional sebagai batas perdebatan-lah, kelak kedua pihak ini bisa didorong untuk saling menopang pemerintahan Indonesia yang baru.


Sumber Artikel :
http://www.berdikarionline.com/opini/20140611/memenangkan-cita-cita-kemerdekaan-nasional.html#ixzz34JKkrKGS
 
http://www.teraslampung.com/2014/06/memenangkan-cita-cita-kemerdekaan.html#.U5kGsSrPsVI.facebook

http://www.rajabasanews.com/20140611/memenangkan-cita-cita-kemerdekaan-nasional/?fb_action_ids=10202151632287452&fb_action_types=og.comments&fb_source=aggregation&fb_aggregation_id=288381481237582