Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Jumat, 20 Juli 2012

Karya Kawan : Parlemen atau Soviet ; Mozaik Pemikiran Politik Tan Malaka


Oleh: Rolliv Sapta Atmadja*

Pengantar 
Membaca buku “Parlemen atau Soviet” karya Tan Malaka membawa kita pada suasana pergerakan pra kemerdekaan lengkap dengan seluruh dinamika pemikiran politik di masa itu. Dalam buku tersebut Tan Malaka menunjukkan konsistensinya pada pandangan materialism historis yang menjadi filosofi dasar bagi kaum Marxis di seluruh dunia. Melalui materialism historis, Tan Malaka tak hanya menyajikan sebuah konsep yang melangit atau jauh dari angan namun juga menjelaskan bagaimana konteks masyarakat lengkap dengan kontradiksinya yang melahirkan konsep-konsep politik di masa pra kemerdekaan.

Buku ini merupakan serpihan awal mozaik pemikiran politik Tan Malaka. Sebelumnya, karya Tan Malaka ini diterbitkan berseri dalam surat kabar “Soeara Ra’jat” hingga pada tahun yang sama, 1921, karya ini dicetak dalam bentuk buku oleh Perserikaten Komunis Hindia. Buku yang kembali dicetak untuk ketiga kalinya pada tahun 2012 ini terlihat sangat sederhana belum lagi tebalnya yang tidak seberapa. Namun begitu, buku ini mampu menampilkan perdebatan yang tidak sederhana terutama di masa demokrasi anti-kiri sekarang ini dimana faham-faham kiri masih dianggap berbahaya bagi negara.

Siapakah Tan Malaka? 
Tan Malaka (1894-1949) adalah tokoh yang cukup kontroversial baik di kalangan akademisi, pergerakan maupun elit politik di Indonesia dan bahkan di beberapa Negara yang pernah dikunjunginya. Tan Malaka yang memiliki nama asli Ibrahim lahir di Pandan Gadang, sebuah daerah pedalaman di minangkabau. Ia juga merupakan salah satu orang Indonesia pertama yang melanjutka studinya ke Belanda.

Selama studi di Belanda, Tan Malaka dikejutkan oleh perbedaan mencolok dalam hal politik yang terjadi di Belanda dengan yang terjadi di Indonesia. Selain itu, pergolakan politik di eropa melalui perang dunia pertama dan kemenangan Revolusi Bolshevik di Russia membuatnya tertarik pada bacaan dan diskusi politik menganai ideology yang menentang penjajahan kolonialisme terutama Sosialisme dan Komunisme.

Sekembalinya dari Belanda, Tan Malaka sempat bekerja di Sanembah Maatsphij di Deli sebelum ia pindah ke Semarang. Karir politiknya dimulai dari menjadi anggota Perserikatan Komunis Hindia (PKI) dan membangun sekolah-sekolah rakyat di semarang. Ia juga sempat menjadi Ketua PKI menggantikan Semaoen yang sedang berada di Russia juga pernah menghadiri Komintern mewakili Hindia sebelum ditangkap oleh penguasa kolonial pada tahun 1922. Namun hubungannya dengan PKI tidak berlangsung mulus ketika ia menentang rencana revolusi rakyat di tahun 1926.

Sejak itu PKI menganggapnya sebagai pengkhianat dengan berbagai macam sebutan peyoratif terhadapnya. Namun Ia tak patah arang, meskipun hidup dalam pengasingan dipisahkan dari negeri yang ia perjuangkan. Tan memutuskan hubungannya dengan PKI dan Komintern dan membangun PARI di Bangkok pada tahun 1927 setelah sebelumnya merumuskan kemerdekaan Indonesia dalam bentuk Negara Republik melalui karyanya Naar de Republiken.

Di masa kemerdekaan Tan yang telah berada di Indonesia sejak 1945 setelah bertahun-tahun hidup di pengasingan tetap menyuarakan pandangan politiknya. Pandangan politik Tan adalah Merdeka 100%, anti kolaborasi dan anti Imperialisme. Ia menjadi oposisi kuat di masa perdana menteri Sjahrir menolak persetujuan Linggarjati melalui Persatuan Perjuangan.

Menjelajahi Parlemen dan Soviet? 
Parlemen atau soviet merupakan pertanyaan krusial yang sempat menjadi perdebatan luas di kalangan gerakan pra kemerdekaan. Konteks yang melahirkan karya ini adalah konsekuansi politik etis Belanda yang memaksa Belanda membagun Dewan Rakyat (Volksraad) bagi pribumi. Dalam tulisan ini, Tan Malaka menolak konsep Volksraad dengan tegas dan memilih bentuk Soviet sebagai alternatif.

Konsep ini tidak diambil dari ketiadaan tidak juga lahir dari ide semata namun juga mendasarkan pada konteks kontradiksi material yang nyata pada masa itu. bagi Tan Malaka, dibentuknya parlemen oleh pemerintah Belanda di daerah jajahannya bukanlah semata-mata politik balas budi
namun juga adalah distraksi yang mengelabui kepentingan sejati rakyat Hindia Belanda yaitu kemerdekaan dan membentuk negara mandiri. Menurutnya, mana mungkin muncul lembaga perwakilan sementara kekuasaan berada di tangan penjajah, jika itu terjadi maka lembaga perwakilan tersebut hanyalah bualan belaka karena tak ada kedaulatan yang ia kelola.

Dalam buku ini, Tan menjelaskan mengenai gerak sejarah yang melahirkan konsep parlemen juga gerak sejarah yang melahirkan soviet. Secara general juga, Tan menjelaskan mengenai sejarah parlemen di Belanda. Disini Tan mengulas konsep historis yang tidak kongruen dengan konteks Indonesia dan mengungkap bahwa apa yang terjadi di belanda sama sekali berbeda dengan yang terjadi di Indonesia.

Lebih jauh lagi Tan juga melakukan klasifikasi watak kelas partai dan organisasi rakyat di Indonesia pra kemerdekaan seperti Budi Utomo, Sarekat Islam dan Indische Partij untuk menegaskan konsep perwakilan kelas dan membantak konsep perwakilan partai. Baik Soviet maupun Parlemen, keduanya merupakan bentuk perwakilan politik untuk mengelola kekuasaan dengan tujuan menghindari atau meminimalisir konflik antar masyarakat, menciptakan perdamaian dan kesejahteraan bersama.

Dalam buku Parlemen atau Soviet, Tan Malaka dengan jeli menjelaskan konteks historis yang melahirkan kedua konsep tersebut kemudian ia intepretasikan kembali sesuai dengan kepentingan sejati rakyat Indonesia.

Bagi Tan Malaka, Negara yang menganut prinsip Trias Politika (Montesqieu) yang ada dalam sisterm parlementer adalah kekonyolan dan hanya menguntungkan sebagian kecil rakyat. Terutama dalam konteks negara yang baru merdeka (jika tercapai kemerdekaan), pemisahan antara lembaga kenegaraan akan menghasilkan kesenjangan dalam memahami realitas sehingga akan memunculkan kontradiksi antara aturan dan realitas. Negara dalam pandangan Tan Malaka adalah sebuah negara yang berjalan secara efektif dan efisien. Bentuk ini hanya dapat diwujudkan dalam bentuk Soviet yang tidak memisahkan kekuasaan melainkan melakukan fusi kekuasaan.

Tan Malaka memulai pembahasan menganai Parlemen dengan mempermasalahakan semantic peristilahan parlemen yang di hindia belanda ataupun Indonesia sekarang sebagai dewan. Tan Malaka membedakan istilah dewan dengan parlemen melalui perbedaan sejarah terbentuknya. Sebagai seorang Marxis, Tan Malaka menggunakan Materialisme historis untuk menjelaskan sebuah fenomena termasuk pada kemunculan peristilahan. Dewan adalah sebutan bagai para pembantu sultan memerintah pada masa kerajaan. Dewan sebagaimana Sultan tidak dipilih langsung oleh rakyat oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi dewan untuk menyampaikan aspirasi rakyat begitupun juga rakyat tidak memiliki kuasa apapun untuk memecat dewan sedangkan parlemen memiliki akar historis yang berbeda. Parlemen dipilih oleh rakyat banyak dan terdapat lembaga lain dalam pemerintahan untuk memeriksanya.

Melalui semantic tersebut jelas istilah dewan tidak sejajar dengan istilah parlemen. Parlemen muncul dari perlawanan terus menerus kaum borjuasi terhadap kekuasaan absolute Raja di Eropa. Perlawanan kaum borjuasi eropa muncul ketika kaum borjuasi mulai menemukan alat produksi yang lebih efisien dan perluasan koloni sehingga mereka mampu mengakumulasi modal. Sejarah kemunculan parlemen di inggris yang dimotori oleh kaum borjuasi merupakan perjuangan kelas kaum borjuasi yang tidak selesai dalam satu malam.

Kaum borjuasi inggris menuntut untuk menurunkan tarif pajak negara dan dapat ikut serta dalam perumusan kebijakan di negara tersebut. Kaum borjuasi tidak hanya melakukan usulan tapi juga melakukan pemboikotan dan aksi-aksi pemogokan. Setelah kompromi antara pemerintah dan kaum borjuasi selesai perwakilan menghasilkan permasalahan baru yaitu bagaimana memilih wakil yang duduk di parlemen. Untuk itu setiap orang yang ingin duduk di parlemen membangun kepanitiaan pemilihan yang nantinya menjadi asal muasal munculnya partai politik.

Parlemen, sejak masa awal terbentuknya sudah dipilih oleh rakyat namun hak memilih itu bergantung pada pajak/belasting, oleh karena itu tidak semua orang berhak memilih. Kelas yang mampu membayar pajaklah yang memiliki perwakilan di parlemen dan dapat terpilih menjadi anggota parlemen. Jika kita perhatikan Amerika yang mengklaim sebagai praktisi montesqieu dan pelopor demokrasi meskipun sudah merdeka sejak juli 1776 baru meloloskan hak pilih perempuan pada 1919 karena gencarnya perjuangan politik perempuan di Amerika. Parlemen dan demokrasinya sejak awal tidak dibangun untuk semua namun masih kental dengan diskriminasi ras, kelas dan gender untuk menentukan siapa saja orang yang berhak memilih dan dipilih.

Parlemen diklaim muncul sebagai perwakilan rakyat dalam urusan politik dan merupakan wujud dari kekuasaan rakyat dalam suatu negara. Untuk membatasi kekuasaan absolute tersebut, parlemen memiliki empat hak yaitu hak inisiatif (mengajukan pertimbangan), hak interpelasi (mempertanyakan kebijakan pemerintah), hak angket (bertanya kepada pemerintah) dan hak amandemen untuk merubah peraturan. Namun, sesuai dengan blok historisnya, parlemen yang muncul dari kaum borjuasi (kelas pemodal) hanya berisi kaum borjuasi yang jika dibandingkan dengan jumlah kaum proletariat (kelas pekerja) sangat jauh jumlahnya.

Parlemen sebagai perwakilan kaum borjuasi tentu akan terlebih dahulu membela kepentingan kaumnya dan melanggengkan kuasa kaum modal juga. Kekuasaan parlemen inipun tidak sama di semua praktek negara. Jika di Inggris parlemen lebih kuat ketimbang eksekutif lain halnya di Jerman parlemen tidak berdaya di depan eksekutif. Parlemen Inggris mampu untuk mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap eksekutif untuk memberhentikan menteri ataupun perdana menteri karena mereka dipilih oleh parlemen.

Berbeda hal dengan Jerman yang presidensil, kanselir tidak dipilih oleh parlemen begitupun juga pera menteri sehingga mosi tidak percaya tidak lagi berguna.  Kekuatan parlemen tidak hanya bergantung pada system politik negara namun juga dukungan public dan dukungan militer.

Berbeda dengan system parlemen yang mengekalkan kaum modal, system soviet berlaku kebalukannya untuk menghilangkan kaum modal. Ide awal soviet sebelum resolusi Komintern dibawah Stalin yang memutuskan dibangunnya sosialisme satu negara yang kemudian menguatkan kelompok teknokrat dan birokrasi adalah ide tentang fusi kekuasaan dari bawah ke atas.

Pemerintah dalam system soviet tidak dipisah pisahkan (separasi) melainkan fusi, menghilangkan sifat birokratis dan menyelenggarakannya bersama sesuai dengan kebutuhan kelas buruh dan tani. Ide bentuk soviet berakar pada corak produksi dan bertujuan untuk melakukan pemeratan kesejahteraan dengan jalur distribusi yang terpimpin atau dengan kata lain
dalam ekonomi adalah perencanaan ekonomi terpusat sehingga perwakilan di dalam soviet selain perwakila distrik juga terdapat perwakilan kelas. Namun pusat disini tidak diartikan sebagai segelintir orang eksekutif tetapi kongres rakyat.proses pemilihan dalam system soviet berlangsung dari desa-desa kemudian berjenjang ke kota-kota dan akhirnya kongres nasional.

Russia pada masa soviet sebelum Stalin memiliki 2500 anggota perwakilan  dengan kongres dua kali setahun dan tidak melepaskan kerja-kerja indivisual sehari-hari para anggota kongres. Berbeda dengan system parlemen borjuis seorang anggota parlemen seringkali terisolasi dari rakyat karena jabatannya, anggota perwakilan soviet tetap tinggal di rumahnya masing-masing dan bekerja sesuai dengan pekerjaannya  seperti menjadi buruh pabrik, administratur ataupun petani.

Dalam system soviet sederhananya merupakan sebuah organisasi tunggal yang membagi kewenangan sebagai pelaksana, pengawas dan badan peradilan sementara perturan dibuat bersama. Soviet mengenal pembagian kekuasaan namun tidak dalam lembaga yang terpisah. Untuk meghindari tirani kekuasaan, soviet melakukan pemilihan perwakilan dalam selang waktu yang tidak terlalu lama dan melakukan system kritik dan otokritik dalam kongres organisasi.

Tan Malaka menganalogikan system soviet ini pada system Nagari di Minangkabau sebelum injeksi kapitalisme. Ia juga yakin bahwa system fusi seperti soviet akan menjadikan negara yang mampu bergerak secara efektif dan efisien sekaligus membangun system yang adil tanpa diskriminasi dan eksploitasi. Ia juga berpandangan bahwa suatu parlemen kaum borjuis adalah alat digunakan untuk mengekalkan perburuhan dan kapitalisme sementara soviet adalah alat sementara untuk menghilangkan kapitalisme dan mendatangkan sosialisme.

Simpulan
Perdebatan mengenai parlemen atau soviet sekarang ini mungkin sudah tidak lagi populer dan bukan lagi pilihan seperti pada masa pra kemerdekaan. Parlemen atau soviet merupakan wacana yang pernah populer di masa pra kemerdekaan terutama di kalangan gerakan anti kolonialisme. Kajian ini berguna untuk mengenali sejarah pemikiran politik yang pernah tumbuh berkembang di Indonesia dan memperkaya khazanah pemikiran politik di Indonesia. Sehingga kita tidak cupet dalam berpikir dan terombang ambing oleh ideology mayoritas yang berkata bahwa satu-satunya bentuk demokrasi perwakilan adalah parlemen dan satu-satunya cara pengaturan negara
adalah pemisahan kekuasaan ala Trias Politika.

Pembacaan dan pemahaman pemikiran politik Tan Malaka tidak dapat dilepas dari konteks dialektika material yang berlangsung dalam proses historis peradaban manusia. Penting bagi kita untuk menempatkan pandangan politik sebagai hasil dari dialektika peradaban manusia karena teks muncul untuk menerjemahkan konteks.

Memahami pemikiran Tan Malaka haruslah dibekali dengan pemahaman filosofi yang dianut oleh Tan Malaka begitupun dengan penulis lainnya sehingga sebuah karya ilmiah tidak ditempatkan sebagai dogma dan membawa kita terlarut di dalamnya tanpa perduli dengan dialektika material yang terus berlangsung melalui kontradiksinya. Sebuah pemikiran masa lalu dapat kita jadikan lensa untuk melakukan refleksi terhadap konteks realitas yang berlangsung .

*) Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Unpad Bandung
    Koordinator (Forum Studi Ilmu Politik) FORSIP Unpad
    Disampaikan pada Launching Buku Tan Malaka “Parlemen atau Soviet” 
   di UIN Sunan Gunung Djati dalam rangkaian acara Aqidah Filsafat Fair 
   2012, tanggal 28 mei 2012.