Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Senin, 21 Mei 2012

Friksi : Akhirnya, Aku pun Luluh Menangisi Kepergian Sondang Hutagalung



Minggu (11/12) sekitar pukul 10.00 WIB, sepulang dari sarapan pagi di sebuah warteg kolong rel kereta di kawasan Tugu Proklamasi Jakarta Pusat, aku dan beberapa orang kawan dari Lampung (Isnan, Efrial, Fuad, Togar, dan Riskon) yang sedang berjalan kaki bersama, kembali menuju Gedung YLBHI ( Lokasi penginapan darurat ratusan massa dari Gerakan Nasional Pasal - 33 yang sehari sebelumnya melakukan aksi longmarch Tugu Monas- Mahkamah Konstitusi guna mendesak pencabutan puluhan regulasi pro kepentingan penjajahan imperialisme-neoliberal) dikejutkan dengan suasana kerumunan manusia yang begitu ramai persis di pinggir jalan raya depan gedung YLBHI.

Dari almamater dan style pakaian yang dikenakannya mereka nampaknya adalah pioner-pioner aktif dari beragam spektrum gerakan mahasiswa berbagai kampus di seputaran Ibu Kota Jakarta ini. Dengan rasa bingung sambil saling bertanya-tanya, kami segera disambut dengan ajakan dari salah seorang aktivis bertubuh pendek, gempal, berkulit putih dan berambut gondrong yang nampak jauh lebih senior dari yang lainnya. Segera ia katakan, “Ayo kawan-kawan kita berkumpul dipinggir jalan ini, kita sambut saudara kita, martir perubahan, Sondang Hutagalung..” serunya sambil mengajak kami merapat.

Spontan, segera pula kami semua merapat dalam barisan ramai orang-orang itu di pinggir jalan, persis di seberang pertigaan kampus Universitas Bung Karno, almamater ‘Sang Martir’. Karena terlalu lama menunggu dan cukup lelah mengulang-ngulang menyanyikan lagu “Gugur Bunga”, kami putuskan untuk mundur sejenak dari barisan itu sambil mengajak puluhan kawan lainnya yang memang sedang berada di dalam halaman gedung YLBHI untuk keluar dan turut serta dalam barisan ini, ya, meski saat itu kami belum begitu faham perkara apa sebenarnya yang memicu Sondang melakukan aksi "nekad"nya beberapa hari lalu, bagaimanapun, semua bentuk gerakan rakyat haruslah diapresiasi dan dihargai.

Tak lama berselang, aku dan kawan-kawan yang sudah berkumpul memadati trotoar jalan raya itu mulai serempak mengikuti koor lagu “Gugur Bunga” yang terus dinyanyikan tanpa jeda. Ini sungguh membangun nuansa haru yang menggetarkan. Akhirnya kami mulai melihat gejala kedatangan jenazah Sondang, jalan raya yang begitu padatnya mendadak sepi, dan dari kejauhan di sebelah kiri aku lihat ratusan orang tumpah ruah di jalan mengiringi beberapa buah mobil ambulans. Beberapa orang terdepan dari barisan itu nampak memegangi spanduk-spanduk besar bergambarkan sosok Sondang yang tubuhnya terbakar nyaris 98%.

Momentum itu benar-benar aku simak baik-baik, bahkan nyaris tak mau berkedip dibuatnya. Sejak semalam aku dibuat begitu penasaran oleh kesimpang siuran kabar tentangnya. Aku sama sekali sedang tidak dalam kondisi yang memungkinkan untuk mengikuti update berita, karena selama satu minggu penuh  sibuk mengikuti proses sidang Kongres Luar Biasa LMND dan  aksi GNP-33. Sepintas memang aku dengar ada berita aksi bakar diri di depan Istana Negara, namun aku masih begitu ragu untuk mempercayainya, mengingat betapa akutnya kesadaran apatis dan apolitis mahasiswa Indonesia saat ini, terutama diluar isu gerakan korupsi.

***

Ternyata semalam tadi (10/12), sekitar pukul 19.00 WIB, aku dan Isnan menghadiri malam solidaritas bagi Sondang Hutagalung yang sedang  "sekarat" meregang nyawa di RSCM. Kami naik bajaj dari Tugu Proklamasi dengan ongkos Rp.5000,- sayangnya dalam cuaca gerimis itu kami hanya berhasil menemui puluhan aktivis mahasiswa yang sedang sibuk menggelar tenda solidaritas di pinggir jalan. Disana aku sempat terkejut melihat foto-foto aksi bakar diri Sondang yang benar-benar membuat tubunya hangus tak berwujud seperti sosok aslinya yang cukup tampan.

Kami juga mendapati 'kabar angin'  bahwa Sondang meninggal malam itu juga dan acara solidaritasnya diundur besok. Kami lanjutkan dengan berjalan kaki ke sekretariat Kontras dan lagi-lagi tak ada kepastian soal acara tersebut. Lalu Binbin mengajak kami ke kantor YLBHI untuk sekalian meloby pengurusnya agar memberi izin menginap sementara bagi ratusan peserta aksi GNP 33 yang terlunta-lunta di sekitaran Tugu Proklamasi tanpa fasilitas umum yang layak dan berhadapan dengan cuaca ekstrem bulan Desember di ibu kota.

Dalam kesempatan berjalan di malam yang basah  itu juga aku lontarkan pertanyaan penuh rasa heran,
“itu beneran dia bakar diri ya? Kira-kira apa motifnya ya? Kok nekat amat sampai bertaruh nyawa.” Tanyaku mendesak.
Dijawab oleh Binbin,“Ya motifnya politiklah , ini aksi politik toh, kan bakar dirinya di depan istana.” Jawabnya singkat sambil jalan bergegas.

Malam itu aku sungguh heran apalagi setelah mendapat jawaban yang terlalu singkat seperti itu, bagiku bahkan sebagai seorang aktivis , aku sangat meragukan aksi ini sungguh-sungguh dilatari motif politik yang jelas, sekali lagi dugaanku dikarenakan pengetahuanku yang terbatas ini sudah begitu pesimisnya atas tumpulnya kesadaran progresif politik mahasiswa. Bahkan sempat aku berfikir jangan-jangan hanya perbuatan orang yang sedang stres menghadapi tekanan ekonomi saja seperti berita bunuh diri lain yang juga marak belakangan ini.

Namun setelah mendapat keterangan singkat dari beberapa aktivis mahasiswa malam itu, aku mulai yakin, ini sungguh aksi politis ! terlebih yang melakukan adalah seorang aktivis mahasiswa tingkat akhir dari kampus UBK. Sepanjang jalan pulang kembali ke tugu proklamasi, aku membawa beban friksi yang begitu kompleks, pertama betapa kesalnya kepada pihak YLBHI yang belum mau memberi tumpangan kepada massa rakyat yang sedang berjuang, dan yang paling mengganggu adalah saat harus mengakui dan menghargai pilihan metode perjuangan seorang Sondang.

Akhirnya aku pun berkesimpulan ini sebagai bentuk bunuh diri altruistic dalam konsepsi Emile Durkheim, dimana ia telah mencapai titik klimaks kesadaran kritis tertentu dan rela mengorbankan nyawa sekalipun demi terwujudnya perubahan yang lebih baik bagi kelompoknya (dalam konteks ini ; Bangsa Indonesia). Sungguh idealisme yang begitu mulia bagiku, aku sendiri sebagai bagian kecil dari gerakan mahasiswa Indonesia di era penetrasi brutal liberalisasi modal seperti sekarang ini, masih memiliki begitu banyak pertimbangan ‘pragmatis’ dari setiap pilihan gerak yang akan dilakukan.

Di satu sisi aku begitu salut, kagum dan terharu mendapatinya, Ia layaknya sebuah oase menyegarkan di tengah krisis gurun pasir kesadaran mahasiswa yang begitu gersang. Namun disisi lain aku harus begitu dalam menyesali tindakannya tersebut, meski mengakui itu adalah bentuk perjuangan, namun sekali lagi aku sangat menyesalinya. Kufikir, Sondang yang ditempa dalam iklim aktivisme yang cukup baik akan lebih mampu mengukir begitu banyak perubahan bagi bangsa ini jika dia terus hidup. Sungguh sayang sekali.

***

Siang itu (11/12)  juga sekitar pukul 11.00 WIB, iring-iringan ratusan massa yang menutup akses jalan raya sepadat itu mulai kian mendekati kami yang sejak satu jam sebelumnya sudah cemas menunggu. Semakin jelas pula dua buah mobil ambulans yang membawa jenazah ‘Sang Martir’ itu, sayang aku tak bisa menebak persis mobil mana yang benar-benar membawanya, sebab keduanya sama-sama ramai penumpang dan karangan bunga, simbol rasa duka.

Karena tidak tahu persis lokasi kampus UBK itu dimana, dan proses penyemayaman jenazah akan dilakukan disana atau justru di RSCM, dan karena simpang siurnya informasi, rombongan kami yang telat mengejar ambulance karena kebimbangan bersama itu akhirnya harus mengeluarkan energi lebih dengan menyasar ke RSCM dahulu dan berbalik jalan ke dalam kampus UBK yang terlewat. Saat sampai di gerbang utama, Kampus sederhana  itu dihiasi monumen logo berwajah Bung Karno yang tampak muda dan kharismatik, kami segera berbelok ke kanan menuju sebuah aula yang nampak ramai.

Suasana penuh sesak langsung menyambut kami, dan aku segera menyumpalkan tubuh sedekat mungkin dengan peti jenazah yang di letakkan ditengah – tengah ruangan. Puluhan aktivis mahasiswa beralmamater menyanyikan lagu Gugur Bunga tanpa jeda, beberapa orang lainnya berdiri di sepanjang podium sambil membentangkan spanduk banner tanda penghormatan. Tampak pula sosok Rizal Ramli, Rachmawati Soekarnoputri dan beberapa tokoh politik ‘oposisi’ lainnya. Sungguh nuansa duka yang begitu politis. Terutama saat ‘RR’ sebagai salah seorang donator kampus itu menyampaikan keputusan yayasan yang menganugerahkan gelar ‘Sarjana Hukum Kehormatan’ dan memuji mendiang Sondang sebagai ‘Martir Perubahan di Zamannya’.

Sungguh suasana ini begitu menggetarkan jiwaku, fikiranku segera terbesit berbagai bayangan persoalan, ketakutan, dan segala perasaan sensitif lainnya, yang selama ini terkubur dalam tertutupi oleh gelora euphoria aktivisme yang sedang kunikmati. Sungguh aksi Heroisme pasifistik yang ia lakukan semestinya menjadi tamparan keras bagi setiap pemuda anak bangsa negeri ini, semestinya ini mampu memberikan ruang refleksi mendalam bagi kita semua, semestinya kita mampu ‘belajar’ dengan segala kebijaksanaan untuk menyerap pengorbanan yang telah ia lakukan bagi kita, tentang cita-cita perubahan dalam Bangsa ini.

Sungguh, meski aku sama sekali tak bersepakat dengan pilihan bentuk perjuangan ‘Sang Martir’ yang harus menderita selama 3 hari meregang nyawa itu, dan kecewa dengan politisasi keadaan yang bisa saja sekedar dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok elit politik dari kelas penindas yang sama sekali tak berbeda dari penguasa keji hari ini, sebab tak ada jaminan aksi ‘idealis’ Sondang benar-benar dilandasi kesadaran progresif radikal yang juga akan ditopang dan disambut oleh kekuatan gerakan massa rakyat tertindas yang juga telah dimajukan kesadarannya demi perubahan formasi sosial secara total sebagai simbol kemenangan bagi mereka yang jelata untuk membangun keadilan sosial.

Dan sungguh, dalam kondisi ‘perasaan’ yang penuh kecamuk itu pula aku menangis ! aku menangis bercucuran airmata, aku menangis hingga terseguk sedan, aku menangisi kepergiannya, aku menangisi mereka yang ditinggalkan tapi tak memahami tujuannya, aku menangisi mereka yang memanfaatkannya, aku menangisi mereka yang menertawakan dan mencibirnya, aku menangisi bobroknya keadaan objektif di negeri ini, dan aku terus menangis sampai aku benar-benar pergi keluar menjauh dari gedung aula yang penuh sesak siang hari itu.

Selamat Jalan Sondang, Selamat Berpisah !
Semoga niat tulus pengorbanan mu ini mampu menggugah semangat juang Bangsa mu ini untuk bangkit dari keterpurukan..

***
______________________
Kotak Labirin, tanggal 14 Desember 2011.
*) Doa untuk semangat dan kedamaian jiwa mendiang ‘kawan’ Sondang Hutagalung ( 1989 – 2011 ).
     _Saddam Cahyo_