Oleh : Saddam Cahyo*
Klik-klik..
Tanda bunyi pesan masuk di jejaring media sosialku
menjelang dini hari.
“Itu salah mu sendiri lho, jangan limpahin sesalmu ke
aku dong, salah alamat. Kamu yang gak pernah tahan sendirian. Gak mau nunggu aku
siap.”
Pesan masuk ini sudah tentu berasal darinya. Siapa
lagi orang yang bakal aktif menghubungiku hanya di waktu semua orang lelap
berselancar dengan mimpi-mimpinya.
Sementara aku, belakangan ini harus diserang gejala
sakit hati dan pikiran yang kambuhan. Hampir setiap malam tubuh menuntut
direbahkan, tapi mata teramat takluk pada keresahan. Ia tak sudi memejam
sebelum pesan demi pesan masuk terbaca hingga menjelang fajar.
Sebenarnya putaran ini sudah berlangsung dalam sepuluh
tahun terakhir. Bukanlah waktu yang singkat, apalagi mudah untuk dilewati.
Bayangannya nyaris setiap hari selalu saja terputar dengan sendirinya di dalam
kepala. Memori ingatan dengan mudah bergulung mundur ke setiap lapisan
peristiwa yang berkenaan dengannya.
Bagaimana Tuhan begitu jenaka, mempertemukan kami tapi
seperti tidak untuk disatukan sama sekali. Lucunya ini terjadi berkali-kali,
terus berulang dalam adegan demi adegan dengan tingkat penyesalan yang kian
berlipat pula.
Dari tahun ke tahun, tiap kali musim perjumpaan
dengannya harus berakhir, aku kembali menutup dengan satu simpulan yang tak pernah
berubah, bahwa aku hanyalah seonggok manusia bodoh yang diberkati nafas
kehidupan. Tak ada lain.
Ibarat Sisifus yang mashur akan keburukan hidupnya dalam
mitologi Yunani. Dikutuk para dewa agar selamanya memikul batu karang naik ke
puncak bukit hanya untuk melihatnya kembali menggelinding ke bawah. Lalu
kembali ia ulangi tindakan yang sama, entah untuk keberapa kalinya, dan luka
apa saja yang harus dialami dalam pendakian tanpa henti itu.
“Apa sebelumnya pernah kamu tanya? Saat kamu
benar-benar sendiri? Setahuku enggak.” Pesannya kemudian.
Memang benar kata-katanya. Ternyata sama sekali aku
tidak pernah sungguh-sungguh berjuang menggapainya. Alih-alih berusaha, aku cuma
sibuk memetiki bunga mimpi. Mendambakan sambutan tangannya, tapi terus
menggamit tangan-tangan mereka yang lain.
Dasar pemimpi, bahkan dalam mimpi pun masih
bermalas-malasan.
Tapi sepertinya bukan hanya aku yang candu pada mimpi-mimpi
ini. Entah bagaimana, ia bertahan tanpa pernah memiliki komitmen afektif dengan
siapa pun sampai saat ini. Kemunculannya yang terus timbul tenggelam semaunya,
dengan rentang waktu yang tak pernah bisa diduga, dan berbagai momen perjumpaan
yang seperti jebakan ilahi. Semua ini terasa begitu dibuat-buat, terlalu
disengaja untuk sebuah kebetulan.
Hasrat pecundangku selalu bergolak tiap kali
memikirkan sudut pandang yang satu ini. Senyum sendiri dengan pikiran yang penuh
halusinasi, dan beberapa saat kemudian
ujung bibir ditarik kecut memecundangi diri sendiri. Cih!
Jujur, aku sudah berusaha sekerasnya, kupaksakan diri untuk
merdeka dari segala siksa harapan palsu ini. Tapi ia pula yang selalu tetiba
muncul kembali. Sosoknya menjelma seperti bayang-bayang kutukan yang tak
mungkin dihindari. Ibarat sebuah keniscayaan, yang entah bagaimana caranya
harus diterima sebagai kenyataan.
Pernah satu kali, aku tegas memintanya. “Aku harus bilang
ke kamu, aku mau kita menyatu.” Ucapku lebih dari lima tahun lalu, setelah
berbagai kesalahpahaman harus kami lalui.
Apa jawabnya saat itu? Ingatanku sangat baik untuk
merekam semuanya. Terus berputar ia menyusun kata-kata, entah memang karena seperti
yang sekarang diungkapnya bahwa dulu ia belum siap, entah memang ia sekedar
ingin menolak, atau justru memang itu caranya menikmati semua ini.
Sekarang, setelah satu dekade, ia muncul dengan
gugatan. Hah? Bagaimana bisa ia balik menggugat semuanya. Bukankah selama ini
aku yang terus dihembuskan hawa sejuk angin surga yang sengaja ia tiupkan saat
aku mulai membiasakan diri dengan panas dan keringnya udara patah hati.
Sekarang, dengan berani ia katakan. “Bukan soal aku
yang gak mau, tapi kamu yang gak pernah mau nunggu. Kamu gak beri aku waktu.”
Oh Tuhan, ternyata baginya ini soal waktu.
Aku ingat dengan benderang, bagaimana dulu kali pertama
pesonanya tertangkap mata remajaku. Sikapnya yang antusias dan jenaka meski
berbalut seragam putih-abu-abu dengan hijab panjang. Tawanya yang selalu dibendung
dengan telapak tangan, namun tak pernah bisa menutupi dua lesung pipitnya yang teramat
manis itu.
Aku masih bisa merasakan,
bagaimana dulu kami menyambut senja duduk di tepi lapangan sepak bola kampus.
Ngalor-ngidul adu argumentasi soal ideologi, padahal hanya demi membunuh rindu.
Bagaimana kami bisa duduk seharian di taman beringin kembar hanya untuk
menonton film dan bertukar buku. Bagaimana kami bisa menyebut bermacam alasan,
dari jenguk teman sampai takut kesurupan agar bisa kembali bersua.
Aku hapal betul semua gesturnya, dan senyum itu
sungguh menyiksaku dalam waktu yang begitu lama. Waktu yang sudah bergulung
tebal dan tak mungkin lagi digelar. Waktu yang juga telah aku dan ia abaikan
untuk tidak sekalipun masuk ke inti soal. Waktu yang kami biarkan mengalir
deras dan liar, bercabang entah kemana. Waktu yang kini ia gugat seolah tanpa
beban.
“Tapi sekarang udah gak bisa lagi andai-andai. Kita
berbeda sejak awal. Bahkan dasarnya gak pernah bisa disamakan. Buatku ada cinta
yang lebih agung dan tinggi ketimbang konsep cinta mu yang kerdil.” Tutupnya
ketus.
Oh, barangkali kamu pikir aku bakal terluka
mendengarnya. Berhenti, lalu pergi melupakan segalanya. Maaf, aku adalah sang
Sisifus itu sendiri.
Kamu tahu? Begawan Albert Camus pernah menyodorkan
sudut pandang yang berbeda dari awam kebanyakan. Mungkin, kamu sendiri yang
harus membongkar pikiran. Betapa aku sebagai Sisifus yang terkutuk dalam
derita, ternyata seorang yang tuntas. Sadar betul jika luka yang berulang itu justru
jalan kebahagiaan.
Ya, ini adalah caraku untuk berbahagia karena pernah
mengenalmu. Malah bisa jadi, aku adalah kamu itu sendiri.
Ah, dasar pemabuk mimpi!
--------------
Jagakarsa, 30 Juni 2021.