Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Jumat, 30 November 2012

Opini : Tenggelamnya Budaya Egaliter Di Pendidikan Tinggi*


Ada fenomena sepele yang menarik perhatian setelah beberapa tahun penulis menempuh masa studi di Perguruan Tinggi, yakni kebiasaan mahasiswa mencium tangan dosennya. Tentu saja terdapat komentar pro-kontra terkait hal ini. Kebanyakan orang  menganggap itu hal lumrah yang harus dilakukan seorang murid kepada gurunya sebagai bentuk penghormatan. Sedangkan yang kontra menganggal hal itu sebagai tindakan yang bertentangan dengan manner masyarakat modern.

Menurut penulis, pola relasi dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi semestinya berbeda dengan pola relasi guru dan siswa di sekolah dasar maupun lanjutan yang bersifat patron-client. Sebagaimana pengertian awalnya, scola in locco parentis, sekolah merupakan lembaga yang menggantikan peran orang tua dalam hal pembinaan anak-anaknya, sehingga terminologi guru kerap dimaknai sebagai sosok yang harus digugu dan ditiru, perkataan guru merupakan petuah yang harus direnungi, perilaku guru adalah suritauladan yang harus dicontoh setiap siswanya (Roem Topatimasang, 2006).

Sedangkan pola relasi dosen dan mahasiswa sebagai sesama orang dewasa haruslah bersifategaliter, sejajar sebagai mitra dalam berfikir. Lembaga pendidikan tinggi itu ibarat kawahcandradimuka tempat digodoknya Gatot Kaca hingga ia memiliki kekuatan sakti mandraguna yang mampu mengalahkan para pendahulunya. Dalam pengertian ini, pendidikan tinggi merupakan lembaga belajarnya orang dewasa, yang diharapkan mampu terus menerus melahirkan para ahli dengan teori mutakhirnya yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan membawa manfaat praktis bagi peradaban manusia yang begitu dinamis ini.

Tinjauan Teori

Penulis mengkategorikan perilaku ‘cium tangan’ itu sebagai salah satu bentuk tradisi feodal. Fenomena ini dapat dikaji melalui dua konsep tahap perubahan masyarakat menurut sosiolog Jerman Ferdinand Tonnies dalam tesisnya berjudul Community and Society, pertama  gemeinschaftatau paguyuban, merupakan ciri masyarakat feodal bercorak produksi agraris – pedesaan yang berdasar pada hubungan status seperti keluarga, tradisi ataupun adat. Sementara itu, saat ini bentuk masyarakat sudah bergerak  menjadi gesellschaft atau patembayan sebagai ciri masyarakat modern bercorak produksi industrial – perkotaan yang berdasar pada hubungan kemitraan dan sejajar.

Tesis Tonnies ini muncul sebagai reaksi atas Revolusi Industri di Inggris, pada akhir abad ke-18 Masehi. Revolusi tersebut telah merombak corak produksi masyarakat agraris yang berbasiskan pada pertanian di desa untuk bermigrasi menuju pusat-pusat industri di perkotaan, sekaligus merubah basis kultural masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Menurut Tonnies, corakgemeinschaft (paguyuban) itu homogen, karena pada umumnya budaya dan tradisi pedesaan itu bercorak monokultur, berasal dari nenek moyang yang sama, dengan latar belakang yang relatif seragam. Sedangkan corak gesellschaft (patembayan) itu heterogen, merupakan ciri masyarakat perkotaan yang plural dan multikultur, karena warga masyarakatnya itu berasal dari berbagai macam penjuru daerah, dengan latar belakang kultur yang relatif beragam.

Sosiolog positivistik Amerika, Talcott Parsons, pernah berhipotesis bahwa jika suatu masyarakat ingin bertahan dan keberlanjutan, ada empat hal yang mutlak harus dipenuhi, salah satu yang terpenting adalah ‘kemampuan beradaptasi’. Masyarakat harus mempunyai kemampuan beradaptasi dengan dunia yang terus bergerak dinamis. Sejarah mencatat, banyak bangsa yang musnah karena ketidakmampuan masyarakatnya dalam menyesuaikan diri dalam beradaptasi dengan gerak sejarah (Zainuddin Maliki, 2003).

Menempatkan Posisi

Benar memang, dalam tatanan masyarakat gemeinschaft mengharuskan seseorang untuk berlaku sopan santun, termasuk mencium tangan kepada seseorang yang lebih tinggi statusnya, semisal orang tua, kakak, guru, atau tokoh adat. Karena kelompok masyarakat tersebut masih termasuk dalam kategori intra-relasional. Akan tetapi ketika kita berada di luar kelompok tersebut, terlebih di lingkungan kampus, secara sosiologis kita sedang berada dalam situasi transisi, dari polagemeinschaft ke pola gesellschaft, dimana hubungan berdasarkan status yang hierarkis itu harus berubah bentuk menjadi hubungan inter-relasional yang egaliter.

Dalam pola masyarakat gesellschaft ini, kita diharuskan bersikap menghargai dan menghormati secara proporsional atau seimbang. Sebagai individu manusia yang bermasyarakat, kita mempunyai beberapa peran yang dijalankan dalam satu waktu yang hampir bersamaan namun dalam konteks yang sama sekali berbeda, maka kita harus jeli menerapkan tradisi dan perilaku yang berbeda di setiap tempatnya.
Mahasiswa jelas akan menjadi ragu dan segan untuk mengkritisi dosen atau sekedar mengemukakan gagasannya di kelas, karena dari kebiasaan cium tangan itu secara tidak langsung dapat ‘membunuh’ nalar kritis mereka. Nyaris akan menjadi suatu bentuk pengkultusan seperti pada rasa segan dan hormat yang berlebihan dalam komunitas tradisional dan fundamentalis. Hal ini akan cukup memberi pengaruh bagi terhambatnya perkembangan iklim akademik dan budaya intelektual dalam sebuah kampus.

Dosen bukanlah tokoh agama ataupun sesepuh adat yang punya kuasa dogmatis, melainkan berperan sebagai fasilitator belajar bagi setiap mahasiswa dalam lembaga pendidikan tinggi. Dosen merupakan kaum intelektual yang berwawasan luas dan ahli di setiap bidang ilmunya, sedangkan mahasiswa adalah generasi penerus dan pengganti mereka yang harus ditempa agar memiliki kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang lebih maju.

Dalam konteks cium tangan ini, tentu penulis tidak bisa mengatakan bahwa itu mutlak salah, mungkin lebih tepat jika perilaku mahasiswa mencium tangan dosen di kampus itu tidaklah pada tempatnya. Memang, de gustibus non est disputandum, Ibarat selara makanan, orang Minang yang suka pedas akan menganggap masakan orang Jawa itu manis. Namun selera juga tidak menutup kemungkinan untuk ditafsirkan, agar sebuah teks itu dapat berlaku sesuai konteksnya.

Fenomena ini merupakan bentuk penerapan teks tertentu yang tidak sesuai pada konteksnya, Teks yang dimaksud adalah ajaran etis nenek moyang tentang penghormatan. Bayangkan jika tradisi cium tangan ini berlanjut ketika si mahasiswa sudah bekerja di perusahaan, yang tentu menuntut profesionalisme, misalkan seorang staf mencium tangan manajernya, tentu saja ini akan berdampak buruk pada kinerja perusahaan secara keseluruhan.

Harus diakui bahwa lingkungan modernis umumnya lebih maju dari lingkungan tradisionalis dalam banyak hal, terutama kualitas sumberdaya manusianya. Mengacu pada tesis Parsons tentang fungsionalisme tadi, seharusnya mahasiswa itu diajari tentang manner masyarakat modern, agar terlatih dan memiliki kemampuan beradaptasi dengan budaya persaingan khas korporasi yang menuntut profesionalisme dan egalitarianisme di peradaban kapitalisme global yang agresif ini.

*) Diedit dan ditulis ulang oleh : Saddam Cahyo, Sekretaris Wilayah LMND Lampung untuk diterbitkan dalam rubrik opini di media massa Berdikari Online ( http//berdikarionline.com ) pada 30 November 2012.
   Digagas dan ditulis pertama kali oleh : Eko Winarno, S.FilDirektur Eksekutif Aking Saputra Institute/ASI, Karawang-Jawa Barat. Pertama kali diterbitkan oleh media cetak KORAN KARAWANG Edisi ke-40, 16-22 November 2012 dengan judul "Dilarang Cium Tangan !" dalam bentuk yang sedikit berbeda.

Berikut ini dilampirkan tulisan versi asli penulisnya ;


Dilarang Cium Tangan !

Muncul polemik saat menulis status di akun Facebook saya. Status yang dimaksud; “di sebuah kampus, tadi siang saya liat mahasiswa mencium tangan dosen. Saya baru ‘ngeh’, ini budaya feodal yang bersumber dari tradisi yang disebut sosiolog Ferdinand Tonnies sebagai ‘gemeinschaft’, yang merupakan ciri masyarakat agraris pedesaan. Bahaya, karna mahasiswa itu tidak tau akan ‘gesellschaft’ sebagai ciri masyarakat industrialis. Sifat ‘gemeinschaft’ itu berdasar pada hubungan ‘status’ (keluarga, tradisi, adat). Nah, kalo ‘gesellschaft’ itu berdasar pada hubungan ‘kontrak’ (mitra sejajar). Ini akibat dosen yang bodo, dia ndak ngerti Manner masyarakat industri! Feodal!”. Muncul berbagai komentar. Yang kontra menganggap itu hal lumrah, yang harus dilakukan seorang murid kepada gurunya, sebagai bentuk penghormatan. Sedangkan yang pro, umumnya dapat menalar maksud argumen saya. Dalam jawaban status, saya jelaskan mengapa saya tidak setuju dengan tradisi mencium tangan dosen di kampus. Karena seyogyanya, antara dosen dan mahasiswa itu harus dalam posisi sejajar, sebagai mitra dalam berpikir. Pola relasi dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi, itu berbeda dengan pola relasi guru dan siswa (murid) di sekolah. Di sekolah, terminologi guru itu sering diartikan sebagai seseorang yang harus digugu dan ditiru. Kata-kata guru, itu merupakan petuah yang harus direnungi. Sedangkan perilaku guru, itu merupakan suritauladan yang harus dijadikan contoh bagi setiap siswa. Saya setuju, jika seorang siswa di sekolah itu mencium tangan gurunya.

DASAR PEMIKIRAN
Seperti saya nyatakan, bahwa relasi dosen dan mahasiswa itu harus sejajar. Saya mengklasifikasikan cium tangan itu sebagai bentuk tradisi feodal. Ferdinand Tonnies, mengklasifikasikan masyarakat ke dalam dua bentuk. Yakni, ‘gemeinschaft’ (komunitas) dan ‘gesellschaft’ (masyarakat). Tesis Tonnies ini muncul sebagai akibat Revolusi Industri di Inggris, pada akhir abad ke-18. Revolusi Industri tersebut telah berhasil merubah tradisi masyarakat yang semula agraris, berbasiskan pada pertanian di desa untuk bermigrasi menuju pusat-pusat perkotaan, sekaligus merubah basis kultural masyarakat menuju masyarakat industri. Menurut Tonnies, corak ‘gemeinschaft’ (komunitas) itu homogen, karena pada umumnya budaya dan tradisi pedesaan itu bercorak monokultur, karena tradisi tersebut berasal dari nenek moyang yang sama, dengan latar belakang yang relatif seragam. Sedangkan corak ‘gesellschaft’ (masyarakat, dalam pengertian Tonnies) itu heterogen. Masyarakat yang heterogen ini merupakan ciri masyarakat perkotaan yang plural dan multikultur, karena warga masyarakatnya itu berasal dari berbagai macam penjuru daerah, dengan latar belakang kultur yang relatif beragam.

MENGAPA DILARANG?
            Dalam konteks cium tangan, tentu saya tidak bisa mengatakan bahwa itu salah. Yang paling “pas”, bahwa konteks cium tangan di kampus itu kurang tepat atau tidak pada tempatnya. Memang, di satu sisi ini adalah soal selera, yang tidak bisa diperdebatkan (de gustibus non est disputandum). Ibarat selara makanan, orang Batak akan menganggap masakan orang Jawa itu manis, orang Bugis akan menyebut masakan orang Sunda itu asin, atau orang Banjar pasti mengatakan masakan orang Minang itu pedas. Ini bukan pula soal benar atau salah, sehingga etika berhak menilai suatu tindakan moral tertentu itu benar atau tidak. Dengan analogi selara masakan, dalam hemat saya ini merupakan bentuk penerapan teks tertentu yang tidak sesuai pada konteksnya. Teks yang dimaksud adalah ajaran etis nenek moyang tentang penghormatan. Memang betul, dalam tatanan masyarakat ‘gemeinschaft’ yang homogen mengharuskan seseorang untuk berlaku sopan terhadap seseorang yang lebih tinggi. Contoh; orang tua, kakek, paman, guru, ustad. Di dalam konteks keluarga, jika kita seorang anak maka kita pun harus mencium tangan orang tua kita. Karena, keluarga itu merupakan bentuk ‘gemeinschaft’ (bukan masyarakat). Akan tetapi ketika kita berada di luar, terlebih di kampus, secara tidak disadari sabetulnya kita sedang berada dalam posisi transisi, dari pola ‘gemeinschraft’ ke pola ‘gesellschaft’. Dalam situasi transisi menuju ‘gesellschaft’ demikian, hubungan status itu akan berubah bentuk menjadi hubungan mitra. Dalam pola hubungan mitra, maka tidak dikenal tradisi anak dan orang tua layaknya dalam hubungan komunitas.
            Dalam pola ‘gesellschaft’, kita itu diharuskan bersikap proporsional (seimbang). Dalam status saya, saya menyebut cium tangan sebagai bentuk sikap feodal. Alasannya, karena jelas itu merupakan produk budaya ‘gemeinschaft’ yang bercorak tradiosionalis. Sebagai seorang yang aktif di dunia pergerakan, secara tidak sengaja saya sering mencermati gaya diskusi di komunitas mahasiswa Islam tradisionalis dan komunitas mahasiswa Islam modernis. Disadari atau tidak, coba saja cermati dialektika diskusi di internal komunitas mahasiswa Islam yang modernis itu nampak lebih “hidup”, dari pada diskusi di komunitas mahasiswa Islam yang tradisionalis. Mengapa? Karena, sikap egalitarianisme itu betul-betul dihayati oleh komunitas Islam berhaluan modernis. Sedangkan di komunitas Islam tradisionalis, seperti kita ketahui, itu sangat mengkultuskan sosok Kyai. Terkadang, kebiasaan cium tangan ini terbawa ke dalam lingkungan masyarakat modern. Oleh karena itu, maaf, lingkungan modernis umumnya lebih maju dari lingkungan tradisionalis dalam banyak hal, terutama dalam hal sumberdaya manusia. Dalam tulisan saya lalu, ‘Kritik Ideologi Pancasila’ (19/10), saya mengutip Talcott Parsons, yang pernah berhipotesis bahwa jika suatu masyarakat ingin eksis dan memiliki keberlanjutan, ada empat hal yang mutlak ada. Salah satu diantaranya adalah “kemampuan beradaptasi”. Masyarakat harus mempunyai kemampuan beradaptasi dengan dunia yang bergerak dinamis. Sejarah mencatat, banyak bangsa yang musnah karena ketidakmampuan masyarakatnya dalam menyesuaikan diri dalam beradaptasi dengan gerak sejarah. Tesis Parsons ini tentu tidak bisa dijadikan argumen untuk menentang cium tangan, sebagai bagian dari budaya feodal.
            Setiap kita, sebagai manusia yang bermasyarakat, itu mempunyai beberapa peran yang kita jalankan dalam satu waktu yang hampir bersamaan, namun dalam konteks yang berbeda. Contoh; Si A, adalah seorang kepala keluarga di rumah, dosen di kampus, dan anak bungsu di keluarga besarnya. Ini yang saya maksud sebagai proses transisi. Si A, itu mutlak menerapkan tradisi dan perilaku yang berbeda di setiap tempatnya. Karena si A itu seorang ayah, tentu dia harus menyambut ciuman tangan istri dan anaknya. Tapi, ketika si A sedang melakoni profesinya di kampus, seharusnya dia segera sadar bahwa secara sosiologis dia sedang berada di masa transisi. Rumah dan keluarga itu merupakan bentuk ‘gemeinschaft’, karena lingkungannya yang homogen. Sedangkan kampus, itu merupakan bentuk ‘gesellschaft’ yang heterogen. Ciri utama ‘gesellschaft’ itu menempatkan setiap manusia dalam posisi sejajar, sebagai mitra. Jika di kampus, tentu pola relasi dosen dan mahasiswa itu sebagai mitra dalam berpikir. Oleh karenanya, cium tangan di kampus itu kurang tepat konteksnya. Mahasiswa jelas akan segan untuk mengkritisi dosen di kelas, karena dari kebiasaan cium tangan itu secara tidak langsung “membunuh” nalar kritis mahasiswa. Seperti rasa segan dan hormat yang berlebihan di dalam tradisi komunitas Islam tradisionalis. Sebaliknya, ketika si A sedang berada di keluarga besarnya, sebagai anak bungsu tentu dia wajib mencium tangan orang tua, paman dan kakaknya karena dia sedang bertransisi kembali dalam pola ‘gemeinschraft’.
            Dosen itu bukan Kyai. Dengan aksi cium tangan mahasiswa kepada dosen, sebetulnya kita bisa melihat sejauh mana iklim akademik dan budaya intelektual sebuah kampus itu berkembang. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, walau tidak didukung hasil survey ilmiah, saya berkeyakinan bahwa aksi cium tangan mahasiswa kepada dosen di kampus itu merupakan salah satu faktor penghambat nalar kritis mahasiswa untuk berkembang. Dengan mencium tangan dosen, secara psikologis bisa menanamkan perasaan segan, ‘ewuh pakewuh’ dan rasa hormat yang berlebih. Jika berlebihan, ini bisa berdampak pada pengkultusan personal, seperti halnya seorang santri yang amat mengkultuskan Kyai. Bayangkan jika tradisi cium tangan ini berlanjut ketika si mahasiswa sudah bekerja di perusahaan, yang tentu menuntut profesionalisme dan harus mengerti ‘manner’. Bayangkan jika seorang staf mencium tangan manajernya? Setiap kita, kapan pun mengalami masa transisi sosiologis dalam waktu yang hampir bersamaan. Di rumah, kita ada dalam posisi ‘gemeinschaft’ dengan pola relasi kekerabatan dan adat istiadat yang didasarkan kepada hubungan status. Di kampus (kantor), kita itu ada dalam posisi ‘gesellschaft’ dengan pola relasi berdasarkan kontrak, sebagai mitra yang sejajar. ‘De gustibus non est disputandum’, akan tetapi selera juga tidak menutup kemungkinan untuk ditafsirkan, agar sebuah teks itu berlaku sesuai konteksnya. Mengacu pada tesis Parsons, seharusnya mahasiswa itu diajari tentang ‘manner’, agar dia terlatih dan memiliki kemampuan beradaptasi dengan budaya korporasi yang menuntut profesionalisme dan egalitarianisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar