Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Rabu, 31 Agustus 2011

Opini : Bulan – Bulan Refleksi bagi Kesadaran Mahasiswa

Oleh : Saddam Cahyo*

Mungkin bulan Mei atau Juni memiliki makna historis tersendiri bagi mahasiswa Indonesia, mengingat banyaknya catatan sejarah atas peran yang diberikan oleh kelas intelektual muda yang sadar dan kritis ini dalam mempelopori dan memimpin gerakan perlawanan rakyat dari ketertindasan.

Namun di tahun ini, justru bulan-bulan ini menjadi titik terlemah bagi denyut pergerakan mahasiswa, genap 102 tahun Kebangkitan Nasional menggenapkan pula melemahnya semangat perubahan dari kelas sosial termaju ini, padahal pada bulan-bulan ini pula mahasiswa Indonesia 12 tahun yang lalu menambah torehan sumbangsihnya untuk perubahan bangsanya yang berhasil melepaskan diri dari kungkungan rezim otoriter Soeharto menuju kebebasan berdemokrasi seperti sekarang.

Pertanyaanya kemudian, masih terasakah semangat perubahan yang sama dari gerakan mahasiswa saat ini ? mungkin hanya desiran angin yang menjawab. Peran Kampus sebagai wahana ”Kawah Candradimuka” sepatutnya mampu mencetak mahasiswa dan alumni yang berkualitas untuk membangun masyarakat, dan mahasiswa yang di tempa di dalamnya harus mampu menemukan identitas diri yang otentik dengan konsepsi kepribadian yang dinamis dalam pergumulan sejarah bangsanya.

Konsepsi ideal di atas justru kontras dengan realitas kampus saat ini. Meski sudah di terapkan student government system, kesadaran mahasiswa justru dengan lancarnya terbawa arus kebudayaan global yang salah arah, dan melupakan esensi peranan sejatinya menjadi seorang mahasiswa. Dan kita justru merasa nyaman dengan kondisi seperti ini.

Sekali lagi penulis menekankan bahwa bulan-bulan ini adalah momentum keterpurukan bagi kesadaran mahasiswa. Gejolak gerakan mahasiswa merespon berbagai isue problematika sosial di akhir 2009 dan awal 2010 lalu justru menjadi boomerang bagi kita, niat tulus mahasiswa itu malah ditanggapi sinis oleh opini publik bahwa mahasiswa saat ini semakin menjauh dari harapan publik untuk menitipkan kejayaan masa depannya di pundak kita yang terbentuk melalui peranan penting media massa komersial yang rutin memberitakan sisi buruk pola gerakan mahasiswa.

Opini publik yang mulai mengakar diataspun berdampak pada semakin melebarnya jurang fragmentasi dalam pergerakan mahasiswa itu sendiri, ditambah meluasnya pandangan bahwa menjadi mahasiswa hanyalah status sementara sebagai batu loncatan untuk menggapai kesuksesan material. Kecenderungan bersikap paragmatis pun semakin bergeser pada sikap oportunistik atau bahkan apatis dan apolitis.Berbagai ketimpangan dalam kehidupan kampuspun semakin kentara dan mungkin tidak banyak dari kita yang mencoba merefleksikan semangat pembaruan dan pelopor perlawanan rakyat dari berbagai bentuk penindasan di bulan-bulan ini.

Kisah heroisme semacam Suwardi Suryoningrat atau yang akrab kita sebut Ki Hajar Dewantara setelah membentuk ormas pertama Boedi Oetomo, yang dengan berani, semangat mudanya menulis Als ik eens Nederlander was (Andai aku orang Belanda)  sebagai bentuk kritik tegas terhadap rencana pemerintah Kolonial yang hendak merayakan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda di tanah Hindia Belanda dan berujung pada pengasingan dirinya, mungkin hanya menjadi bagian dari jutaan kalimat yang harus dihapal untuk menjawab soal ujian saja, sedangkan esensi pokoknya sebagai motivasi kaum intelektual muda untuk terus mempelopori perubahan telah terdistorsi sekedar menjadi referensi untuk beretorika semu.

Kabar gembira yang muncul diberbagai madia akhir-akhir ini memecah opini publik yang terbentuk sebelumnya, tim robot ITB sukses mengharumkan nama bangsanya di kancah dunia, namun bagaimana kondisi tim robot Unila, misalkan ? Informasi terakhir Tim robot kita masih saja terbentur masalah dana, dan mulai tergeser oleh hegemoni tim robot PTS lain di Lampung. Di tempat lain di waktu yang hampir bersamaan, awal Mei lalu 8 orang aktivis mahasiswa yang mendorong maju kesadaran masyarakat dari dampak buruk industri tambang dan penguasaan lahan mereka oleh sebuah perusahaan tambang swasta asing di Pulau Buton justru mendapat kan tindakan represif oleh aparat, ditangkap dan di penjara dengan tuduhan makar, bahkan meski 4 diantaranya harus dirawat karena mogok makan sebagai bentuk protes mereka selama di penjara, hingga akhir Mei  belum juga di bebsakan, hal ini mencoreng semangat Kebangkitan Nasional.

Berbagai patologi sosial yang kian muncul ditengah melemahnya kesadaran mahasiswa sebagai iron stock negaranya ini, kita harus lebih cerdas bersikap. Bersama-sama memposisikan kembali peran dan fungsi mahasiswa sebagai kelas sosial yang peka realitas sosial, peduli dan mampu berbuat untuk kemajuan Bangsanya. Kesadaran ini harus dikembangkan menjadi kesadaran kolektif dan di interpretasikan dalam ranah praksis sebagai bentuk tanggung jawab kita membayar jasa rakyat yang telah mensubsidi kita selama kuliah ini (melalui pajak).

Mengutip Pramoedya Ananta Toer, ”Kemajuan sebuah bangsa ditandai dengan kemampuan anak-anaknya menyampaikan pikiran-pikirannya, hanyalah seorang budak yang tidak berani menyampaikan pendapatnya”. Berbuatlah dari hal terkecil karena mahasiswa tidak perlu menjadi seorang Presiden atau anggota legislatif untuk melakukan perubahan. Dan itu mungkin sebagian kecil yang harusnya kita renungkan dan refleksikan bersama tidak hanya dalam momentum Bulan-Bulan ini.
_____________
Bandar Lampung, Mei 2010
 
**) Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila
      Dimuat dalam ”SOCIETAS” Buletin HMJ Sosiologi Unila Edisi Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar