Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Selasa, 03 Desember 2013

Opini : Melawan Bahaya Laten WTO

Stop WTO.jpg
Tampaknya tahun 2013 ini adalah tahun yang spesial bagi negeri kita Indonesia. Tidak tanggung-tangung, dua forum internasional yang begitu penting didaulat untuk dilangsungkan di Bali. Mulai dari Konferensi Tingkat Tinggi APEC pada 5 sampai 7 Oktober lalu, lalu Konferensi Tingkat Menteri WTO pada 3 sampai 6 Desember ini. 

Keduanya merupakan organisasi kerja sama perekonomian berskala global yang sangat berperan strategis sejak awal terbentuk di era 90-an. Namun prestasi sebagai tuan rumah perhelatan akbar ini penting pula untuk dikritisi, terutama dari sudut pandang yang lebih pokok, yakni dalam bingkai cita-cita kedaulatan ekonomi nasional.

Alat Neoliberalisme

Berbeda dengan APEC yang hanya melingkupi kawasan Asia – Pasifik dan kebijakannya kurang mengikat, dalam WTO atau World Trade Organization setiap kebijakan yang disepakati selalu bersifat mengikat untuk dilaksanakan oleh sekitar 155 negara yang menjadi anggotanya. Sebagai satu-satunya organisasi yang mengatur perdagangan sedunia, ia memiliki mekanisme penyelesaian sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) dan sanksi embargo ekonomi yang menjadi penjamin bagi kepatuhan setiap negara anggota untuk menjalankan seluruh point yang tertuang di WTO Agreement.

Sesungguhnya WTO merupakan satu perwujudan dari tiga skema ekonomi Bretton Woods, sebuah gerakan pelopor bangkitnya sistem ekonomi neo-liberal di dunia barat pada pertengahan abad 20 lalu. Skema ini muncul dalam rangka memulihkan kembali denyut nadi perekonomian sektor swasta di Eropa Barat dan Amerika Serikat pasca Perang Dunia II. Bretton Woods Institutions / BWIs terdiri dari tiga lembaga, yakni IMF, Bank Dunia, dan WTO. Ketiganya secara sistemik berkelindan dengan motif utama pelipat-gandaan keuntungan bagi beberapa negara adidaya dan korporasi raksasa global, hingga mewujud sebagai financial oligarchy yang menguasai roda perekonomian dunia (Coen H Pontoh, 2003).

Dalam kampanyenya, WTO selalu menerangkan bahwa tujuan keberadaannya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan negara anggotanya dan keadilan transaksi perdagangan multilateral melalui pembukaan pasar global seluas mungkin. Namun, dalam prakteknya, desakan WTO untuk membentuk  free trade area disegala penjuru justru tidak pernah mampu mewujudkan keadilan ekonomi, sebab perlakuan yang sama bagi negara dan perusahaan yang struktur kekuatannya timpang hanya akan semakin memperlebar ketimpangan kemakmuran dunia.

Anjuran menyerahkan diri pada pasar bebas bagi negara berkembang dan tertinggal justru akan menjadi aksi bunuh diri atau setidaknya penjajahan yang sukarela. Sementara negara maju memang telah mempersiapkan diri sebelumnya melalui fase pembangunan ekonomi nasionalnya lewat berbagai program proteksionisme dan dumping, bahkan hingga sekarang negara maju masih cukup ketat melindungi industri domestiknya termasuk lewat kucuran dana subsidi bahan baku maupun penerapan standarisasi produk impor yang sulit ditembus oleh eksportir negara lain.

Merdeka Tanpa WTO

Begitulah peran strategis yang dimiliki BWIs termasuk WTO sebagai instrumen utama ekspansi neoliberalisme, begitu pula realita yang kita rasakan terjadi di negara Indonesia tercinta. Keterikatan kita padanya justru semakin memperlemah kemampuan negara dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan, terutama untuk memenuhi kewajiban mengayomi rakyat dan menjamin kedaulatan nasional. Dalam relasi internasional, Indonesia tidak lagi berwatak bebas dan aktif, melainkan hanya menjadi tim sukses memuluskan kepentingan negara maju yang kita gantungi, sebut saja AS, Inggris, Uni Eropa, Jepang, China, Australia, dan seterusnya.

KTM ke-9 WTO, misalnya, target pemerintah Indonesia dalam untuk memenangkan kepentingan negara berkembang dan tertinggal atau Least Development Countries / LDCs seperti subsidi pertanian 15 %, sistem buffer stock pangan, dan penerapan tarif ekspor, pun tampaknya akan sulit tercapai. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kesepakatan yang diambil sebenarnya hanyalah persetujuan ratusan negara atas resolusi ekonomi yang telah disusun oleh beberapa negara adidaya yang masuk dalam lingkaran G-8.

Selama ini WTO memang tidak ramah pada kepentingan nasional negara LDCs, bahkan anjuran amandemen UUD pun kerap dilakukan untuk penyesuaian. Termasuk Indonesia tercatat telah merubah substansi amanat Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar demokrasi ekonomi dengan memberi celah bagi terbitnya regulasi turunan yang semakin menjerat negara dalam kekangan penjajahan gaya baru. Sudah saatnya kita keluar dan bangkit, mitos yang menyebut “There is no alternative” harus segera dibantah. Setidaknya harapan seperti ini yang juga harus kita titipkan pada momentum tahun politik 2014 mendatang.

_____________
Saddam Cahyo, Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung. Juga Mahasiswa FISIP Sosiologi Universitas Lampung (Unila).

Catatan : Artikel ini sudah diterbitkan di harian cetak LAMPUNG POST pada 3 Desember 2013.